Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast
Tampilkan postingan dengan label agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 September 2012

Teroris bodoh soal agama

Wawancara Said Aqil Siradj (1)

Teroris bodoh soal agama

Jumat, 28 September 2012 09:42:50
Reporter: Mohamad Taufik

Teroris bodoh soal agama
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. (merdeka.com/Arie Basuki)
Terorisme beberapa kali menyasar Indonesia. Ancaman bom menghantui tempat hiburan malam, kantor perwakilan asing, gedung pemerintahan, hingga rumah-rumah ibadah. Dulu ada jaringan Dr Azahari dan Noordin Mohamad Top, dua gembong teroris asal Indonesia.

Kini muncul teroris-teroris muda berusia belasan tahun yang baru-baru ini digerebek di Kota Solo, Jawa Tengah. Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdhatul Ulama) sekaligus Ketua Dewan Penasihat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Said Aqil Siradj menegaskan kelompok radikal bakal terus bermunculan karena banyak faktor.

"Paling dominan faktor pengangguran, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan pemahaman agama keliru," katanya kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com, Rabu (26/9), dalam perjalanan semobil menuju sebuah stasiun televisi. Berikut penuturannya.

Terorisme masih berkembang, apakah deradikalisasi gagal?

Bukan begitu. Kelompok radikal akan selalu ada di setiap agama, Islam, Kristen, Katolik, apalagi Yahudi. Faktornya banyak, paling dominan pengangguran, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan pemahaman agama keliru. Satu faktor lagi adalah balas dendam. Di sini yang saya tanggapi adalah faktor pemahaman keliru. Kalau soal kemiskinan itu urusan pemerintah.

Jadi mereka (teroris) mengira dengan membunuh non-muslim itu jihad. Kemudian orang non-muslim atau setiap orang tidak melaksanakan hukum Islam dianggap thogut, halal darahnya. Itu bukan barang baru. Dulu Sayidina Ali, kita semua tahu siapa dia, remaja pertama masuk Islam, menantu Rasulullah, sahabat paling intelek, termasuk sahabat diberitahu pasti masuk surga, dialah penakluk kota khaibar, dibunuh dalam upaya perdamaian dengan Muawwiyah.

Orang-orang Khawariz menggelar rapat, tidak ada hukum selain hukum Allah, barang siapa tidak menjalankan hukum Allah adalah kafir. Maka Ali yang mengupayakan damai disebut kafir. Padahal hukum-hukum itu hasil rapat manusia, rapat orang-orang, kalau sekarang DPR. Orang-orang ini dari partai Khawariz awalnya pendukung Sayidina Ali. Lalu ketika ditanya apakah Khawariz ini kafir atau bukan, Sayidina Ali mengatakan mereka orang Islam tapi 'baghau alaina', memberontak kepada kita.

Jadi itulah asal kata bughot, dari kata Sayidina Ali, baghau alaina, kemudian menjadi kata thoghut alias membangkang atau gerakan separatis. Jadi kelompok radikal, ekstrem teroris, atau pembangkang selalu ada sampai sekarang. Pada abad ke-16, antara Katolik dan Protestan terjadi pembunuhan dengan jumlah paling besar ketika munculnya Protestan. Kebetulan sekarang eranya orang Islam, kebetulan di Indonesia.

Bagaimana di Indonesia?

Yang kita bicarakan ini agak panjang. Dulu ada namanya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), kemudian ada Negara Islam Indonesia (NII). Setelah DI/TII dipimpin Kartosoewirjo menyerah, masih ada orang tidak mau menyerah, namanya Ajengan Masduki dan Pak Maman di Garut, Jawa Barat. Ada juga bergerak diam-diam bikin pesantren, misalnya Panji Gumilang dan Muhammad Said.

Setelah itu lahirlah NII, termasuk Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar, semula mereka ini lari ke Malaysia. Di sana mereka bikin pesantren Johor. Amrozi, Ali Ghufron, dan Mukhlas pergi ke Malaysia, mulanya untuk bekerja di kebun sawit. Niatnya semula hanya bekerja seperti teman-teman di daerah, semua bekerja di Malaysia. Kemudian mereka ketemu Abu Bakar Ba'asyir, masuk pesantren, digembleng sampai ke Afghanistan, lalu jadi teroris.

Kebanyak teroris sekarang anak muda, ulama pantas disalahkan?

Mereka itu (ulama atau kiai), ada teroris atau tidak, ada bom atau tidak, tetap mengajar di masyarakat. Mereka mengajar akhlak ke masyarakat sekitar. Sekarang, mana ada kiai ngajari santrinya ngebom.

Tapi banyak ulama dengan ilmu pas-pasan sudah berani mengajar?

Yang mempunyai hak menyebarkan agama adalah ahli fiqih. Tolong yang bukan ahlinya jangan ikut campur, bicara agama, nanti tambah berantakan. Jangan masuk wilayah yang kamu tidak mengerti. Mata, mulut, semua akan dimintai pertanggungjawaban.

Anda melihat terorisme di Indonesia meningkat?

Meningkat karena pengangguran, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Biodata

Nama : Said Aqil Siroj

Tempat/Tanggal Lahir : Cirebon, 3 Juli 1953

Hobi : Membaca, ibadah, silaturrahmi

Istri : Nur Hayati Abdul Qodir
Anak : Muhammad Said Aqil, Nisrin Said Aqil, Rihab Said Aqil, Aqil Said Aqil

Pendidikan

S1 Universitas King Abdul Aziz, jurusan Ushuluddin dan Dakwah, lulus 1982

S2 Universitas Umm al-Qura, jurusan Perbandingan Agama, lulus 1987

S3 University of Umm al-Qura, jurusan Aqidah / Filsafat Islam, lulus 1994

Pendidikan Non-Formal

Madrasah Tarbiyatul Mubtadi'ien Kempek Cirebon

Hidayatul Mubtadi'en Pesantren Lirboyo Kediri (1965-1970)

Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (1972-1975)

Pengalaman Organisasi

Sekertaris PMII Rayon Krapyak Yogyakarta (1972-1974)

Ketua Keluarga Mahasiswa NU (KMNU) Mekkah (1983-1987)

Wakil Katib 'Aam PBNU (1994-1998)

Katib 'Aam PBNU (1998-1999)

Penasihat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia (Gandi) (1998)

Ketua Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa (FKKB) (1998-sekarang)

Penasihat Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI (1998-sekarang)

Wakil Ketua Tim Gabungan Pencari fakta (TGPF) Kerusuhan Mei 1998 (1998)

Ketua TGPF Kasus pembantaian Dukun Santet Banyuwangi (1998)

Penasihat PMKRI (1999-sekarang)

Ketua Panitia Muktamar NU XXX di Lirboyo Kediri (1999)

Anggota Kehormatan MATAKIN (1999-2002)

Rais Syuriah PBNU (1999-2004)

Ketua PBNU (2004-sekarang)

Kegiatan

Tim ahli bahasa Indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah (1991)

Dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) (1995-1997)

Dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1995-sekarang)

Wakil Direktur Universitas Islam Malang (Unisma) (1997-1999)

MKDU penasihat fakultas di Universitas Surabaya (Ubaya) (1998-sekarang)

Wakil ketua dari lima tim penyusun rancangan AD / ART PKB (1998)

Dosen luar biasa Institut Islam Tribakti Lirboyo Kediri (1999 – sekarang)

Majelis Permusyawaratan Rakyat anggota fraksi yang mewakili NU (1999-2004)

Lulusan Unisma direktur (1999-2003)

Penasihat Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) (2001-sekarang)

Dosen pascasarjana ST Ibrahim Maqdum Tuban (2003-sekarang)

UNU Dosen lulusan Universitas NU Solo (2003-sekarang)

Lulusan Unisma dosen (2003-sekarang)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) 2010-2015.
[fas]
Wawancara Said Aqil Siradj (2)

Ajaran Wahabi mendorong orang menjadi teroris

Jumat, 28 September 2012 10:07:56
Reporter: Mohamad Taufik

Ajaran Wahabi mendorong orang menjadi teroris
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. (merdeka.com/Arie Basuki)Teroris
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menyebut ada kaitan antara aliran Wahabi dengan jaringan terorisme. Sebab, ajaran ini menyebutkan ziarah kubur, tahlilan, haul, dan istighosah itu musyrik dan bid'ah.

“Nah, di hati dan pikiran anak-anak muda, kalau begitu orang NU musyrik, kalau gitu orang tua saya tahlilan musyrik juga, halal darahnya, bisa dibunuh,” kata dia. Sebab itu, ajaran Wahabi sangat berbahaya.

Berikut penuturan Said Aqil kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com, Rabu (26/9), dalam perjalanan semobil menuju sebuah tasiun televisi.

Sejauh mana pengaruh asing membentuk radikalisme di Indonesia?

Kita awali dulu dari Timur Tengah. Dulu, begitu Anwar Sadat berkuasa di Mesir, tahanan kelompok Ikhwanul Muslimin dipenjara, semua dilepas. Mereka kebanyakan pintar, ahli. Setelah keluar dari tahanan, kebanyakan megajar di Arab Saudi. Di Arab mereka membentuk gerakan Sahwah Islamiyah atau kesadaran kebangkitan Islam. Sebenarnya pemerintah Arab Saudi sudah prihatin, khawatir mereka menjadi senjata makan tuan.

Tapi, kebetulan pada 1980-an, Uni Soviet masuk ke Afghanistan. Pemerintah Arab menjaring, menampung anak-anak, termasuk kelompok Ikhwanul Muslimin, berjihad ke Afghanistan, termasuk Usamah Bin Ladin. Bin Ladin ini keluarga kaya, pemborong Masjidil Haram. Singkat cerita, setelah Soviet lari, kemudian bubar, Arab Saudi memanggil mereka kembali. Yang pulang banyak, yang tidak juga banyak.

Lalu Bin Ladin membentuk Al-Qoidah. Menurut mazhab Wahabi, membikin organisasi bid’ah. Maka Bin Ladin diancam kalau tidak pulang dicabut kewaranegaraannya. Sampai tiga kali dipanggil, tidak mau pulang, maka dicabutlah kewarganegaraanya. Nah, sekarang jadi sambung dengan cerita teroris di Indonesia. Di sini ada DITII, di sana ada Al-Qaiudah. Tapi saya heran, mereka ini berjuang atas nama Islam, tapi tidak pernah ada gerakan Al-Qaidah pergi ke Palestina.

Walau mengebom itu salah, saya heran, padahal mengatasnamakan demi Islam, tapi tidak pernah ada Al-Qaidah pergi ke Israil mengebom atau apalah. Yang dibom, malah Pakistan, Indonesia, dan Yaman. Kenapa tidak pergi ke Israil kalau memang benar-benar ingin berjihad. Walau saya sebenarnya juga tidak setuju kalau sekonyong-konyong mengebom Israel, itu biadab juga. Tapi artinya, kalau benar-benar ingin berjuang kenapa tidak ke Israel.

Lalu hubunganya dengan Indonesia?

Kemudian beberapa organisasi di Indonesia mulai tumbuh. Mohon maaf, ketika beberapa lembaga atau yayasan pendidikan di Indonesia didanai oleh masyarakat Saudi beraliran Wahabi, Ingat, bukan pemerintah Arab Saudi. Dana dari masyarakat membiayai pesantren baru muncul, di antaranya; Asshofwah, Assunnah, Al Fitroh, Annida. Mereka ada di Kebon Nanas, Lenteng Agung, Jakarta, Sukabumi, Bogor, Jember, Surabaya, Cirebon, Lampung dan Mataram.

Mereka mendirikan yayasan Wahabi. Tapi sebentar, jangan salah tulis, saya tidak pernah mengatakan Wahabi teroris, banyak orang salah paham. Tapi doktrin, ajaran Wahabi bisa, dapat mendorong anak-anak muda menjadi teroris. Karena ketika mereka megatakan tahlilan musyrik, haul dan istighosah bidah, musyrik, dan ini-itu musyrik.

Nah, di hati dan pikiran anak-anak muda, kalau begitu orang NU musyrik, kalau begitu orang tua saya tahlilan musyrik juga, halal darahnya, bisa dibunuh. Kalau seperti itu, tinggal ada keberanian atau tidak, ada kesempatan dan kemampuan atau tidak, nekat dan tega atau tidak. Kalau ada kesempatan, ada keberanian, ada kemampuan, tinggal mengebom saja. Walau ajaran Wahabi sebenarnya mengutuk pengeboman, tidak metolerir, tapi ajaran mereka keras,

Contoh, di pesantren Assunnah, Kalisari Jonggrang, Cirebon Kota. Pemimpinnya Salim Bajri, sampai sekarang masih ada, punya santri namanya Syarifudin mengebom masjid Polresta Cirebon, punya santri namanya Ahmad Yusuf dari Losari, mengebom gereja kota di Solo. Ajarannya sih tidak pernah memerintahkan mengebom, tapi bisa mengakibatkan.

Anda setuju Wahabi pembentuk radikalisme?

Saya tidak pernah mengatakan Wahabi teroris, banyak orang salah paham. Tapi doktrin, ajaran Wahabi dapat mendorong anak-anak muda menjadi teroris. Karena ketika mereka megatakan tahlilan musyrik, haul dan istighosah bidah, musyrik, dan ini-itu musyrik. Jadi ajaran Wahabi itu bagi anak-anak muda berbahaya.

Bisa dibilang ada persaingan antara Wahabi dan Sunni?

Ya jelas dong. Jadi mereka punya sistem, uang, dana, pelatih. Tapi sekali lagi jangan salah paham. Saya hormat kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz karena saya alumnus sana. Tapi saya menentang Wahabi.

Jadi sebatas perbedaan pendapat?

Ya, yang saya tentang Wahabi, bukan raja Arab Saudi. Karena duta besar Arab Saudi bilang saya ini mencaci Raja Arab. Itu salah.

Berapa pesantren beraliran Wahabi ini?

Setahu saya ada 12 pesantren, di antaranya Asshofwah, Assunnah, Al Fitrah, Annida. Pesantren seperti ini (Wahabi) lahirnya baru sekitar 1980-an.
[fas]
Wawancara Said Aqil Siradj (3)

Pemerintah perlu awasi dakwah ulama

Jumat, 28 September 2012 10:24:57
Reporter: Mohamad Taufik

Pemerintah perlu awasi dakwah ulama
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. (merdeka.com/Arie Basuki)
Sebagai pembimbing dan pengajar agama, ulama kerap dicatut saban penangkapan teroris baru di Indonesia. Ulama dianggap memiliki peran membentuk mental dan moral umat, terutama generasi muda. Lalu bagaimana menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj ihwal masalah itu.

“Mereka itu (ulama atau kiai), ada teroris atau tidak, ada bom atau tidak, tetap mengajar di masyarakat. Mereka mengajar akhlak ke masyarakat sekitar. Sekarang, mana ada kiai mengajari santrinya mengebom,” kata dia.

Namun dia mengakui dakwah ulama perlu diawasi. Bahkan, pemerintah perlu melarang dakwah ulama yang memicu perpecahan, misalnya mengkafirkan sesama.

Bagaimana pandangan Said Aqil tentang peran ulama di Indonesia, berikut penuturannya kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com dalam perjalanan semobil menuju sebuah stasiun televisi, Rabu (26/9).

Apakah Anda melihat makna ulama sudah rendah, misalnya munculnya ustad Instan?

Salahnya itu. Kita sayang sekali. Seperti tadi saya katakan. Orang memahami agama itu tidak gampang, tidak cukup waktu satu atau dua minggu, misalnya ikut pesantren kilat, terus selesai. Belajar agama butuh waktu lama.

Apakah perlu ada sertifikasi ulama?

Persoalan sertifikasi sudah selesai. Saya sudah menentang itu. Artinya, ulama atau kiai itu gelar sosial pemberian masyrakat, bukan gelar akademis. Syaratnya apa? mengajarkan agama, memiliki integritas pengetahuan agama tidak diragukan lagi, mereka menjadi pengayom di tengah masyarakat. Mereka itulah disebut ulama oleh masyarakat.

Apa perlu ulamak mengajarkan radikalisme dilarang?

Bisa saja itu. Setiap ada pesantren yang doktrinnya mudah megkafirkan dan memusyrikkan orang lain.

Kalau pesantren, misal Wahabi?

Saya kira jangan pesantrennya. Tapi organisasinya, lembaga nirlaba, yayasan, lembaga pendidikan yang ada indikasi merongrong keutuhan NKRI harus dilarang. Kalau memperkuat NKRI harus kita pertahankan. Kalau merongrong, menentang Bhineka Tuggal Ika, jangan ragu-ragu, NU berada di belakang.
[fas]
Wawancara Said Aqil Siradj (4)

Pesantren NU tidak melahirkan teroris

Jumat, 28 September 2012 10:37:11
Reporter: Mohamad Taufik

Pesantren NU tidak melahirkan teroris
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. (merdeka.com/Arie Basuki)

 
Beberapa waktu lalu sempat ribut berita tudingan rohis di sekolah dan masjid sebagai sasaran teroris. Penyebabnya adalah berita di Metro TV tentang bibit terorisme di sekolah. Pola rekrutmen teroris, menurut Metro, ada lima, yakni sasarannya siswa SMP akhir-SMA dari sekolah-sekolah umum, masuk melalui program ekstra kurikuler di masjid-masjid sekolah.

Siswa-siswi terlihat tertarik kemudian diajak berdiskusi di luar sekolah, dijejali berbagai kondisi sosial buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang, dan doktrin penguasa adalah thaghut alias kafir. Dalam waktu singkat, protes terhadap stasiun televisi itu menyeruak. Di Twitter pun datang bertubi-tubi karena kebanyakan aktivis dakwah muda merupakan jebolan rohis.

Lalu bagaimana menurut pandangan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraj? Berikut penjelasannya kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com dalam perjalanan semobil menuju sebuah stasiun televisi swasta, Rabu (26/9).

Bagaimana pandangan Anda tentang tuduhan rohis-rohis sekolah sebagai basis menyemai radikalisme Islam?

Sebenarnya ini kelemahan kita, NU atau Muhammadiyah, kurang bisa menampung keiginan pemuda. Mereka bertemu ustad atau guru, dianggap baru dan dinamis. Mereka terperangkap di situ, kalau NU dan Muhammadiyah mungkin dianggap itu-itu saja, jadinya bosan.

Kebanyakan incaran dan dan tuduhan terorisme banyak ditujukan kepada anak-anak muda?

Ya. Biasanya ustad-ustad itu masuk ke kampus-kampus eksak disiplin ilmu pasti, misalnya Intitut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, bukan di IAIN. Karena mereka keilmuanya pasti, hitam putih.

Bagaimana dengan santri muda NU?

Di bawah NU itu ada 21 ribu pesantren, data itu dengan jumlah murid di atas 200 ke atas. Hingga kini tidak ada satupun santri terlibat teroris. Lulusan pesantren Jawa Tegah, Jawa Timur, Jombang, Pasuruan, Kediri, Jember, tidak ada satupun terlibat teroris. Saya kritik juga media, kalau isu teroris dibesar-besarkan, tapi giliran acara istighosah, pengajian, tahlilan, tidak diliput.

Tapi sepertinya pesantren dikaitkan terus?

Ini susah kalau sudah didakwa. Tapi saya tegaskan, lulusan pesantren NU tidak ada yang jadi teroris. Anshor itu misalnya, selama ini aman-aman saja.
[fas]

Sabtu, 08 September 2012

Jangan terapkan Syariat Islam di negara Pancasila

Sabtu, 8 September 2012 12:28:05

Jangan terapkan Syariat Islam di negara Pancasila


Jangan terapkan Syariat Islam di negara Pancasila
Peta Indonesia
Kategori
Reporter: Muhammad Mirza Harera


Juru bicara Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Son Hadi menegaskan bahwa kekerasan yang memiliki dasar yang kuat diperbolehkan untuk dilakukan. Sebab, dalam islam sendiri mengatur hukum dalam hadist dan di beberapa negara islam masih diberlakukan.

"Kekerasan dengan dasar itu boleh. Seperti potong tangan jika mencuri dan lainnya. Dalam hadist itu juga ada," kata Son Hadi dalam dialog Polemik Sindo Radio bertajuk 'Teror Tak Kunjung Usai' yang digelar di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9)

Menurutnya, jika memang selama ini banyak negara tidak mengindahkan kekerasan dengan cara apapun, tetapi Syariat membolehkan, maka tidak masalah untuk dilaksanakan.

Dalam kesempatan yang sama Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Saleh Daulay membantah perkataan dari Son Hadi. Menurutnya, meski dibolehkan, tetapi tidak tepat dilakukan di Indonesia yang menganut Pancasila ini.

"Jika Syariat Islam ingin ditegakkan, itu tidak masalah. Namun, tetap pelaksana Syariat Islam tersebut harus mengikuti prosedur yang telah terbangun di Indonesia. Di Indonesia itu kan sistem Demokrasi sudah final," kata Saleh.

Saleh pun menambahkan, jika para kelompok yang memiliki pandangan lain seperti yang dikatakan Son Hadi, maka silakan mengikuti sistem demokrasi yang ada, dengan mengadakan dialog terbuka terkait pandangan atau ideologinya.

"Atau sebaiknya anda bikin partai saja supaya konstituennya jelas. Dialog seperti ini harus dilakukan dengan hati dan pikiran yang terbuka," cetusnya.
[hhw]
KOMENTAR:Syariat Islam boleh dalam pelaksanaan ibadah terhadap Allah SWT, tetapi bukan dalam Pelaksanaan Negara Republik Indonesia yang telah berdasarkan Pancasila,pemaksaan Syariat Islam sebagai Alat Politik di Indonesia hanya akan berakibat perpecahan Bangsa Indonesia karena Pendangkalan Pemahaman Syariat Islam yang juga juga harus dibarengi dengan Hakikat dan Makrifat yang tidak bisa dipisahkan begitu saja dalam mempelajarinya.Pancasila itu sendiri merupakan intisari dari Agama Islamyang diterapkan didalam Ke Tuhanan Yang Maha Esa yang Ber Peri Kemanusiaan,Yang ber Persatuan Indonesia Yang ber Kedaulatan Rakyat yang ber Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Selasa, 28 Agustus 2012

Biar tak disebut haji pengabdi setan, ini syaratnya


Biar tak disebut haji pengabdi setan, ini syaratnya


Biar tak disebut haji pengabdi setan, ini syaratnya
ilustrasi
Reporter: Mohamad Hasist



Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin mempersilakan orang berhaji dan umrah berkali-kali. Asalkan, niatnya adalah untuk beribadah.

"Kalau haji dan umrah berkali-kali tidak masalah, asalkan tidak mengabaikan kewajiban di dalam negeri. Contohnya menyantuni fakir miskin, zakat, berumrah berkali-kali boleh-boleh saja," kata Maruf kepada merdeka.com, Jumat (24/8).

Namun, jika haji dan umrah berulangkali itu niatnya buruk dan hanya untuk berwisata maka berdosa. "Meninggalkan kewajiban di dalam negeri seperti zakat dan lain-lain karena mementingkan haji dan umrah itu tidak betul," ujar dia.

Amir mengungkapkan hal ini menanggapi
kritikan dari Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Ali Mustafa Yaqub. Dalam wawancaranya dengan merdeka.com, Ali menyayangkan sudah bergesernya seseorang memahami makna berhaji dan berumrah. Apalagi jika Ramadan tiba, banyak masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong pergi ke Tanah Suci.

Banyak yang tujuannya tidak hanya ibadah. Ada pula yang justru sambil berwisata. "Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi umrah saat Ramadan," ujar Ali.

Menurut Ali, tidak ada ayat Alquran dan Hadis yang menyuruh haji berkali-kali. Padahal, masih banyak kewajiban sosial di dalam negeri yang harus dijalankan. Dia menegaskan bolak balik berhaji dan berumrah adalah salah satu produk konsumerisme berbungkus ibadah.

"Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan," kata Ali.
[has]
Jumat, 24 Agustus 2012 07:00:00Wawancara Ali Mustafa Y. (1)

Ramadan bulan konsumerisme


Ramadan bulan konsumerisme
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Mustafa Ali Yaqub. (merdeka.com/Islahuddin)
Reporter: Islahudin



Setiap Ramadan kita jarang menyadari jumlah baliho iklan meningkat drastis jauh dari biasanya. Bahkan, sebelum penentuan awal puasa, iklan-iklan produk kebutuhan shaum dan Lebaran sudah mengudara di radio dan televisi.

Alhasil, seperti biasa, pengeluaran kaum muslim saban puasa selalu menigkat tajam. Mulai dari makanan berlimpah tiap berbuka dan sahur, hingga gemerlap pakaian buat berlebaran.

Menurut Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, perilaku umat Islam sudah bergeser. Bukannya memperbanyak sedekah dan infak, malah menghamburkan fulus buat kesenangan dunia. Setidaknya, dia sudah membuktikan itu dengan makin berkurangnya isi kotak amal masjid ketimbang Ramadan tahun lalu. "Saya juga jadi korban," kata dia menceritakan pengalamannya saat bulan puasa di Kanada.

Berikut penuturan Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.

Apakah jumlah mal di Jakarta mempengaruhi menurunnya kedermawanan warga?

Perilaku Ramadan saat ini sudah bergeser. Ramadan itu sudah sebagai alat merangsang kemampuan konsumerisme. Ini bukan merujuk ke mal. Ternyata konsumerisme ini adalah gerakan global, ulah dari para kapitalis. Untuk mengetahui hal ini perlu penelitian lebih jauh. Mengapa meski Ramadan yang digunakan, bukan bulan-bulan lain, Muharam, misalnya. Mungkin ini berlangsung dengan sejarah panjang.

Memang Ramadan adalah bulan infaq. Ketika memberikan infak biasanya orang memberikan barang baru. Dari situ kemudian jadi membeli dan makin banyak membeli barang saat Ramadan, misalnya orang beli sarung atau pakaian. Hal itu kemudian ditangkap oleh pelaku pasar. Akhirnya muncul reklame sebesar-besarnya, iklan-iklan produk luar biasa.

Ramadan digunakan untuk banyak berinfak dan itu sudah dicontohkan oleh Rasulullah. Infak itu boleh dengan uang atau barang, tidak ada yang salah. Orang berinfak dengan barang ada dua nilai di dalamnya. Infaknya masuk dan bisa ada kenangan di dalamnya. Misalnya, membelikan sarung untuk orang lain agar sarung itu bisa digunakan untuk salat dan yang memberikan mendapat pahala. Bisa saja perhitungannya, kalau diberi uang seketika itu juga akan habis. Tapi itu kemudian dimanfaatkan oleh gerakan konsumerisme global itu.

Sejak kapan konsumerisme Ramadan dimulai?

Itu perlu penelitian mulai kapan itu terjadi. Tapi yang jelas Walter Armbrust mempublikasikan penelitiannya pada 2004. Kesimpulan penelitian Walter Armbrust ternyata Ramadan dijadikan sebagai tujuan bulan multiguna gerakan konsumerisme.

Bahkan saya jadi korban. Saya pernah bulan Ramadan di Kanada. Saat itu sedang di air terjun Niagara. Waktu itu sore dan rombongan sedang jalan-jalan. Saat melakukan perjalanan ada poster besar bertuliskan menyediakan menu berbuka puasa, itu hotel. Seketika itu juga saya mengajak rombongan nanti berbuka puasa di hotel itu. Tahu-tahu yang bikin hidangan non-muslim. Setelah itu saya menyadari saya terjerumus pusaran iklan saat itu. Padahal di hotel tempat kami menginap juga menyiapkan menu berbuka, bisa juga memesan makanan halal.

Tidak tahu kenapa, langsung tertarik pada iklan itu. Mungkin kalau tidak mengikuti iklan itu, kami akan berbuka seadanya saja. Tapi karena iklannya bilang menyediakan spesial iftar Ramadan, kami langsung sepakat. Saat itu juga kami sudah jadi korban iklan.

Bahkan, Walter Armbrust mengatakan ahli pemasaran seluruh dunia menunggu Ramadan karena periode bisnis paling penting dalam satu tahun. Itu peningkatan omzetnya jauh lebih besar dari bulan-bulan biasanya. Ramadan mulanya dari perilaku infaq sudah bergeser ke perilaku konsumtif. Ada pergeseran di situ. Kalau infaknya masih oke. Tapi bergser, lebih banyak didominasi oleh unsur konsuntif, bukan kian membesar semangat dan jumlah infaknya.

Apakah gerakan konsumerisme itu membuat turunnya jumlah infak masjid-masjid besar di Jakarta?

Ada tiga masjid bisa dijadikan barometer di Jakarta dalam hal ini. Masjid Istiqlal, Masjid Agung Sunda Kelapa, dan masjid At-Tin. Tahun lalu malam pertama di Masjid At-tin dapat infaq Rp 5 juta, tahun ini Rp 3 juta. Masjid Istiqlal tahun lalu infaq dari kotak amal salat tarawih mencapai Rp 23 juta dan tahun ini pada malam pertama memperoleh Rp 16 juta. Sedangkan Masjid Agung Sunda Kelapa tahun lalu untuk tarawih malam pertama memperoleh Rp 19 juta dan tahun ini Rp 16 juta.

Mengapa ada penurunan seperti itu. Mestinya pada malam pertama Ramadan perolehan infak di situ paling banyak. Banyak kawan mengatakan, mal-mal sekarang lebih ramai dari masjid-masjid saat bulan puasa.

Sejak kapan itu terjadi di Masjid Istiqlal?

Tahun-tahun sebelumnya saya tidak pernah membanding-bandingkan. Saya membandingkan tahun ini saja dengan tahun lalu. Sebelumnya tidak pernah. Terus kemudian saya tanya pengurus tiga masjid itu. Istiqlal, Sunda Kelapa, dan At-tin.

Hanya tanya saja, tidak melakukan penelitian. Tapi ini tiga masjid besar di Jakarta dan bisa dijadikan parameter. Tapi saya tidak menyamakan semuanya, jangan-jangan di tempat lain lebih besar. Paling tidak dari jumlah diperoleh oleh masjid-masjid besar itu bisa menjadi renungan.

Bukankah bersedekah itu bukan dinilai dari ukurannya, tapi keikhlasannya?

Itu tentu. Tapi kalau tidak ada nilainya, seribu rupiah, apa artinya zaman sekarang. Dia bisa membuang uang dua puluh juta, kok sedekahnya hanya seribu saja.

Yang salat waktu itu sekitar 15 ribu orang. Jadi diperkirakan saat itu tiap orang memasukkan infak seribu rupiah plus sedikit saja. Apa arti seribu rupiah saat ini. Kalau berapa pun jumlahnya, terus yang penting ikhlas. Itu bukan ikhlas namanya, tapi semaunya.

Ikhklas itu begini. Saya mampu mengangkat barang 20 kilogram, saya akan angkat. Tapi kalau saya mampunya 20 kilogram tapi kemudian saya angkat 100 kilogram itu pamer atau riya. Kalau saya mampu mengangkat 20 kilogram dan saya angkat hanya dua ons saja itu namanya semaunya. Dia mampu infak sepuluh juta kenapa hanya seribu rupiah, itu bukan ikhlas. Ini perlu kita luruskan dan sayang tidak banyak yang mau meluruskan. Malah ikut larut dalam putaran seperti itu.

Biodata

Prof. Ali Mustafa Yaqub, MA

Tempat/Tanggal Lahir: Batang 2 Maret 1952

Pendidikan

MTs dan MA (SMP-SMA) Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur 1976 (Lulus)

S-1 Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asyari, Jawa Timur (1976) Tidak dilanjutkan karena mendapat beasiswa ke Arab Saudi

S-1 Fakultas Syariah, Universitas Muhammad ibnu Saud, Arab Saudi (1976-1980)

S-2 Tafsir Hadis, Universitas Muhammad ibnu Saud, Arab Saudi (1980-1985)

S-3 Syariah, Universitas Hyderabad, India, di Jakarta (2005-2008)

Karir

Pengajar Institut Ilmu Al-Quran (IIA), Institut Studi Ilmu Al-Quran (ISIQ), Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) Al-Hamidiyah dan UIN Syarif Hidayatullah (sejak 1985-an sampai saat ini)

Pendiri dan pengajar Pondok Pesantren Darussunnah, Jakarta (1997)

Organisasi

Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh, Arab Saudi

Sekretaris Jenderal/Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat (sejak 1995)
[fas]
Jumat, 24 Agustus 2012 07:29:00Wawancara Ali Mustafa Y. (2)

Berhaji dan berumrah berulang kali pengabdi setan


Berhaji dan berumrah berulang kali pengabdi setan
Mekkah (Shutterstock/ayazad)
Reporter: Islahudin



Tidak hanya pindah ke pusat-pusat belanja, kalangan atas gandrung berumrah saat Ramadan hingga tembus Lebaran, meski ibadah itu sudah berkali-kali dilakoni. Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Ali Mustafa Yaqub, Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan hal itu. Dia menegaskan bolak balik berhaji dan berumrah adalah salah satu produk konsumerisme berbungkus ibadah.

Berikut penuturan Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.

Apa masjid kalah bersaing dengan mal di Jakarta?

Saya tidak mengenal kata bersaing. Yang jelas, mal berhasil menyedot jamaah banyak ke masjid menjadi banyak ke mal. Apalagi mal ada di depan masjid, sekalian. Ini bukan karena malnya. Ini karena faktor konsumtif. Perilaku itu membuat orang lebih banyak ke mal ketimbang ke masjid.

Bagi sosiolog, perubahan perilaku ini sangat menarik untuk diteliti. Lebih parah lagi, konsumerisme itu ada yang dibungkus dalam bentuk ibadah. Misal bentuknya umrah saat Ramadan. Pada 2009, ada 3,6 juta orang umrah ke Makkah. Sekarang mungkin sekitar empat juta orang. Dari jumlah itu, kalau per orang dikenai biaya dua ribu dolar, jumlah uangnya ada delapan miliar.

Jumlah itu terbuang hanya untuk hal-hal tidak wajib dan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Kalau itu itu wajib mungkin wajar, demikian juga kalau pernah dicontohkan oleh Rasullah, itu tidak masalah. Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi umrah saat Ramadan. Saya juga tidak tahu bagaimana pergeseran yang mulanya infak itu hingga menjadi umrah saat Ramadan.

Sekarang banyak masjid membuat brosur Ramadan memasukkan umrah itu sebagai amal ibadah Ramadan. Padahal umrah itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan. Di luar Ramadan boleh seperti itu. Tapi memasukkan umrah sebagai amaliyah Ramadan itu sudah punya tujuan lain. Mungkin saja pengurus masjid ingin menjaring jamaah agar dia bisa gratis ke sana. Ini bergesernya pelan-pelan, tidak terasa.

Seperti apa peran ulama dalam hal ini?

Ulama saja jadi korban konsumerisme karena ulamanya tidak mau mempelajari hadis, bagaimana perilaku Rasulullah pada Ramadan. Maka yang penting senang pergi ke Makkah. Bagaimana tidak senang, dia dan istrinya bisa gratis kalau dapat jamaah banyak. Bagaimana tidak senang seperti itu. Maka jamaahnya dirayu untuk pergi umrah saat Ramadan.

Bagaimana dengan teladan dari ulama?

Siapa diteladani kalau dia tidak pernah membaca hadis perilaku nabi. Tidak pernah baca hadis dan syirah. Itulah kendalanya dan akhirnya dia menjadi korban konsumerisme, bahkan ikut terlibat membikin konsumerisme.

Apakah ada pihak membahas hal ini setiap selesai Ramadan?

Setahu saya tidak pernah ada. Siapa mau mengevaluasi. Saya yakin tidak ada. Yang bicara seperti ini juga tidak ada selain saya. Saya punya keinginan kita kembali mengikuti perilaku nabi patut kita contoh. Bagaimana beribadah saat Ramadan, bukan mengumbar nafsu seperti itu. Selain itu agar infaknya lebih digalakkan saat Ramadan. Di bulan lain beliau dermawan, bahkan dilukiskan kedermawanan beliau saat Ramadan itu seperti angin kencang. Kalau sekarang tidak, umat muslim lebih senang umrah saat Ramadan.

Mungkin yang umrah saat Ramadan itu merasa tenang batinnya?

Bukan ketenangan batin, tapi kesenangan batin. Kalau ketenangan bisa dengan qiyamul lail di Masjid Istiqlal di malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadan. Coba Anda baca Republika kemarin ada orang-orang mengikuti kegiatan itu dan mendapatkan ketenangan. Bukan malah ke Makkah. Itu tidak mendapatkan ketenangan, tapi kesenangan.

Makanya diperlukan sekarang adalah ulama-ulama bisa memberikan keteladanan. Dari mana sumber keteladanan itu, ya mengikuti perilaku Rasulullah. Kalau sekarang mengikuti perilaku nafsu dan itu ironis sekali di bulan Ramadan. Mestinya mengekang nafsu, malah mengumbar nafsu.

Saat saya berkunjung ke masjid Sunda Kelapa pada Ramadan, ada orang mendekati saya dan bilang, “Pak Ustad, saya baru pulang dari Makkah.” Saya langsung balas, “Saya tidak tanya.” Dikira ke Makkah saat Ramadan itu bagus. Kalau itu bagus, Rasulullah akan mencontohkan itu. Bila perlu setiap hari akan umrah, bila itu bagus. Yang dicontohkan Rasul justru berinfak sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian infak itu dibelokkan ke perilaku konsumtif. Akhirnya yang menonjol konsumtifnya, bukan infaknya.

Menurunnya kedermawanan ini apa juga dipengaruhi oleh turunnya ekonomi negara?

Kalau itu dijadikan parameter mungkin orang tidak akan berbondong-bondong umrah. Anda coba tanya ke Kedutaan Besar Arab Saudi yang umrah dari Indonesia saat Ramadan berapa orang? Kedutaan Arab Saudi mengeluarkan visa pasti sebelum Ramadan. Kalau di luar Ramadan saya pernah diberitahu rata-rata 7.500 orang. Itu dari jumlah stempel paspor umrah diberikan

Kalau faktor ekonomi masalahnya, tentu tidak banyak yang pergi umrah. Ini faktor konsumerisme dibungkus dengan ibadah.

Kenapa itu jarang terdengar?

Saya kadang banyak mengecam. Saya menulis buku Haji Pengabdi Setan, maksudnya untuk orang berhaji ulang. Itu niatnya ikut siapa, sementara kondisi negara masih terpuruk. Indonesia kalau mengikuti indikator PBB, masih ada 117 juta orang miskin. Nabi berkata, “Tidak beriman orang pada malam perutnya kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan.” Berapa juta orang Indonesia masih kelaparan.

Saya tanyakan kepada ustad-ustad yang merekomendasikan haji ulang atau umrah itu. Tidak bisa menjawab, malah dia larut dalam arus konsumerisme itu. Melihat hal ini, perlu ada revolusi moral. Saya kadang merasa sendirian dalam memberitahukan hal ini. Saya sering mengatakan berhaji ulang itu rugi. Saya katakan itu dilawan banyak kalangan dan bilang, “Berhaji kok rugi.”

Coba bandingkan biayanya itu untuk infak sebanyak-banyaknya. Padahal nanti itu jelas ganjarannya, surga bersama nabi. Kita menyantuni anak yatim, jaminannya surga bersama nabi dalam satu kompleks. Coba berhaji, itu kalau mabrur. Itu pun surganya kelas dek, kelas ekonomi.

Ini lebih kepada yang berhaji ulang. Menurut saya, itu bermasalah, sementara kewajibannya masih banyak. Kewajiban itu tidak hanya ibadah, kewajiban sosial juga banyak sekali. Tapi pura-pura buta saja.

Siapa yang diikuti untuk berhaji ulang. Mana ada ayat Alquran dan hadis menyuruh berhaji ulang, sementara kewajiban sosial lain masih banyak. Mau mengikuti Rasulullah, sebutkan hadis yang menyatakan itu, tidak ada, maka kamu hanya mengikuti bisikan dan keinginan nafsu. Meski begitu masih banyak alasannya, ada yang bilang masih belum puas. Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan.

Mulanya mendengar itu, banyak yang menentang, tapi setelah membaca dan memahami yang saya maksud, banyak juga yang mendukung. Opini itu pertama kali saya tulis di Majalah Gatra. Ada Kiai dari Jawa Timur dikasih orang untuk membaca itu dan berkomentar, “Ini apa-apaan, haji penyembah setan.” Sama orang yang memberi opini itu disuruh baca buku saya tentang hal itu, dia bilang, “Pak Kiai, komentarnya nanti saja setelah baca buku ini.” Setalah baca buku itu, dia langsung bilang, “Ini yang saya cari, ayo disalin seratus, bagi ke ulama-ulama Jawa Timur.”

Ini saya amati tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di seluruh negara yang ada penduduk muslimnya. Di Amerika juga begitu. Pada 2007 saya di Amerika, acara televisi di sana penuh iklan umrah dan haji, bahkan ada koran khusus iklan dibagikan gratis. Koran itu isinya penuh iklan, terutama iklan haji dan umrah. Itulah yang yang diteliti Walter Armbrust, hal itu terjadi bukan hanya di negara-negara Islam, tapi di negara-negara yang ada orang Islamnya. Itu gencar sekali.

Mestinya masjid juga menjadi sumber kesejahteraan bagi orang miskin?

Mungkin itu ada, tapi jumlahnya sangat sedikit. Paling diberi makan sahur dan berbuka, itu sedikit. Tapi untuk menuntaskan kemiskinan mereka tidak ada program seperti itu.
[fas]
Jumat, 24 Agustus 2012 08:00:00Wawancara Ali Mustafa Y. (3)

Masyarakat belum percaya lembaga zakat


Masyarakat belum percaya lembaga zakat
Potret kemiskinan. (merdeka.com/Arie Basuki)

Reporter: Islahudin



Dua tahun lalu Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) memperkirakan potensi zakat nasional mencapai Rp 100 triliun. Hingga kini pengelolaan dananya belum maksimal, termasuk untuk memberantas kemiskinan.

Berikut penuturan Imam besar Masjid Istiqlal, Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.

Bagaimana potensi zakat dalam menuntaskan kemiskinan?

Itu masih diributkan. Ini artinya pengelolaan zakat itu belum baik. Saat ini masih banyak orang memberi zakat langsung secara pribadi. Itu menimbulkan masalah, banyak orang mati terinjak-injak untuk memperebutkan itu.

Ini sebabnya macam-macam. Faktor pertama, mungkin tidak percaya pada lembaga amil zakat dan sebagainya. Apalagi lembaga itu dibuat oleh pemerintah, langsung tuduhannya korupsi. Kedua, ada egoisme. Ingin disebut wah kalau bagi-bagi uang, padahal itu kewajiban. Mestinya kewajiban itu tidak usah seperti itu.

Kemarin saya bicara di TV One sama Pak Didin Hafidhuddin (Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional). Saya bilang agar orang membayar zakat pada lembaga diyakininya saja. Eh, malah Pak Didin meminta saya diskusi satu meja. Kita memberi saran, malah ia mengajak diskusi, itu aneh.

Tiap tahun pembicaraan potensi zakat tidak pernah berhenti tampaknya tidak ada perubahan berati dari semua itu?

Pertama zakat itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan, kecuali zakat Fitrah. Kedua, zakat itu pengelolaannya masih konsumtif, bukan pengelolaan produktif. Memang ada yang tadinya mustahiq berubah menjadi muzakki, tapi jumlahnya belum signifikan karena itu belum dikelola rapi dan terarah. Jadi 117 juta orang miskin itu tidak pernah berkurang jadinya, mustahiq terus.

Lembaga zakat mana yang baik dalam pengelolaanya?

Saya belum membandingkan karena saya tidak terlibat langsung dalam hal itu. Belum tahu negara mana yang bagus. Di negara lain juga masih ada perusahaan memberikan langsung kepada orang miskin, langsung dengan antrean panjang. Tapi saya tidak tahu sampai terjadi injak menginjak seperti kita tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena kita jumlah mustahiqnya terlalu banyak.

Tahun 2008 saat saya di Amerika, terjadi kematian pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur. Saya langsung kontak salah satu ulama di sana, apa itu disengaja untuk memicu seperti itu. Tapi, kata kawan-kawan di sana itu murni kecelakaan. Sedih saya mendengar itu (dengan mata berkaca-kaca). Padahal potensi ada.

Baznas itu bisa menerima 1,7 triliun tahun lalu, kata Pak Didin. Kalau sekarang saya tidak tahu secara persis, itu dikemanakan. Tapi kelihatannya kemiskinan di Indonesia itu tidak berkurang. Tetap masih banyak orang miskin. Belum berperan secara optimal.

Kenapa ulama masih saja banyak diam dengan pola pengelolaan zakat saat ini?

Informasi saya dengar, ada sebuah lembaga amil zakat, gaji ketuanya mencapai Rp 35 juta. Padahal dana zakat itu mengalir terus tiap bulan. Itu menjadi pertanyaan. Satu, itu bukti kuat tidak terbantah, badan-badan amil zakat sering memasang iklan di televisi dan itu tidak murah. Belum lagi di koran-koran.

Bukannya itu untuk menarik agar orang berzakat?

Kalau itu benar tujuannya, tidak masalah. Tapi kalau benar informasi kepala amil zakat, gajinya hingga Rp 35 juta, melebihi gaji dirjen di kementerian yang gajinya sampai enam juta. Mungkin saja orang kurang percaya dengan lembaga amil zakat.

Apa anda ragu mendengar hal itu?

Kita tidak perlu pesimistis. Kita kerjakan saja seperti apa dicontohkan nabi. Itu saja prinsip saya. Rasulullah itu tidak hanya ibadah di masjid saja, juga bagaiamana mengelola anak yatim, janda-janda miskin.
[fas]

Sabtu, 25 Agustus 2012

Fatwa MUI Dan Pilihan Politik Rakyat

Fatwa MUI Dan Pilihan Politik Rakyat


Jumat, 24 Agustus 2012
1:00 WIB · 0 Komentar





Apa jadinya jika agama menjadi bagian dari sebuah kekuasaan yang korup dan menindas? Agama pun akan dikorup oleh kekuasaan tersebut. Otoritas keagamaan hanya akan menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan korup dan menindas itu. Fatwa-fatwa keagamaan pun hanya menjadi stempel pembenaran bagi kebijakan penguasa yang menindas.



Gejala ini mulai nampak terlihat dalam lembaga keagamaan di Indonesia. Lembaga keagamaan terus-menerus merapat pada kekuasaan. Akibatnya, banyak fatwa keagamaan menuai kontroversi. Yang terbaru: keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua.



Fatwa itu merekomendasikan agar umat islam memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur beragama islam. Di media Suara Islam disebutkan, MUI menyatakan dukungan kepada pasangan Foke-Nara. Ada tiga alasan yang dikemukan MUI terkait dukungan itu, yakni agama, keilmuwan, dan pengalaman.



Menurut Ketua Pelaksana Harian MUI Pusat, KH Ma’ruf Amin, pasangan Foke-Nara memenuhi kriteria tersebut: pasangan Foke-Nara beragama islam, Foke menyandang gelar doktor perencanaan kota dari luar negeri, dan Foke dianggap sudah berpengalaman sebagai Gubernur DKI Jakarta. (Sumber: http://www.suara-islam.com/detail.php?kid=5153)



Pilkada mestinya menjadi mekanisme demokratis untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat. Inilah momentum politik bagi rakyat untuk menggunakan hak politiknya. Dalam konteks ini, supaya hak politik tersebut bisa tersalurkan dengan baik, rakyat harus punya kemerdekaan atau lepas dari tekanan apapun.



Fatwa MUI, sekalipun hanya bersifat rekomendasi, bisa dianggap sebagai bentuk tekanan psikologis dan moral terhadap pemilih islam. Bayangkan, pembangkangan terhadap fatwa itu bisa dimaknai sebagai dosa. Dengan fatwa itu, pemilih beragama islam dihadapkan satu-satunya pilihan: kehendak pembesar agama.



Disamping itu, alasan-alasan yang diungkapkan MUI sangat tipis kebenarannya. Pertama, pemimpin seagama bukanlah jaminan untuk mensejahterakan umat. Tidak sedikit pemimpin beragama islam yang korup dan lalim. Upaya mengedepankan agama juga kurang relevan untuk mengatasi problem kepemimpinan di DKI Jakarta yang sangat plural dan dinamis. Lagi pula, persoalan Jakarta sangat kompleks. Karena itu, tentu saja, diperlukan semangat gotong-royong untuk menyelesaikan persoalan itu.



Bagi kami, kategori yang mestinya dipergunakan adalah rekam jejak dan sikap politik. Yang mestinya dianjurkan adalah memilih pemimpin yang tidak pernah terlibat korupsi, setia pada bangsa dan negara, menghargai bhineka tunggal ika, berpihak kepada rakyat, dan punya program-program yang konkret untuk menjawab berbagai persoalan rakyat sekarang ini. Survei Puskapol UI pada bulan Maret 2012 lalu menyebutkan, sebanyak 75.72% responden menginginkan agar Pilkada DKI mendatang diwarnai kontestasi gagasan dan solusi programatik.



Kedua, alasan keilmuwan, yakni bahwa keilmuan Foke (Doktor) lebih tinggi derajatnya dibanding Jokowi (S1/insinyur), juga bukan jaminan. Ada banyak professor yang tidak punya empati pada rakyat. Dan terbukti: keilmuwan Foke (doktor perencanaan kota) tidak berkontribusi sedikit pun dalam menata Jakarta agar lebih rapi dan humanis. Jakarta terus-menerus berurusan dengan kemacetan dan banjir. Bahkan, Jakarta disebut sebagai kota terkotor ketiga di dunia, setelah Meksiko City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand).



Kita sekarang dipimpin oleh seorang Presiden yang bergelar Doktor Pertanian. Tapi apa yang terjadi: bangsa Indonesia tidak bisa menjaga kedaulatan pangan. Bahkan, kita harus mengimpor kedelai (bahan baku pembuatan tempe dan tahu) dan beras dari negara lain. Bandingkan dengan Presiden Brazil, Lula Da Silva, yang hanya tamatan SD, namun berhasil mengangkat kedaulatan dan kemajuan ekonomi negerinya.



Ketiga, soal pengalaman: bahwa Foke jauh lebih berpengalaman dibanding lawan politiknya. Di sini, kita lihat, MUI menyamakan pengalaman dengan “asal pernah menjabat”. Tidak ada kritisme MUI dalam melihat lima tahun pemerintahan Fauzi Bowo. Padahal, di mata banyak orang, Fauzi Bowo terbukti gagal membawa perbaikan layanan publik dan kesejahteraan rakyat di Jakarta.



MUI seakan menutup mata dengan kenyataan: mayoritas rakyat DKI jakarta menghendaki perubahan. Dan, fakta itu terlihat jelas dengan pilkada putaran pertama. Apapun halnya, upaya memaksakan pendirian politik MUI melalui fatwa telah mengebiri demokrasi dan hak politik rakyat.

http://www.berdikarionline.com/editorial/20120824/fatwa-mui-dan-pilihan-politik-rakyat.html