23 Agustus 2012 | 17:12 wib
Angon Trah, Ngumpulke Balung Pisah
HARI Raya Idul Fitri tahun ini menjadi peristiwa penting bagi keluarga besar atau Trah Sonokraman. Sebanyak 175 jiwa yang lahir dari lima generasi yang merupakan keturunan Sonokromo, penduduk Dusun Kepek, Sendang Agung, Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri, berkumpul. Mereka kemudian mengadakan acara yang berangkat dari tradisi angon putu yang saat ini mulai langka dilakukan masyarakat.
Ratusan orang ini tengah menggelar acara Ngarak Trah yang dipimpin Mbah Tugiyem (81) anak ketiga dan tertua yang masih hidup dari almarhum Sonokromo. Berangkat dari rumahnya di desa yang sama, Mbah Tugiyem dengan memegang pecut atau cambuk, menggembalakan dan memimpin arak-arakan acara itu keliling dusun. Di salah satu perempatan, mereka sudah ditunggu sejumlah bakul makanan tradisional. Seperti gendar, bakmi dan nasi pecel, tiwul serta minuman dawet.
Puluhan anak dari generasi pertama sampai keenam keturunan pasangan Mbah Sonokromo yang meninggal pada 1969 dan isterinya pada 1947. Pasangan Sonokromo berhasil menurunkan generasi pertama dari sembilan anaknya sampai dengan generasi kelima. Generasi kelimanya sering disebut sebagai canggah atau anak dari buyut Sonokromo.
"Eyang Sonokromo memang sudah menurunkan empat generasi berikutnya sampai dengan generasi canggah. Generasi pertama eyang, disusul generasi anak, putu, buyut dan canggah. Sebenarnya ada 181 jiwa, namun ada yang belum bisa ikut," kata Drs Tumiriyanto, salah satu cucu Sonokromo.
Menurutnya, kegiatan angon trah memang mengadopsi tradisi angon putu. Alasannya, yang memimpin acara itu bukan generasi pertama atau orang tua, namun sudah anak atau generasi kedua. "Jadi kami hanya mengambil bentuk kegiatannya yaitu mengarak sanak saudara dari empat generasi sebagai generasi kedua dari Eyang Sonokromo sampai dengan jajan di pasar," tambahnya.
Acara yang digelar itu, sebenarnya merupakan bentuk kegiatan ngumpulke balung pisah. Keturunan kedua sampai kelima dari Mbah Sonokromo kini tersebar di berbagai kota. Pada saat lebaran kali ini, mereka semua pulang menuju Desa Kepek yang merupakan tempat kelahiran nenek moyangnya.
Keceriaan dan kebahagiaan tercermin dari raut muka dan tingkat mereka, terutama generasi cucu, buyut maupun canggah yang masih kanak-kanak. Mereka bermain bisa saling kenal dan bermain bersama. Untungnya, ada tiga anak dan seorang cucu Mbah Sonokromo yang masih bertempat tinggal di Desa Kepek yang sempat terkena relokasi saat dibangunnya Waduk Gajah Mungkur. Rumah mereka kemudian menjadi penginapan seluruh warga dari trah Sonokraman.
Selama ini tradisi berkumpul satu keluarga besar yang biasa diadakan masyarakat pedesaan khususnya, sering disebut angon putu. Acara itu dilakukan ketika generasi pertama masih hidup dan sudah menikahkan semua anaknya. "Memang kalau angon putu sebagai ilo-ilo orang Jawa, ada ketentuannya, yaitu generasi orang tua masih hidup dan sudah menikahkan seluruh anaknya yang kemudian melahirkan generasi putu atau cucu," kata pengamat budaya Jawa, Sugiatno.
Kalau acara seperti yang digelar keturunan Sonokromo seperti itu, menurutnya, lebih tepat disebut angon trah atau nglumpuke balung pisah atau mengumpulkan seluruh keluarga dari keturunan generasi pertama. Acara itu tidak bisa disebut angon putu, sebab dalam tradisi angon putu ada semacam ketentuannya, antara lain sudah menikahkan semua anaknya dan membagikan warisan kepada anak-anaknya.
(Sri Wahjoedi/CN27)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar