Wednesday, 15 August 2012 04:33
Kemerdekaan suatu bangsa hanya bisa terjadi melalui dua hal: pemberian atau hadiah dan perjuangan untuk merebut kemerdekaan itu. Bangsa Indonesia bisa merdeka setelah melalui perjuangan panjang, dengan peluh dan air mata, bahkan darah tertumpah.
Sejak zaman kolonial Belanda, upaya-upaya untuk merdeka terus digelorakan. Patah tumbuh hilang berganti, tak surut dengan keinginan merdeka, sebagai wujud bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk Pemerintah Jepang pada 29 April 1945 mulai bersidang, persoalan mendasar yang mengemuka adalah dasar negara. Kalangan nasionalis sekuler yang dimotori Soekarno dan kalangan nasionalis Islam yang dimotori Ki Bagus Hadikukusumo berdebat sengit tentang dasar negara.
Dalam perkembangannya, dibentuklah Panitia Sembilan (yang jumlahnya sembilan orang), di mana A.A. Maramis adalah satu-satunya anggota yang nonnuslim. Dalam sidang pada 22 Juni 1945, terjadi kompromi antara pihak nasionalis sekuler dan nasionalis Islami. Bentuk komprominya adalah disepakatinya Piagam Jakarta yang dipakai sebagai Mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam butir pertama Piagama Jakarta disebutkan, "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Ketika UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah mukadimah diganti dengan pembukaan UUD dan butir pertama itu diganti menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Semua ini bisa terjadi setelah melalui lobi-lobi dan kompromi berbagai pihak.
***
Persoalan dasar negara yang menjadi perdebatan seru dalam sidang-sidang BPUPKI dan dilanjutkan dengan terbentuknya Tim Sembilan itu adalah kelanjutan perdebatan panjang sebelumnya. Dari tahun 1920 hingga 1930-an, polemik serupa pernah terjadi antara kelompok nasionalis Islami yang diwakili Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir di satu pihak dengan Soekarno dan Tjipto Mangunkusumo yang mewakili kelompok nasionalis sekuler.
Pada 1940-an, kembali terjadi perdebatan tentang negara dan agama antara Mohammad Natsir dengan Soekarno. Jadi, perdebatan yang terjadi di BPUPKI itu bukanlah perdebatan yang instan, melainkan melalui sejarahnya yang cukup panjang.
Sidang-sidang BPUPKI kembali menghangat ketika materi bahasannya mengancik pada apa dasar negara kita. Soekarno bersikukuh bahwa negara yang hendak dilahirkan adalah negara-bangsa, bukan negara-agama. Sedangkan golongan nasionalis Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo bersikukuh bahwa Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas warga Indonesia perlu diberi tempat tersendiri. Sejarah akhirnya membawa pada titik temu, dengan keluarnya Piagam Jakarta.
Dalam perkembangannya, Piagam Jakarta direvisi dan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi sebagian umat Islam, semangat Piagam Jakarta itu tetap membara dalam pemahamannya tentang dasar dan konstitusi Indonesia. Dan sikap yang adil adalah, ketika berbicara tentang dasar negara, jangan menafikan keberadaan Piagam Jakarta, yang menjadi kesepakatan awal yang dilakukan para bapak bangsa pendiri republik ini.
***
Dalam membangun konsititusi, tentu tidak berhenti dengan disepakatinya dasar negara. Seperangkat undang-undang dasar diperlukan untuk menata administrasi negara yang hendak dibangun itu. Di sinilah para tokoh lintas agama mulai berperan. Maka, selain ada tokoh-tokoh nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, bermunculan pula tokoh-tokoh dari agama Hindu, Katolik, Protestan, dan juga dari etnis Tionghoa.
Tan Eng Hong, etnis keturunan Tionghoa, ikut membidani Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat. Pasal inilah yang menjadi fondasi hak-hak asasi manusia. Pandangan Tan Eng Hong saat itu telah melampaui Piagam Hak-hak Asasi Manusia yang dikeluarkan PBB pada 10 Desember 1948. Begitu pula I Gusti Ketut Puja asal Singaraja, Bali, dan beragama Hindu.
Dalam rancangan naskah Pembukaan UUD 1945 tertulis, ''Atas berkat rahmat Allah yang Mahakuasa.'' Setelah sidang mendengar pandangan I Gusti Ketut Puja, naskah itu diganti menjadi, ''Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa.'' Kata ''Tuhan'' adalah istilah generik dan bisa diterima semua penganut agama.
Dari sini kita bisa mengetahui, betapa tolerannya para anggota BPUPKI. Mereka sangat paham arti sebuah toleransi demi keharmonisan bersama dalam rumah bernama Indonesia. Begitu pula wakil-wakil yang lain. Sikap kebersamaan untuk Indonesia yang bersatu lebih mereka kedepankan. Dalam waktu bersamaan, mereka meminimalkan perbedaan.
***
Kini tugas kita adalah menjaga rumah Indonesia yang bersatu dan berdaulat ini agar tetap utuh. Tentu ini bukan tugas yang ringan, di tengah situasi ekonomi politik global yang penuh dinamika. Maka, tugas-tugas itu ada pada anak bangsa ini secara keseluruhan.
Tugas-tugas itu, antara lain, ikut mengawal jalannya pemerintahan. Bukan hanya mengawal agar tetap utuh dan bersatu, melainkan juga punya peran amar makruf nahi mungkar atas pelaksanaan pemerintahan. Kritik terhadap jalannya roda pemerintahan, jika dinilai telah keluar jalur ataupun ingkar janji, patut pula didengar.
Apalagi, jika kritik itu datang dari para pemuka agama, dari suara-suara lirih tanpa pamrih, mesti menjadi bahan instrospeksi kita bersama. Jika kritik itu datang dari pengamat, itu sudah biasa dan wajar. Tapi, jika kritik itu berasal dari suara-suara lirih tanpa pamrih, tentulah memiliki arti yang dalam.
Ada sesuatu yang mesti diintrospeksi tanpa harus menyalahkan pihak lain, apalagi tersinggung karenanya. Jika tugas para pendiri republik ini adalah menentukan dasar negara dan membuat undang-undang dasar sebagai rujukan untuk berpijak dan melangkah, maka tugas kita saat ini adalah merawatnya.
Para bijak bestari selalu berkata, ''Memproklamasikan kemerdekaan itu mudah; mengisi kemerdekaan itu yang tidak mudah.'' Dan, rujukan kita dalam merawat Indonesia ini, antara lain, mengingatkan kembali bagaimana republik ini dibangun dari dasar-dasarnya. (Herry Mohammad)
Edisi Khusus 17 Agustus majalah GATRA, terbit Rabu, 15 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar