Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Minggu, 19 Agustus 2012

Politik Berdikari Bung Karno

Politik Berdikari Bung Karno


Oktober 27, 2001 oleh alwishahab



Kini, semakin marak pendapat perlunya Indonesia melepaskan ketergantungan pada pihak asing dan menjadi bangsa yang mandiri. Pendapat senada juga dikemukakan oleh MUI ketika diterima presiden Megawati Soekarnoputri awal pekan ini. Baik Presiden maupun MUI rupanya punya pandangan sama bagaimana Indonesia nantinya menjadi bangsa mandiri dan berdikari (berdiri diatas kaki sendiri).



Politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965: ‘Tahun Berdikari’. Sekalipun prinsip politik berdikari sering dikemukakannya pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pidato 17 Agustus 1964 misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Di sini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga-tiganya prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan dan dipreteli satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya.



Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Di samping itu ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.



Berdikari dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung’, karena tanah air kita kaya raya. Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat sekali diboikotnya film-film Inggris dan AS ketika itu. Juga tepat pemberantasan ‘musik’ The Beattle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan. Apa yang dikuatirkan Bung Karno itu kini menjadi kenyataan dengan makin merajalelanya dekadensi moral para muda-mudi.



Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Ia tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking. Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.



Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah : “Go to hell with your aid” seringkali ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.



Sebenarnya, tidaklah tepat kalau Bung Karno anti bantuan dan modal asing. Karena ketika membangun kompleks stadion utama Senayan dari bantuan Uni Soviet. Sedangkan jembatan Semangi dari Amerika. Tapi, ketika AS mau membantu dengan mengharuskan Indonesia mengikuti politiknya, yang merupakan ikatan, Bung Karno tegas-tegas menolak. Dekon sendiri, yang waktu itu merupakan Manipolnya bidang ekonomi menyatakan, bilamana dengan kekuatan fund and forces nasional tidak mencukupi, maka harus dicarikan kredit luar negeri yang tidak bertentangan dengan politik kita.



Dalam kaitan politik berdikari ini, sampai-sampai Bung Karno mengkaitkannya dengan kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).



Mahkota kemerdekaan suatu bangsa adalah bukan keanggotaan PBB, tetapi berdikari. Bahkan, Bung Karno sejak tahun 1960 nyata-nyata menuduh organisasi dunia ini hanya menguntungkan imperialisme dan merugikan negara-negara berkembang. Pada 1 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.



Tidak hanya keluar dari PBB, Bung Karno bahkan ingin mengadakan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB. Untuk itu, ia sudah menyiapkan gedungnya, yang sekarang ini menjadi gedung MPR/DPR. Tapi, tekadnya ini tidak berhasil karena ia jatuh. Kita tidak tahu apa jadinya bila Conefo menjadi kenyataan.



Sedangkan tudingannya terhadap PBB itu kini menjadi kenyataan. Banyak negara, termasuk PM Mahathir Muhammad mengeluhkan karena PBB telah menjadi alat imperialisme Amerika Serikat.



Seperti embargo ekonomi terhadap Irak, sekalipun jutaan bayi menderita dan meninggal dunia, lumpuhnya ekonomi rakyat Irak, dan berbagai penderitaan lainnya, PBB tidak punya kepedulian sedikit pun. Bahkan, ketika Amerika Serikat mengadakan invasi ke Afganistan dengan alasan memerangi terorisme, PBB mendukungnya. Tidak peduli jatuhnya banyak korban sipil yang tidak berdosa.


http://alwishahab.wordpress.com/2001/10/27/politik-berdikari-bung-karno/

Tidak ada komentar: