Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Senin, 13 Agustus 2012

Achadi Menguak Kabut G30S

Achadi Menguak Kabut G30S



Mohammad Achadi, nama yang sangat lekat buat saya pribadi. Bukan saja karena dia Sukarnois, lebih dari itu, dia adalah pelaku sejarah. Pernah begitu dekat dengan Bung Karno. Bahkan pernah menjadi “pembantu”nya dalam posisi sebagai Menteri Transmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Di luar itu semua, ada satu pekerjaan penulisan buku tentang dia yang belum saya selesaikan.



Sebagai menteri kabinet terakhir Bung Karno, sekaligus saksi hidup jatuhnya Bung Karno, tentu saja Achadi tahu banyak tentang peristiwa yang sekarang kita kenal dengan sebutan G30S (Gerakan 30 September). Achadi sendiri menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober). Ya, baik 30 September, atau 1 Oktober, keduanya terjadi di tahun yang sama, 1965, yang berepilog, runtuhnya rezim Sukarno dan naiknya rezim Soeharto.



Walhasil, jika kemudian Achadi menulis buku “Kabut G30S, Menguak Peran CIA, M16, dan KGB”, menjadi begitu berarti. Persis seperti yang berulang-kali Achadi kemukakan dalam banyak kesempatan saya bertemu dengannya, bahwa dalang G30S itu bukan hanya CIA, tetapi juga KGB. Awalnya, sungguh sebuah statemen yang mengagetkan.



Achadi membeberkan secara jelas, dilengkapi fakta pendukung yang sungguh menarik. Antara lain kesaksian Achadi yang ketika berada di dalam tahanan (Orde Baru), bertemu dengan tokoh-tokoh PKI, maupun tokoh-tokoh yang diindikasikan terlibat G30S. Mereka antara lain Jenderal Supardjo (Wakil Pemimpin Senko/Sentral Komando G30S), Letkol Untung (Pemimpin Senko G30S), Jenderal Sabur (Komandan Cakra Birawa) dan Pono (Biro Khusus PKI).



Kesaksian-kesaksian tersebut kemudian terangkai menjadi sebuah fakta baru, yang sejatinya lebih bersifat memperkuat dari fakta-fakta yang sudah lama terbongkar. Antara lain, bahwa Bung Karno sama sekali tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dengan G30S, bahwa ada keterlibatan CIA, M16, dan KGB di dalam tragedi tersebut, bahwa Soeharto mengetahui akan adanya pergerakan malam 30 September 1965, bahwa Jenderal A. Yani kepada Bung Karno pernah membenarkan tentang adanya “Dewan Jenderal”, dan masih banyak fakta lain.



Buku ini juga mencantumkan rencana CIA terhadap penggulingan Sukarno, yang secara intensif tertuang dalam dokumen penggulingan Sukarno periode 1964-1968. Sementara itu, agen-agen rahasia Inggris (M16), dalam dokumen yang juga dicantumkan oleh Achadi, mulai beraksi melakukan kegiatan spionase penggulingan Sukarno secara intensif antara tahun 1963-1966.



Singkat kalimat, Achadi, pria kelahiran Kutoarjo 14 Juni 1931 itu, dalam kesepuhannya masih gigih menguak fakta, menguak kebenaran tentang seorang manusia bernama Sukarno. Ihwal alasan di balik itu, tentu hanya Tuhan dan Achadi yang tahu. Hanya, suatu hari Achadi pernah berkata kepada saya, “Percayalah, antek Soeharto masih banyak. Dan selama itu pula, upaya mendiskreditkan Bung Karno juga tidak akan pernah selesai. Jadi, kita juga tidak boleh surut menyuarakan kebenaran tentang Sukarno.” (roso daras)

Berkat Bakiak, Bertemu Bung Karno

Bung Karno dan Jenderal Sudirman. Dua nama besar dalam sejarah bangsa kita. Keduanya kental dengan semangat kebangsaan. Beda usia mereka kurang lebih 15 tahun. Bung Karno lahir tahun 1901, sementara Sudirman lahir tahun 1916.



Sependek usia mereka terpaut, sejauh itu pula keduanya memiliki perbedaan jam terbang dalam kancah pergerakan kemerdekaan. Ini terbukti, saat Bung Karno masuk-keluar penjara, Sudirman baru saja mengenal organisasi kepanduan milik Muhammadiyah, Hizboel Wathan (HW) di Cilacap, kota di mana ia dibesarkan.



Sudirman yang kelahiran Rembang itu, memang dibesarkan di Cilacap, wilayah Karesidenan Banyumas. Di sini pula ia aktif dalam organisasi kepanduan. Digembleng fisik, mental dan rohaninya, serta kepedulian sosial. Khas semangat pandu. Ditambah paham Kemuhammadiyahan, membuat ia menjadi seorang pandu yang soleh.



O ya, satu hal lagi… ini lumayan penting… sebagai seorang remaja, ia juga gemar berolahraga. Salah satunya, sepakbola. Sudirman bergabung dengan klub sepakbola Cilacap yang cukup disegani ketika itu. Nama kesebelasannya, “Banteng Muda”. Sudirman-lah yang berperan sebagai central-defender sekaligus penyandang ban kapten.



Tiba pada suatu saat, Sudirman harus berhenti sekolah, karena HIS Taman Siswa tempat ia sekolah, ditutup pemerintah Hindia Belanda. Oleh gurunya, dia disarankan masuk ke MULO Wiworotomo, sekolah yang didirikan oleh R. Sumoyo Kusumo yang termasuk pendiri Boedi Oetomo. Nah, di sekolah inilah bibit-bibit nasionalisme Sudirman muda tumbuh subur.



Selain R. Sumoyo, masih ada dua guru lagi yang berpengaruh bagi Sudirman. Mereka adalah R. Suwarjo TIrtosupono, alumni sekolah militer Breda, Belanda yang tidak bersedia masuk KNIL dan lebih memilih aktif di pergerakan. Serta satu guru lainnya, R. Moh. Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap.



Nah, dari mereka bertiga pula, Sudirman tahu, ihwal rencana kedatangan Bung Karno ke Cilacap, untuk berpidato dalam sebuah forum pemuda. Benar, Bung Karno memiliki jaringan pergerakan hampir di semua daerah, tak terkecuali di Cilacap.



Syahdan, selepas dari penjara Sukamiskin tahun 1931, Bung Karno dan Gatot Mangkupraja melakukan perjalanan darat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam kesempatan itulah Bung Karno singgah di berbagai kota yang dilaluinya, antara lain Cilacap.



Inilah momentum untuk pertama kalinya, Sudirman “bertemu” Bung Karno, tepatnya “melihat” Bung Karno secara langsung, dan mendengarkan orasinya. Penggalan sejarah ini cukup menarik, atau tepatnya unik. Sebab, Sudirman tidak serta merta bisa masuk ke arena perkumpulan di mana Bung Karno akan berpidato.



Soalnya tak lain, karena usia Sudirman yang tergolong masih anak-anak (sekitar 15 tahun). Alkisah, saat dia hendak masuk ke gedung pertemuan, petugas keamanan melarang, dan menyuruhnya pulang, karena dinilai belum cukup umur.



Keinginan yang menggebu untuk bisa mendengarkan pidato Bung Karno, membuat Sudirman tak menyerah. Ia pulang ke rumah, melepas celana pendek dan mengambil celana panjang bapaknya. Bukan itu saja, ia juga mengganti sandal dengan bakiak tinggi. Nah, dengan celana panjang, plus bakiak tinggi, tampilan Sudirman memang tampak lebih dewasa.



Walhasil, ketika dia kembali ke gedung pertemuan, petugas jaga tidak lagi melarang, dan membiarkan Sudirman masuk dan diizinkan mengikuti ceramah Bung Karno. Sudiran pun tenggelam di tengah lautan pemuda Cilacap, tenggelam di tengah samudera kata-kata membara Bung Karno. Jiwa patriot itu pun makin menggumpal. (roso daras)


Bang Ali, Bung Karno Kecil


Mengapa julukan Sukarno Kecil harus dilayangkan ke Mahathir Mohammad? Julukan itu lebih pas untuk Bang Ali (Ali Sadikin). Nah, mari kita berbicara tentang calon gubernur Jakarta, juga tentang Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta periode 1966 – 1977.



Kebetulan, namanya selalu saja disebut-sebut di setiap ajang pemilihan gubernur DKI Jakarta. Masyarakat, dari yang tahu sampai yang tidak tahu, dengan lidah lepas dan hati ikhlas menyebut Bang Ali sebagai gubernur Jakarta terbaik sepanjang sejarah. Dialah yang dijadikan benchmark bagi gubernur-gubernur atau calon-calon gubernur Jakarta selanjutnya.



Kembali ke soal Bung Karno dan Bang Ali. Bung Karno muncul sebagai pemimpin bangsa dan negara ini di akhir kekuasaan penjajah. Ali Sadikin, muncul sebagai pemimpin Jakarta, di akhir masa kekuasaan Orde Lama di bawah kendali Bung Karno. Keduanya memimpin pada fase transisi. Yang satu dari era penjajahan ke era kemerdekaan, sedangkan, satunya memimpin ibukota dari sebuah orde ke orde yang lain. Masa transisi adalah masa sulit. Zaman berubah bagai dua sisi telapak tangan.



Indonesia patut bersyukur, karena Tuhan mengaruniakan, setidaknya dua makhluknya, untuk lahir dan berperan besar pada zamannya. Tak terbayang seandainya presiden pertama kita bukan Bung Karno. Tak terbayang pula, bagaimana jika periode 66-77 bukan Ali Sadikin yang memimpin Jakarta. Kedua mereka, adalah sosok pemimpin yang tegas, visioner, dan… ini yang terpenting… membumi! Berpijak pada prinsip, dan berpihak pada rakyat.



Bung Karno pun dalam masa perjuangan pernah membuat sejumlah kontroversi dengan romusha-nya… dengan mempekerjakan pelacur untuk serdadu Jepang, dan banyak langkah “unik” lainnya. Semasa menjadi presiden pun, Bung Karno membuat banyak kontroversi dengan kebijakan luar negerinya yang beringas, dengan gagasan membuat “PBB Tandingan”, dengan jargon Nasakom, dan banyak kebijakan lain, termasuk ide-ide yang dinilai sebagian orang sebagai “mercu suar”. Jika dibuat deret hitung, sangat panjang kebijakan-kebijakan Bung Karno yang sekilas kontroversi, dan berakhir sanjung dan puji.



Akan halnya Bang Ali…. Dia dengan berani menentang Menkeu Ali Wardhana dengan menolak membayar pajak (tentu dengan alasannya). Dia melegalkan perjudian dan melokalisasi para pelacur di Kramat Tunggak. Dia pernah memerintahkan membakar jenazah agar areal pemakaman bisa dimanfaatkan untuk pembangunan kota. Dia tidak berjalan menunduk-nunduk di depan menteri. Dia bahkan tak segan menempeleng kontraktor yang mbalelo. Bahkan ada kisah, Bang Ali memerintahkan sopirnya mengejar truk yang ugal-ugalan. Dihentikannya itu truk, disuruhnya turun itu sopir, dan ditempelenglah itu sopir. Setelah itu baru dinasihati.



Tidak berhenti di situ. Sebagai gubernur Jakarta, dia tahu betul kebesaran nama Muhammad Husni Thamrin sebagai tokoh Betawi yang begitu berjasa dalam pergerakan menuju kerdekaan Republik Indonesia. Karena itu, ia pampang nama MH Thamrin untuk jalan protokol Ibukota, dan ia jadikan nama proyek untuk pembangunan lingkungan Jakarta, atau dikenal dengan Proyek MH Thamrin.



Tentu tidak hanya itu. Di bidang politik. Ia (yang notabene seorang nasionalis), pernah merasa dipaksa mengetuai Golkar. Itulah kebijakan Orde Baru yang harus ia jalankan. Maka ia dengan lantang berkata, bahwa dirinya Golkar. Tetapi sebagai gubernur, ia gubernurnya semua partai. Ia pun tidak gusar ketika Pemilu 1977, Golkar dikalahkan PPP.



Walhasil, saya resah dengan celoteh Megawati Sukarnoputri yang menyebut Jokowi sebagai penerus Ali Sadikin. Bagaimana seseorang diberi stempel selagi belum bekerja? Bagaimana seseorang diberi label selagi belum terpilih? Menjadi aneh kan, kalau berharap Jokowi meneruskan Ali Sadikin? Jokowi tidak akan bisa (berani?) nempeleng kontraktor. Jokowi tidak akan berani nempeleng sopir ugal-ugalan. Jokowi tidak akan berani berjalan tanpa “mundhuk-mundhuk” di depan menteri. Apakah Jokowi termasuk yang berani meneruskan program legalisasi perjudian dan pelacuran di Jakarta?



Sandingkan saja Jokowi dan Ali Sadikin…. Dua sosok dengan latar belakang yang berbeda, dengan temperamen yang berbeda, dengan karakter yang berbeda, dengan gaya kepemimpinan yang berbeda, bagaimana mau disandingkan? Jelas Megawati berlebihan. Kalau toh, sekali lagi kalau toh… Jokowi menang Pilkada DKI dan menjadi Gubernur Jakarta…. Katakan pula, kalau toh… sekali lagi, kalau toh pada akhirnya sukses (katakan saja begitu) memimpin Jakarta, satu hal yang pasti, Jokowi tidak akan menggunakan pola kepemimpinan dan cara-cara memimpin Jakarta ala Ali Sadikin.



Jadi, untuk apa, Megawati memberi label “penerus Ali Sadikin” di diri Jokowi?



Sedangkan Ali Sadikin, tidak mendapat stempel apa pun sebelum BungKarno menunjuk kemudian melantiknya sebagai gubernur Jakarta tahun 1966. Satu-satunya label dan stempel yang melekat pada letnan jenderal marinir itu adalah koppig (keras kepala). Satu-satunya statemen Bung Karno (ya, bapaknya Megawati) pun cukup sederhana. Dia bilang kepada Ali saat pelantikannya, “Semua orang akan selalu mengingatnya. Inilah yang telah dilakukan Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan“.



Bukan stempel yang muluk. Bukan pula harapan yang membubung, meski sekarang semua orang meng-amin-i kata-kata Bung Karno. Terbukti, semua orang sekarang mengingat jasa Ali Sadikin untuk Jakarta.



Itu artinya, Jokowi bukan Ali Sadikin!!! Foke? Kalau foto tampang serius plus kumisnya di-crop, ia mirip Hitler…. (roso daras)



http://rosodaras.wordpress.com/2012/07/14/bang-ali-bung-karno-kecil/

Tidak ada komentar: