DOKUMEN SUPARDJO
Gelegar musik pembuka yang mencanangkan pertandingan melenyap dari pendengaran dengan geraman malas segera saat berlaga harus dimulai, para pemain berhenti memperhitungkan dirinya dengan serius, dan lakon pun ambruk sama sekali, seperti gelembung-gelembung tercoblos … Revolusi itu sendiri melumpuhkan para pengusungnya dan memberkahi musuh-musuhnya saja dengan kekuatan bergelora.
Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (1852)
Pengakuan akibat siksaan, kesaksian berselubung, kisah media yang direkayasa para tentara ahli perang urat syaraf – di tengah-tengah limpahan informasi tentang G-30-S, teramat sedikit yang dapat ditimbang sebagai bukti teruji. Para peneliti tidak dapat mengajukan sesuatu lebih dari dugaan cerdas tentang identitas pemimpin-pemimpin yang sebenarnya dan motivasi mereka. Apakah Sjam dan Aidit bertang- gung jawab, seperti diakui Sjam sendiri di persidangannya? Atau Untung dan para perwira militer lainnya bertanggung jawab, seperti yang mereka akui di persidangan mereka? Atau apakah mereka bekerja bersama sebagai satu tim tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab? Atau apakah Suharto dengan satu atau lain cara berdiri di belakang mereka sebagai dalang dari seluruh drama yang memilukan itu? Dengan tidak adanya bukti yang tidak dapat disangsikan, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak
bisa dijawab dengan kepastian sedikit pun.
Mengingat bahwa bukti-bukti tentang G-30-S sudah dikacaukan dan dipertanyakan, tidak mengherankan ketika ditemukan bahwa suatu bukti yang sangat penting telah diabaikan. Salah seorang konspirator G30-S yang ada di pangkalan udara Halim pada 1 Oktober, yaitu Brigadir Jenderal Supardjo, menulis sebuah analisis postmortem tentang kegagalan mereka. Tulisan ini diberinya judul “Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja ‘G-30-S’ Dipandang dari Sudut Militer” (lihat lampiran 1). Hingga sekarang para peneliti tidak mengakui dokumen ini sebagaimana adanya: sumber utama terpenting tentang G-30-S. Ini satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh pelaku G-30-S sebelum ia tertangkap. Dengan demikian, informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya. Jika kita hendak menganalisis G-30-S lagi, seyogianya kita mulai dengan dokumen ini, melihat kesimpulan apa yang dapat ditarik dari sana, dan kemudian memeriksa kembali bukti-bukti yang ada dengan mempertimbangkan dokumen ini.
Sudah barang tentu dokumen Supardjo tidak dapat menjawab semua persoalan tentang G-30-S. Penulis adalah seorang pribadi dengan sudut pandang sendiri yang khusus. Supardjo juga bukan salah seorang pimpinan inti G-30-S. Hanya lima orang yang memimpin G-30-S dan, kemungkinan, mengerti semua atau sebagian besar seluk-beluk dan kiat-kiatnya: Sjam, Pono, Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief, dan Mayor Soejono. Pada hari G-30-S dimulai Supardjo bersama lima tokoh itu berada di pangkalan udara AURI di Halim, dan ia berperan selaku wakil mereka untuk berhubungan dengan Presiden Sukarno. Tetapi
ia sama sekali tidak menghadiri rapat-rapat perencanaan mereka pada pekan-pekan sebelumnya. Ia tiba di Jakarta hanya tiga hari sebelum aksi dimulai. Sementara Supardjo bisa memenuhi janji judul dokumennya – “faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan” G-30-S – ia tidak mengerti semua alasan kegagalan itu. Ketika ia melihat aksi digelar, ia kebingungan menghadapi penalaran yang mendasari keputusan-keputusan tertentu. Di sinilah ketidaktahuannya tentang diskusi-diskusi dan rapat-rapat pe- rencanaan sepanjang pekan-pekan sebelumnya menjadi penyebab dari keterbatasan analisisnya. Selain itu, ia tidak banyak mengetahui tentang status G-30-S di Jawa Tengah, provinsi tempat gerakan ini paling kuat. Supardjo berusaha sangat rasional di dalam menuliskan analisisnya: pada bagian pertama naskah ia laporkan peristiwa-peristiwa yang disaksikan- nya, kemudian pada bagian kedua ia tuliskan pemahamannya tentang peristiwa-peristiwa itu. Tentu saja, bisa jadi ia salah menangkap peristiwa- peristiwa tertentu atau salah menafsirkan apa yang ia tangkap.
Dalam bagian ini saya sajikan informasi tentang latar belakang Supardjo dan kemudian menguraikan pernyataan-pernyataan penting dalam dokumen mengenai kepemimpinan G-30-S, rencana aksi G-30-S, pelaksanaan rencana itu, dan strategi G-30-S sehubungan dengan Presiden Sukarno dan Mayor Jenderal Suharto.
LATAR BELAKANG SUPARDJO DAN ANALISISNYA
Ketika saya pertama-tama mulai meneliti peristiwa-peristiwa pertengahan
1960-an, saya terkesima oleh keganjilan keterlibatan Supardjo dalam
G-30-S. Namanya disebut dalam pengumuman radio yang kedua (Dekrit no. 1) pada 1 Oktober 1965 sebagai orang nomor dua dalam hierarki
G-30-S; ia sebagai wakil komandan, yang berada langsung sesudah nama komandannya, Letnan Kolonel Untung. Mengapa seorang perwira yang berpangkat lebih tinggi mau menempatkan dirinya di bawah perwira yang berpangkat lebih rendah? Pengumuman keempat (Keputusan no. 2), dibacakan melalui radio di ujung siang, membatalkan semua pangkat di atas letnan kolonel. Mengapa seorang perwira militer karier dengan tanda jasa, yang telah bekerja keras untuk meraih posisi tinggi selama dua puluh tahun, ikut ambil bagian dalam suatu aksi yang akan berke- sudahan dengan penurunan pangkatnya? Akan berarti apa pembatalan pangkat yang lebih tinggi itu ketika, di sekitar saat pengumuman itu dikumandangkan, Supardjo sedang duduk di depan presiden berseragam lengkap dengan lencana brigadir jenderalnya?
Kehadiran Supardjo di Jakarta pada saat aksi itu sendiri sudah menimbulkan tanda tanya karena ia semestinya ditempatkan jauh di Kalimantan Barat, sebagai komandan pasukan di sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Jabatan resmi Supardjo adalah sebagai Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga.1 Perwira-perwira lain yang terlibat dalam G-30-S, seperti Letnan Kolonel Untung, Kolonel Latief, dan Mayor Soejono, memimpin pasukan-pasukan mereka di Jakarta. Tapi Supardjo agaknya tidak dapat menyediakan pasukan apa pun untuk aksi itu. Lalu, apa tujuan pelibatan dirinya jika ia tampil sebagai pemain perseorangan belaka dan tidak mempunyai pasukan untuk disumbangkan? Ia tidak mungkin terlibat secara berarti dalam perenca- naan aksi 1 Oktober karena selama bulan-bulan sebelumnya ia berada di sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Lalu, jika ia tidak terlibat dalam perencanaan, mengapa ia mau ikut di dalamnya? Ia bukanlah teman lama yang akrab dan terpercaya bagi para perwira yang lain. Ia berasal dari komando militer Jawa Barat (Siliwangi), sedangkan Untung dan Latief dari komando Jawa Tengah (Diponegoro), dan Soejono seorang perwira AURI yang berpangkalan di Jakarta. Bagaimana bisa Supardjo tergelung dalam kelompok ini pada awalnya?
Kedudukan Supardjo yang istimewa sebagai orang luar dan orang dalam itu menyebabkan dokumen ini menjadi sangat berharga. Ia dapat mengamati peristiwa-peristiwa dari sudut seorang pengamat yang berjarak. Ia memulai tulisannya dengan menyatakan bahwa ia terlibat dalam G-30-S hanya selama tiga hari – artinya pada 30 September, 1 Oktober, dan 2 Oktober – dan ini merupakan waktu yang sangat pendek jika “dibandingkan dengan seluruh persiapan.” Di sisi lain, Supardjo adalah orang dalam. Ia ada bersama para pimpinan inti di tempat per- sembunyian mereka di pangkalan udara Halim, berbicara dengan mereka dari menit ke menit tentang bagaimana aksi harus berlangsung. Mereka memercayainya untuk bicara dengan Presiden Sukarno atas nama mereka. Pada saat aksi dimulai tidak ada orang lain yang dekat dengan penggerak inti seperti Supardjo.
Paling sedikit dokumen ini dapat membantu menjelaskan beberapa keliru gagas tentang peran Supardjo. Karena dialah perwira berpangkat tertinggi dalam G-30-S, banyak pengulas yang salah menduga bahwa dia seorang pemimpin kunci gerakan ini, jika bukan pimpinan yang paling kunci. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia waktu itu dalam memoarnya menggambarkan Supardjo sebagai “komandan taktis kup yang sebenarnya.”2 Otobiografi Suharto menyatakan bahwa dalam percakapan pribadi Sukarno pernah mengatakan bahwa seluruh gerakan ada di bawah pimpinan Supardjo.3 Yang lain lagi mendesakkan bahwa ia komandan pasukan yang menduduki Lapangan Merdeka.4 Pada 1966 pengacara Untung, dalam usaha sia-sia untuk melindungi kliennya, menyatakan di depan mahkamah bahwa Supardjo adalah dalang dari seluruh komplotan dan bahwa Untung hanya mengikuti perintah perwira atasan belaka.5 Dokumen Supardjo sendiri mengungkapkan bahwa ia bukan pimpinan gerakan dan juga tidak memimpin pasukan apa pun dalam G-30-S.6
Penjelasan Supardjo pribadi tentang bagaimana ia tiba di Jakarta mungkin saja benar. Di depan mahkamah ia mengatakan bahwa ia meninggalkan Kalimantan karena anak bungsunya sakit keras dan di- perkirakan akan meninggal. Istrinya mengirim radiogram, memintanya segera kembali ke Jakarta.7 Begitu tiba di ibu kota, ia memanfaatkan kunjungannya untuk mendengarkan berita terakhir tentang rencana perlawanan terhadap Dewan Jenderal. Ia mengakui bertemu dengan teman lamanya, Sjam, yang menceritakan kepadanya tentang aksi yang akan datang. Supardjo mengatakan, rencananya ia akan kembali ke posnya di Kalimantan sebelum 1 Oktober andaikata atasannya, Omar Dani, tidak memintanya agar tinggal sampai 3 Oktober untuk suatu rapat dengan presiden. Mereka berdua, Dani dan Supardjo, ingin berbicara dengan Sukarno tentang apa yang akan dilakukan untuk mencegah kup Dewan Jenderal. Supardjo mengikuti adanya dua usaha terpisah untuk melawan jenderal-jenderal sayap kanan: rencana Dani di satu pihak dan rencana G-30-S di pihak lain. Gerakan 30 September bergerak lebih dulu dan mendahului rencana Dani.8 Barangkali Supardjo tidak berterus terang dalam memberikan kesaksiannya di depan mahkamah; bisa jadi ia memang sengaja datang ke Jakarta agar dapat bekerja sama dengan Sjam. Barangkali ia sudah sepakat dengan G-30-S sejak awal. Apa pun kemungkinannya, peranan Supardjo dalam G-30-S terbatas; aksi itu bisa berjalan tanpa partisipasinya.
Supardjo lebih berfungsi sebagai penasihat atau asisten ketimbang sebagai panglima. Pada pagi hari 1 Oktober ia dibawa ke istana oleh dua komandan batalyon, yang sebenarnya dengan mudah bisa bertugas sebagai penghubung gerakan dengan presiden. Dalam segala kemung- kinan rencana awal G-30-S untuk bertemu presiden bertumpu pada dua perwira ini saja, yaitu Kapten Sukirno dan Mayor Supeno. Keikut- sertaan Supardjo tidak dapat diperhitungkan karena ia berada jauh di Kalimantan dan tidak ada perintah baginya untuk kembali ke Jakarta.
Gambar 5. Supardjo dan Ibu Supardjo, ca. 1962.
Kredit foto: koleksi keluarga Supardjo
Komandan-komandan batalyon itulah yang diperintahkan masuk Jakarta
dengan membawa pasukan mereka untuk parade Hari ABRI 5 Oktober. Tiba di Jakarta tiga hari saja sebelum aksi, Supardjo bisa jadi mendadak ditambahkan dalam rencana.
Analisis postmortem Supardjo memberi kesan bahwa ia tidak ber- tanggung jawab dalam pengorganisasian G-30-S. Ia menulis sebagai seorang perwira militer yang dibingungkan oleh semua penyimpangan gerakan dari praktik baku kemiliteran. Seandainya ia yang bertanggung jawab, orang dapat berharap bahwa aksi G-30-S akan menjadi operasi yang lebih profesional. Supardjo menjadi brigadir jenderal pada umur empat puluh empat justru karena keberhasilannya yang gemilang dalam pertempuran. Sampai 1965 ia sudah mengabdi dalam ketentaraan selama dua puluh tahun, dari saat perang kemerdekaan, ketika ia menjadi terkenal dalam pertempuran di Jawa Barat melawan pasukan Belanda. Melawan perkubuan Belanda yang seakan tak tertembus itu, ia menggunakan variasi industrial modern dari taktik kuda Troya. Ia mencegat kereta api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya, dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka.9 Belakangan, sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang pengikisan pemberontakan gerakan Darul Islam. Ia juga belajar teori peperangan, setelah menghabiskan satu tahun di sekolah staf tentara Pakistan di Quetta, tempat ia menulis naskah tentang perang gerilya.10
Berbicara tentang masalah-masalah kemiliteran, jenderal bertubuh ramping berkumis tipis inilah ahlinya. Supardjo menulis analisis tentang Gerakan 30 September ketika ia dalam pengejaran. Hidupnya di ambang kehancuran: G-30-S telah ambruk; pangkatnya dilucuti dan ia dipecat dari ketentaraan; ia dipisah- kan dari istri dan sembilan anak-anaknya (yang terus-menerus berada di bawah pengawasan); kawan-kawannya sesama konspirator, seperti Untung, telah disidang dan dijatuhi hukuman mati. Angkatan Darat memburu Supardjo ke seluruh penjuru negeri. Namun terlepas dari hal-hal yang tentu sangat mengecewakannya, ia telah menuliskan tentang G-30-S tanpa rasa dengki atau dendam.
Karena dokumen ini tidak bertanggal, kita hanya dapat menduga- duga kapan waktu penyusunannya. Supardjo menulis analisis ini setidak- tidaknya satu bulan sesudah peristiwa; dia menyebutkan bahwa sepucuk surat yang ditulisnya untuk Sukarno pada awal Oktober 1965 baru dikirim satu bulan kemudian. Kita dapat menduga bahwa ia menulis analisisnya untuk kepentingan Sudisman, yang, sebagai anggota senior inti Politbiro PKI yang masih hidup, mengambil tanggung jawab pada 1966 dengan menulis kritik terhadap kebijakan PKI sebelumnya. Supardjo mencatat pada alinea pertama bahwa analisisnya dimaksudkan untuk membantu
“kawan pimpinan” dalam mengembangkan “analisa secara menyeluruh” tentang G-30-S. Kritik Politbiro diumumkan pada September 1966, sehingga analisis Supardjo kemungkinan ditulis sebelumnya.11
Selama tanya jawab di persidangannya di Mahmilub, Supardjo mengakui telah menyampaikan kritiknya tentang G-30-S secara lisan kepada pimpinan partai yang lain, yaitu Soejono Pradigdo, dalam September 1966 dan bertemu Sudisman satu bulan sesudah itu melalui perantaraan Pradigdo. Hakim Ketua menanyai Supardjo dua kali pada hari terakhir tanya jawab apakah ia pernah menulis “analisa tentang kegagalan G-30-S” dan apakah Sudisman meminta kepadanya agar menulis “semacam otokritik.” Supardjo menjawab singkat tidak.12 Tidak ada alasan untuk memercayai baik kronologi Supardjo bertemu Sudisman maupun pengingkaran Supardjo bahwa ia telah menulis dokumen semacam itu. Sepanjang tanya jawab dalam persidangan jawaban-jawaban Supardjo, wajar saja, selalu singkat dan terkadang mengelak. Jawaban- jawaban Supardjo terutama menjadi berbelit-belit saat ia ditanya tentang hubungannya dengan PKI.
Penyangkalan Supardjo terhadap dokumen itu dapat dipahami karena pada alinea-alinea tertentu bersifat sangat memberatkan. Soal yang belum terjawab adalah mengapa para hakim dan penuntut umum Mahmilub memutuskan untuk tidak mengajukan dokumen itu sebagai bukti dan dengan demikian membuat keberadaannya diketahui umum, terutama karena dokumen itu memperlihatkan bahwa Supardjo menaruh simpati kepada PKI dan Sjam memegang peranan memimpin dalam
G-30-S. Para hakim tidak meneruskan bertanya kepada Supardjo tentang dokumen itu dan tidak mengungkapkan kepada publik bahwa majelis hakim mempunyainya.13 Barangkali mereka berpendapat hal itu akan membikin ruwet alur kisah mereka sehingga akan membuka serang- kaian pertanyaan yang sama sekali baru. Barangkali mereka mewaspadai dampak yang akan timbul dari dokumen tersebut bagi para aktivis PKI yang masih berjuang melawan tentara Suharto. Supardjo menulis anali- sisnya untuk membantu mereka belajar dari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sidang-sidang Mahmilub dimaksudkan sebagai pertunjukan dan bukan untuk mencari kebenaran peristiwa, maka kita tidak perlu terlalu heran jika penuntut umum tidak menggunakan dokumen itu untuk mengajukan perkara mereka. Putusan sudah ditetapkan sebelumnya; mereka hanya perlu bergerak mengikuti arus. Lebih dari itu, mahkamah militer tidak mengikuti aturan-aturan pembuktian yang ketat; para hakim mungkin sudah membaca dokumen ini secara pribadi dan tidak harus memasukkannya ke dalam berkas pengadilan agar ia menjadi bagian dari pertimbangan mereka – jika memang ada pertimbangan yang dibuat.
Para penuntut umum dan hakim memutuskan bukti-bukti apa yang akan muncul di persidangan berdasarkan pertimbangan tentang kegu- naannya bagi pendapat umum. Rezim Suharto tidak pernah menghen- daki masyarakat Indonesia mengkaji peristiwa-peristiwa awal Oktober 1965 dengan kepala dingin dan rasional. Tentara Suharto mengobar- kan kampanye pengejaran secara histeris terhadap PKI dan kemudian menciptakan undang-undang antikomunis yang ganjil, yang berlaku begitu jauh sehingga mendiskriminasi anak cucu orang-orang yang dicap PKI oleh pemerintah. Baru pada 1994 rezim ini mengeluarkan buku putih tentang G-30-S, untuk meyakinkan masyarakat Indonesia melalui argumentasi yang rasional bahwa PKI telah memimpin G-30-S, dan, meskipun begitu, yang diterbitkan adalah campur aduk yang absurd dari pernyataan-pernyataan yang belum dibuktikan kebenarannya dan tidak ada rujukannya.14
Sedikit sekali keraguan terhadap otentisitas dokumen Supardjo, walaupun ia sendiri menyangkalnya. Naskah ini terlalu rumit untuk dipalsukan. Usaha militer untuk memalsu – pengakuan Aidit dan Njono – sungguh-sungguh kasar. Selain itu, agen-agen intelijen militer tidak akan berusaha begitu keras menyusun dokumen yang demikian ruwet lalu tidak menggunakannya sama sekali. Baik Letnan Kolonel Heru Atmodjo, yang dipenjarakan bersama Supardjo, maupun putra Supardjo, Sugiarto, telah memastikan bahwa Supardjo memang menulis dokumen itu.
KEPEMIMPINAN G-30-S
Walaupun Supardjo mengamati G-30-S dari dekat, ia mengaku bahwa ia sendiri pun bingung siapa sebenarnya yang memimpin G-30-S. Gerakan ini, yang mengabaikan prinsip-prinsip baku organisasi kemiliteran, tidak memiliki komandan tunggal secara keseluruhan yang memberikan perintah dalam rantai komando yang jelas. Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil. Supardjo, sang insan militer, menjadi frustrasi karena tidak dapat menetapkan siapa sebenarnya yang memegang kewenangan terakhir. Melukiskan hari terakhir, 2 Oktober 1965, ketika mereka dikepung dan pasukan Suharto semakin mendekat, Supardjo menulis, “Apa yang terjadi pada waktu itu adalah suatu debat, atau diskusi yang langiradis [langdradig, tak berujung pangkal], sehingga kita bingung melihatnya, siapa sebetulnya komandan, kawan Sjamkah, kawan Untungkah, kawan Latifkah atau Pak Djojo [Mayor Soejono]?”
Dalam pikiran Supardjo calon-calon untuk kedudukan pimpinan semestinya Untung atau Sjam, “Seharusnya operasi berada di satu tangan. Karena yang menonjol pada waktu itu adalah gerakan militer, maka sebaiknya komando pertempuran diserahkan saja pada kawan Untung, dan kawan Sjam bertindak sebagai komisaris politik. Atau sebaliknya, kawan Sjam memegang komando tunggal sepenuhnya.” Supardjo benar- benar merasa sangat terganggu oleh masalah kepemimpinan ini. Ia kembali mempersoalkan hal ini dalam bagian belakang analisisnya, “Pertama, perlu ditentukan siapa komandan yang langsung memimpin aksi (kampanye), kawan Sjamkah atau kawan Untung. Kemudian pembantu-pembantu- nya atau stafnya dibagi.” Jelas Sjam memainkan peranan sangat penting di dalam kelompok inti jika Supardjo memandangnya setara dengan Untung selaku pimpinan nominal G-30-S. Walaupun nama Untung di depan umum ditempatkan sebagai komandan (dalam pernyataan pertama yang dibacakan di radio), tampaklah bahwa Sjam yang namanya tidak disiarkan itu setidak-tidaknya mempunyai bobot yang sama dalam proses pengambilan keputusan pada saat aksi dimulai.
Bukannya rantai komando, G-30-S justru menciptakan apa yang Supardjo namakan baris. Perkataan yang dipakainya ialah sjaf, mengi- ngatkan pada baris-baris seperti orang shalat di masjid. Supardjo melihat ada tiga baris: “a) Kelompok Ketua, b) Kelompok Sjam cs., c) Kelompok Untung cs.” Dengan “Kelompok Sjam cs.,” rupanya Supardjo bermaksud menyebut kelompok Biro Chusus: Sjam, Pono, dan Bono. Dengan “Kelompok Untung cs.,” agaknya yang ia maksud ialah para perwira militer Untung, Latief, dan Soejono. Kelompok pertama, “Kelompok Ketua,” tidak dikenali melalui nama-nama orang, seperti dua kelompok lainnya. Walaupun Supardjo secara tidak langsung menyatakan, bahwa tiga kelompok ini bukan merupakan satu garis komando yang ketat
(turun dari a ke b ke c), istilah “Kelompok Ketua” benar-benar memberi kesan bahwa kelompok ini bagaimana pun ada di atas dua kelompok lainnya. Siapakah yang ada di atas Sjam dan Untung? Pada akhir dokumen jawaban pertanyaan itu menjadi jelas. Belakangan Supardjo menyata- kan bahwa Kelompok Ketua ialah pimpinan PKI: G-30-S merupakan “operasi yang langsung dipimpin oleh partai.” Supardjo menempatkan orang-orang Biro Chusus pada urutan kedua karena mereka berfungsi sebagai pasak penyambung antara pimpinan PKI dan personil militer. Walaupun barangkali Sjam berbagi komando dengan Untung pada hari aksi dimulai, sebenarnya ia tetap berdiri di atas Untung karena ia bagian dari “partai” yang merupakan pimpinan G-30-S sebenarnya.
Kita hendaknya tidak beranggapan bahwa Supardjo mempunyai pe- ngetahuan langsung dan rinci tentang keterlibatan partai dalam gerakan ini. Karena kontaknya dengan PKI hanya melalui Sjam, maka pendapat Supardjo bahwa “partai” memimpin G-30-S pastilah didasarkan atas pe- nyimpulan saja. Mengamati Sjam memainkan peranan memimpin dalam G-30-S dan meyakini bahwa Sjam bertindak atas perintah petinggi- petinggi PKI, Supardjo menyimpulkan bahwa “partai” adalah pimpinan sebenarnya. Setidak-tidaknya ia me-ngetahui bahwa Aidit ada di Halim dan bahwa Sjam berunding dengan Aidit ketika aksi dilakukan. (Supardjo bertemu Dani pada 1 Oktober malam hari untuk minta pesawat terbang AURI untuk melarikan Aidit ke Jawa Tengah). Namun, Supardjo tidak mungkin mengetahui siapa lagi, jika pun memang ada, orang partai yang terlibat. Tidak sepatah kata pun dalam dokumen itu yang menyatakan bahwa Supardjo mengetahui peranan masing-masing yang dimainkan oleh Aidit, Politbiro, dan Comite Central. Sebagai seorang tentara, ia tidak akan mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang proses pengam- bilan keputusan di dalam partai. Ketika Supardjo bicara tentang “partai,” hendaknya kita tidak memahaminya seakan-akan ia tahu dengan pasti bahwa pimpinan partai secara keseluruhan telah merancang G-30-S, alih- alih mendukung atau mengetahui tentangnya. Bagi Supardjo, “partai” ialah kependekan dari Aidit dan tokoh-tokoh lain tak dikenal di atas Sjam. Dakwaan Supardjo bahwa “partai” memimpin G-30-S tidak membuktikan bahwa PKI bertanggung jawab sebagai satu lembaga. Ia mungkin hanya bisa tahu dengan pasti bahwa Sjam memimpin G-30-S dan dengan satu atau lain cara juga bekerja sama dengan Aidit.
Menurut penglihatan Supardjo, Sjam adalah penghubung antara
Kelompok Ketua dan para perwira militer yang menyediakan dirinya untuk melayani partai. Dengan demikian Sjam mempunyai wewenang lebih besar di dalam G-30-S dibanding para perwira tersebut. Mengingat pernyataan Supardjo, kesaksian Sjam tentang hal ini mungkin sekali benar, “Dalam G-30-S ini saja pegang pimpinan politiknja dan sdr Untung pegang pimpinan militernja, tetapi pimpinan militer ini dibawah pimpinan politik. Djadi segala kejadian jang terjadi dalam G-30-S adalah saja jang bertanggung djawab.”15
Dalam persidangannya Supardjo mengakui bahwa ia menjadi terlibat di dalam G-30-S karena hubungannya dengan Sjam. Ia bertemu Sjam pertama kali, dikatakannya, pada 1965 dan kadang-kadang meng- gunakannya sebagai sumber intelijen militer. Bagi Supardjo, Sjam adalah orang yang memiliki banyak koneksi dan informasi melimpah tentang soal-soal politik dan militer. Ia mengenal Sjam baik sebagai “wakil” PKI dan sebagai “intel tentara” yang mempunyai kartu identitas tentara.16
Ketika Supardjo terbang ke Jakarta dari front Malaysia pada 28 September
1965, ia langsung menuju ke rumah Sjam hanya beberapa jam sesudah mendarat. Ia mengunjungi Sjam lagi malam berikut dan berdiskusi dengannya tentang aksi yang akan datang. Pada 30 September malam, Supardjo pergi lagi ke rumah Sjam dan berangkat bersama dengannya ke pangkalan AURI di Halim untuk memulai aksi. Supardjo tidak banyak dikenal, kalau bukan sama sekali tidak dikenal, oleh para perwira lain dalam G-30-S seperti misalnya Untung dan Latief.
Dalam analisis postmortem-nya Supardjo menjelaskan bahwa ia bersedia bergabung dengan G-30-S karena ia berpikir partai mengetahui apa yang sedang terjadi. Ketika itu PKI mempunyai nama baik karena disiplin yang tinggi dan terorganisasi secara ketat. Bagaimana pun juga, PKI merupakan organisasi raksasa dengan jutaan anggota di seluruh negeri, dari para menteri dalam kabinet Sukarno sampai ke petani buta huruf di desa-desa terpencil yang tidak mudah dicapai, dan mampu menjalankan kegiatan-kegiatan yang keragamannya mengesankan. PKI menyelenggarakan sekolah-sekolahnya sendiri, menerbitkan surat kabar-surat kabar, mementaskan pertunjukan kesenian. Banyak ilmuwan sukar mengerti mengapa PKI mengorganisasi G-30-S justru karena gerakan itu merupakan operasi yang sedemikian semrawut dan amatiran. Supardjo menduga bahwa partai mempunyai penglihatan yang lebih jauh ketimbang dirinya dan telah merancang sebuah rencana brilian yang tak mungkin salah. Ia mengakui sungguh merupakan kekeliruan yang sangat besar di pihaknya karena telah “menilai kemampuan kawan pimpinan operasi terlalu tinggi.” Ketika ia bergabung dengan G-30-S, ia mempunyai kepercayaan penuh terhadap “pimpinan” kendati ia ragu terhadap kemungkinan gerakan tersebut akan berhasil, “Meskipun fakta- fakta nyata tidak logis. Tetapi percaya bahwa pimpinan pasti mempunyai perhitungan yang ulung, yang akan dikeluarkan pada waktunya. Sesuatu keajaiban pasti akan diperlihatkan nanti, sebab pimpinan operasi selalu bersemboyan: ‘Sudah kita mulai saja, dan selanjutnya nanti jalan sendiri.’”
Penjelasan Supardjo tentang kesediaannya mengikuti G-30-S mungkin dapat memberi petunjuk tentang alasan mengapa para perwira militer lain, seperti Untung, Latief dan Soejono, juga bersedia ikut. Supardjo mengatakan bahwa para perwira militer itu sangat meragukan keberhasilan rencana yang diajukan Sjam dan sekurang-kurangnya ada satu orang yang memutuskan untuk menarik diri.17 Perwira-perwira seperti Supardjo bertahan, kendati ragu, hanya karena mereka percaya kepada kebijaksanaan kepemimpinan sebuah partai yang telah sangat berhasil dalam mengorganisasi jutaan rakyat.
Kebimbangan para pimpinan inti pada hari dimulainya aksi tampaknya merupakan akibat dari ambiguitas dalam peranan mereka masing-masing. Supardjo menampilkan G-30-S sebagai sesuatu yang sejak awal telah terjangkiti ketidakajegan di dalam tubuhnya. Di satu pihak, Sjam adalah pimpinan keseluruhan yang mendorong para perwira militer bergabung dengan jaminan akan berhasil; oleh karenanya para perwira itu tunduk kepada kepemimpinannya. Di pihak lain Sjam, karena telah memulai operasi, bergantung kepada para perwira militer untuk pelaksanaan operasi itu. Ia harus pasrah kepada mereka sementara operasi berjalan karena ia seorang sipil yang tidak dapat memimpin pasukan. Supardjo, walaupun sadar bahwa Sjam adalah pimpinan, bingung melihat pengambilan keputusan dalam kelompok inti dan terpaksa bertanya,
“Siapa sebetulnya komandan?”
Nama-nama para wakil komandan yang diumumkan melalui radio tidak ada hubungannya dengan rantai komando yang sebenarnya. Empat orang yang tersebut dalam daftar nama itu semuanya tidak mempunyai kewenangan dalam G-30-S. Supardjo, yang tersebut di urutan pertama, tidak memimpin satu pasukan pun dalam aksi ini. (Ia mengakui dalam analisisnya bahwa pada hari terakhir ia minta agar diberi kewenangan mengomando sisa-sisa pasukan G-30-S tapi ia tak pernah menerima jawaban tegas dari Sjam dan Untung). Dalam kesaksiannya di ruang sidang Supardjo menyangkal bahwa ia pernah diajak berunding tentang daftar nama-nama wakil komandan; namanya “ditulis menurut kemauan mereka sadja.”18 (Supardjo tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan “mereka” itu. Kita hanya dapat menduga-duga mungkin yang dimaksud ialah Sjam dan Pono). Ketika saya mewawancarai perwira lain yang tercantum dalam daftar sebagai wakil komandan, Letnan Kolonel Heru Atmodjo, ia menyangkal bahwa ia tahu tentang daftar para wakil komandan itu, apalagi ikut menandatanganinya. Ia menyatakan Sjam dan Pono mencantumkan namanya dalam daftar dan belakangan, ketika ia sudah di penjara, Pono minta maaf kepadanya karena telah mencantumkan namanya tanpa minta izin.19 Sjam memerlukan nama empat perwira, satu orang dari setiap angkatan di militer, untuk memperlihatkan bahwa G-30-S mendapat dukungan luas di dalam angkatan bersenjata. Simbolisme serupa ini lebih penting ketimbang sumbangan konkret mereka bagi G-30-S. Barangkali Sjam menduga bahwa mereka akan bahagia karena akan dikenal sebagai wakil komandan seandainya G-30-S berhasil. Supardjo mencatat bahwa “pimpinan” (ini sekali lagi tentu saja Sjam) mengatakan, “Ya, Bung, kalau mau revolusi banyak yang mundur, tetapi kalau sudah menang, banyak yang mau ikut.”
Salah satu aspek paling menarik dalam analisis Supardjo ialah pembedaan yang dibuatnya antara rencana semula dan rencana perbaikan. Kesalahan “partai,” menurut Supardjo, adalah merebut rencana yang sudah dibuat para perwira “demokrasi revolusioner” untuk mengha- dapi kepemimpinan militer sayap kanan. Ia menyebut adanya rencana semula yang terdiri atas dua tahap, dengan tahap pertama “hanya terbatas gerakan didalam tubuh AD” dan “bersifat intern AD.” Tujuan tahap pertama ini untuk menyingkirkan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang pro-Amerika dan tidak melibatkan PKI sama sekali. Para perwira militer pendukung Sukarno itu sendiri yang harus melaksanakan tahap pertama rencana ini. Di dalam proses yang tidak dijelaskan oleh Supardjo, rencana tersebut ditinggalkan. Lalu terjadi “dipindahnya rencana operasi yang semula bersifat intern AD, menjadi operasi yang langsung dipimpin oleh partai, sehingga menyebabkan terseretnya partai dan diobrak-abriknya partai.”
Mengikuti penjelasan tersebut, tampaklah bahwa Sjam dan atasannya langsung, Aidit, menyadari adanya perwira-perwira “demokrasi revolusioner” itu dan menunggu mereka untuk bergerak. Supardjo tidak menjelaskan bagaimana, menurut ketentuan-ketentuan rencana semula, para perwira ini harus “merebut pimpinan AD.” Barangkali mereka bermaksud mengikuti rute administratif: mereka akan menekan Sukarno untuk mengganti Yani dan Nasution dengan perwira-perwira yang sungguh-sungguh setia terhadap kebijakan-kebijakannya, dan peng- gantian ini akan mengalihkan atau menyingkirkan perwira-perwira yang pro-Amerika. Atau barangkali para perwira “demokrasi revolusioner” itu diharap akan mengikuti model putsch klasik dan menggunakan pasukan mereka untuk “merebut kepemimpinan AD” secara paksa dengan cara- cara serupa dengan yang ditempuh G-30-S. Supardjo tidak menjelaskan siapa saja perwira-perwira yang terlibat dalam rencana semula ini.
Bahwa Supardjo keberatan dengan PKI mengambil alih apa yang direncanakan sebagai operasi intern militer ditegaskan kepada saya oleh Rewang, mantan anggota Politbiro CC-PKI, yang pernah berbincang dengan Supardjo suatu saat di tahun 1967 ketika mereka berdua ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jakarta. Supardjo mengatakan kepada Rewang barangkali akan lebih baik seandainya PKI tidak “campur tangan” dan membiarkan para perwira militer itu sendiri melawan Dewan Jenderal.20
Menurut Supardjo, dalam tahap pertama rencana aslinya, front kekuatan pro-Sukarno yang seluas-luasnya akan menumbangkan jenderal-jenderal yang sudah berkomplot dengan Amerika Serikat dan Inggris. Sekali tahap pertama ditunaikan dan Angkatan Darat sudah ada di tangan perwira-perwira Sukarnois dan berhaluan kiri, PKI akan mampu memobilisasi massanya tanpa perlu takut represi militer. Demonstrasi-demonstrasi dan aksi-aksi PKI akan “dibayangi oleh militer- militer yang progresif.” Jika tahap pertama revolusi merupakan gerakan para perwira militer yang sepenuhnya nasionalis, tahap kedua akan merupakan “gerakan PKI seluruhnya.” Supardjo tidak menyebut kapan dan bagaimana tepatnya rencana asli ini ditinggalkan.
Dalam kesaksiannya di sidang pengadilan Supardjo menyatakan bahwa ia dan para perwira militer lain berpikir tentang bagaimana caranya melawan jenderal-jenderal yang anti-Sukarno. Ia menegaskan bahwa ia dan Dani merencanakan bertemu presiden pada 3 Oktober untuk membicarakan masalah Dewan Jenderal dengannya.21 Sukarno sendiri khawatir terhadap kup Angkatan Darat pada pertengahan 1965.
Ia yakin bahwa CIA sedang bersiasat untuk menentangnya, terutama sejak kedatangan Marshall Green sebagai Duta Besar Amerika Serikat pada bulan Juli.22 Green adalah Duta Besar untuk Korea Selatan pada 1961 ketika Jenderal Park Chung Hee melancarkan kup terhadap peme- rintahan sipil Chang Myon dan menggantikannya dengan pemerintahan junta militer.23 Kita dapat menduga bahwa kaum loyalis Sukarno di kalangan militer sudah banyak berdiskusi tentang kemungkinan adanya kup dan melontarkan banyak gagasan tentang bagaimana melawan jenderal-jenderal Angkatan Darat sayap kanan. Bagi Supardjo G-30-S berasal dari inisiatif partai (dari sudut Supardjo berarti Sjam). Partai mencampuri rencana kalangan perwira pro-Sukarno yang hendak meng- hadapi Dewan Jenderal itu sendiri.
Kesimpulan Supardjo dapat diandalkan: G-30-S gagal justru karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang tahu sedikit sekali tentang prosedur-prosedur kemiliteran yang tepat. Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbul- kan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti. Ia tidak merumuskan dengan tepat sifat peranannya dan batas kewenangannya. Para perwira mengabaikan perhitungan militer mereka yang ketat dan menyerahkan kepercayaan mereka kepada Sjam karena ia menyatakan bekerja atas nama partai politik yang kuat, terorganisasi baik, dan ber- pengetahuan luas. Dengan campur tangan Sjam sifat militer G-30-S lalu menjadi lemah.
RENCANA
Penggambaran Supardjo tentang pimpinan G-30-S yang tak bernama itu bukanlah penggambaran yang bersifat menyanjung. Ia tokoh yang keras kepala, angkuh, abai terhadap pembimbang, dan bersikeras melaksanakan rencananya. Supardjo menulis, “Waktu diajukan pendapat, apakah kekuatan yang ada dapat mengimbangi, maka jawaban dengan nada menekan, bahwa bila mau revolusi sedikit yang turut, tetapi kalau revolusi berhasil coba lihat nanti banyak yang turut.” Di saat lain dalam proses persiapan mereka yang bimbang ditakut-takuti hingga terdiam. Ketika seseorang (mungkin Supardjo sendiri) bertanya apa yang akan dilakukan pimpinan jika tentara dari Jawa Barat, yang dekat dengan Jakarta, melancarkan serangan balik, tanggapan yang diberikan tidak menjawab pertanyaan, tapi hanya memerintahkan supaya orang tidak kehilangan komitmennya, “Sudah, jangan pikir-pikir mundur!” Seakan- akan sekadar berpikir tentang rencana cadangan untuk menghadapi keadaan darurat saja sudah dipandang sebagai ajakan untuk menyerah. Supardjo menyebut bahwa keraguan akan loyalitas pasukan terhadap aksi ini “ditutup dengan semboyan ‘apa boleh buat, kita tidak bisa mundur lagi.’” Pimpinan begitu berseregang melancarkan aksi tersebut sehingga tidak membolehkan orang bertanya, alih-alih mengkritik. Gertakan ini sampai begitu jauh sehingga para pelaku gerakan di daerah-daerah yang melapor kepada “pimpinan” di Jakarta merasa terpaksa harus menyatakan bahwa mereka telah siap untuk melaksanakan aksi. Supardjo menulis,
“Waktu info-info masuk dari daerah-daerah, sebetulnya daerah belum dalam keadaan siap sedia. … Di Bandung [belum] siap sepenuhnya tapi untuk tidak repot-repot menghadapi pertanyaan-pertanyaan dijawab saja ’Sudah beres.’” Mengingat pendapat Supardjo bahwa “partai” yang memimpin G-30-S, pimpinan congkak yang tak bernama ini tentulah Sjam.24
Mengikuti penuturan Supardjo, Biro Chusus mengelabui diri sendiri dengan menganggap ambisinya sebagai pencapaian. Biro Chusus percaya bahwa janji dukungan dari seorang perwira otomatis berarti bahwa semua perwira dan prajurit bawahannya akan bergabung dalam aksi ini. Dengan adanya tekanan agar menyenangkan hati pimpinan yang suka menggertak, beberapa anggota Biro Chusus menjanjikan lebih dari yang mampu mereka laksanakan. Pimpinan tidak pernah mempe- lajari dengan teliti pasukan mana yang sebenarnya akan bisa bergabung. Supardjo menulis, “Biasanya kalau ada 10 orang saja dalam satu peleton yang sudah dapat kita hubungi, dilaporkan bahwa seluruh peletonnya sudah kita (kawan). Kalau ada seorang dan yon yang kita hubungi, maka ada kemungkinan bahwa seluruh batalyon itu sudah kawan.” Ulasan Supardjo dapat dipercaya karena gerakan ini agaknya mengharapkan partisipasi brigade Latief (yang terdiri dari tiga batalyon) atau sekurang- kurangnya sebagian darinya dan tentunya menjadi kecewa ketika ternyata tidak lebih dari beberapa peleton saja yang muncul.
Ketika anggota-anggota Biro Chusus dari berbagai penjuru negeri mengirim laporan yang menggembirakan, Sjam tampaknya menjadi yakin bahwa G-30-S tidak mungkin gagal. Ia mendapat kesan bahwa tentara di segenap penjuru negeri siap untuk sebuah pemberontakan. Supardjo menyimpulkan bahwa G-30-S cenderung dirancang lebih sebagai sumbu sebuah bom ketimbang bom itu sendiri. Aksi di Jakarta diharapkan akan menyulut serangkaian aksi-aksi serupa di luar Jakarta. Gerakan 30 September tidak memikirkan keharusan mengoordinasi berbagai aksi itu dengan cermat dan menyusun cetak biru secara rinci tentang bagaimana gerakan itu harus diperluas. Supardjo menulis, “Strategi yang dianut dalam gerakan keseluruhan adalah semacam strategi: ‘Bakar petasan.’ Cukup sumbunya yang dibakar di Jakarta dan selanjutnya mengharap dengan sendirinya bahwa merconnya akan meledak di daerah-daerah.” Pimpinan G-30-S tidak memeriksa sebelumnya apakah petasan-petasan sudah siap meledak; mereka sekadar memercayai “suara-suara yang belum diperiksa kebenarannya,” bahwa petasan-petasan tersebut sudah siap. Pimpinan tidak membangun saluran-saluran komunikasi yang jelas antara Jakarta dan daerah-daerah sehingga mereka dapat memastikan bahwa daerah-daerah memang paham tentang rencana mereka. Sjam tidak menggunakan telepon atau radio untuk menyampaikan instruksi ke daerah-daerah; ia mengirim penghubung yang membawa instruksi itu. Tidak semua penghubung tiba di tempat tujuan tepat waktu, “Masih banyak penghubung-penghubung belum sampai di daerah-daerah yang dituju dan peristiwa sudah meletus (kurir yang ke Palembang baru sampai di Tanjung Karang).” Keputusan untuk memulai aksi pada 1 Oktober agaknya baru ditetapkan satu hari sebelumnya. Untuk kurir-kurir yang bergantung pada bis, kereta api, dan feri antarpulau untuk menempuh jarak yang jauh waktu satu hari tentu saja tidak cukup.
Pembahasan Supardjo tentang “teori sumbu” terasa mendua. Kadang kala tampak seakan ia berbicara tentang mercon sebagai pemberontakan kaum sipil. Dalam salah satu bagian ia menggunakan istilah pemberontakan rakyat, “Saya berpendapat, bahwa strategi kawan pimpinan adalah strategi menyundut sumbu petasan di ibu kota, dan diharapkan mercon yang akan meledak dengan sendirinya, yang berupa pemberontakan Rakyat dan perlawanan di daerah-daerah setelah mendengar isyarat tersebut.” Mengingat kutipan ini tertera pada alinea tentang kekuatan pasukan, mungkin sekali Supardjo sedang memikirkan masalah “pemberontakan rakyat dan perlawanan” oleh pasukan tentara, bukan orang-orang sipil. Suatu “pemberontakan rakyat” akan berarti suatu pemberontakan oleh pasukan berpandangan progresif yang akan membangkitkan massa di belakang mereka. Kalimat berikutnya menjelaskan tentang konsekuensi dari strategi menyulut sumbu ini: Pimpinan gerakan “tidak bekerja dengan perhitungan kekuatan yang sudah kongkrit.” Maka kelihatannya yang dirujuk Supardjo ke petasan ialah pasukan militer bukan sipil.
Jika kita harus memercayai kesaksian Sjam di ruang pengadilan, ia memperhitungkan G-30-S akan mempunyai enam batalyon: satu dari brigade Latief, satu dari pasukan kawal istana Untung, satu dari pasukan AURI Soejono, satu dari Jawa Tengah, satu dari Jawa Timur, dan satu terdiri atas orang-orang sipil dari PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan PKI.25 Patut diragukan, apakah enam batalyon akan memadai, apalagi ternyata hanya lima batalyon yang terdiri atas pasukan konkret dan tak satu pun melibatkan pasukan dengan kendaraan berlapis baja (dalam kesaksiannya Sjam tidak menyebut tentang tidak adanya tank). Pada saat aksi berlangsung G-30-S tidak dapat mengerahkan seluruh batalyon. Gerakan ini hanya mempunyai sebagian dari kompi- kompi Untung dan sebagian kecil dari pasukan Latief. Kecuali satu kompi yang dikirim ke Gambir, batalyon sukarelawan sipil sepanjang hari hanya bersiap siaga saja. Pasukan Soejono tetap di pangkalan udara Halim dan memberikan sedikit bantuan yang berarti kepada G-30-S selain memasok senjata dan amunisi.
Walaupun para penggerak G-30-S memperhitungkan mereka akan memperoleh pasukan lebih banyak dari yang kemudian muncul di Lubang Buaya pada malam hari 30 September, mereka tidak terlalu peduli terhadap kekuatan pasukan. Mereka tidak berpikir mereka memerlukan kekuatan yang mencengangkan untuk menguasai ibu kota. Dalam doku- mennya Supardjo mengakui ia dapat menerbangkan tiga batalyon dari Kalimantan. Prajurit-prajurit ini, yang berjumlah kira-kira 2.500 orang, akan dapat menambah kekuatan pasukan G-30-S sekitar seratus persen. Gerakan 30 September berlangsung tanpa pasukan Supardjo. Barangkali para pimpinan berpikir bahwa gerak pasukan sedemikian besar-besaran dari Kalimantan ke Jakarta hanya akan menarik perhatian yang tidak se- mestinya. Namun, tampaknya Supardjo berpendapat bahwa pasukannya dapat diterbangkan sesudah aksi berjalan. Jika G-30-S mampu tetap berlawan dan tidak tumbang begitu cepat, gerakan ini akan beroleh kesempatan untuk menambah pasukannya secara substansial.
Supardjo juga mengemukakan bahwa para penggerak G-30-S tidak mempunyai rencana cadangan seandainya mengalami kekalahan. Mereka tidak mempertimbangkan aksi ini dengan cukup cermat untuk menangkap titik-titik lemahnya dan bagaimana ia bisa gagal. Tidak ada rencana B. Supardjo merasa ia harus mengajar anggota-anggota pimpinan partai yang masih hidup dengan pelajaran dasar kemiliteran, “Menurut lajimnya dalam operasi-operasi militer, maka kita sudah memikirkan ke- munduran waktu kita maju dan menang, dan sudah memikirkan gerakan maju menyerang, waktu kita dipukul mundur. Hal demikian, maksud kami persoalan mundur dalam peperangan bukanlah persoalan hina, tetapi adalah prosedur biasa pada setiap peperangan atau kampanye.” Sjam, yang agaknya menjadi sasaran kritik Supardjo, begitu lalai sehingga tidak membikin “gambaran pertempuran (picture of the battle)” untuk mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan tak terduga. Secara tidak langsung Supardjo menyatakan Sjam berpikir bahwa sekadar menimbang langkah mundur saja sudah merupakan pertanda kelemahan yang memalukan. Dengan bergegas menyerbu ke medan pertempuran Sjam mengikuti semangat Napoleon “on s’engage et puis on voit” (seseorang menerjunkan diri lalu melihat apa yang terjadi), tapi tidak memiliki kecerdikan legendaris sang jenderal dan, tentu saja, legiun prajuritnya yang terlatih dan terorganisasi dengan baik.
Bukan saja tidak ada rencana B, tapi rencana A pun tidak sepenuh- nya dipersiapkan. Dalam sebuah alinea sangat penting Supardjo menulis, “Rencana operasinya ternyata tidak jelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanya pada pengambilan 7 jendral. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak jelas, atau bagaimana kalau gagal juga tidak jelas.” Supardjo me- nambahkan, “Karena tidak ada uraian yang jelas bagaimana aksi itu akan dilaksanakan maka terdapat kurang kesepakatan tentang gerakan itu sendiri di kalangan kawan-kawan perwira di dalam Angkatan Darat.” Banyak kritik Supardjo terhadap G-30-S didasarkan pada paradigma tentang operasi militer yang semestinya: harus ada garis komando yang jelas, hirarki personil demi pembagian kerja yang efektif, agenda yang rinci tentang bagaimana aksi akan berjalan dari awal sampai akhir, dan perencanaan serba kemungkinan yang teliti termasuk skenario alternatif dan rencana mundur. Supardjo mengaitkan kegagalan G-30-S untuk menyusun rencana yang berhasil guna dengan kecongkakan pimpinan, maksudnya terutama Sjam. Congkak, bersikeras untuk terus maju, menutup telinga terhadap kritik, Sjam meyakinkan dirinya sendiri bahwa aksi itu tak mungkin gagal.
PELAKSANAAN RENCANA
Ketiadaan perencanaan yang seksama dan ketakacuhan pimpinan pada prosedur kemiliteran berakibat terhadap kinerja yang luar biasa seram- pangan. Jika seseorang membuat film berdasarkan analisis Supardjo, karyanya tidak akan terlihat seperti film pesanan rezim Suharto, Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu melukiskan para organisator G-30-S sebagai sekumpulan konspirator-konspirator licik yang kejam, yang merencanakan setiap gerak-geriknya sampai seluk-beluk terakhir. Analisis Supardjo mengungkapkan bahwa para konspirator itu sama sekali gelagapan, bimbang, dan berantakan. Bukannya tampil sebagai penjahat-penjahat yang panjang akal dalam tradisi film spionase, mereka lebih seperti pemain-pemain amatir canggung yang, dengan langgam tragis, memainkan komedi kesalahan. Bagi Supardjo G-30-S pada pokoknya menghancurkan dirinya sendiri dan harus menjadi bahan studi kasus tentang bagaimana suatu operasi militer seharusnya tidak dilaksanakan.
Tujuan operasi militer yang sangat terbatas itu tidak sepenuhnya tercapai. “Titik berat seluruh strategi,” sebagaimana dilukiskan Supardjo, ialah menculik tujuh jenderal. Ini gagal karena persiapan yang terburu- buru. Di Lubang Buaya pada pagi buta 1 Oktober, Supardjo dikejutkan oleh kekacau-balauan. Bahkan sampai tahap yang demikian lanjut pun “hal yang penting belum terselesaikan.” Sandi belum diputuskan, amunisi belum datang, dan pasukan Angkatan Udara datang terlambat. Para prajurit dan pemuda sipil secara serampangan dibagi ke dalam satuan- satuan penculikan, “Penentuan dari peleton-peleton yang diharuskan untuk tiap-tiap sasaran, tidak dilakukan dengan teliti. Misalnya, terjadi bahwa sasaran utama [kemungkinan Nasution] mula-mula diserahkan pelaksanaannya kepada peleton dari pemuda-pemuda yang baru saja memegang bedil, kemudian diganti dengan peleton lain dari tentara, tetapi ini pun bukan pasukan yang secara mental telah dipersiapkan untuk tugas-tugas khusus.” Regu yang dikirim untuk menculik Nasution dipimpin oleh seorang prajurit, padahal enam regu lainnya semuanya dipimpin seorang kopral, sersan, atau letnan. Pimpinan gerakan menge- tahui bahwa menculik Nasution dan Yani akan menjadi tugas tersulit karena kedua jenderal ini mempunyai pengawal bersenjata yang ditem- patkan di depan kediaman mereka. Itulah sebabnya regu penculikan Nasution dan Yani secara substansial lebih besar ketimbang regu-regu lain; sekitar seratus orang dikirim dalam empat truk untuk menangkap Nasution, dibandingkan dengan hanya sembilan belas orang untuk Suprapto. Prajurit-prajurit yang paling berpengalaman dan berbakat tidak ditugasi untuk memimpin regu-regu dengan prioritas utama. Nasution lolos, dan Yani ditembak di rumahnya.
Supardjo tidak menjelaskan apa sasaran G-30-S, tapi orang menduga untuk menangkap hidup-hidup para jenderal tersebut. Regu-regu pencu- likan menggunakan kekerasan hanya ketika menghadapi perlawanan, dan sekalipun begitu mereka agaknya tidak bermaksud untuk membunuh jenderal-jenderal itu. Seorang prajurit yang ikut dalam penculikan, Sersan Mayor Bungkus dari pasukan kawal istana, menceritakan kepada saya,
ia menduga rencana semula ialah untuk menghadapkan para jenderal kepada Sukarno. Rencana itu harus ditinggalkan karena tiga jenderal mengalami luka berat atau tewas. Gerakan 30 September tidak mungkin menyeret tiga tubuh berdarah-darah ke hadapan presiden. Begitu rencana semula gagal, tiga jenderal lainnya yang masih hidup dianggap tanpa guna. Pada saat itu salah seorang dalam gerakan memutuskan bahwa pilihan yang terbaik ialah membunuh semuanya, termasuk juga letnan yang menjadi sasaran salah ambil, dan kemudian menyembunyikan mayat- mayat mereka. Namun begitu mungkin juga G-30-S tidak bermaksud menghadapkan jenderal-jenderal itu kepada Sukarno. Bungkus juga mengatakan, pada saat pemberian arahan pasukan diberi tahu bahwa jenderal-jenderal itu akan melancarkan kup sehingga mereka tidak boleh dibiarkan lolos dari penangkapan.26
Kesalahan besar yang lain, menurut Supardjo, adalah G-30-S tidak mengambil keuntungan dari sebagian besar pasukannya. Kompi-kompi dalam batalyon-batalyon dari Jawa Tengah dan Timur tidak ditugasi untuk mencapai tujuan strategis apa pun dan akhirnya menjadi satuan- satuan penghias yang sia-sia. Sebagian besar ditugasi menjaga istana presiden yang kosong. Mereka menganggur saja di tengah lapangan depan istana sampai sore hari. Para penggerak G-30-S barangkali mengetahui bahwa Sukarno tidak ada di istana setidaknya pada pukul 9.30 pagi, ketika Supardjo kembali ke Halim dengan helikopter dari istana. Tapi dua batalyon itu tidak diberi tugas yang berbeda. Memang tampaknya sejak awal pimpinan tidak mempunyai tujuan khusus bagi mereka. Seperti yang digambarkan Supardjo tentang rencana itu, “Satu batalyon diperki- rakan dari Jateng dapat digunakan, dan satu batalyon dari Jatim bisa digunakan sebagai figuran.” Rupa-rupanya tugas mereka sekadar untuk memengaruhi masyarakat dengan dampak psikologis karena melihat adanya pasukan-pasukan yang menduduki pusat kekuasaan negara.
Sebagai seorang ahli siasat yang berpengalaman, Supardjo tidak menyalahkan G-30-S karena mempunyai pasukan terlalu kecil. Ia tahu kekuatan pasukan bukan faktor mahapenting dalam menentukan ke- menangan atau kekalahan. Penempatan pasukan yang tepat, kecepatan bergerak, dan unsur pendadakan dapat mengimbangi kurangnya jumlah pasukan. Ia menulis bahwa “satu batalyon yang panik akan dapat dikuasai oleh hanya kekuatan satu regu saja.” Ia percaya bahwa G-30-S tidak memerlukan jumlah pasukan yang besar, tapi cukup penggunaan pasukan secara bijaksana.
Sebagaimana G-30-S tidak mengambil keuntungan penuh dari pasukan yang ada di bawah komandonya, aksi ini juga tidak mengambil keuntungan dari stasiun radio. Supardjo mengenal nilai komunikasi radio dalam pelaksanaan kekuasaan. Penguasaan atas pemancar-pemancar radio nasional “dapat disamakan dengan puluhan divisi tentara.” Tapi G-30-S menggunakan radio hanya “untuk membacakan beberapa pengumuman saja.” Supardjo berpendapat bahwa sesuatu aksi yang diorganisasi dengan seksama harus menyiapkan arus propaganda terus-menerus dan harus menjelaskan tujuannya dengan rinci dan teliti. Masyarakat hampir tidak dapat memahami, apalagi mendukung, G-30-S berdasarkan pengumuman-pengumuman singkat yang membingungkan. Supardjo mengemukakan kekurangan ini namun tidak memberi penjelasan me- ngenainya.
Bahwa G-30-S menyia-nyiakan kekuatan yang sudah dimilikinya itu satu masalah. Masalah lain ialah bahwa kekuatan G-30-S sejak awal rentan. Gerakan ini tidak menguasai pasukan yang mengerti dan mendukung tujuannya. Cukup mengejutkan, dari semua pasukan yang terlibat, Supardjo melihat hanya satu kompi saja yang secara ideologis setia kepada G-30-S, “Waktu dihitung-hitung kembali kekuatan yang bisa diandalkan hanya satu kompi dari Cakrabirawa.” Adapun pasukan- pasukan lain, seperti misalnya dari garnisun Jakarta (di bawah Latief ) dan dari AURI (di bawah Soejono), sekadar mengikuti arahan dari perwira- perwira komandan mereka dan memiliki sedikit saja atau tidak sama sekali kesetiaan pribadi kepada gerakan ini. Para perwira dari Batalyon 530, yang menghabiskan hari berpangku tangan di depan istana, setuju menyeberang saat lepas tengah hari dengan membawa seluruh batalyon- nya masuk markas Kostrad, di sisi timur Lapangan Merdeka.
Desersi Batalyon 530 itu bukan hanya sebagai akibat kurangnya kesetiaan ideologis kepada pihak para perwira dan prajurit, tetapi juga sebagai akibat tidak adanya ransum makan untuk mereka. Bukan lagi rahasia bahwa pasukan ini berpaling ke markas Kostrad saat mereka kelaparan. Sejak ditempatkan untuk menjaga istana pada pagi buta, pasukan tidak diberi sarapan atau makan siang. Supardjo, dengan penga- laman kemiliteran yang tentu pernah mengajarkan betapa penting per- bekalan makan, menegaskan kesalahan ini, “Semua kemacetan G-30-S pasukan disebabkan di antaranya the lack of food [ketiadaan makanan]. Mereka tidak makan pagi, siang dan malam.” Supardjo mengatakan bahwa kelompok inti perencana di Halim mengetahui pasukannya tidak mendapat makan hanya sesudah Supardjo mengusulkan untuk menyerang Kostrad, “Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerbu ke dalam kota. Pada waktu itu Batalyon Jateng [454] berada di Halim. Batalyon dari Jatim [530] sudah ditarik ke Kostrad dengan alasan makanan.”
Dengan pasukan yang digelar dengan sangat buruk, tidak siap secara ideologis, dan demoralisasi akibat lapar, G-30-S terbukti menjadi sebuah bencana dalam kerangka pandang militer. Gerakan ini tidak mampu bertahan cukup lama sehingga masyarakat dapat berbaris di belakangnya. Gerakan 30 September mengumumkan keberadaannya melalui RRI Pusat sekitar pukul 7.15 pagi, dan kira-kira dua belas jam kemudian pasukan yang setia kepada Suharto merebut kembali stasiun radio serta menyatakan melalui udara bahwa G-30-S telah dipatahkan.
PARTISIPASI KAUM SIPIL
Gerakan 30 September tidak dirancang sebagai aksi militer murni. Para konspirator telah merekrut anggota-anggota organisasi afiliasi PKI untuk menjadi pasukan bantuan dan menyediakan bantuan logistik, terutama makanan dan air. Supardjo mencatat, pasukan menjadi kelaparan karena orang-orang sipil yang seharusnya memasok mereka tidak muncul. Jakarta, menurut Supardjo, dibagi menjadi tiga sektor (utara, tengah, dan selatan) dan ada seorang komandan yang ditugasi di setiap sektor. Para komandan sektor itu “bertugas di antaranya mengurus soal-soal administrasi terhadap pasukan yang beroperasi dan berada di masing- masing sektornya.” Tapi pada saat aksi dimulai para komandan sektor ini tidak dapat ditemukan di mana pun, “Waktu sektor-sektor itu dihubungi, semua-semua tidak ada di tempat.” Semua komandan sektor telah meng- hilang. Ternyata “semua sektor seperti yang ditetapkan, hanya tinggal di atas kertas saja.” Supardjo mengecam para penyelenggara aksi karena tidak memeriksa sektor-sektor sebelumnya dan memastikan bahwa para pimpinan sektor tahu benar apa yang harus mereka lakukan.
Analisis Supardjo tentang sektor-sektor ini ternyata tidak tepat. Hal ini sekali lagi memperlihatkan dirinya tidak begitu mengenal PKI dan aspek-aspek tertentu dalam G-30-S. Njono, ketua PKI Comite Djakarta Raja (CDR) dan anggota Politbiro, di depan sidang Mahmilub terhadap dirinya menyatakan bahwa ia membagi ibu kota dalam sektor-sektor.27
Tapi menurutnya ada enam sektor, bukan tiga, seperti dikemukakan Supardjo, dan bahwa personil yang dikelompokkan dalam sektor-sektor ini adalah sukarelawan sipil yang tidak bertanggung jawab terhadap pemasokan makanan untuk pasukan reguler.28 Njono telah mengerahkan dua ribu orang, umumnya dari organisasi pemuda PKI, Pemuda Rakjat, untuk bertugas sebagai tenaga cadangan untuk operasi-operasi militer. Pemuda-pemuda ini telah menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya dalam bulan-bulan sebelumnya. Sukarelawan yang menduduki gedung telekomunikasi berasal dari satu sektor, yaitu sektor Gambir. Bahwa ada kebingungan di kalangan peserta G-30-S dapat dilihat dari ingatan mereka yang berlawanan perihal sektor ini. Sementara Supardjo mengira bahwa sektor-sektor itu semestinya memasok makanan bagi pasukan, Njono berpikir sebaliknya, bahwa pasukan-pasukan di Lubang Buaya itulah yang semestinya menyediakan makanan untuk pasukan. Njono mengenang bahwa para sukarelawan di bawah pimpinannya sepanjang hari tidak berbuat apa-apa sambil menunggu nasi, seragam, dan senjata dari pasukan yang ada di Lubang Buaya. Sepanjang hari pada 1 Oktober itu perintah para perwira untuk sektor-sektor hanyalah bersiaga. Njono menyadari bahwa G-30-S sudah “macet” ketika sampai lepas tengah hari persediaan yang dijanjikan belum kunjung datang. Menurut kesaksiannya, tenaga bantuan sipil ini tetap tidak bergerak, mereka “pada umumnya belum berbuat apa-apa.”29 Sudah diketahui bahwa sukarelawan yang muncul membantu G-30-S adalah mereka yang menduduki gedung telekomunikasi di dekat Lapangan Merdeka pada sore hari. Cerita Njono tentang “sektor Gambir” dan kekacauan dalam hal persediaan merupakan penjelasan yang dapat dipercaya tentang kepasifan sektor-sektor pada umumnya.
Seorang sipil yang termasuk dalam sektor Gambir ialah Juwono, nama samaran seorang anggota sayap pemuda PKI, Pemuda Rakjat, yang ketika itu berusia dua puluh tahun, di daerah Menteng Jakarta. Ia mematuhi perintah organisasi untuk mengikuti latihan militer di Lubang Buaya. Selama pekan-pekan sebelum G-30-S, Pemuda Rakjat sering mengadakan rapat untuk membahas situasi politik, terutama tentang bahaya kup oleh Dewan Jenderal. Pada 29 September Juwono menerima perintah dari seorang pimpinan latihan militer agar melapor ke satu tempat dekat Pejompongan, tidak jauh dari stadion utama ibu kota. Setibanya di sana, ia melihat ratusan pemuda dari seluruh penjuru ibu kota sudah berkumpul. Ia ingat Gambir menjadi nama untuk kelompok pemuda ini. Pada 1 Oktober sore ia bersama sekitar tiga puluh pemuda lainnya diberi senjata dan diperintahkan untuk menjaga gedung telekomunikasi. Mereka berada di sekeliling gedung, tidak melakukan sesuatu apa pun, sampai tiba-tiba datang pasukan. Juwono dan kawan-kawannya tidak pernah dipersiapkan untuk benar-benar berbaku tembak. Sesudah menyerahkan senjata mereka, semuanya diangkut dengan truk menuju markas polisi militer. Di sini mereka ditahan, diinterogasi, dan disiksa. Juwono menghabiskan tiga belas tahun berikutnya sebagai tapol.30
Selain mengerahkan pemuda untuk bertindak sebagai sukarelawan, tampaknya G-30-S juga meminta Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) untuk menyelenggarakan dapur umum di seluruh ibu kota. Dapur- dapur ini bertugas menyiapkan makan-minum, baik untuk tentara maupun sukarelawan. Gerakan 30 September, dalam sikapnya yang patriarkal konservatif, membebankan tugas masak-memasak kepada kaum perempuan.31 Seorang ilmuwan Belanda, Saskia Wieringa, mewawancarai mantan anggota-anggota Gerwani pada awal 1980-an yang menyatakan pernah diminta oleh Comite PKI Jakarta Raya datang di Lubang Buaya untuk tugas-tugas sehubungan dengan kampanye anti- Malaysia.32 Barangkali dapur umum tidak dapat terwujud karena terlalu sedikit perempuan yang datang. Menurut Wieringa hanya ada sekitar tujuh puluh perempuan di Lubang Buaya pada 1 Oktober. Mereka terdiri atas anggota Gerwani, Pemuda Rakjat, organisasi buruh SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), dan organisasi tani BTI (Barisan Tani Indonesia). Di antara mereka juga termasuk istri para prajurit pengawal istana. Mereka diberi tugas lain di samping masak-memasak. Beberapa orang ada yang menjahit emblem-emblem bersetrip tiga warna untuk seragam tentara G-30-S.33
Akan mengherankan jika tidak sering terjadi salah komunikasi antara G-30-S dan sukarelawan sipil yang direkrut untuk membantu- nya. Mereka tidak dapat menjelaskan rencana gerakan ini secara rinci kepada para anggota sipil partai tanpa meningkatkan risiko rencana terkuak. Keketatan rahasia militer yang memungkinkan tindak pencu- likan mencapai unsur kejutan pada saat yang bersamaan mengandaskan peran serta massa rakyat. Karena anggota-anggota partai tidak diberitahu dengan tegas apa yang terjadi, mereka pun menjadi bingung dengan tugas-tugas mereka yang sebenarnya. Seorang mantan pimpinan PKI tingkat atas membenarkan bahwa banyak orang di Jakarta yang ditugasi
di sektor-sektor menjadi sangat bingung dan, dengan sendirinya, memutuskan untuk tidak berbuat apa pun.34 Dengan menyatukan gerakan massa dan konspirasi militer, pimpinan G-30-S mencoba sesuatu yang mustahil. Anggota-anggota partai (termasuk pimpinan tingkat puncak) tidak mungkin diberi tahu tentang seluk-beluk konspirasi tanpa memba- hayakan kerahasiaan yang menjadi tumpuan keberhasilan operasi. Kegan- jilan sifat G-30-S yang begitu memusingkan semua pengamat sebagian bersumber dari tidak direncanakannya gerakan ini sebagai sebuah operasi militer tersendiri. Banyak rakyat sipil diikutsertakan dalam aksi dengan cara-cara yang membingungkan semua peserta.
Barangkali Sjam menyisipkan peranan sipil di dalam rancangan G-30-S kendati ada keberatan dari para perwira militer. Salah seorang anggota Politbiro CC-PKI, Peris Pardede, pada sidang pertama Mahmilub memberi kesaksian bahwa Sudisman (seorang anggota Politbiro) dalam September memberi tahunya bahwa para perwira G-30-S tidak mempunyai cukup pasukan untuk melancarkan aksi. Sudisman menjelas- kan, partai akan memasok satu kontingen pemuda untuk menambah kekuatan mereka, “walaupun mereka sebenarnja tidak suka, perwira- perwira itu lebih suka berbuat sendiri sadja.”35
Mengingat pada paradigma yang ditetapkan G-30-S di Jakarta, rupanya peranan rakyat sipil dalam G-30-S selain dimaksudkan untuk membantu pasukan, juga untuk berdiri di belakang para perwira yang menyatakan diri sebagai pendukung gerakan. Sebagai jawaban atas seruan Untung, para perwira di seluruh negeri akan memrakarsai pembentukan dewan-dewan revolusi. Kemudian rakyat sipil akan bertemu dengan para perwira itu dan memutuskan bagaimana dewan-dewan tersebut akan memerintah. Di Jakarta G-30-S memilih empat puluh lima orang selaku anggota Dewan Revolusi Nasional Indonesia. Para perwira di daerah- daerah, dalam membentuk dewan-dewan revolusi daerah, diharuskan memberi tempat bagi kaum nasionalis, muslim, dan komunis dalam kerangka rumusan nasakom Sukarno.
Seandainya G-30-S mampu bertahan lebih lama, demonstrasi- demonstrasi massa kiranya akan terjadi di sejumlah kota untuk mendukung G-30-S dan dewan-dewan revolusinya itu. Njono menyatakan, ia bukan hanya menyusun enam sektor untuk sukarelawan di Jakarta tapi juga sebuah jaringan yang disebutnya sebagai pos-pos (kemungkinan rumah- rumah anggota partai dan kantor-kantor partai). Personalia untuk pos-pos ini ialah anggota PKI di tingkat Comite Seksi. Mereka diperintahkan agar bersiap-siap di pos-pos masing-masing pada saat aksi dilancarkan dan terus mendengarkan radio mereka.36 Rupa-rupanya Njono akan mengerahkan massa PKI untuk demonstrasi seandainya G-30-S tidak hancur terlalu dini.
Supardjo sendiri mendapat kesan, G-30-S mengharapkan adanya demonstrasi-demonstrasi massa seketika sesudah operasi militer tertunai. Pada satu butir dalam analisisnya Supardjo mencatat bahwa Sjam dan Biro Chusus mengira massa PKI sudah siap melakukan aksi militan semacam itu, “Kekeliruan strategi G-30-S itu disebabkan juga banyak kawan-kawan dari ABRI maupun dari daerah-daerah yang melapor- kan, bahwa massa sudah tidak dapat ditahan lagi. Bila pimpinan tidak mengambil sikap, maka rakyat akan jalan sendiri (ber-revolusi).” Dengan menggunakan istilah revolusi, Supardjo tidak hendak mengartikannya sebagai revolusi komunis. Dalam wacana kaum Sukarnois kata revolusi merupakan istilah yang lazim dipakai saat itu. Oleh penggunaannya yang terus-menerus arti istilah ini telah menjadi polivalen, jargonistik, dan kabur. Bahkan Suharto, dalam menindas G-30-S, mengklaim bahwa ia sedang membela “revolusi” melawan percobaan “kontra-revolusi.”
Sjam kelihatannya memang mengharapkan semacam aksi massa untuk mendukung G-30-S. Dalam kesaksiannya di persidangan ia menggambarkan kehancuran G-30-S, “Dan sesudah dipertimbang- kan setjara masak bagaimana djalannja gerakan ini kalau dilandjutkan djuga kekuatan sudah makin ketjil [sepanjang 1 Oktober malam dan 2
Oktober dini hari], sedangkan tidak ada tanda-tanda gerakan massa djuga mendukung dan mengikuti G-30-S maka achirnja saja ambil keputusan untuk melakukan pemunduran.”37
Seperti diketahui, PKI tidak mengerahkan massa anggotanya ke jalan-jalan untuk mendukung G-30-S. Tetapi, pandangannya di hadapan publik – bahwa G-30-S merupakan aksi intern Angkatan Darat – tidak mengabaikan kemungkinan pengorganisasian demonstrasi-demonstrasi untuk mendukungnya. Demonstrasi-demonstrasi memang terjadi di Yog- yakarta. Gerakan di Jakarta agaknya memperhitungkan “gerakan massa” sebagai semacam tahap kedua. Ditilik dari pasifnya partai di Jakarta (dan di mana-mana kecuali di Yogya) barangkali G-30-S direncanakan akan berhasil dengan mengandalkan operasi militernya saja. Demonstrasi- demonstrasi, yang seharusnya diorganisasi belakangan, akan memberi legitimasi publik bagi para pemberontak dan membantu meyakinkan lawan bahwa serangan balik tidak akan beroleh dukungan rakyat. Saat G-30-S mulai ambruk, Sjam tidak melepaskan harapan bahwa “gerakan massa” dapat menghidupkannya kembali, tapi mungkin sekali ia sejak awal tidak merencanakan aksi-aksi massa sebagai kunci kemenangan.
G-30-S DAN SUKARNO
Gerakan 30 September selama ini biasa dilukiskan sebagai usaha kudeta. Para penulis yang bersekutu dengan rezim Suharto bersikukuh menggu- nakan istilah ini; Notosusanto dan Saleh memberi judul buku mereka The Coup Attempt of the “September30th Movement” in Indonesia, dan Sekretariat Negara memberi anak judul versi bahasa Inggris dari laporan- nya tahun 1994 The Attempted Coup by the Indonesian Communist Party
(Percobaan Kup oleh Partai Komunis Indonesia). Bahkan para sejarawan yang tidak menyetujui analisis rezim pun menggunakan istilah ini. Harold Crouch memberi judul bab tentang G-30-S dalam bukunya “The Coup Attempt” (Usaha Kup). Dalam memikirkan kejadian-kejadian tahun 1965, mereka yang tidak berhati-hati mungkin akan percaya bahwa istilah kup dapat diterapkan tanpa masalah pada Gerakan 30 September. Penelitian CIA tentang G-30-S menyatakan istilah coup “secara teknis benar” jika maknanya dimengerti sebagai “gebrakan politik yang kuat dan mendadak” tapi istilah coup d’état tidak benar, “Karena sekarang tampak jelas bahwa kup Indonesia itu bukanlah merupakan gerakan untuk menumbangkan Sukarno dan/atau pemerintah Indonesia yang sudah ada. Pada hakikatnya ini merupakan pembersihan dalam pimpinan Angkatan Darat, yang bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan tertentu di dalam kabinet.”38 Apabila aksi-aksi G-30-S ditinjau ulang, kita tidak menemukan upaya apa pun untuk mendongkel Presiden, selain dari pengumuman radio yang mendemisionerkan kabinetnya (Dekrit no. 1). Gerakan 30 September tidak mengambil tindakan langsung terhadap Presiden. Supardjo menemui Sukarno pagi hari itu atas nama para pimpinan G-30-S, mendesakkan kepadanya sebuah fakta yang tak dapat diubah (fait accompli), dan selanjutnya memberi keleluasaan
kepadanya untuk mengambil langkah apa saja yang dikehendakinya. Supardjo tidak mendikte syarat-syarat kepada Sukarno.
Cerita Supardjo tentang interaksi antara G-30-S dan Sukarno pada
1 Oktober sangat berharga karena dialah satu-satunya orang yang ber- hubungan dengan kedua belah pihak. Ia merupakan saluran komunikasi antara pimpinan inti G-30-S dan Presiden. Ceritanya di dalam dokumen ini sama dengan kesaksiannya di depan sidang, tetapi dalam dokumen ini terdapat sejumlah unsur-unsur baru.
Pengungkapan yang penting adalah tentang reaksi penggerak
G-30-S ketika Supardjo melaporkan percakapannya dengan Sukarno. Menurut Supardjo mereka memperdebatkan apa yang harus dilakukan tapi tidak berhasil mencapai satu keputusan yang jelas. Mereka benar- benar telah dilumpuhkan oleh kebimbangan mereka sendiri. Karena sebelumnya tidak ditetapkan seorang komandan untuk keseluruhan operasi, maka tak seorang pun dari mereka berada dalam posisi untuk menetapkan kata akhir. Karena penolakan Sukarno untuk mendukung aksi mereka menimbulkan kebingungan, maka menjadi masuk akal untuk menduga bahwa mereka sebelumnya berharap akan menerima restunya. Mereka berencana menangkap hidup-hidup tujuh jenderal, menghadapkan mereka kepada Sukarno, dan menuntut agar jenderal- jenderal dipecat atau dipenjara. Bagaimana pun juga Sukarno dan para penasihatnya, selama enam bulan terakhir, sangat dicemaskan oleh isu tentang Dewan Jenderal. Keyakinan Sjam bahwa rencananya tak lekang oleh kesalahan, sebagian pasti bersumber pada kepastian bahwa Sukarno akan menyambut baik aksi terhadap komando tertinggi Angkatan Darat. Tapi Sukarno tidak dapat mendukung aksi mereka begitu ia mendengar adanya pertumpahan darah. Tanpa dukungan Sukarno pimpinan G-30-S tidak lagi tahu bagaimana harus meneruskan aksi mereka.
Hal yang mengherankan dalam dokumen Supardjo adalah bahwa Sjam berpendapat G-30-S harus terus dilanjutkan bahkan seandainya itu berarti membangkang terhadap perintah Sukarno dan menimbul- kan perlawanan darinya, “Kawan Sjam tetap revolusi harus djalankan sendiri tanpa Bung Karno.” Maksud utama alinea Supardjo ini untuk menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap garis yang diusulkan Sjam. Ia berpendapat G-30-S seharusnya mengambil keputusan tegas untuk tetap mempertahankan Sukarno sebagai sekutu. Jika G-30-S mengikuti garis Sjam, pasti gerakan ini akan berhadapan dengan sikap permusuhan dari hampir seluruh jajaran militer dan dengan mudah terisolasi. Tetapi jika G-30-S dapat meyakinkan Sukarno bahwa gerakan ini perlu diteruskan demi mengakhiri Suharto dan Nasution sekaligus, para perwira sayap kanan akan terisolasi, “Bila kita rangkul Bung Karno, maka kontradiksi pokok akan beralih di satu pihak golongan kiri + golongan demokrasi revolusioner dan di lain pihak hanya golongan kanan saja.” Masalahnya adalah kelompok inti gerakan tidak pernah membuat keputusan apakah akan terus berjalan tanpa Sukarno atau akan mencari persetujuan Sukarno untuk meneruskan aksi, “Dari kita tidak ada ketentuan garis mana yang harus ditempuh.” Dalam gaya teologi Leibniz tentang Tuhan sebagai tukang arloji akbar (mencipta alam semesta, menggerakkannya, dan kemudian meninggalkannya), para penggerak G-30-S tidak berbuat apa pun sepanjang siang dan malam 1 Oktober dan membiarkan inisiatif beralih ke tangan Suharto dan Nasution.
Menurut buku putih rezim Suharto tentang Gerakan 30 September, para penggerak “memutuskan untuk tidak mematuhi perintah Presiden Sukarno.” Para penulisnya yang anonim menyatakan, dalam ungkapan samar-samar yang menjadi keahlian mereka, Sjam menekankan bahwa para penggerak tidak mematuhi perintah itu karena ia tidak ingin “me- nimbulkan suasana ragu-ragu di kalangan pimpinan gerakan.”39 Sukar mengikuti logika penjelasan mereka itu. Tampaknya mereka berpendapat bahwa Sjam berhasil mempersatukan semua pimpinan G-30-S di bawah satu program (dewan-dewan revolusi) pada saat mereka dalam keadaan bimbang tentang bagaimana harus meneruskan aksi. Keputusan sebe- narnya yang diambil, menurut analisis Supardjo, persis berlawanan: para pimpinan tidak memutuskan untuk membangkang perintah Sukarno. Mereka tidak memutuskan apa pun. Mereka menemui jalan buntu.
Komentar Supardjo tentang posisi Sjam (“Kawan Sjam tetap revolusi harus djalankan sendiri tanpa Bung Karno.”) barangkali dapat menjelaskan pengumuman-pengumuman radio siang hari yang men- demisionerkan kabinet presiden dan mencanangkan bahwa semua kekuasaan telah jatuh ke tangan Dewan Revolusi Indonesia. Supardjo tidak secara khusus menanggapi pengumuman-pengumuman tersebut, tapi kita dapat menduga, dengan membaca di balik yang tersurat, bahwa Supardjo berpikir Sjam yang bertanggung jawab. Sementara Supardjo dan para perwira militer lain tetap setia kepada Sukarno, Sjam ingin melam- pauinya dan menciptakan suatu bentuk pemerintahan yang sama sekali baru. Para perencana gerakan menemui jalan buntu dalam diskusi mereka karena adanya perbedaan pendapat ini. Di sidang Mahmilub untuknya Supardjo menyatakan bahwa ia tidak menyetujui ide Dewan Revolusi Indonesia dan menolak menandatangani dokumen yang diedarkan Sjam, rupa-rupanya pada akhir pagi atau awal sore 1 Oktober, “Dewan Revolusi hanya keinginan Sjam dan tidak pernah dirapatkan.” Supardjo ingat ia melihat ada perpecahan antara Sjam dan para perwira militer dalam G-30-S karena perwira-perwira lain, seperti halnya Supardjo, tidak mau menandatangani dokumen tersebut.40 Untung dan Latief bersedia memenuhi permintaan Sukarno untuk mengakhiri G-30-S, tetapi Sjam “sedikit tidak senang mendengar persoalan itu.”41 Perwira- perwira ini menyemangati pasukan-pasukan mereka dengan ide bahwa Sukarno harus dilindungi dari bahaya kup oleh jenderal-jenderal sayap kanan. Supardjo menentang garis Sjam karena ia mengenali apa yang gamblang: kesetiaan di kalangan pasukan dan perwira militer adalah kepada Sukarno, bukan kepada PKI.
Para perwira di dalam G-30-S tentunya telah memberikan per- setujuan sebelumnya terhadap ide dasar Dewan Revolusi karena istilah ini disebut di dalam pengumuman radio yang pertama. Meskipun demikian, kalaupun para perwira ini memang menyetujui ide tersebut, mereka barangkali tidak membayangkan bahwa Dewan Revolusi akan menggusur kekuasaan Sukarno. Dalam usahanya meneruskan G-30-S, Sjam mungkin mengubah rencana asli tentang dewan-dewan ini. Karena Sukarno tidak menyokong G-30-S, Sjam segera merancang ulang rencana semula sehingga tidak lagi bertumpu pada presiden. Pengumuman- pengumuman radio di siang hari kiranya mencerminkan gagasan Sjam sendiri untuk meninggalkan rencana semula yang telah disetujui oleh para perwira militer tersebut. Dewan-dewan bukannya merupakan lembaga-lembaga yang mendukung Sukarno, tapi serta-merta disusun ulang sebagai dasar dari bentuk pemerintahan baru.
Mengikuti analisis Supardjo, kita dapat mengajukan hipotesis bahwa pengumuman-pengumuman radio siang hari yang mendemi- sionerkan kabinet Sukarno adalah jawaban Sjam terhadap penolakan Sukarno untuk mendukung G-30-S. Seandainya G-30-S berjalan sesuai rencana dan Sukarno mendukungnya, dewan-dewan revolusi akan dibentuk untuk menyempurnakan kabinet yang ada ketimbang untuk menggantikannya. Pengumuman-pengumuman radio yang bela- kangan agaknya dimaksudkan untuk dibacakan pada pagi hari, tidak lama sesudah pengumuman yang pertama. Pembacaan itu tertunda karena debat yang berlarut-larut dan ketidaktegasan di kalangan para pemimpin G-30-S sesudah Sukarno memerintahkan agar aksi dihentikan. Akhirnya Sjam menganggap sepi kehendak para perwira dan berusaha meneruskan G-30-S dengan menyiarkan pengumuman yang sudah diubah. Pende- misioneran kabinet mungkin merupakan usaha Sjam pada detik-detik terakhir untuk memberikan arah baru bagi G-30-S sementara kawan- kawan sesama konspirator dari kalangan militer dalam keadaan gugup dan bimbang. Untuk kedudukan wakil-wakil komandan G-30-S Sjam menunjuk perwira-perwira yang kebetulan ada di dekatnya pada hari itu (Supardjo dan Atmodjo) atau yang mempunyai reputasi sebagai perwira progresif (Sunardi dan Anwas).
Gerakan 30 September telah lumpuh. Pada satu pihak, Sjam mengharapkan “gerakan massa” prajurit dan rakyat sipil secara gaib akan muncul dan menyelamatkan G-30-S. Pada lain pihak, kawan-kawan militer sesama konspirator telah letih, bingung, dan gugup. Mereka tidak bersedia mendukung diteruskannya gerakan ini, jika hal itu akan berakibat konfrontasi dengan Sukarno. Ketika panglima tertinggi mereka memerintahkan agar G-30-S dihentikan, mereka pun mematuhinya. Oleh sebab itu, diskusi di kalangan pimpinan inti pun menjadi bertele- tele. Pimpinan tidak mengeluarkan pernyataan untuk menghentikan gerakan, mengorganisasi aksi-aksi konkret untuk meneruskannya, atau berusaha meyakinkan Sukarno agar menyokong perang yang lebih luas melawan Suharto dan Nasution. Mereka sekadar hanyut tak terelakkan menuju malapetaka.
PENGANGKATAN PRANOTO
Dengan sendirinya G-30-S bersandar pada Sukarno untuk berlindung dari amuk serangan pasukan Suharto. Namun para pimpinan mengetahui pada sore 1 Oktober bahwa Sukarno sudah kehilangan tongkat komandonya atas Angkatan Darat. Suharto tidak memberi izin Mayor Jenderal Pranoto, tokoh yang diangkat Sukarno sebagai panglima sementara Angkatan Darat, untuk memenuhi panggilan Presiden. Seperti dikatakan sejarawan militer Indonesia Harold Crouch, “Suharto dengan terang- terangan tidak mematuhi perintah Sukarno. Pengangkatan Pranoto tidak dihiraukan dan Suharto mengeluarkan perintah terselubung kepada Presiden agar ia meninggalkan Halim. Hubungan antara presiden dan panglima Angkatan Darat yang berlangsung hampir sepanjang periode Demokrasi Terpimpin telah berakhir pada 1 Oktober 1965.”42
Ketika Supardjo sedang menuliskan analisis postmortem itu, ia masih percaya G-30-S dapat diselamatkan jika Pranoto mendesakkan kekuasaan yang telah diberikan Sukarno kepadanya. Pada 1 Oktober siang G-30-S berharap Pranoto akan melawan Suharto dan mengambil kewenangan atas Angkatan Darat. Sementara dalam perbincangan dengan Sukarno, Supardjo mengusulkan Pranoto dan dua jenderal lain sebagai calon- calon pengurus Angkatan Darat. Pranoto salah seorang dari beberapa anggota staf umum Angkatan Darat yang tidak antikomunis. Supardjo berpendapat Pranoto seharusnya lebih banyak mengambil inisiatif. Jika Pranoto “dapat menggunakan wewenang, maka situasi tidak seburuk ini. Seharusnya dengan surat keputusan itu, ia cepat pidato di radio dan umumkan pengangkatannya. Tindakan kedua supaya kedua fihak menanti perintah-perintah tidak saling bertempur. Pak Pran harus juga menyusun kekuatan brigade-brigade di sekitarnya dan langsung ia pimpin
… Kemudian diisi dengan dalih-dalih, sementara lowongan staf SUAD yang kosong.” Sial bagi G-30-S dan bagi Pranoto pribadi, yang bela- kangan dipenjara selama dua belas tahun, ia membiarkan Suharto tetap menguasai Angkatan Darat.43
Mengingat kedudukan Pranoto di Angkatan Darat dan suasana
yang tidak menentu saat itu, tidak adil kiranya jika Supardjo berharap Pranoto merebut pimpinan Angkatan Darat dari tangan Suharto. Pranoto adalah asisten Yani untuk urusan personalia. Ia bukan pengganti langsung kedudukan Yani, bukan pula perwira paling senior. Dalam karangan singkatnya beberapa tahun kemudian Pranoto menceritakan bahwa ia dan sekelompok perwira di Markas Besar Angkatan Darat mengirim nota kepada Suharto pada 1 Oktober pagi, begitu hilangnya Yani sudah dipastikan, yang meminta Suharto untuk bertindak sebagai Panglima Angkatan Darat sementara. Bagaimana pun juga, Suharto selalu menjadi caretaker Angkatan Darat di masa sebelumnya, ketika Yani ke luar negeri. Pranoto sudah menempatkan dirinya di bawah komando Suharto saat Sukarno mengangkatnya sebagai caretaker. Jawaban Pranoto saat itu adalah ia menunggu sampai ia menerima perintah tertulis dari Sukarno. Walaupun Supardjo menyebut tentang “surat keputusan” itu, Pranoto tidak menerima perintah tertulis, melainkan hanya pesan lisan dari seorang penghubung. Dapat dipahami jika Pranoto tidak segera menantang Suharto dan berpihak pada Sukarno karena ia tidak bisa mengerti taruhan-taruhan yang berlibat – ia tidak mungkin dapat meramalkan bahwa pada akhirnya Suharto menggulingkan Sukarno dan merancang pembunuhan ratusan ribu jiwa. Pranoto adalah salah satu harapan terakhir bagi G-30-S, tapi ia hampir tidak dapat disalah- kan karena tidak memenuhi peranan yang telah ditugaskan Sukarno kepadanya.
G-30-S DAN SUHARTO
Salah satu kebisuan yang aneh dalam analisis Supardjo, kebisuan yang akan mengecewakan pembaca dewasa ini, ialah mengenai Suharto. Supardjo mengkritik G-30-S dalam banyak hal tapi tidak karena lalai menculik atau setidak-nya dengan cara tertentu melumpuhkan Suharto sebelumnya. Secara tersirat Supardjo menganggap kegagalan G-30-S menghadapi Suharto sebagai kegagalan G-30-S secara umum dalam mempersiapkan detil rencana cadangan untuk menghadapi keadaan tak terduga. Ia tidak menyebut, baik hubungan dekat Untung dan Latief dengan Suharto, maupun cerita yang diungkap Latief sangat belakangan pada persidangannya tahun 1978, bahwa Latief sudah menceritakan tentang G-30-S kepada Suharto sebelumnya. Karena Supardjo tidak mengikuti rapat-rapat perencanaan pada bulan Agustus dan September, dan tidak mempunyai hubungan dengan Untung dan Latief, mungkin Supardjo tidak banyak tahu atau tidak tahu sama sekali tentang hal-hal itu. Dalam dokumennya ia tidak mengungkap pengetahuan tentang apa yang telah diputuskan para pimpinan inti tentang Suharto sebelum
G-30-S dimulai. Pembahasan Supardjo tentang Suharto terpusat pada satu argumen: bahwa G-30-S harus menyerang markas Kostrad pada siang atau petang 1 Oktober. Dengan jujur Supardjo mengakui dalam kesaksiannya di ruang sidang bahwa ia berpikir G-30-S seharusnya membom Kostrad.44
Dalam analisis tertulisnya ia menjelaskan mengapa ia mendesak adanya serangan udara terhadap markas Suharto. Ia sangat yakin G-30-S akan dapat menundukkan Suharto dan Nasution, jika serangan dilan- carkan sebelum mereka sempat mengonsolidasi kekuatan pada petang hari itu. Supardjo berpendapat Angkatan Darat dalam keadaan panik selama dua belas jam sesudah operasi dimulai (atau tercium), itu berarti sejak kira-kira pukul 5 pagi hingga pukul 5 sore. Suharto mulai bergerak dengan yakin hanya sesudah Batalyon 530 menyerahkan diri sekitar pukul 4 sore. Nasution tiba di Kostrad petang hari dan RRI direbut kembali sekitar pukul 7 petang. Supardjo mendesak agar G-30-S menyerang Suharto sebelum ia dapat membalikkan kelanjutan gerakan ini. Jika G-30-S menyerang Suharto siang hari itu, “besar kemungkinan lawanlah yang akan angkat tangan, karena pada saat itu Nato [Nasution- Suharto] belum mempunyai grip [cengkraman] terhadap TNI yang ada di kota.” Gerakan 30 September mempunyai kesempatan bagus untuk menyingkirkan lawan-lawannya, “Pada jam-jam pertama Nato menyusun komando kembali. Posisi yang sedemikian ialah posisi yang sangat lemah. Saat itu seharusnya pimpinan operasi musuh disergap tanpa khawatir resiko apa-apa bagi pasukan kita.” Mungkin Supardjo terus menuntut agar dilakukan pemboman atas Kostrad sampai jauh malam. Suharto menangkap kabar tentang diskusi-diskusi di Halim dan meninggalkan markasnya sekitar pukul 23.30 (menurut wartawan John Hughes) karena takut akan serangan udara oleh AURI.45
Masih dapat diperdebatkan apakah G-30-S akan tampil sebagai
pemenang dalam bentrokan dengan Suharto karena Supardjo sendiri menunjukkan bahwa G-30-S tidak mempunyai struktur komando yang kokoh, pasukan-pasukannya kekurangan makan maupun moral, dan bahan propaganda yang disiarkan melalui radio terlalu singkat dan membingungkan untuk bisa digunakan. Melancarkan serangan dapat berakibat kekalahan, sepadan dengan kehancuran yang akhirnya dialami G-30-S. Mengingat kelemahannya sendiri pada pasukan darat, G-30-S harus bertumpu pada pemboman udara oleh AURI terhadap markas
Suharto untuk merebut waktu untuk mengerahkan dan menyusun kembali pasukan infantri lebih banyak lagi. Serangan udara mungkin dapat memberi G-30-S celah untuk menang. Maksud Supardjo adalah bahwa penggerak G-30-S harus berusaha menyerang karena mereka tidak mempunyai sarana lain untuk mempertahankan diri; mereka harus bertempur dan menciptakan yang terbaik dari situasi yang buruk, tanpa menghiraukan “resiko apa-apa bagi pasukan kita.” Jika seseorang sedang menghadapi kekalahan, tidak banyak alasan untuk menolak siasat yang kemungkinan besar efektif karena takut siasat itu tidak akan menjamin kemenangan.
Menurut Supardjo, Panglima AURI Omar Dani mengikuti diskusi-diskusi di pangkalan udara Halim itu dan mendukung penye- rangan terhadap Kostrad. Namun para pemimpin G-30-S tidak setuju,
“Setelah menerima berita bahwa Jendral Harto [Suharto] menyiapkan tegen aanval [serangan balik] dan Laksamana Omar Dani menawarkan integrasi [pasukan Angkatan Udara dan Gerakan 30 September] untuk melawan pada waktu itu, harus disambut baik.” Dani agaknya bersung- guh-sungguh dengan tawarannya, “Pak Omar Dani telah bertindak begitu jauh sehingga telah memerintahkan untuk memasang roket-roket pada pesawat.”46 Dani sungguh-sungguh setia kepada Sukarno dan mungkin sangat percaya bahwa presiden perlu dilindungi dari jenderal- jenderal sayap kanan. Supardjo menyatakan, rekomendasi Dani kepada pimpinan G-30-S ialah agar mereka “bersama-sama dengan Bung Karno melanjutkan revolusi.” Persetujuan Omar Dani terhadap pemboman Kostrad (jika memang benar ia menyetujui) mungkin didorong oleh kehendaknya untuk melindungi presiden, yang saat itu masih berada di Halim. Akhirnya, Angkatan Udara memutuskan menentang penye- rangan terhadap Kostrad. Atmodjo ingat para perwira di Halim khawatir tentang kemungkinan jatuh korban di kalangan rakyat sipil. Jika bom salah sasaran, dengan mudah akan jatuh di daerah pemukiman yang berdekatan.47
Supardjo bersikeras bahkan sampai saat-saat terakhir agar
G-30-S melawan pasukan yang dikirim Suharto untuk menyerang Halim. Supardjo menyebutkan bahwa ia menawarkan diri untuk memimpin sisa-sisa pasukan yang ada di dekat pangkalan udara untuk melawan pasukan Suharto. Bagi Supardjo lebih baik berusaha melawan dan kalah daripada lari tunggang-langgang. Tapi pimpinan G-30-S, terutama Sjam dan Untung, tidak menerima dan juga tidak menolak usul Supardjo. Seperti halnya dalam setiap rapat-rapat pengambilan keputusan sebe- lumnya, mereka tidak pernah tiba pada sesuatu keputusan. Mereka tidak berbuat apa pun. Ketika Pasukan Khusus Angkatan Darat mulai memasuki kawasan sekitar Halim, pasukan-pasukan G-30-S yang ke- banyakan dari batalyon Jawa Tengah, menghambur ke segala penjuru, dengan putus asa melarikan diri mencari hidup. Seperti dicatat Supardjo, prajurit-prajurit yang tidak mengenal ibu kota dengan baik itu menjadi mangsa empuk pasukan Suharto.
Perlu diperhatikan bahwa Supardjo tidak pernah menyebut Suharto tanpa berpasangan dengan Nasution. Ia melihat mereka berdua sebagai satu tim, sebagai “suatu komando.” Ia menyingkat dua nama itu untuk membentuk neologisme cerdik yang merujuk kepada orientasi mereka yang pro-Barat, yaitu “Nato” (Nasution-Suharto). Istilah musuh yang digunakan dalam dokumen selalu dialamatkan kepada Nato, tidak kepada Suharto seorang diri. Tampaknya Supardjo tidak memandang Suharto sebagai panglima yang kuat dalam dirinya. Supardjo menangkap kesan yang keliru bahwa Nasution, bukan Suharto, yang melarang Pranoto menghadap presiden di Halim. Tiadanya pembahasan tentang Suharto di dalam dokumen ini memperlihatkan bahwa Supardjo, bahkan sesudah kekalahan G-30-S pun, tidak melihat Suharto sebagai musuh utama. Kepada saya Atmodjo mengatakan, Supardjo memandang rendah kemampuan Suharto sebagai perwira dan berpendapat bahwa keduduk- annya sebagai panglima Kostrad tidak berarti.48
Penilaian Supardjo tentang Suharto sama sekali tidak mengheran- kan. Selama dua pekan pertama Oktober Kedutaan Besar Amerika Serikat mendapat kesan bahwa sekutu lamanya, Nasution, itulah yang memegang kekuasaan dan Suharto sekadar melaksanakan perintah Nasution. Atas dasar laporan Kedutaan Besar, Menteri Luar Negeri Dean Rusk pada 13 Oktober menulis bahwa Nasution tampaknya orang “yang mengambil keputusan.”49 Duta Besar Green mengubah pendapat itu pada awal November, “Suharto, bukan Nasution, orang yang memberikan perintah-perintah, menyusun strategi sendiri, dan menghadapi Sukarno secara langsung.”50 Dibandingkan dengan Nasution yang sudah menonjol di panggung politik Indonesia sejak awal 1950-an, Suharto merupakan sosok sampingan. Awalnya, kebanyakan orang tidak dapat memercayai bahwa ia bertindak atas inisiatif sendiri.
Mungkin Supardjo tidak mengetahui bahwa Latief telah memper- ingatkan Suharto, dan andai kata ia tahu, entah sebelum atau sesudah aksi, mungkin ia tidak menganggap hal itu sebagai faktor yang menen- tukan. Barangkali G-30-S tidak menculik Suharto atau sebaliknya tidak menjinakkannya karena gerakan ini meremehkan kekuatannya. Kostrad tidak memiliki pasukan sendiri; ia meminjam pasukan-pasukan dari komando daerah-daerah. Sebagian besar pasukan yang ada di Jakarta pada 1 Oktober di bawah komando Kostrad justru pasukan-pasukan yang akan digunakan oleh G-30-S (Batalyon 454 dan 530). Sekalipun Sjam mengira Suharto mungkin berbalik melawan G-30-S, namun Sjam – seperti Supardjo – agaknya menduga Suharto tidak mempunyai keuletan dan kecerdasan untuk mengalahkan G-30-S. Suharto dikenal sebagai keras kepala (penilaian Sukarno terhadapnya) dan tegas (penilaian Latief terhadapnya) tapi bukan sebagai perwira sayap kanan yang bersekutu dengan Nasution.51 Memang, secara umum diduga bahwa kedua tokoh ini bermusuhan sejak Nasution memindahkan Suharto dari jabatannya sebagai Panglima Kodam Diponegoro, Jawa Tengah pada 1959 karena korupsi.52
Dalam menulis analisisnya pada pertengahan 1966 Supardjo agaknya tidak menyadari bahwa peranan Nasution untuk menyerang G-30-S tidak berarti dibandingkan dengan peranan Suharto dan para perwiranya di Kostrad (yaitu Yoga Sugama dan Ali Murtopo). Citra tentang Nasution sebagai patriark akbar Angkatan Darat terpahat begitu mendalam di benak para komplotan G-30-S sehingga mereka tidak dapat membayangkan bahwa Suharto, yang relatif bukan siapa-siapa, tiba-tiba berhasil tampil sebagai pemimpin sebuah rencana ambisius untuk meng- gulingkan Sukarno dan mengganyang PKI. Mereka seharusnya dapat meraih manfaat bila mereka berpikir dalam kerangka permainan catur seperti pernah dikemukakan Bertold Brecht, “Suatu permainan di mana posisi tidak selalu tetap sama; di mana fungsi buah-buah catur berubah jika mereka sejurus berada di petak yang sama: lalu mereka menjadi lebih efektif atau lebih lemah.”53
Supardjo agaknya juga tidak menyadari peranan Suharto dalam
menyabotase kebijakan bersemangat perang Sukarno terhadap Malaysia
sebelum Oktober 1965. Komando tertinggi Angkatan Darat tidak menyetujui konfrontasi Sukarno dengan Malaysia ketika perseteruan itu meningkat antara 1964-65. Namun jenderal-jenderal itu tidak cukup percaya diri untuk menentang presiden. Yani dan Mayor Jenderal S. Parman, kepala intelijen Angkatan Darat, diam-diam merongrong konfrontasi, dengan menugasi Suharto agar mengirim agen-agen untuk menghubungi para pejabat tinggi Malaysia dan Inggris dan meyakinkan mereka bahwa Angkatan Darat tidak mengingini perang. Kostrad, di bawah pimpinan Suharto, merupakan jantung daya upaya Angkatan Darat dalam memelihara kontak rahasia dengan pihak lawan. Lebih dari itu, Suharto, sebagai wakil panglima pasukan-pasukan yang digunakan untuk konfrontasi, memberi jaminan bahwa pasukan yang ada di sepanjang perbatasan dengan Malaysia kekurangan personil dan kekurangan perlengkapan. Ketika itu Supardjo adalah panglima pasukan- pasukan konfrontasi yang ditempatkan di Kalimantan. Ia mengetahui bahwa atasannya berusaha menggembosi kebijakan Sukarno, tapi rupanya ia tidak tahu bahwa Suharto itulah pemain utama dalam usaha ini. Saya akan kembali ke persoalan ini dalam Bab 6.
Bagi Supardjo G-30-S hancur sebagian besar karena beban ketidakmampuannya sendiri: G-30-S tidak mempunyai rencana yang sudah dipikirkan masak-masak selain penculikan tujuh jenderal, tidak memanfaatkan radio, tidak mampu membuat keputusan, dan tidak memberi makan pasukannya. Ia melihat kegagalan G-30-S sebagai pelajaran yang memprihatinkan tentang apa yang terjadi apabila orang- orang sipil merancang aksi militer. Sjam menempatkan diri sebagai pimpinan G-30-S, menggertak bawahannya dalam Biro Chusus agar memberikan laporan-laporan yang sesuai dengan agendanya sendiri, dan mengabaikan kritik dari perwira-perwira militer yang bersedia bekerja sama dengannya. Dengan cara yang menyesatkan ia mencampur aduk paradigma aksi militer yang bersifat rahasia dengan mobilisasi rakyat sipil yang bersifat terbuka. Supardjo, dan barangkali juga para perwira lainnya, semula mengikuti kepemimpinan Sjam karena mereka menduga kepercayaan diri Sjam didasarkan atas pengetahuan yang mumpuni. Mereka mengira pimpinan PKI memahami apa yang partai lakukan. Tapi ketika G-30-S tidak berjalan sesuai rencana pada 1 Oktober dan Presiden Sukarno menuntut agar gerakan itu dihentikan, para perwira militer ini menolak mengikuti Sjam lebih jauh. Diskusi-diskusi antara pimpinan G-30-S menemui jalan buntu karena baik Sjam maupun para perwira tidak mempunyai kekuasaan untuk mengesampingkan yang lain. Agaknya Sjam yang bertanggung jawab atas pengumuman radio yang mendemisionerkan kabinet Sukarno justru ketika Supardjo sedang berunding dengan Sukarno.
Yang gamblang dari dokumen Supardjo ialah bahwa Sjam orang yang paling bertanggung jawab dalam memulai dan merancang G-30-S. Dengan mengemukakan peranan Sjam lebih penting ketimbang peranan personil militer yang terlibat, dokumen Supardjo menunjukkan bahwa pendirian Harold Crouch tidak benar, yaitu bahwa para perwira militer itulah perancang G-30-S. Selagi banyak perwira pro-Sukarno dan pro- PKI saling berbagi informasi pada pertengahan 1965, saling bertukar gagasan, dan memikirkan berbagai strategi menghadapi jenderal-jenderal sayap kanan, G-30-S mewakili penemuan Sjam yang istimewa. Para perwira yang berpartisipasi dalam G-30-S (Untung, Latief, Soejono, dan Supardjo) adalah mereka yang mau mengikuti arahan Sjam.
Supardjo menyimpulkan bahwa G-30-S “dipimpin langsung oleh partai,” karena ia tahu Sjam adalah wakil PKI. Tapi ia tidak menjelaskan bagaimana “partai” memimpin operasi ini. Mengingat kebutuhan para perwira pro-PKI seperti Supardjo untuk menjaga kerahasiaan hubungan mereka dengan partai, kiranya tidak mungkin ia mempunyai kontak dengan siapa pun selain dengan Sjam. Barangkali ia tahu sedikit saja tentang hubungan Sjam dengan pimpinan partai. Dengan menyatakan bahwa G-30-S dipimpin oleh PKI, Supardjo tidak menegaskan bahwa Politbiro dan Central Comite telah mendiskusikan aksi ini dan mem- berikan persetujuannya (seperti yang dituduhkan rezim Suharto). Apa yang mungkin diketahui Supardjo ialah bahwa di antara lima orang pimpinan inti, Sjam adalah orang yang paling bertanggung jawab atas G-30-S. Dari fakta itulah Supardjo menyimpulkan tentang kepemim- pinan partai. Dokumen Supardjo tidak memberi kesan sedikit pun bahwa ia mempunyai pengetahuan dari tangan pertama tentang peran atasan Sjam dalam G-30-S.
Dengan menyalahkan orang sipil sebagai penyebab kegagalan
G-30-S, Supardjo tidak sedang menjunjung martabat lembaganya sendiri, yaitu militer Indonesia. Ia menulis dokumen itu sebagai pengikut setia PKI yang berniat mendidik “kawan pimpinan.” Terlepas dari penyesalannya karena telah menaruh kepercayaan terlampau mendalam kepada Sjam, bahkan setelah ia menyadari rencana untuk G-30-S itu “tidak logis,” Supardjo tidak menyesali kesetiaannya kepada partai. Dalam satu alinea dokumen ia menyalahkan kawan-kawannya sesama perwira, karena tidak dapat melaksanakan “tugas revolusioner” dan mengatasi rasa hormat yang berurat berakar pada para perwira atasan mereka. Supardjo meng- hargai profesinya dengan sungguh-sungguh; ia fasih dalam hal strategi militer. Tapi ia yakin militer seharusnya mengabdi kepada politik revolu- sioner daripada politik elitis, pro-Barat yang diajukan Nasution. Analisis postmortem Supardjo tentang G-30-S tidak dapat dibaca sebagai usaha seorang perwira untuk membersihkan nama militer dengan melempar kesalahan kepada pihak sipil. Dokumen itu justru merupakan sebuah kritik intern: ia mewakili pemandangan seorang loyalis partai yang dibuat marah dan kecewa oleh langkah-langkah yang diambil oleh pimpinan- pimpinan partai tertentu.
CATATAN
1 Kolaga, komando multitugas, mempunyai dua front tempur terhadap Malaysia: yang satu berpangkalan di Medan (dipimpin Kemal Idris) dan yang lain di Kalimantan Barat (dipimpin Supardjo). Menurut banyak sumber, kedua front komando ini masing-masing dinamai Komando Tempur Dua dan Komando Tempur Empat. Namun, agaknya ada semacam kekacauan saat itu apakah komando-komando ini dinamai dengan sebutan yang lebih masuk akal, yaitu Komando Tempur Pertama dan Kedua. Penuntut Umum Mahmilub mengenal Supardjo sebagai Panglima Komando Tempur Kedua. Sumber kekacauan lain ialah peranan Kostrad di dalam Kolaga. Panglima Kolaga, sedari awal pada Mei 1964 (yang ketika itu dinamai Koga), ialah Laksamana Madya Omar Dani. Wakil Panglima sejak 1 Januari 1965 dan seterusnya ialah Suharto, yang pada saat bersamaan juga Panglima Kostrad. Suharto, yang mengepalai penempatan pasukan Kolaga, bersikeras meminta agar semua pasukan yang dipinjam dari komando-komando daerah untuk Kolaga pertama- tama harus diserahterimakan ke Kostrad (Crouch, Army and Politics in Indonesia, 70-71). Namun, Supardjo tidak lalu menjadi bawahan Suharto atau perwira Kostrad. Dalam hal keputusan-keputusan operasi militer, bahkan saat Supardjo sedang memimpin pasukan Kostrad, ia tetap langsung di bawah Omar Dani. Tidak tepat menggambarkan Supardjo, seperti yang dilakukan John Hughes, sebagai Panglima Komando Tempur Keempat Kostrad (Hughes, End of Sukarno, 31). Mantan Wakil Perdana Menteri Pertama Subandrio semakin mengacaukan keadaan dengan pernyataannya bahwa Supardjo “ditarik Suharto ke Kostrad menjabat Pangkopur II” (Soebandrio, Kesaksianku Tentang G-30-S, 27). Supardjo tidak dibawa ke Kostrad, dan Suharto tidak bertanggung jawab atas penugasan Supardjo ke Kalimantan. Penugasan Supardjo ke Kolaga terjadi akhir 1964, sebelum Suharto diangkat sebagai wakil panglima. Penulis lain menerima pernyataan keliru Soebandrio dan bahkan mengangkatnya ke taraf kekeliruan yang lebih jauh, menggambarkan Supardjo sebagai anak buah Suharto (Harsutejo, G-30-S, 167).
2 Green, Indonesia, 53. Green salah menyebut Supardjo sebagai mantan ajudan militer
Sukarno.
3 Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 110.
4 Rey, “Dossier of the Indonesian Drama,” 30; Anderson and McVey, Preliminary Analysis,11.
5 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 229-230.
6 Sementara orang ada yang menduga-duga bahwa Supardjo barangkali bersekongkol dengan Suharto dalam merancang G-30-S karena Supardjo bertemu Suharto di Kalimantan Barat dalam pekan-pekan menjelang aksi terjadi. Sebagai wakil panglima pasukan untuk konfron- tasi, Suharto memeriksa pasukan di Kalimantan Barat sekitar pertengahan Agustus 1965. Sebuah foto bersama dari dua tokoh ini dalam kesempatan termaksud tertera di dalam brosur Nurdin A.S., Supardjo Direnggut Kalong, 16. Wertheim menyebut “perjalanan bersama” ini sebagai fakta yang patut diperhatikan, walaupun ia mengakui bahwa “berdiri sendiri, fakta itu tidak memberikan alasan kuat untuk kecurigaan yang lebih konkret.” (Wertheim, “Suharto and Untung Coup,” 54-55). Supardjo juga bertemu Yani, korban G-30-S, dalam pekan-pekan sebelum aksi sehingga sekadar fakta tentang adanya pertemuan yang lebih awal saja tidak membuktikan apapun.
7 Para penuntut umum Mahmilub menyatakan bahwa Supardjo dan G-30-S sebelumnya sudah sepakat bahwa isyarat baginya untuk kembali ke Jakarta berupa pesan tentang anaknya yang sakit. Janda Supardjo, dalam percakapannya dengan saya, membantah pernyataan tentang pesan sandi itu. Ia menegaskan bahwa anaknya memang sakit keras (wawancara dengan Ibu Supardjo).
8 Transkrip Mahmilub, sidang Supardjo, Februari-Maret 1967, pleidooi dari tertuduh, 5.
9 Supardjo menceritakan kembali kisahnya ini di depan mahkamah (transkrip Mahmilub, sidang Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 42.
10 Wawancara dengan Sugiarto (anak laki-laki Supardjo).
11 Selagi bergerak di bawah tanah di Jakarta, Sudisman adalah penulis utama otokritik yang diterbitkan atas nama Politbiro pada September 1966. Supardjo mungkin menulis analisisnya sesudah membaca dokumen Politbiro itu. Fic berpendapat bahwa Supardjo menulis analisisnya pada pertengahan Oktober 1966, tapi sumber Fic, yaitu penuntut umum pada sidang Mahmilub untuk Supardjo, tidak dapat diandalkan untuk informasi ini karena ia tidak mungkin mengetahui sendiri (Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, 330n1). Fic menyebut dokumen ini sebagai otokritik Supardjo – sepatah kata yang entah mengapa ditulis dalam huruf-huruf kapital tebal di seluruh bukunya. Istilah otokritik tidak pernah muncul di dalam dokumen itu sendiri. Fic tidak mengatakan bahwa istilah itu penamaan dia sendiri untuk dokumen Supardjo tersebut.
12 Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967,
49, 55. Dalam pledoinya Supardjo lagi-lagi menyangkal dirinya sebagai penulis dokumen termaksud (pleidooi dari tertuduh, 23).
13 Transkrip Mahmilub, proses peradilan Supardjo, sidang kelima, 26 Februari 1967, 2.
14 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September.
15 Transkrip Mahmilub, persidangan Sudisman, kesaksian Sjam, 7 Juli 1967. Bagian yang memuat kesaksian Sjam ini tidak diberi nomor halaman.
16 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 48-50.
17 Tidak jelas siapa perwira yang dimaksud Supardjo. Setidaknya memang ada dua perwira yang menarik diri dari rapat perencanaan sesaat sebelum aksi dimulai: Mayor Agus Sigit dan Kapten Wahyudi, keduanya dari garnisun Angkatan Darat Jakarta. Menurut Atmodjo, Sigit menarik diri karena ia berpendapat rencana itu tidak akan berhasil. Atmodjo bertemu Sigit di penjara pada akhir 1960-an. Walaupun Sigit tidak ikut serta dalam G-30-S, di mata militer kehadirannya pada rapat perencanaan cukup untuk alasan pemenjaraan baginya (wawancara dengan Heru Atmodjo, 19 Desember 2004). Manai Sophiaan, berdasarkan informasi tangan kedua dan ketiga, menyatakan bahwa beberapa perwira menarik diri dari komplotan karena meragukan keberhasilannya (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 89).
18 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang keempat, 25 Februari 1967, 18.
19 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
20 Wawancara dengan Rewang.
21 Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 2.
22 Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak, 171-177; Saelan, Dari Revolusi ’45 Sampai
Kudeta ’66, 305-306; G. Kahin, Southeast Asia, 156-57.
23 Walaupun jamak dipercaya di Indonesia bahwa Green ikut campur tangan dalam kup Jenderal Park, kemungkinan ia tidak terlibat. Setelah memeriksa kembali dokumen-dokumen yang sudah dideklasifikasi, Bruce Cumings percaya bahwa Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tidak mengetahui sebelumnya tentang kup tersebut (Cumings, Korea’s Place in the Sun, 348).
24 Subekti, mantan sekretaris Politbiro CC-PKI, menulis dalam analisisnya tentang G-30-S pada 1986 bahwa Pono, yang dipenjara bersamanya di Cipinang, Jakarta, menggambarkan Sjam sebagai orang yang menakut-nakuti dan mengancam mereka yang dalam rapat-rapat perencanaan G-30-S tidak sependapaat dengannya. (Subekti, “G-30-S Bukan Buatan PKI,”11).
25 Kesaksian Sjam, transkrip Mahmilub, peradilan Sudisman, 8 Juli 1967.
26 Wawancara dengan Bungkus. Juga lihat komentarnya dalam Anderson, “World of
Sergeant-Major Bungkus,” 24-25.
27 “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 55-56.
28 Kapten Soeradi, perwira bawahan Latief, dalam kesaksiannya di Mahmilub juga menga- takan bahwa jumlah sektor ada enam. Dikatakannya, ia pernah diberi keterangan singkat tentang rencana G-30-S oleh Mayor Soejono pada 23 September. Pada hari berikutnya
ia diperkenalkan oleh Soejono dengan para komandan enam sektor itu. Ia yakin mereka semua orang-orang PKI. Pada 25 September ia pergi ke Lubang Buaya untuk merencanakan pekerjaan sektor-sektor dan mendefinisikan subsektor-subsektor. (“Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Untung, 82-83). Masalah sektor ini merupakan kasus lain dan saya mengandalkan kesaksian-kesaksian di Mahmilub. Dari bukti yang lebih andal
– dokumen Supardjo dan wawancara Juwono, yang akan saya uraikan belakangan – jelas bahwa G-30-S mempunyai sektor-sektor untuk sukarelawan. Karena baik Njono maupun Suradi, pada kesempatan terpisah, menyatakan ada enam sektor, lebih tepat bertumpu pada angka mereka ketimbang pada angka Supardjo.
29 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-
98.
30 Wawancara dengan Juwono. Juwono nama samaran.
31 Seorang loyalis Sukarno, Manai Sophiaan, mengetahui tentang rencana penyelenggaraan dapur umum ini ketika ia berbicara dengan mantan anggota-anggota PKI bertahun-tahun kemudian, lihat Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang berhak, 92.
32 Wieringa, Sexual Politics in Indonesia, 292.
33 Ibid., 294. Emblem itu dimaksud untuk membedakan antara pasukan yang ikut aksi dengan yang tidak.
34 Wawancara dengan Oey Hay Djoen, 24 Januari 2002, Jakarta.
35 Kesaksian Peris Pardede, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono,
134. Karena informasi yang diberikan Pardede kepada tentara sesudah ia tertangkap, Sudisman menganggapnya sebagai pengkhianat PKI (wawancara dengan Tan Swie Ling). Swie Ling menyembunyikan Sudisman di rumahnya di Jakarta pada 1966.
36 Kesaksian Njono, “Gerakan 30 September” Dihadapan Mahmillub, Perkara Njono, 87-
88.
37 Transkrip Mahmilub, sidang Sudisman, 7 Juli 1967. Menurut analisis Supardjo, Sjam tidak secara sepihak memutuskan untuk mundur. Pimpinan G-30-S tidak pernah membuat keputusan setegas itu. Manai Sophiaan menyatakan Sjam mengira massa PKI akan me- lancarkan demonstrasi begitu G-30-S dimulai (Sophiaan, Kehormatan Bagi Yang Berhak,81, 89).
38 CIA, Indonesia – 1965, i.
39 Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, 121.
40 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, pleidooi dari tertuduh, 6, 11. Seperti saya kemukakan dalam bab 1, dokumen asli Dekrit no. 1 tidak ada, sehingga tidak mungkin memastikan siapa yang telah menandatanganinya.
41 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang ketiga, 24 Februari 1967, 37.
42 Crouch, Army and Politics in Indonesia, 134. Demokrasi Terpimpin ialah istilah Presiden Sukarno untuk bentuk pemerintahan yang dimulainya pada 1959. Ia membubarkan Kons tituante yang sedang menyusun UUD baru; memulihkan konstitusi pertama negara, yang telah ditulis dengan tergesa-gesa pada 1945; menunda pemilihan umum; dan menyusun kembali anggota parlemen.
43 Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra dipenjarakan pada 16 Februari 1966 dengan tuduhan terlibat dalam G-30-S. Ia dibebaskan sesudah hampir satu bulan ditahan dan kemudian dikenai tahanan rumah. Tahun 1969 ia dipenjara lagi dan baru bebas tahun 1981. (Reksosamodra, Memoar, 250-251).
44 Transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967, 51.
45 Dalam memoarnya Suharto menyebut ia meninggalkan markas Kostrad tapi tidak menunjuk kapan waktunya. (Suharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 107).
46 Dani membantah pernyataan Supardjo bahwa ia mendukung pemboman terhadap Kostrad (Katoppo, Menyingkap Kabut Halim 1965, 255). Pada persidangannya Supardjo me- nyatakan Dani tidak mendukung pemboman (transkrip Mahmilub, persidangan Supardjo, sidang kedua, 23 Februari 1967, 55).
47 Wawancara dengan Heru Atmodjo, 14 Desember 2002.
48 Ibid.
49 Kementerian Luar Negeri kepada Kedutaan Besar AS di Jakarta, 13 Oktober 1965, dalam
Department of State, FRUS 1964-1968, 26:320
50 Kedutaan Besar AS di Indonesia kepada Kementerian Luar Negeri, 4 November 1965, dalam Department of State, FRUS 1964-1968, 26:354.
51 Di depan sidang Mahmilub untuknya Omar Dani bersaksi bahwa Sukarno menolak Suharto sebagai caretaker sementara, karena ia “terlalu koppig” (dalam Crouch, Army and Politics in Indonesia, 128).
52 Tentang pemindahan dini Suharto dari kedudukannya sebagai panglima kodam pada
1959, lihat Crouch, Army and Politics in Indonesia, 40, 124-125.
53 Benjamin, Reflections, 206.
KOMENTAR:Banyak kejanggalan disini menunjukkan bukti bahwa sebuah cerita yang direkayasa secara sembrono,Supardjo adalah wakil Panglima Komando Ganyang Malaysia dimana Suharto adalah Panglima KOGAM nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar