Biar tak disebut haji pengabdi setan, ini syaratnya
ilustrasi
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin mempersilakan orang berhaji dan umrah berkali-kali. Asalkan, niatnya adalah untuk beribadah.
"Kalau haji dan umrah berkali-kali tidak masalah, asalkan tidak mengabaikan kewajiban di dalam negeri. Contohnya menyantuni fakir miskin, zakat, berumrah berkali-kali boleh-boleh saja," kata Maruf kepada merdeka.com, Jumat (24/8).
Namun, jika haji dan umrah berulangkali itu niatnya buruk dan hanya untuk berwisata maka berdosa. "Meninggalkan kewajiban di dalam negeri seperti zakat dan lain-lain karena mementingkan haji dan umrah itu tidak betul," ujar dia.
Amir mengungkapkan hal ini menanggapi kritikan dari Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Ali Mustafa Yaqub. Dalam wawancaranya dengan merdeka.com, Ali menyayangkan sudah bergesernya seseorang memahami makna berhaji dan berumrah. Apalagi jika Ramadan tiba, banyak masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong pergi ke Tanah Suci.
Banyak yang tujuannya tidak hanya ibadah. Ada pula yang justru sambil berwisata. "Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi umrah saat Ramadan," ujar Ali.
Menurut Ali, tidak ada ayat Alquran dan Hadis yang menyuruh haji berkali-kali. Padahal, masih banyak kewajiban sosial di dalam negeri yang harus dijalankan. Dia menegaskan bolak balik berhaji dan berumrah adalah salah satu produk konsumerisme berbungkus ibadah.
"Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan," kata Ali.
[has]"Kalau haji dan umrah berkali-kali tidak masalah, asalkan tidak mengabaikan kewajiban di dalam negeri. Contohnya menyantuni fakir miskin, zakat, berumrah berkali-kali boleh-boleh saja," kata Maruf kepada merdeka.com, Jumat (24/8).
Namun, jika haji dan umrah berulangkali itu niatnya buruk dan hanya untuk berwisata maka berdosa. "Meninggalkan kewajiban di dalam negeri seperti zakat dan lain-lain karena mementingkan haji dan umrah itu tidak betul," ujar dia.
Amir mengungkapkan hal ini menanggapi kritikan dari Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Ali Mustafa Yaqub. Dalam wawancaranya dengan merdeka.com, Ali menyayangkan sudah bergesernya seseorang memahami makna berhaji dan berumrah. Apalagi jika Ramadan tiba, banyak masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong pergi ke Tanah Suci.
Banyak yang tujuannya tidak hanya ibadah. Ada pula yang justru sambil berwisata. "Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi umrah saat Ramadan," ujar Ali.
Menurut Ali, tidak ada ayat Alquran dan Hadis yang menyuruh haji berkali-kali. Padahal, masih banyak kewajiban sosial di dalam negeri yang harus dijalankan. Dia menegaskan bolak balik berhaji dan berumrah adalah salah satu produk konsumerisme berbungkus ibadah.
"Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan," kata Ali.
Jumat, 24 Agustus 2012 07:00:00Wawancara Ali Mustafa Y. (1)
Ramadan bulan konsumerisme
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Mustafa Ali Yaqub. (merdeka.com/Islahuddin)
Setiap Ramadan kita jarang menyadari jumlah baliho iklan meningkat drastis jauh dari biasanya. Bahkan, sebelum penentuan awal puasa, iklan-iklan produk kebutuhan shaum dan Lebaran sudah mengudara di radio dan televisi.
Alhasil, seperti biasa, pengeluaran kaum muslim saban puasa selalu menigkat tajam. Mulai dari makanan berlimpah tiap berbuka dan sahur, hingga gemerlap pakaian buat berlebaran.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, perilaku umat Islam sudah bergeser. Bukannya memperbanyak sedekah dan infak, malah menghamburkan fulus buat kesenangan dunia. Setidaknya, dia sudah membuktikan itu dengan makin berkurangnya isi kotak amal masjid ketimbang Ramadan tahun lalu. "Saya juga jadi korban," kata dia menceritakan pengalamannya saat bulan puasa di Kanada.
Berikut penuturan Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.
Apakah jumlah mal di Jakarta mempengaruhi menurunnya kedermawanan warga?
Perilaku Ramadan saat ini sudah bergeser. Ramadan itu sudah sebagai alat merangsang kemampuan konsumerisme. Ini bukan merujuk ke mal. Ternyata konsumerisme ini adalah gerakan global, ulah dari para kapitalis. Untuk mengetahui hal ini perlu penelitian lebih jauh. Mengapa meski Ramadan yang digunakan, bukan bulan-bulan lain, Muharam, misalnya. Mungkin ini berlangsung dengan sejarah panjang.
Memang Ramadan adalah bulan infaq. Ketika memberikan infak biasanya orang memberikan barang baru. Dari situ kemudian jadi membeli dan makin banyak membeli barang saat Ramadan, misalnya orang beli sarung atau pakaian. Hal itu kemudian ditangkap oleh pelaku pasar. Akhirnya muncul reklame sebesar-besarnya, iklan-iklan produk luar biasa.
Ramadan digunakan untuk banyak berinfak dan itu sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Infak itu boleh dengan uang atau barang, tidak ada yang salah. Orang berinfak dengan barang ada dua nilai di dalamnya. Infaknya masuk dan bisa ada kenangan di dalamnya. Misalnya, membelikan sarung untuk orang lain agar sarung itu bisa digunakan untuk salat dan yang memberikan mendapat pahala. Bisa saja perhitungannya, kalau diberi uang seketika itu juga akan habis. Tapi itu kemudian dimanfaatkan oleh gerakan konsumerisme global itu.
Sejak kapan konsumerisme Ramadan dimulai?
Itu perlu penelitian mulai kapan itu terjadi. Tapi yang jelas Walter Armbrust mempublikasikan penelitiannya pada 2004. Kesimpulan penelitian Walter Armbrust ternyata Ramadan dijadikan sebagai tujuan bulan multiguna gerakan konsumerisme.
Bahkan saya jadi korban. Saya pernah bulan Ramadan di Kanada. Saat itu sedang di air terjun Niagara. Waktu itu sore dan rombongan sedang jalan-jalan. Saat melakukan perjalanan ada poster besar bertuliskan menyediakan menu berbuka puasa, itu hotel. Seketika itu juga saya mengajak rombongan nanti berbuka puasa di hotel itu. Tahu-tahu yang bikin hidangan non-muslim. Setelah itu saya menyadari saya terjerumus pusaran iklan saat itu. Padahal di hotel tempat kami menginap juga menyiapkan menu berbuka, bisa juga memesan makanan halal.
Tidak tahu kenapa, langsung tertarik pada iklan itu. Mungkin kalau tidak mengikuti iklan itu, kami akan berbuka seadanya saja. Tapi karena iklannya bilang menyediakan spesial iftar Ramadan, kami langsung sepakat. Saat itu juga kami sudah jadi korban iklan.
Bahkan, Walter Armbrust mengatakan ahli pemasaran seluruh dunia menunggu Ramadan karena periode bisnis paling penting dalam satu tahun. Itu peningkatan omzetnya jauh lebih besar dari bulan-bulan biasanya. Ramadan mulanya dari perilaku infaq sudah bergeser ke perilaku konsumtif. Ada pergeseran di situ. Kalau infaknya masih oke. Tapi bergser, lebih banyak didominasi oleh unsur konsuntif, bukan kian membesar semangat dan jumlah infaknya.
Apakah gerakan konsumerisme itu membuat turunnya jumlah infak masjid-masjid besar di Jakarta?
Ada tiga masjid bisa dijadikan barometer di Jakarta dalam hal ini. Masjid Istiqlal, Masjid Agung Sunda Kelapa, dan masjid At-Tin. Tahun lalu malam pertama di Masjid At-tin dapat infaq Rp 5 juta, tahun ini Rp 3 juta. Masjid Istiqlal tahun lalu infaq dari kotak amal salat tarawih mencapai Rp 23 juta dan tahun ini pada malam pertama memperoleh Rp 16 juta. Sedangkan Masjid Agung Sunda Kelapa tahun lalu untuk tarawih malam pertama memperoleh Rp 19 juta dan tahun ini Rp 16 juta.
Mengapa ada penurunan seperti itu. Mestinya pada malam pertama Ramadan perolehan infak di situ paling banyak. Banyak kawan mengatakan, mal-mal sekarang lebih ramai dari masjid-masjid saat bulan puasa.
Sejak kapan itu terjadi di Masjid Istiqlal?
Tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah membanding-bandingkan. Saya membandingkan tahun ini saja dengan tahun lalu. Sebelumnya tidak pernah. Terus kemudian saya tanya pengurus tiga masjid itu. Istiqlal, Sunda Kelapa, dan At-tin.
Hanya tanya saja, tidak melakukan penelitian. Tapi ini tiga masjid besar di Jakarta dan bisa dijadikan parameter. Tapi saya tidak menyamakan semuanya, jangan-jangan di tempat lain lebih besar. Paling tidak dari jumlah diperoleh oleh masjid-masjid besar itu bisa menjadi renungan.
Bukankah bersedekah itu bukan dinilai dari ukurannya, tapi keikhlasannya?
Itu tentu. Tapi kalau tidak ada nilainya, seribu rupiah, apa artinya zaman sekarang. Dia bisa membuang uang dua puluh juta, kok sedekahnya hanya seribu saja.
Yang salat waktu itu sekitar 15 ribu orang. Jadi diperkirakan saat itu tiap orang memasukkan infak seribu rupiah plus sedikit saja. Apa arti seribu rupiah saat ini. Kalau berapa pun jumlahnya, terus yang penting ikhlas. Itu bukan ikhlas namanya, tapi semaunya.
Ikhklas itu begini. Saya mampu mengangkat barang 20 kilogram, saya akan angkat. Tapi kalau saya mampunya 20 kilogram tapi kemudian saya angkat 100 kilogram itu pamer atau riya. Kalau saya mampu mengangkat 20 kilogram dan saya angkat hanya dua ons saja itu namanya semaunya. Dia mampu infak sepuluh juta kenapa hanya seribu rupiah, itu bukan ikhlas. Ini perlu kita luruskan dan sayang tidak banyak yang mau meluruskan. Malah ikut larut dalam putaran seperti itu.
Biodata
Prof. Ali Mustafa Yaqub, MA
Tempat/Tanggal Lahir: Batang 2 Maret 1952
Pendidikan
MTs dan MA (SMP-SMA) Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur 1976 (Lulus)
S-1 Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asyari, Jawa Timur (1976) Tidak dilanjutkan karena mendapat beasiswa ke Arab Saudi
S-1 Fakultas Syariah, Universitas Muhammad ibnu Saud, Arab Saudi (1976-1980)
S-2 Tafsir Hadis, Universitas Muhammad ibnu Saud, Arab Saudi (1980-1985)
S-3 Syariah, Universitas Hyderabad, India, di Jakarta (2005-2008)
Karir
Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIA), Institut Studi Ilmu Al-Quran (ISIQ), Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) Al-Hamidiyah dan UIN Syarif Hidayatullah (sejak 1985-an sampai saat ini)
Pendiri dan pengajar Pondok Pesantren Darussunnah, Jakarta (1997)
Organisasi
Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh, Arab Saudi
Sekretaris Jenderal/Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat (sejak 1995)
[fas]Alhasil, seperti biasa, pengeluaran kaum muslim saban puasa selalu menigkat tajam. Mulai dari makanan berlimpah tiap berbuka dan sahur, hingga gemerlap pakaian buat berlebaran.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, perilaku umat Islam sudah bergeser. Bukannya memperbanyak sedekah dan infak, malah menghamburkan fulus buat kesenangan dunia. Setidaknya, dia sudah membuktikan itu dengan makin berkurangnya isi kotak amal masjid ketimbang Ramadan tahun lalu. "Saya juga jadi korban," kata dia menceritakan pengalamannya saat bulan puasa di Kanada.
Berikut penuturan Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.
Apakah jumlah mal di Jakarta mempengaruhi menurunnya kedermawanan warga?
Perilaku Ramadan saat ini sudah bergeser. Ramadan itu sudah sebagai alat merangsang kemampuan konsumerisme. Ini bukan merujuk ke mal. Ternyata konsumerisme ini adalah gerakan global, ulah dari para kapitalis. Untuk mengetahui hal ini perlu penelitian lebih jauh. Mengapa meski Ramadan yang digunakan, bukan bulan-bulan lain, Muharam, misalnya. Mungkin ini berlangsung dengan sejarah panjang.
Memang Ramadan adalah bulan infaq. Ketika memberikan infak biasanya orang memberikan barang baru. Dari situ kemudian jadi membeli dan makin banyak membeli barang saat Ramadan, misalnya orang beli sarung atau pakaian. Hal itu kemudian ditangkap oleh pelaku pasar. Akhirnya muncul reklame sebesar-besarnya, iklan-iklan produk luar biasa.
Ramadan digunakan untuk banyak berinfak dan itu sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Infak itu boleh dengan uang atau barang, tidak ada yang salah. Orang berinfak dengan barang ada dua nilai di dalamnya. Infaknya masuk dan bisa ada kenangan di dalamnya. Misalnya, membelikan sarung untuk orang lain agar sarung itu bisa digunakan untuk salat dan yang memberikan mendapat pahala. Bisa saja perhitungannya, kalau diberi uang seketika itu juga akan habis. Tapi itu kemudian dimanfaatkan oleh gerakan konsumerisme global itu.
Sejak kapan konsumerisme Ramadan dimulai?
Itu perlu penelitian mulai kapan itu terjadi. Tapi yang jelas Walter Armbrust mempublikasikan penelitiannya pada 2004. Kesimpulan penelitian Walter Armbrust ternyata Ramadan dijadikan sebagai tujuan bulan multiguna gerakan konsumerisme.
Bahkan saya jadi korban. Saya pernah bulan Ramadan di Kanada. Saat itu sedang di air terjun Niagara. Waktu itu sore dan rombongan sedang jalan-jalan. Saat melakukan perjalanan ada poster besar bertuliskan menyediakan menu berbuka puasa, itu hotel. Seketika itu juga saya mengajak rombongan nanti berbuka puasa di hotel itu. Tahu-tahu yang bikin hidangan non-muslim. Setelah itu saya menyadari saya terjerumus pusaran iklan saat itu. Padahal di hotel tempat kami menginap juga menyiapkan menu berbuka, bisa juga memesan makanan halal.
Tidak tahu kenapa, langsung tertarik pada iklan itu. Mungkin kalau tidak mengikuti iklan itu, kami akan berbuka seadanya saja. Tapi karena iklannya bilang menyediakan spesial iftar Ramadan, kami langsung sepakat. Saat itu juga kami sudah jadi korban iklan.
Bahkan, Walter Armbrust mengatakan ahli pemasaran seluruh dunia menunggu Ramadan karena periode bisnis paling penting dalam satu tahun. Itu peningkatan omzetnya jauh lebih besar dari bulan-bulan biasanya. Ramadan mulanya dari perilaku infaq sudah bergeser ke perilaku konsumtif. Ada pergeseran di situ. Kalau infaknya masih oke. Tapi bergser, lebih banyak didominasi oleh unsur konsuntif, bukan kian membesar semangat dan jumlah infaknya.
Apakah gerakan konsumerisme itu membuat turunnya jumlah infak masjid-masjid besar di Jakarta?
Ada tiga masjid bisa dijadikan barometer di Jakarta dalam hal ini. Masjid Istiqlal, Masjid Agung Sunda Kelapa, dan masjid At-Tin. Tahun lalu malam pertama di Masjid At-tin dapat infaq Rp 5 juta, tahun ini Rp 3 juta. Masjid Istiqlal tahun lalu infaq dari kotak amal salat tarawih mencapai Rp 23 juta dan tahun ini pada malam pertama memperoleh Rp 16 juta. Sedangkan Masjid Agung Sunda Kelapa tahun lalu untuk tarawih malam pertama memperoleh Rp 19 juta dan tahun ini Rp 16 juta.
Mengapa ada penurunan seperti itu. Mestinya pada malam pertama Ramadan perolehan infak di situ paling banyak. Banyak kawan mengatakan, mal-mal sekarang lebih ramai dari masjid-masjid saat bulan puasa.
Sejak kapan itu terjadi di Masjid Istiqlal?
Tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah membanding-bandingkan. Saya membandingkan tahun ini saja dengan tahun lalu. Sebelumnya tidak pernah. Terus kemudian saya tanya pengurus tiga masjid itu. Istiqlal, Sunda Kelapa, dan At-tin.
Hanya tanya saja, tidak melakukan penelitian. Tapi ini tiga masjid besar di Jakarta dan bisa dijadikan parameter. Tapi saya tidak menyamakan semuanya, jangan-jangan di tempat lain lebih besar. Paling tidak dari jumlah diperoleh oleh masjid-masjid besar itu bisa menjadi renungan.
Bukankah bersedekah itu bukan dinilai dari ukurannya, tapi keikhlasannya?
Itu tentu. Tapi kalau tidak ada nilainya, seribu rupiah, apa artinya zaman sekarang. Dia bisa membuang uang dua puluh juta, kok sedekahnya hanya seribu saja.
Yang salat waktu itu sekitar 15 ribu orang. Jadi diperkirakan saat itu tiap orang memasukkan infak seribu rupiah plus sedikit saja. Apa arti seribu rupiah saat ini. Kalau berapa pun jumlahnya, terus yang penting ikhlas. Itu bukan ikhlas namanya, tapi semaunya.
Ikhklas itu begini. Saya mampu mengangkat barang 20 kilogram, saya akan angkat. Tapi kalau saya mampunya 20 kilogram tapi kemudian saya angkat 100 kilogram itu pamer atau riya. Kalau saya mampu mengangkat 20 kilogram dan saya angkat hanya dua ons saja itu namanya semaunya. Dia mampu infak sepuluh juta kenapa hanya seribu rupiah, itu bukan ikhlas. Ini perlu kita luruskan dan sayang tidak banyak yang mau meluruskan. Malah ikut larut dalam putaran seperti itu.
Biodata
Prof. Ali Mustafa Yaqub, MA
Tempat/Tanggal Lahir: Batang 2 Maret 1952
Pendidikan
MTs dan MA (SMP-SMA) Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur 1976 (Lulus)
S-1 Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asyari, Jawa Timur (1976) Tidak dilanjutkan karena mendapat beasiswa ke Arab Saudi
S-1 Fakultas Syariah, Universitas Muhammad ibnu Saud, Arab Saudi (1976-1980)
S-2 Tafsir Hadis, Universitas Muhammad ibnu Saud, Arab Saudi (1980-1985)
S-3 Syariah, Universitas Hyderabad, India, di Jakarta (2005-2008)
Karir
Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIA), Institut Studi Ilmu Al-Quran (ISIQ), Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) Al-Hamidiyah dan UIN Syarif Hidayatullah (sejak 1985-an sampai saat ini)
Pendiri dan pengajar Pondok Pesantren Darussunnah, Jakarta (1997)
Organisasi
Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh, Arab Saudi
Sekretaris Jenderal/Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat (sejak 1995)
Jumat, 24 Agustus 2012 07:29:00Wawancara Ali Mustafa Y. (2)
Berhaji dan berumrah berulang kali pengabdi setan
Mekkah (Shutterstock/ayazad)
Reporter: Islahudin
Tidak hanya pindah ke pusat-pusat belanja, kalangan atas gandrung berumrah saat Ramadan hingga tembus Lebaran, meski ibadah itu sudah berkali-kali dilakoni. Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Ali Mustafa Yaqub, Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan hal itu. Dia menegaskan bolak balik berhaji dan berumrah adalah salah satu produk konsumerisme berbungkus ibadah.
Berikut penuturan Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.
Apa masjid kalah bersaing dengan mal di Jakarta?
Saya tidak mengenal kata bersaing. Yang jelas, mal berhasil menyedot jamaah banyak ke masjid menjadi banyak ke mal. Apalagi mal ada di depan masjid, sekalian. Ini bukan karena malnya. Ini karena faktor konsumtif. Perilaku itu membuat orang lebih banyak ke mal ketimbang ke masjid.
Bagi sosiolog, perubahan perilaku ini sangat menarik untuk diteliti. Lebih parah lagi, konsumerisme itu ada yang dibungkus dalam bentuk ibadah. Misal bentuknya umrah saat Ramadan. Pada 2009, ada 3,6 juta orang umrah ke Makkah. Sekarang mungkin sekitar empat juta orang. Dari jumlah itu, kalau per orang dikenai biaya dua ribu dolar, jumlah uangnya ada delapan miliar.
Jumlah itu terbuang hanya untuk hal-hal tidak wajib dan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Kalau itu itu wajib mungkin wajar, demikian juga kalau pernah dicontohkan oleh Rasullah, itu tidak masalah. Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi umrah saat Ramadan. Saya juga tidak tahu bagaimana pergeseran yang mulanya infak itu hingga menjadi umrah saat Ramadan.
Sekarang banyak masjid membuat brosur Ramadan memasukkan umrah itu sebagai amal ibadah Ramadan. Padahal umrah itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan. Di luar Ramadan boleh seperti itu. Tapi memasukkan umrah sebagai amaliyah Ramadan itu sudah punya tujuan lain. Mungkin saja pengurus masjid ingin menjaring jamaah agar dia bisa gratis ke sana. Ini bergesernya pelan-pelan, tidak terasa.
Seperti apa peran ulama dalam hal ini?
Ulama saja jadi korban konsumerisme karena ulamanya tidak mau mempelajari hadis, bagaimana perilaku Rasulullah pada Ramadan. Maka yang penting senang pergi ke Makkah. Bagaimana tidak senang, dia dan istrinya bisa gratis kalau dapat jamaah banyak. Bagaimana tidak senang seperti itu. Maka jamaahnya dirayu untuk pergi umrah saat Ramadan.
Bagaimana dengan teladan dari ulama?
Siapa diteladani kalau dia tidak pernah membaca hadis perilaku nabi. Tidak pernah baca hadis dan syirah. Itulah kendalanya dan akhirnya dia menjadi korban konsumerisme, bahkan ikut terlibat membikin konsumerisme.
Apakah ada pihak membahas hal ini setiap selesai Ramadan?
Setahu saya tidak pernah ada. Siapa mau mengevaluasi. Saya yakin tidak ada. Yang bicara seperti ini juga tidak ada selain saya. Saya punya keinginan kita kembali mengikuti perilaku nabi patut kita contoh. Bagaimana beribadah saat Ramadan, bukan mengumbar nafsu seperti itu. Selain itu agar infaknya lebih digalakkan saat Ramadan. Di bulan lain beliau dermawan, bahkan dilukiskan kedermawanan beliau saat Ramadan itu seperti angin kencang. Kalau sekarang tidak, umat muslim lebih senang umrah saat Ramadan.
Mungkin yang umrah saat Ramadan itu merasa tenang batinnya?
Bukan ketenangan batin, tapi kesenangan batin. Kalau ketenangan bisa dengan qiyamul lail di Masjid Istiqlal di malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadan. Coba Anda baca Republika kemarin ada orang-orang mengikuti kegiatan itu dan mendapatkan ketenangan. Bukan malah ke Makkah. Itu tidak mendapatkan ketenangan, tapi kesenangan.
Makanya diperlukan sekarang adalah ulama-ulama bisa memberikan keteladanan. Dari mana sumber keteladanan itu, ya mengikuti perilaku Rasulullah. Kalau sekarang mengikuti perilaku nafsu dan itu ironis sekali di bulan Ramadan. Mestinya mengekang nafsu, malah mengumbar nafsu.
Saat saya berkunjung ke masjid Sunda Kelapa pada Ramadan, ada orang mendekati saya dan bilang, “Pak Ustad, saya baru pulang dari Makkah.” Saya langsung balas, “Saya tidak tanya.” Dikira ke Makkah saat Ramadan itu bagus. Kalau itu bagus, Rasulullah akan mencontohkan itu. Bila perlu setiap hari akan umrah, bila itu bagus. Yang dicontohkan Rasul justru berinfak sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian infak itu dibelokkan ke perilaku konsumtif. Akhirnya yang menonjol konsumtifnya, bukan infaknya.
Menurunnya kedermawanan ini apa juga dipengaruhi oleh turunnya ekonomi negara?
Kalau itu dijadikan parameter mungkin orang tidak akan berbondong-bondong umrah. Anda coba tanya ke Kedutaan Besar Arab Saudi yang umrah dari Indonesia saat Ramadan berapa orang? Kedutaan Arab Saudi mengeluarkan visa pasti sebelum Ramadan. Kalau di luar Ramadan saya pernah diberitahu rata-rata 7.500 orang. Itu dari jumlah stempel paspor umrah diberikan
Kalau faktor ekonomi masalahnya, tentu tidak banyak yang pergi umrah. Ini faktor konsumerisme dibungkus dengan ibadah.
Kenapa itu jarang terdengar?
Saya kadang banyak mengecam. Saya menulis buku Haji Pengabdi Setan, maksudnya untuk orang berhaji ulang. Itu niatnya ikut siapa, sementara kondisi negara masih terpuruk. Indonesia kalau mengikuti indikator PBB, masih ada 117 juta orang miskin. Nabi berkata, “Tidak beriman orang pada malam perutnya kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.” Berapa juta orang Indonesia masih kelaparan.
Saya tanyakan kepada ustad-ustad yang merekomendasikan haji ulang atau umrah itu. Tidak bisa menjawab, malah dia larut dalam arus konsumerisme itu. Melihat hal ini, perlu ada revolusi moral. Saya kadang merasa sendirian dalam memberitahukan hal ini. Saya sering mengatakan berhaji ulang itu rugi. Saya katakan itu dilawan banyak kalangan dan bilang, “Berhaji kok rugi.”
Coba bandingkan biayanya itu untuk infak sebanyak-banyaknya. Padahal nanti itu jelas ganjarannya, surga bersama nabi. Kita menyantuni anak yatim, jaminannya surga bersama nabi dalam satu kompleks. Coba berhaji, itu kalau mabrur. Itu pun surganya kelas dek, kelas ekonomi.
Ini lebih kepada yang berhaji ulang. Menurut saya, itu bermasalah, sementara kewajibannya masih banyak. Kewajiban itu tidak hanya ibadah, kewajiban sosial juga banyak sekali. Tapi pura-pura buta saja.
Siapa yang diikuti untuk berhaji ulang. Mana ada ayat Alquran dan hadis menyuruh berhaji ulang, sementara kewajiban sosial lain masih banyak. Mau mengikuti Rasulullah, sebutkan hadis yang menyatakan itu, tidak ada, maka kamu hanya mengikuti bisikan dan keinginan nafsu. Meski begitu masih banyak alasannya, ada yang bilang masih belum puas. Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan.
Mulanya mendengar itu, banyak yang menentang, tapi setelah membaca dan memahami yang saya maksud, banyak juga yang mendukung. Opini itu pertama kali saya tulis di Majalah Gatra. Ada Kiai dari Jawa Timur dikasih orang untuk membaca itu dan berkomentar, “Ini apa-apaan, haji penyembah setan.” Sama orang yang memberi opini itu disuruh baca buku saya tentang hal itu, dia bilang, “Pak Kiai, komentarnya nanti saja setelah baca buku ini.” Setalah baca buku itu, dia langsung bilang, “Ini yang saya cari, ayo disalin seratus, bagi ke ulama-ulama Jawa Timur.”
Ini saya amati tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di seluruh negara yang ada penduduk muslimnya. Di Amerika juga begitu. Pada 2007 saya di Amerika, acara televisi di sana penuh iklan umrah dan haji, bahkan ada koran khusus iklan dibagikan gratis. Koran itu isinya penuh iklan, terutama iklan haji dan umrah. Itulah yang yang diteliti Walter Armbrust, hal itu terjadi bukan hanya di negara-negara Islam, tapi di negara-negara yang ada orang Islamnya. Itu gencar sekali.
Mestinya masjid juga menjadi sumber kesejahteraan bagi orang miskin?
Mungkin itu ada, tapi jumlahnya sangat sedikit. Paling diberi makan sahur dan berbuka, itu sedikit. Tapi untuk menuntaskan kemiskinan mereka tidak ada program seperti itu.
[fas]Berikut penuturan Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.
Apa masjid kalah bersaing dengan mal di Jakarta?
Saya tidak mengenal kata bersaing. Yang jelas, mal berhasil menyedot jamaah banyak ke masjid menjadi banyak ke mal. Apalagi mal ada di depan masjid, sekalian. Ini bukan karena malnya. Ini karena faktor konsumtif. Perilaku itu membuat orang lebih banyak ke mal ketimbang ke masjid.
Bagi sosiolog, perubahan perilaku ini sangat menarik untuk diteliti. Lebih parah lagi, konsumerisme itu ada yang dibungkus dalam bentuk ibadah. Misal bentuknya umrah saat Ramadan. Pada 2009, ada 3,6 juta orang umrah ke Makkah. Sekarang mungkin sekitar empat juta orang. Dari jumlah itu, kalau per orang dikenai biaya dua ribu dolar, jumlah uangnya ada delapan miliar.
Jumlah itu terbuang hanya untuk hal-hal tidak wajib dan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Kalau itu itu wajib mungkin wajar, demikian juga kalau pernah dicontohkan oleh Rasullah, itu tidak masalah. Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi umrah saat Ramadan. Saya juga tidak tahu bagaimana pergeseran yang mulanya infak itu hingga menjadi umrah saat Ramadan.
Sekarang banyak masjid membuat brosur Ramadan memasukkan umrah itu sebagai amal ibadah Ramadan. Padahal umrah itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan. Di luar Ramadan boleh seperti itu. Tapi memasukkan umrah sebagai amaliyah Ramadan itu sudah punya tujuan lain. Mungkin saja pengurus masjid ingin menjaring jamaah agar dia bisa gratis ke sana. Ini bergesernya pelan-pelan, tidak terasa.
Seperti apa peran ulama dalam hal ini?
Ulama saja jadi korban konsumerisme karena ulamanya tidak mau mempelajari hadis, bagaimana perilaku Rasulullah pada Ramadan. Maka yang penting senang pergi ke Makkah. Bagaimana tidak senang, dia dan istrinya bisa gratis kalau dapat jamaah banyak. Bagaimana tidak senang seperti itu. Maka jamaahnya dirayu untuk pergi umrah saat Ramadan.
Bagaimana dengan teladan dari ulama?
Siapa diteladani kalau dia tidak pernah membaca hadis perilaku nabi. Tidak pernah baca hadis dan syirah. Itulah kendalanya dan akhirnya dia menjadi korban konsumerisme, bahkan ikut terlibat membikin konsumerisme.
Apakah ada pihak membahas hal ini setiap selesai Ramadan?
Setahu saya tidak pernah ada. Siapa mau mengevaluasi. Saya yakin tidak ada. Yang bicara seperti ini juga tidak ada selain saya. Saya punya keinginan kita kembali mengikuti perilaku nabi patut kita contoh. Bagaimana beribadah saat Ramadan, bukan mengumbar nafsu seperti itu. Selain itu agar infaknya lebih digalakkan saat Ramadan. Di bulan lain beliau dermawan, bahkan dilukiskan kedermawanan beliau saat Ramadan itu seperti angin kencang. Kalau sekarang tidak, umat muslim lebih senang umrah saat Ramadan.
Mungkin yang umrah saat Ramadan itu merasa tenang batinnya?
Bukan ketenangan batin, tapi kesenangan batin. Kalau ketenangan bisa dengan qiyamul lail di Masjid Istiqlal di malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadan. Coba Anda baca Republika kemarin ada orang-orang mengikuti kegiatan itu dan mendapatkan ketenangan. Bukan malah ke Makkah. Itu tidak mendapatkan ketenangan, tapi kesenangan.
Makanya diperlukan sekarang adalah ulama-ulama bisa memberikan keteladanan. Dari mana sumber keteladanan itu, ya mengikuti perilaku Rasulullah. Kalau sekarang mengikuti perilaku nafsu dan itu ironis sekali di bulan Ramadan. Mestinya mengekang nafsu, malah mengumbar nafsu.
Saat saya berkunjung ke masjid Sunda Kelapa pada Ramadan, ada orang mendekati saya dan bilang, “Pak Ustad, saya baru pulang dari Makkah.” Saya langsung balas, “Saya tidak tanya.” Dikira ke Makkah saat Ramadan itu bagus. Kalau itu bagus, Rasulullah akan mencontohkan itu. Bila perlu setiap hari akan umrah, bila itu bagus. Yang dicontohkan Rasul justru berinfak sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian infak itu dibelokkan ke perilaku konsumtif. Akhirnya yang menonjol konsumtifnya, bukan infaknya.
Menurunnya kedermawanan ini apa juga dipengaruhi oleh turunnya ekonomi negara?
Kalau itu dijadikan parameter mungkin orang tidak akan berbondong-bondong umrah. Anda coba tanya ke Kedutaan Besar Arab Saudi yang umrah dari Indonesia saat Ramadan berapa orang? Kedutaan Arab Saudi mengeluarkan visa pasti sebelum Ramadan. Kalau di luar Ramadan saya pernah diberitahu rata-rata 7.500 orang. Itu dari jumlah stempel paspor umrah diberikan
Kalau faktor ekonomi masalahnya, tentu tidak banyak yang pergi umrah. Ini faktor konsumerisme dibungkus dengan ibadah.
Kenapa itu jarang terdengar?
Saya kadang banyak mengecam. Saya menulis buku Haji Pengabdi Setan, maksudnya untuk orang berhaji ulang. Itu niatnya ikut siapa, sementara kondisi negara masih terpuruk. Indonesia kalau mengikuti indikator PBB, masih ada 117 juta orang miskin. Nabi berkata, “Tidak beriman orang pada malam perutnya kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.” Berapa juta orang Indonesia masih kelaparan.
Saya tanyakan kepada ustad-ustad yang merekomendasikan haji ulang atau umrah itu. Tidak bisa menjawab, malah dia larut dalam arus konsumerisme itu. Melihat hal ini, perlu ada revolusi moral. Saya kadang merasa sendirian dalam memberitahukan hal ini. Saya sering mengatakan berhaji ulang itu rugi. Saya katakan itu dilawan banyak kalangan dan bilang, “Berhaji kok rugi.”
Coba bandingkan biayanya itu untuk infak sebanyak-banyaknya. Padahal nanti itu jelas ganjarannya, surga bersama nabi. Kita menyantuni anak yatim, jaminannya surga bersama nabi dalam satu kompleks. Coba berhaji, itu kalau mabrur. Itu pun surganya kelas dek, kelas ekonomi.
Ini lebih kepada yang berhaji ulang. Menurut saya, itu bermasalah, sementara kewajibannya masih banyak. Kewajiban itu tidak hanya ibadah, kewajiban sosial juga banyak sekali. Tapi pura-pura buta saja.
Siapa yang diikuti untuk berhaji ulang. Mana ada ayat Alquran dan hadis menyuruh berhaji ulang, sementara kewajiban sosial lain masih banyak. Mau mengikuti Rasulullah, sebutkan hadis yang menyatakan itu, tidak ada, maka kamu hanya mengikuti bisikan dan keinginan nafsu. Meski begitu masih banyak alasannya, ada yang bilang masih belum puas. Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan.
Mulanya mendengar itu, banyak yang menentang, tapi setelah membaca dan memahami yang saya maksud, banyak juga yang mendukung. Opini itu pertama kali saya tulis di Majalah Gatra. Ada Kiai dari Jawa Timur dikasih orang untuk membaca itu dan berkomentar, “Ini apa-apaan, haji penyembah setan.” Sama orang yang memberi opini itu disuruh baca buku saya tentang hal itu, dia bilang, “Pak Kiai, komentarnya nanti saja setelah baca buku ini.” Setalah baca buku itu, dia langsung bilang, “Ini yang saya cari, ayo disalin seratus, bagi ke ulama-ulama Jawa Timur.”
Ini saya amati tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di seluruh negara yang ada penduduk muslimnya. Di Amerika juga begitu. Pada 2007 saya di Amerika, acara televisi di sana penuh iklan umrah dan haji, bahkan ada koran khusus iklan dibagikan gratis. Koran itu isinya penuh iklan, terutama iklan haji dan umrah. Itulah yang yang diteliti Walter Armbrust, hal itu terjadi bukan hanya di negara-negara Islam, tapi di negara-negara yang ada orang Islamnya. Itu gencar sekali.
Mestinya masjid juga menjadi sumber kesejahteraan bagi orang miskin?
Mungkin itu ada, tapi jumlahnya sangat sedikit. Paling diberi makan sahur dan berbuka, itu sedikit. Tapi untuk menuntaskan kemiskinan mereka tidak ada program seperti itu.
Jumat, 24 Agustus 2012 08:00:00Wawancara Ali Mustafa Y. (3)
Masyarakat belum percaya lembaga zakat
Potret kemiskinan. (merdeka.com/Arie Basuki)
Dua tahun lalu Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) memperkirakan potensi zakat nasional mencapai Rp 100 triliun. Hingga kini pengelolaan dananya belum maksimal, termasuk untuk memberantas kemiskinan.
Berikut penuturan Imam besar Masjid Istiqlal, Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.
Bagaimana potensi zakat dalam menuntaskan kemiskinan?
Itu masih diributkan. Ini artinya pengelolaan zakat itu belum baik. Saat ini masih banyak orang memberi zakat langsung secara pribadi. Itu menimbulkan masalah, banyak orang mati terinjak-injak untuk memperebutkan itu.
Ini sebabnya macam-macam. Faktor pertama, mungkin tidak percaya pada lembaga amil zakat dan sebagainya. Apalagi lembaga itu dibuat oleh pemerintah, langsung tuduhannya korupsi. Kedua, ada egoisme. Ingin disebut wah kalau bagi-bagi uang, padahal itu kewajiban. Mestinya kewajiban itu tidak usah seperti itu.
Kemarin saya bicara di TV One sama Pak Didin Hafidhuddin (Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional). Saya bilang agar orang membayar zakat pada lembaga diyakininya saja. Eh, malah Pak Didin meminta saya diskusi satu meja. Kita memberi saran, malah ia mengajak diskusi, itu aneh.
Tiap tahun pembicaraan potensi zakat tidak pernah berhenti tampaknya tidak ada perubahan berati dari semua itu?
Pertama zakat itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan, kecuali zakat Fitrah. Kedua, zakat itu pengelolaannya masih konsumtif, bukan pengelolaan produktif. Memang ada yang tadinya mustahiq berubah menjadi muzakki, tapi jumlahnya belum signifikan karena itu belum dikelola rapi dan terarah. Jadi 117 juta orang miskin itu tidak pernah berkurang jadinya, mustahiq terus.
Lembaga zakat mana yang baik dalam pengelolaanya?
Saya belum membandingkan karena saya tidak terlibat langsung dalam hal itu. Belum tahu negara mana yang bagus. Di negara lain juga masih ada perusahaan memberikan langsung kepada orang miskin, langsung dengan antrean panjang. Tapi saya tidak tahu sampai terjadi injak menginjak seperti kita tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena kita jumlah mustahiqnya terlalu banyak.
Tahun 2008 saat saya di Amerika, terjadi kematian pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur. Saya langsung kontak salah satu ulama di sana, apa itu disengaja untuk memicu seperti itu. Tapi, kata kawan-kawan di sana itu murni kecelakaan. Sedih saya mendengar itu (dengan mata berkaca-kaca). Padahal potensi ada.
Baznas itu bisa menerima 1,7 triliun tahun lalu, kata Pak Didin. Kalau sekarang saya tidak tahu secara persis, itu dikemanakan. Tapi kelihatannya kemiskinan di Indonesia itu tidak berkurang. Tetap masih banyak orang miskin. Belum berperan secara optimal.
Kenapa ulama masih saja banyak diam dengan pola pengelolaan zakat saat ini?
Informasi saya dengar, ada sebuah lembaga amil zakat, gaji ketuanya mencapai Rp 35 juta. Padahal dana zakat itu mengalir terus tiap bulan. Itu menjadi pertanyaan. Satu, itu bukti kuat tidak terbantah, badan-badan amil zakat sering memasang iklan di televisi dan itu tidak murah. Belum lagi di koran-koran.
Bukannya itu untuk menarik agar orang berzakat?
Kalau itu benar tujuannya, tidak masalah. Tapi kalau benar informasi kepala amil zakat, gajinya hingga Rp 35 juta, melebihi gaji dirjen di kementerian yang gajinya sampai enam juta. Mungkin saja orang kurang percaya dengan lembaga amil zakat.
Apa anda ragu mendengar hal itu?
Kita tidak perlu pesimistis. Kita kerjakan saja seperti apa dicontohkan nabi. Itu saja prinsip saya. Rasulullah itu tidak hanya ibadah di masjid saja, juga bagaiamana mengelola anak yatim, janda-janda miskin.
[fas]
Berikut penuturan Imam besar Masjid Istiqlal, Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.
Bagaimana potensi zakat dalam menuntaskan kemiskinan?
Itu masih diributkan. Ini artinya pengelolaan zakat itu belum baik. Saat ini masih banyak orang memberi zakat langsung secara pribadi. Itu menimbulkan masalah, banyak orang mati terinjak-injak untuk memperebutkan itu.
Ini sebabnya macam-macam. Faktor pertama, mungkin tidak percaya pada lembaga amil zakat dan sebagainya. Apalagi lembaga itu dibuat oleh pemerintah, langsung tuduhannya korupsi. Kedua, ada egoisme. Ingin disebut wah kalau bagi-bagi uang, padahal itu kewajiban. Mestinya kewajiban itu tidak usah seperti itu.
Kemarin saya bicara di TV One sama Pak Didin Hafidhuddin (Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional). Saya bilang agar orang membayar zakat pada lembaga diyakininya saja. Eh, malah Pak Didin meminta saya diskusi satu meja. Kita memberi saran, malah ia mengajak diskusi, itu aneh.
Tiap tahun pembicaraan potensi zakat tidak pernah berhenti tampaknya tidak ada perubahan berati dari semua itu?
Pertama zakat itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan, kecuali zakat Fitrah. Kedua, zakat itu pengelolaannya masih konsumtif, bukan pengelolaan produktif. Memang ada yang tadinya mustahiq berubah menjadi muzakki, tapi jumlahnya belum signifikan karena itu belum dikelola rapi dan terarah. Jadi 117 juta orang miskin itu tidak pernah berkurang jadinya, mustahiq terus.
Lembaga zakat mana yang baik dalam pengelolaanya?
Saya belum membandingkan karena saya tidak terlibat langsung dalam hal itu. Belum tahu negara mana yang bagus. Di negara lain juga masih ada perusahaan memberikan langsung kepada orang miskin, langsung dengan antrean panjang. Tapi saya tidak tahu sampai terjadi injak menginjak seperti kita tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena kita jumlah mustahiqnya terlalu banyak.
Tahun 2008 saat saya di Amerika, terjadi kematian pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur. Saya langsung kontak salah satu ulama di sana, apa itu disengaja untuk memicu seperti itu. Tapi, kata kawan-kawan di sana itu murni kecelakaan. Sedih saya mendengar itu (dengan mata berkaca-kaca). Padahal potensi ada.
Baznas itu bisa menerima 1,7 triliun tahun lalu, kata Pak Didin. Kalau sekarang saya tidak tahu secara persis, itu dikemanakan. Tapi kelihatannya kemiskinan di Indonesia itu tidak berkurang. Tetap masih banyak orang miskin. Belum berperan secara optimal.
Kenapa ulama masih saja banyak diam dengan pola pengelolaan zakat saat ini?
Informasi saya dengar, ada sebuah lembaga amil zakat, gaji ketuanya mencapai Rp 35 juta. Padahal dana zakat itu mengalir terus tiap bulan. Itu menjadi pertanyaan. Satu, itu bukti kuat tidak terbantah, badan-badan amil zakat sering memasang iklan di televisi dan itu tidak murah. Belum lagi di koran-koran.
Bukannya itu untuk menarik agar orang berzakat?
Kalau itu benar tujuannya, tidak masalah. Tapi kalau benar informasi kepala amil zakat, gajinya hingga Rp 35 juta, melebihi gaji dirjen di kementerian yang gajinya sampai enam juta. Mungkin saja orang kurang percaya dengan lembaga amil zakat.
Apa anda ragu mendengar hal itu?
Kita tidak perlu pesimistis. Kita kerjakan saja seperti apa dicontohkan nabi. Itu saja prinsip saya. Rasulullah itu tidak hanya ibadah di masjid saja, juga bagaiamana mengelola anak yatim, janda-janda miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar