Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Kamis, 09 Agustus 2012

Tiga Strategi Memenangkan Peperangan Ala Bung Karno

Tiga Strategi Memenangkan Peperangan Ala Bung KarnoSelasa, 7 Agustus 2012 | 5:06 WIB   ·   1 Komentar

Tidak perlu jauh-jauh belajar strategi perang pada Sun Tzu, ahli strategi perang kuno Tiongkok itu. Bung Karno, bapak pendiri bangsa kita, juga punya keahlian dalam merumuskan strategi memenangkan peperangan.

Namun, ini tidak berarti Bung Karno doyan peperangan. Strategi peperangan ala Bung Karno ini tak lebih sebagai alat mempertahankan diri. Maklum, Indonesia adalah “permata Asia”. Ia selalu menjadi incaran negeri-negeri imperialis.
Nah, sehubungan dengan teknik peperangan, Bung Karno punya strategi tersendiri. Dikatakan sendiri oleh Bung Karno, strateginya ini merupakan hasil studinya sendiri. Dan, itu sudah berulangkali diajarkan pada angkatan perang di jaman itu (1950an-1960an).
Ada tiga strategi memenangkan peperangan ala Bung Karno. Pertama, kalahkan jiwa rakyat daripada musuhmu. Kedua, rebut sumber-sumber supply musuhmu (conquer the source of supply). Ketiga, rebutlah benteng-benteng musuhmu (conquer the fortresses of the enemies).
Tiga strategi itu diarahkan pada musuh saat peperangan. Rebut atau taklukkan jiwa rakyat musuhmu. Artinya, dalam sebuah peperangan, mutlak adanya sebuah propaganda sistematis untuk meraih simpati rakyat musuh.
Lihatlah perang Vietnam, misalnya. Keberhasilan membangkitkan gerakan anti-perang di AS turut mendemoralisasi banyak tentara AS itu sendiri. Bayangkan, rakyat di negeri musuh itu sendiri melarang tentaranya dipergunakan untuk menggempur kita.
Kemudian, merebut sumber-sumber supply musuh. Di sini, seperti yang dijalankan oleh strategi gerilya semasa revolusi, perlu untuk menghancurkan sumber-sumber supply militer musuh: gudang senjata, bahan bakar, sarana telekomunikasi, dan lain-lain. Aksi-aksi sabotase juga penting untuk dilakukan.
Selanjutnya, soal merebut benteng-benteng musuh. Di sini Soekarno menekankan, benteng merupakan simbol pertahanan. Artinya, dengan merebut benteng-benteng musuh, pertahanan musuh pun akan melemah. Mereka juga secara psikologis merasa terjebol.
Nah, tiga strategi di atas dapat dipergunakan saat peperangan. Namun, seperti dikatakan Bung Karno, tiga strategi di atas dapat pula dipergunakan untuk posisi bertahan atau dalam situasi damai. Katanya, tiga strategi itu dapat pula dipakai untuk memperkuat angkatan perang kita sendiri.
Pertama, tentara harus bersarang di hati Rakyat. Kata Bung Karno, angkatan perang Indonesia harus bersarang di hati seluruh rakyat Indonesia. Tidak bisa hanya di sebagian atau kelompok kecil kalangan di rakyat itu.
Dahulu, di era orde baru, ada istilah “ABRI manunggal dengan rakyat”. Pada kenyataannya, itu dimaknai artifisial: ABRI masuk desa atau kerja bakti. Bagi Bung Karno, angkatan perang bersarang di hati rakyat berarti dicintai atau dimiliki oleh rakyat itu sendiri. Mungkin mirip dengan doktrin Mao: bagaikan ikan di dalam air. Artinya, tentara itu seperti ikan dan rakyat itu ibarat air di sungai. Begitulah mestinya hubungan tentara dengan rakyat.
Supaya tentara bisa menyatu dengan rakyat, Mao Tse Tung mengajukan disiplin atau aturan ketat bagi tentara merah. Ada yang disebut tiga disiplin besar: Tunduk kepada komando dalam setiap tindakan;Tidak mengambil sebatang jarum atau seutas benangpun dari massa-rakyat; Serahkan setiap rampasan perang kepada atasan. Ada juga yang disebut delapan pasal perhatian: Ramah tamah dalam berbicara; Adil dalam membeli dan menjual; Kembalikan setiap barang pinjaman; Ganti kerugian untuk barang yang kau rusakkan; Jangan memukul atau memaki orang; Jangan merusak tanam-tanaman; Jangan berlaku tidak senonoh terhadap wanita; Jangan menganiaya tawanan perang.
Kedua, mempertahankan sources of supply supaya tidak kocar-kacir. Di sini Bung Karno mencontohkan, supaya bangsa tetap kuat, maka ekonomi juga harus perkuat. Ini untuk memperkuat moral rakyat dan angkatan perang. Ini juga sebagai supply bagi kekuatan perang.
Sourcers of supply lainnya, misalnya, adalah energi. Kita harus mempertahankan energi kita. Selain untuk menggerakan ekonomi rakyat dan negara, energi ini juga merupakan sumber daya perang. Jangan sampai jatuh ke tangan musuh!
Juga, tak kalah pentingnya, adalah mempertahankan aset-aset strategis dan sumber daya alam kita dari pencaplokan kekuatan imperialis. Aset-aset strategi dan sumber daya alam itu harus terpastikan untuk kepentingan nasional.
Ketiga, kita harus memperkuat benteng kita. Di sini, kata Bung Karno, benteng tidak dimaknai sekedar bangunan yang terbuat dari besi dan baja saja. Namun, yang terpenting, memperkuat organisasi kita: negara.
Ini juga menyangkut mempertahankan setiap jengkal tanah Republik. Juga termasuk melindungi dan menjaga keselamatan rakyat Indonesia. Dan juga mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam kerangka cita-cita nasionalnya: masyarakat adil dan makmur.
Namun, bagi Soekarno, satu hal penting dalam peperangan adalah moral. Ini sesui dengan yang dikatakan Mao Tse Tung, “moral yang memutuskan hasil pertempuran”. Moral tentara haruslah anti-kolonialisme, anti-imperialisme, dan anti terhadap segala bentuk penghisapan manusia atas manusia (exploitation de I’homme par I’homme).
Timur Subangun
Ketika Bung Karno Membandingkan Strategi Stalin Dan TrotskyOleh : Sarmadji ---- Rabu, 11 Mei 2011 | 14:50 WIB   ·   0 Komentar


Diantara sekian banyak bapak pendiri Republik, Soekarno adalah salah satu penjelajah pemikiran yang paling luas. Ia belajar tentang kebudayaan Jawa dan mistik, hinduisme dan budhisme, nasionalisme, sosialisme, hingga komunisme.

Pemikir-pemikir marxis, mulai dari yang moderat hingga paling radikal, pun semua dilahapnya dengan baik. Sebut saja Hendri de Man (Belgia) Pieter Troelstra (Belanda), Jean Jaures (Perancis), Karl Kautsky, Rosa Luxemburg, Clara Zetkin, dan Karl Liebknecht (Jerman) hingga Lenin, Stalin, dan Trotsky (Rusia).
Dalam pidato 1 Juni 1945 tentang lahirnya Pancasila, yang disampaikan di hadapan militer-fasis Jepang, Bung Karno menceritakan bagaimana Lenin, pemimpin revolusi sosialis yang besar itu, membangun Uni-Soviet. Bayangkan, saat berbicara tentang dasar dari negara yang akan dibentuk, Bung Karno bercerita soal Lenin dan Uni Soviet.
Ternyata, selain mengulas pemikiran-pemikiran itu, Bung Karno juga kadang-kadang membenturkannya. Salah satunya adalah membenturkan pemikiran Leon Trotsky tentang revolusi permanen dan teori sosialisme satu negara-nya Stalin.
Tidak tanggung-tanggung pula, Bung Karno mengulas perbedaan kedua tokoh Soviet ini di depan peserta kursus Pancasila di Istana negara, tahun 1958. Saat itu, Bung Karno sedang menjelaskan soal bagaimana keadilan sosial bukan hanya dipraktekkan dalam lingkungan Indonesia saja, tetapi juga untuk seluruh umat manusia.
“Perjuangan yang hebat atau katakanlah gedachtestrijd yang hebat di Uni-Soviet beberapa puluh tahun yang lalu, yaitu gedachtestrijd yang hebat sekali antara golongan yang dikepalai oleh Leon Trotsky dan golongan yang dikepalai oleh Stalin,” kata Bung Karno memulai penjelasannya.
Menurut Bung Karno, baik Trotsky maupun Stalin menghendaki masyarakat adil dan makmur ala Rusia. “Dua-duanya menghendaki komunisme, dua-duanya menghendaki hilangnya stelsel kapitalisme, dua-duanya menghendaki manusia tidak dihisap oleh manusia lain….dua-duanya menghendaki masyarakat sama-rata sama-rasa tanpa kapitalisme.”
Pemikiran Trotsky, kata Bung Karno, dilandaskan kepada kesimpulan bahwa kapitalisme tidak hanya bersarang di Rusia saja, tapi bercokol di seluruh dunia. “Kita tidak dapat mendirikan satu masyarakat sosialis atau komunis di Rusia saja, jikalau kita tidak pula menumbangkan kapitalisme di lain-lain negeri,” katanya berusaha menjelaskan gagasan Leon Trotsky.
Oleh karena itu, menurut Soekarno, Leon Trotsky menuntut agar supaya revolusi yang diadakan di Uni-Soviet diteruskan ke negeri-negeri lain, dijadikan satu revolusi Internasional. “Kita punya revolusi haruslah suatu revolusi permanen, revolusi yang terus-menerus dan memusatkan perhatian kepada revolusi terus-menerus itu…..terus gempur, gempur di segala lapangan, di segala hari, di segala negeri, revolusi sosialis adalah satu revolusi permanen, kalau sosialisme hendak dicapai,” kata Bung Karno menirukan perkataan Trotsky (versi Bung Karno, tentunya).
Sedangkan Stalin, pemimpin Soviet yang berkuasa saat itu, mengambil jalan berfikir yang lain: sosialisme di dalam suatu negara dulu. Fikiran Stalin, kata Bung Karno, bertumpu pada kesimpulan bahwa pembangunan sosialisme membutuhkan pembangunan benteng proletariat lebih dahulu.
Oleh karena itu, dalam logika Stalin, perlu untuk memperkuat Uni-Soviet sebagai benteng kaum proletariat, dan tidak usah terlalu memikirkan penciptaan revolusi di negara lain. “Pusatkan engkau punya perhatian lebih dahulu kepada pemerkuatan benteng yang telah ada di tangan kita,” kata Bung Karno menirukan pernyataan Stalin.
Dua faham ini terlibat bentrokan, sampai-sampai terjadi apa yang disebut Bung Karno sebagai “ de strijd om de macht”. Bung Karno menceritakan bagaimana Trotsky yang kalah harus dibuang oleh Stalin ke Alma Ata, lalu diasingkan ke luar negeri.
Ketika masih di Meksiko, kata Bung Karno, Leon Trotsky masih terus mengajarkan teori revolusi permanennya dan tidak henti-hentinya mengeritik Stalin. “Suatu hari, orang pengikut Stalin atau alat Stalin menghabisi ia punya jiwa dengan membacok ia punya kepala dari belakang,” kata Bung Karno menceritakan terbunuhnya Leon Trotsky oleh agen Stalin.
Setelah kekalahan Trotsky di Uni-Soviet, Bung Karno menyimpulkan, negeri hasil revolusi oktober itu memasuki periode stalinisme atau periode memperkuat benteng di dalam lingkungan pagar besi. “Periode memperkuat benteng ini melalui fase-fase pembersihan, penangkapan, pembredelan, dan pembunuhan,” kata Soekarno menyimpulkan era Stalinisme.
Bagi Bung Karno, Stalin melakukan kesalahan karena telah melakukan isolasionisme, dan mengabaikan hubungan dengan bangsa-bangsa lain.
Terkait perdebatan itu, Soekarno menyimpulkan sendiri, bahwa masyarakat adil makmur yang diperjuangkan bangsa Indonesia tidaklah sebatas dalam lingkungan Indonesia, tetapi seluruh umat manusia.
*) penulis adalah penulis lepas dan pendukung setia Bung Karno

Tidak ada komentar: