Kisah penembak misterius tebar teror pada preman
pembunuh bayaran sniper. shutterstock
Reporter: Mardani
Bentrok antara kelompok massa di Indonesia kerap kali terjadi. Dengan berbagai senjata yang dimilikinya, kelompok massa itu saling bertikai dan membuat warga resah.
Terakhir, bentrok antara dua kelompok massa terjadi di Jl Raya Kamal, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (29/8) kemarin. Kali ini anak buah Hercules dan anak buah John Kei saling bertikai untuk memperebutkan lahan.
Suburnya aksi premanisme dan kekerasan di Tanah Air pasca-Reformasi mengingatkan pada kisah penembakan misterius (Petrus) yang terjadi di era Orde Baru tahun 1980-an.
Dalam buku "BENNY, tragedi seorang loyalis," Karya Julius Pour, terbitan Kata Penerbit, diceritakan, ribuan preman tewas dengan cara ditembak tanpa diketahui siapa penembaknya. Selama bulan Mei 1983 tidak kurang 22 orang tewas tertembak di Jakarta. Hal itu sontak mengejutkan masyarakat.
Sebab, saat itu belum pernah terjadi sebanyak itu orang tewas karena ditembak. Suasana semakin mencekam, karena mereka yang tewas mayoritas tubuhnya dipenuhi dengan tato.
Saat itu banyak yang menduga aksi penembakan di Jakarta itu merupakan rentetan dari penembakan yang terjadi di Yogyakarta pada April 1983. Kala itu, Pangkowilhan II Letjen TNI Widjojo Soejono tengah melancarkan operasi memberantas kejahatan dengan sandi Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK).
Sejumlah mayat preman yang biasa disebut Gabungan Anak Liar (Gali) kala itu kerap ditemukan di kota itu tanpa diketahui siapa penembaknya. Masyarakat Yogya yang sudah sekian lama dicekam rasa takut akibat merajalelanya aksi pemerasan dan kejahatan yang dilakukan para Gali pun dapat berlega hati.
Setelah kurang lebih tiga pekan terjadi di Jakarta, Panglima ABRI saat itu, Jenderal TNI Benny Moerdani memberikan penjelasan soal penembakan misterius itu. Penjelasan itu diberikannya setelah terlebih dahulu bertemu dengan Presiden Soeharto.
Menurut Benny, penembakan misterius itu kemungkinan muncul akibat adanya perkelahian antar gang preman. Namun, sebagai negara hukum, penembakan hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksa.
"... sejauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi penjahat yang ditangkap..." kata Benny.
Operasi pemberantasan kejahatan itu kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Suara masyarakat kala itu terbelah, banyak yang mendukung asal yang ditembak mati benar-benar Gali, tapi banyak pula yang mengecam.
"Kami mengharap agar pada waktu mendatang pembunuhan semacam ini diakhiri. Kami mengharapkan, Indonesia dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum," kata Menteri Luar Negeri Belanda Hans van den Broek yang saat itu kebetulan tengah berkunjung ke Jakarta pada Januari 1984.
Saat itu dia menyebut angka korban tewas penembakan misterius itu mencapai lebih dari 3 ribu orang.
Benny kemudian membantah pembantaian itu dilakukan pemerintah. "Ada orang-orang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat bukan pemerintah. Pembunuhan semacam itu bukan kebijakan pemerintah," kata Benny.
Namun, penembakan terhadap para preman itu beberapa tahun kemudian menjadi tak lagi misterius. Saat itu Presiden Soeharto menyatakan tindakan keamanan itu terpaksa dilakukan karena aksi kejahatan semakin brutal dan meluas.
Menurut Soeharto, tindakan tegas dengan cara kekerasan harus dilakukan terhadap para penjahat sebagai sebuah treatment therapy. "Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan maka mereka ditembak," kata penguasa Orde Baru itu.
"Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikan tersebut."
Meski cara penumpasan kejahatan itu sadis, banyak masyarakat yang mengapresiasi. Sebab, masyarakat yang sebelumnya takut bepergian karena kejahatan preman yang merajalela, akhirnya bebas menjalani aktivitasnya kembali tanpa rasa takut.
Yang menjadi pertanyaan, apakah langkah penembakan itu harus kembali diterapkan saat ini?
[ian]Terakhir, bentrok antara dua kelompok massa terjadi di Jl Raya Kamal, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (29/8) kemarin. Kali ini anak buah Hercules dan anak buah John Kei saling bertikai untuk memperebutkan lahan.
Suburnya aksi premanisme dan kekerasan di Tanah Air pasca-Reformasi mengingatkan pada kisah penembakan misterius (Petrus) yang terjadi di era Orde Baru tahun 1980-an.
Dalam buku "BENNY, tragedi seorang loyalis," Karya Julius Pour, terbitan Kata Penerbit, diceritakan, ribuan preman tewas dengan cara ditembak tanpa diketahui siapa penembaknya. Selama bulan Mei 1983 tidak kurang 22 orang tewas tertembak di Jakarta. Hal itu sontak mengejutkan masyarakat.
Sebab, saat itu belum pernah terjadi sebanyak itu orang tewas karena ditembak. Suasana semakin mencekam, karena mereka yang tewas mayoritas tubuhnya dipenuhi dengan tato.
Saat itu banyak yang menduga aksi penembakan di Jakarta itu merupakan rentetan dari penembakan yang terjadi di Yogyakarta pada April 1983. Kala itu, Pangkowilhan II Letjen TNI Widjojo Soejono tengah melancarkan operasi memberantas kejahatan dengan sandi Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK).
Sejumlah mayat preman yang biasa disebut Gabungan Anak Liar (Gali) kala itu kerap ditemukan di kota itu tanpa diketahui siapa penembaknya. Masyarakat Yogya yang sudah sekian lama dicekam rasa takut akibat merajalelanya aksi pemerasan dan kejahatan yang dilakukan para Gali pun dapat berlega hati.
Setelah kurang lebih tiga pekan terjadi di Jakarta, Panglima ABRI saat itu, Jenderal TNI Benny Moerdani memberikan penjelasan soal penembakan misterius itu. Penjelasan itu diberikannya setelah terlebih dahulu bertemu dengan Presiden Soeharto.
Menurut Benny, penembakan misterius itu kemungkinan muncul akibat adanya perkelahian antar gang preman. Namun, sebagai negara hukum, penembakan hanya dapat dilakukan dalam keadaan terpaksa.
"... sejauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi penjahat yang ditangkap..." kata Benny.
Operasi pemberantasan kejahatan itu kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Suara masyarakat kala itu terbelah, banyak yang mendukung asal yang ditembak mati benar-benar Gali, tapi banyak pula yang mengecam.
"Kami mengharap agar pada waktu mendatang pembunuhan semacam ini diakhiri. Kami mengharapkan, Indonesia dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum," kata Menteri Luar Negeri Belanda Hans van den Broek yang saat itu kebetulan tengah berkunjung ke Jakarta pada Januari 1984.
Saat itu dia menyebut angka korban tewas penembakan misterius itu mencapai lebih dari 3 ribu orang.
Benny kemudian membantah pembantaian itu dilakukan pemerintah. "Ada orang-orang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat bukan pemerintah. Pembunuhan semacam itu bukan kebijakan pemerintah," kata Benny.
Namun, penembakan terhadap para preman itu beberapa tahun kemudian menjadi tak lagi misterius. Saat itu Presiden Soeharto menyatakan tindakan keamanan itu terpaksa dilakukan karena aksi kejahatan semakin brutal dan meluas.
Menurut Soeharto, tindakan tegas dengan cara kekerasan harus dilakukan terhadap para penjahat sebagai sebuah treatment therapy. "Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan maka mereka ditembak," kata penguasa Orde Baru itu.
"Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikan tersebut."
Meski cara penumpasan kejahatan itu sadis, banyak masyarakat yang mengapresiasi. Sebab, masyarakat yang sebelumnya takut bepergian karena kejahatan preman yang merajalela, akhirnya bebas menjalani aktivitasnya kembali tanpa rasa takut.
Yang menjadi pertanyaan, apakah langkah penembakan itu harus kembali diterapkan saat ini?
http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-penembak-misterius-tebar-teror-pada-preman.html
KOMENTAR:Setahu saya Preman -preman bertato itu dulu ada yang tidak mempan ditembak,diikat dileher dan dikarungi dimasukkan kesungai,setiap hari ditemukan puluhan preman bertato mati di Bandung dan disiarkan di media setiap surat kabar tahun 1983.Memang saat itu sudah terjadi keamanan masyarakat yang sangat buruk,Perampokan diangkot dan dimana mana sudah sangat sering terjadi dan sangat meresahkan masyarakat.Kejahatan menurun secara drastis.
Jumat, 31 Agustus 2012 11:16:34
Pengakuan Pak Harto soal Petrus
assasin. shutterstock
Aksi premanisme semakin marak terjadi pasca-Reformasi. Bak negeri para koboi, kerap kali muncul bentrokan antarkelompok preman.
Salah satu contohnya adalah bentrokan yang terjadi antara anak buah Hercules dan anak buah John Kei di di Jl Raya Kamal, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (29/8) kemarin. Keributan dipicu atas perebutan sebuah lahan.
Dulu, saat Presiden Soeharto berkuasa, aksi premanisme sempat marak terjadi di era 1980-an. Saat itu penduduk Jakarta gelisah jika bepergian keluar rumah.
Sebab, para preman saat itu dengan nekat memeras dan melakukan aksi kejahatan kepada warga. Gerah atas aksi para preman, penguasa Orde Baru itu kemudian menginstruksikan dilakukannya sebuah operasi keamanan untuk membasmi para preman.
Tak berapa lama, jasad para preman kerap ditemukan tak bernyawa akibat ditembak secara misterius. Konon kabarnya, ribuan pria bertato yang diduga preman tewas karena ditembak.
Meski pada awalnya pihak penguasa membantah telah memerintahkan aksi penembakan itu, Presiden Soeharto akhirnya mengakui tindakan tegas dengan jalan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan harus dilakukan sebagai sebuah treatment therapy.
Mantan Pangkostrad itu bahkan menyatakan, tindakan tegas dengan cara ditembak suka tidak suka harus dilakukan kepada pelaku kejahatan yang melawan.
"Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan tersebut," kata Pak Harto dalam buku otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya seperti dipaparkan kepada: G. Dwipayana dan Ramadhan KH terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1988. Hal ini dituturkan dalam bab "Yang Disebut Petrus dan Hukuman Mati."
Meski operasi keamanan itu tergolong sadis, aksi premanisme di Jakarta saat itu cenderung menurun. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang mendukung langkah pemberantasan preman itu.
Masyarakat yang sebelumnya takut keluar rumah, kembali menjalankan aktivitasnya tanpa takut diganggu para preman.
[dan]
Salah satu contohnya adalah bentrokan yang terjadi antara anak buah Hercules dan anak buah John Kei di di Jl Raya Kamal, Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (29/8) kemarin. Keributan dipicu atas perebutan sebuah lahan.
Dulu, saat Presiden Soeharto berkuasa, aksi premanisme sempat marak terjadi di era 1980-an. Saat itu penduduk Jakarta gelisah jika bepergian keluar rumah.
Sebab, para preman saat itu dengan nekat memeras dan melakukan aksi kejahatan kepada warga. Gerah atas aksi para preman, penguasa Orde Baru itu kemudian menginstruksikan dilakukannya sebuah operasi keamanan untuk membasmi para preman.
Tak berapa lama, jasad para preman kerap ditemukan tak bernyawa akibat ditembak secara misterius. Konon kabarnya, ribuan pria bertato yang diduga preman tewas karena ditembak.
Meski pada awalnya pihak penguasa membantah telah memerintahkan aksi penembakan itu, Presiden Soeharto akhirnya mengakui tindakan tegas dengan jalan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan harus dilakukan sebagai sebuah treatment therapy.
Mantan Pangkostrad itu bahkan menyatakan, tindakan tegas dengan cara ditembak suka tidak suka harus dilakukan kepada pelaku kejahatan yang melawan.
"Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan itu. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan tersebut," kata Pak Harto dalam buku otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya seperti dipaparkan kepada: G. Dwipayana dan Ramadhan KH terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1988. Hal ini dituturkan dalam bab "Yang Disebut Petrus dan Hukuman Mati."
Meski operasi keamanan itu tergolong sadis, aksi premanisme di Jakarta saat itu cenderung menurun. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang mendukung langkah pemberantasan preman itu.
Masyarakat yang sebelumnya takut keluar rumah, kembali menjalankan aktivitasnya tanpa takut diganggu para preman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar