Mengenang Rendra
‘Rendra, sepertinya belum tiada” begitulah yang sering kita dengar. Kita tahu, Rendra telah pergi selamanya 6 Agustus 2009 lalu, sehingga sudah tiga tahun lalu dia tidak lagi bisa kita temui. Tetapi, kita masih bisa bertemu dengan karya-karyanya. Kita masih bisa melihat dokumentasi Rendra membaca puisi, misalnya, atau pentas teater. Artinya, meski dia telah tiada, masih bisa kita ikuti.
Kita tahu, Rendra begitu memukau dalam membaca sajak. Bahkan, bisa dikatakan Rendralah yang ‘memperkenalkan’ membaca sajak di Indonesia sepulang dia dari Amerika. Kemampuan teaterikalnya membuat sajak-sajaknya begitu hidup jika dibacakan oleh Rendra.
Rasanya, hanya Rendra yang membaca sajak dihadiri oleh banyak orang, dan bukan hanya dari kalangan sastra. Tetapi masyarakat umum ikut melihat penampilan Rendra dalam membaca sajak. Kira-kira pertengahan tahun 1970-an, Rendra membacakan sajak-sajaknya di Sport Hall Kridosono, Yogyakarta. Ruang pertunjukan dihadiri oleh banyak orang, dari kalangan sastrawan dan masyarakat umum. Dan Rendra memang memikat dalam membaca sajak. Rendra seorang aktor sekaligus penyair. Sutradara dan penulis naskah.
Pementasan Bengkel Teater, kelompok teater yang dia pimpin, selalu dihadiri oleh banyak orang. Kisah-kisah ceritanya tidak pernah lepas dari kritik sosial, sehingga pementasannya seringkali tidak mendapat ijin’ Setiap kali pentas teater, sambutan media sangat luar biasa. Hampir-hampir tak ada media yang bersedia melepaskan ‘momentum’ pementasan teater atau pembacaan sajak Rendra.
Kita memang pantas kagum pada Rendra. Kita memang merasa kehilangan atas kepergian ‘Si Burung Merak’ sebutan untuk Rendra. Sudah 3 tahun lalu, Rendra tidak lagi hadir di depan publik, dan tidak akan lagi hadir. Tetapi dia masih bisa terus ‘dihadirkan’ melalui karya-karyanya. Dari sejumlah sajak-sajak karyanya, kita kutipkan beberapa bait dari sajak yang berjudul ‘Sajak Bulan Purnama” sajak ini ditulis 22 Oktober 1976, dan bisa dilihat pada kumpulan ‘Potret Pembangunan Dalam Puisi”
“Bulan terbit dari lautan.
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.
Dan menjelang malam,
wajahnya yang bundar,
menyinari gubug-gubug kaum gelandangan
kota Jakarta”.
Puisi-puisi Rendra yang bernada protes, oleh Rendra sendiri disebutnya sebagai pamlet. Puisi-puisi pamflet ini berbeda dengan puisi-puisi karyanya, misalnya yang bisa ditemukan dalam ‘Sajak-sajak Sepatu Tua’, atau ‘Blues Untuk Bonie”. Rendra memang tidak pernah berhenti menulis sajak atau puisi. Sebelum dia meninggal, dia masih menulis sajak yang menyiratkan cintanya pada Ilahi. Coba kita simak puisi tersebut yang pernah dipublikasikan melalui kompas.com
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah
Tuhan, aku cinta padaMu
Rendra adalah puisi, dan puisi adalah Rendra. Karena itu mengenang Rendra tidak bisa melepaskan dari puisi. Tiga tahun lalu Rendra sudah tiada, dan kita bisa ‘menemuinya’ melalui puisi-puisinya.
Ons Untoro
Sumber:tembi.org
Sumber:tembi.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar