Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Senin, 13 Agustus 2012

Peristiwa Rasialis “10 Mei 1963″ Dan Provokasi Imperialis

Peristiwa Rasialis “10 Mei 1963″ Dan Provokasi Imperialis


Senin, 13 Agustus 2012
11:17 WIB · 0 Komentar





Merebaknya isu-isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dalam kompetisi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta kali ini menunjukkan masih ‘sexy’-nya isu-isu semacam itu guna dikomodifikasi dalam tiap kontestasi politik dinegeri ini. Sebenarnya isu SARA ini tiada lain merupakan refleksi dari masih kentalnya sentimen rasial (atau dalam istilah Antropologinya, Social Prejudice antar ras atau etnis) dalam masyarakat kita, yang juga bisa berkembang menjadi sentimen agama.



Penting untuk kita ketahui, sentimen rasialis dalam masyarakat nusantara bukanlah ‘sifat alamiah’ penduduk kepulauan ini, melainkan ‘pantulan’ dari strukturasi ketimpangan sistem ekonomi dan politik yang berlaku di berbagai masa. Bila menilik sejarah, sentimen rasial mulai ‘mewabah’ dibumi nusantara semenak kolonialisme Eropa ‘menjamah’ negeri ini pada abad 16. Sejak itulah, baik dikonstruksikan maupun tidak, sentimen rasialis (dan kemudian agama) menjadi ‘semarak’ mewarnai perjalanan bangsa ini berabad kemudian.



Pada kenyataannya, selain menjadi komoditas politik, sentimen rasialis ini juga ‘melahirkan’ berbagai tragedi kemanusiaan yang menumpahkan begitu banyak darah dalam jejak perjalanan bangsa. Pembunuhan massal, kerusuhan, perkosaan dan penistaan kemanusiaan lainnya baik yang bersifat vertikal maupun horizontal telah banyak terjadi di nusantara tercinta oleh karena kentalnya sentimen rasial tersebut.



Salah satu tragedi bernuansa rasialis itu terjadi di Bandung, 49 tahun lalu. Tragedi itu dikenal sebagai peristiwa 10 Mei 1963.



Konflik Internal ITB



Peristiwa kerusuhan yang menjadikan warga etnis Tionghoa Bandung sebagai sasaran tersebut berawal dari konflik antara ‘geng’ yang beranggotakan mahasiswa etnis Tionghoa dan geng mahasiswa non Tionghoa di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Konflik ini dipicu oleh persaingan memperebutkan bangku kuliah ketika tiba saat pergantian jam mata kuliah.



Dalam kegiatan perkuliahan dari dulu hingga kini, setiap kali pergantian mata kuliah memang seringkali harus berpindah ruangan. Di kampus ITB yang luas itu, ruang kuliah satu dengan yang lainnya kadang berjarak cukup jauh. Kondisi ini menciptakan timbulnya tradisi booking’ kursi diantara geng-geng mahasiswa ITB. Pada umumnya, yang ‘memenangkan’ kompetisi booking kursi ini adalah kelompok mahasiswa etnis Tionghoa yang mobilitasnya cepat karena memiliki sepeda motor, fasilitas yang tergolong mewah bagi mahasiswa zaman itu.



Hal inilah yang menimbulkan rasa ‘cemburu’ diantara kelompok mahasiswa non-Tionghoa sehingga muncullah sentimen rasial tersebut. Sentimen yang ternyata membawa dampak tidak kecil bagi kehidupan masyarakat Bandung.



Sentimen rasialis inilah yang menimbulkan perkelahian-perkelahian kecil diantara kedua pihak. Perkelahian-perkelahian yang kemudian mendatangkan solidaritas diantara mahasiswa non Tionghoa, atau dalam pengertian lain, solidaritas diantara sesama mahasiswa yang memiliki sentimen ‘anti Cina’ dan tidak sebatas di kampus ITB saja.



Para penggalang solidaritas anti Cina itu diantaranya adalah Siswono Yudohusodo (mahasiswa ITB yang juga aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia/GMNI), Dedi Krishna (mahasiswa Kimia Teknik ITB dan anggota Persatuan Mahasiswa Bandung/PMB), Abdul Qoyum Tjandranegara (mahasiswa Kimia Teknik ITB), Muslimin Nasution (mahasiswa Mesin ITB), Parlin Mangunsong (mahasiswa Universitas Padjadjaran/Unpad), Soeripto (mahasiswa Unpad sekaligus aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis/Gemsos) dan Rahman Tolleng (aktivis mahasiswa yang juga kader Partai Sosialis Indonesia/PSI). Tokoh-tokoh ini kemudian mengadakan serangkaian konsolidasi untuk memberikan suatu ‘pelajaran’ kepada mahasiswa-mahasiswa etnis Tionghoa di ITB secara missal. Bentuknya berupa intimidasi dan kekerasan.



‘Pelajaran’ itu rencananya akan diberikan pada 5 Mei 1963, namun karena ada kebocoran informasi, pelaksanaannya diundur menjadi 10 Mei 1963. Namun, karena konsolidasi yang dilakukan sebelumnya telah demikian meluas ke luar kalangan mahasiswa ITB, kebocoran informasi itu tetap tak bisa dibendung. Akibatnya, ketika rencana itu akan dilakukan pada hari H di Gedung VI ITB, telah banyak bermunculan massa baik mahasiswa maupun non-mahasiswa disekitar ITB.



Pemberian ‘pelajaran’ itu, seperti yang telah disinggung sebelumnya, kebanyakan berbentuk kekerasan fisik berupa pemukulan serta teror mental. Kekerasan terhadap mahasiswa etnis Tionghoa di ITB ini menjalar ke seluruh kota Bandung, karena digerakkan oleh massa yang kian banyak jumlahnya dan memiliki sentimen yang sama: anti Cina.



Kekerasan ‘ala’ mahasiswa ITB itu kemudian menjelma menjadi kerusuhan massal yang mengambil sasaran warga Tionghoa di kota Bandung. Kawasan Dago, Braga, Asia-Afrika, hingga Otista (Jl Otto Iskandardinata) yang memang banyak dihuni warga Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Toko, rumah, dan aset milik etnis Tionghoa dirusak. Huru hara ini merembet ke kota-kota lain di Jawa Barat seperti Sumedang, Tasikmalaya, Cirebon dan Sukabumi.



‘Kuda Tunggangan’



Huru hara 10 Mei 1963 menjadi kerusuhan rasialis pertama dan terbesar di kota Bandung. Sentimen anti Tionghoa yang ‘menjangkiti’ sebagian kalangan mahasiswa dan warga Bandung ketika itu dipandang sebagian pihak sebagai manifestasi kejengkelan ‘warga pribumi’ terhadap situasi ekonomi yang ‘morat-marit’ dimasa Demokrasi Terpimpin. Dan kejengkelan itu termanifestasi dalam kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang memang kebanyakan ‘bernasib lebih baik’ secara ekonomi karena dominan di sektor perdagangan di Bandung. Jadi problem ketimpangan dalam struktur ekonomi berbuah antipati terhadap etnis tertentu. Namun, hanya hal itukah penyebabnya?

Disamping itu, ternyata kerusuhan ini juga disinyalir bernuansa politis. Hal ini dikarenakan keterlibatan beberapa eksponen politik Partai Sosialis Indonesia (PSI) seperti Rahman Toleng dan Soeripto yang memiliki tendensi politik anti Bung Karno dan anti komunis (PKI) dalam gerakan anti Cina yang akhirnya berbuah kerusuhan massal itu. Melalui kerusuhan ini, para ‘petualang’ politik tersebut ingin mendiskreditkan kedekatan Bung Karno dengan Republik Rakyat Cina (RRC) ketika itu. Selain itu mereka juga mengekspresikan ketidaksukaannya pada PKI dengan menjadikan etnis Tionghoa sasaran ‘tembak’. Maklum, saat itu banyak etnis Tionghoa yang menjadi anggota Baperki, sebuah organisasi Tionghoa yang dekat dengan PKI.



Memang, salah satu tokoh penggerak gerakan rasialis itu, yakni Siswono Yudhohusodo, adalah kader GMNI yang notabene loyalis politik Bung Karno. Bahkan, tiga tahun kemudian beliau lah yang paling gigih membela Bung Karno dengan membentuk Laskar Soekarno di ITB guna melawan kelompok mahasiswa angkatan 66 yang menentang Bung Karno pasca G30S. Namun, dalam peristiwa 10 Mei 1963 itu, Siswono tidak sejalan dengan kebijakan organisasinya serta Bung Karno sendiri.



Selain keterlibatan eksponen anti Bung Karno, yang lebih ‘spektakuler’ lagi adalah temuan Peter Dale Scott, peneliti asal Amerika Serikat (AS), yang mengemukakan adanya ‘tangan’tangan’ AS dalam huru hara 10 Mei 1963. Dalam karyanya, Konspirasi Soeharto – CIA: Penggulingan Soekarno 1965-1967 (1998), Peter mengungkapkan adanya skenario AS dalam melancarkan aksi-aksi de-stabilisasi di Indonesia melalui serangkaian bantuan bagi pihak militer angkatan darat (AD) atau Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) dalam program MILTAC (Military Training Advisory Group) sejak tahun 1962.



Melalui program ini para perwira AD di Seskoad dilatih untuk menyusup ke berbagai sektor seperti pemerintahan dan sosial kemasyarakatan melalui program Civic Mission Seskoad guna mencapai target-target politik yang diinginkan AS. Salah satu ‘karya’ Civic Mission tersebut adalah huru-hara Bandung 10 Mei 1963.



Hal ini merupakan wujud ketidaksukaan AS pada Bung Karno yang kian berani menentang hegemoni AS melalui nasionalisasi aset-aset minyak AS serta kedekatan Bung Karno dengan ‘kutub’ komunis , yakni RRC secara eksternal dan PKI secara internal. Dan bila dikaitkan dengan adanya fakta keterlibatan beberapa eksponen PSI dalam huru hara tersebut, dimana mereka memang memiliki track record berkongsi dengan imperialis AS ketika peristiwa PRRI/Permesta, maka temuan Peter itu menjadi sangat relevan. Peristiwa rasialis ini menunjukkan bahwa sentimen anti Tionghoa dalam masyarakat dijadikan ‘kuda tunggangan’ oleh kaum imperialis asing beserta kompradornya didalam negeri guna mencapai tujuan-tujuan politiknya, yakni menghentikan laju revolusi nasional yang ketika itu digelorakan Bung Karno.



Bung Karno sendiri mengutuk keras peristiwa rasialis di Bandung ini dan menuduh gerakan anti Cina tersebut sebagai gerakan kontra revolusi (kontrev) yang merongrong jalannya revolusi nasional. GMNI, melalui ketua umumnya, Bambang Kusnohadi, turut mengecam kerusuhan tersebut dan menyebutnya sebagai aksi subversif kaum kontrev. Sementara itu, PKI terang-terangan menuduh eksponen PSI dan Masyumi sebagai dalang huru hara itu.



Tak hanya mengutuk, Bung Karno pun menginstruksikan Jaksa Agung agar menuntut para penggerak huru hara tersebut dengan hukuman tinggi dalam proses peradilan. Alhasil, tokoh-tokoh utama peristiwa itu seperti Dedi Krishna, Siswono Yudohusodo, Muslimin Nasution, dan Soeripto pun dibui dengan masa hukuman bervariasi. Hal ini menunjukkan ketegasan Bung Karno dalam ‘mengganyang’ setiap perilaku rasialis yang membahayakan persatuan nasional ketika itu, apalagi banyak bukti yang menunjukkan keterlibatan kelompok politik ‘antek imperialis’ dalam kerusuhan itu.



Dalam konteks Pilgub Jakarta saat ini kembali terlihat isu-isu SARA yang dijadikan kuda tunggangan bagi kelompok status quo yang didukung Partai Demokrat, sebuah partai penopang utama rezim pro-imperialis SBY-Boediono, guna melanggengkan kekuasaannya atas ibukota. Ceramah juru kampanye kandidat incumbent, Rhoma Irama, disalah satu masjid beberapa waktu lalu yang menyerang kandidat lawan dengan isu SARA jelas menunjukkan kecenderungan ini.



Intinya, sentimen rasialisme merupakan ‘mainan’ kaum imperialis beserta kompradornya, ketika mereka sedang ‘kepepet’. Dan celakanya, sentimen rasialis menjadi mudah sekali dimainkan ditengah-tengah ketimpangan sosio-ekonomi dalam masyarakat sebagai buah dari sistem ekonomi kapitalis-liberal yang tengah membusuk.



Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang dan alumni Antropologi Universitas Padjajaran.

Tidak ada komentar: