Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Jumat, 10 Agustus 2012

Soekarno Tentang Dua Tahap Revolusi

Soekarno Tentang Dua Tahap Revolusi


Senin, 14 Mei 2012
10:29 WIB • 0 Komentar



Proklamasi 17 Agustus 1945, kata Soekarno, adalah peristiwa revolusi. Sebab, hari itu merupakan langkah pertama ke arah tujuan yang revolusioner: masyarakat adil dan makmur alias sosialisme.

Hari itu, kata Soekarno, Indonesia lepas dari imperialisme bangsa lain. Proses untuk lepas dari imperialisme itu adalah proses revolusioner. Sebab, sebagaimana dikutip Bung Karno dari Karl Marx, tidak ada suatu klas yang dengan suka rela menyerahkan kedudukannya yang istimewa.

Sebagai revolusi, yakni menjebol dan membangun, maka proklamasi 17 Agustus punya tugas: menjebol kolonialisme dan imperialisme, dan kemudian membangun negara Indonesia merdeka.

Soekarno meletakkan proklamasi 17 Agustus 1945—sering disebut “Revolusi Agustus”—sebagai bagian dari tahapan revolusi Indonesia. Soekarno sendiri menggariskan, revolusi Indonesia memerlukan dua tahap/fase untuk menuju pada masyarakat sosialis.

Revolusi memerlukan fase/tahapan

Setiap revolusi, kata Soekarno, bukanlah sebuah “kejadian”, melainkan sebuah “proses”. Di sini, Soekarno menyebut revolusi sebagai sebuah proses dinamis dan dialektis: proses menjebol dan membangun.

Proses itu memerlukan waktu panjang: puluhan tahun, seratusan tahun. Soekarno pun mencontohkan: revolusi Perancis berjalan 80 tahun, revolusi Rusia memerlukan waktu 40 tahun, dan revolusi Tiongkok juga memerlukan puluhan tahun.

Revolusi itu juga akan melalui fase-fase atau tahapan. Soekarno mengibaratkannya dengan tahap perkembangan manusia: anak-anak, dewasa, dan masa-tua. Dalam setiap perkembangan itu terdapat perbedaan kuantitatif dan kualitatif.

Demikian juga dengan perkembangan masyarakat. Bagi Soekarno, sebuah masyarakat komunal—yang didalamnya berlaku “sama rasa sama rata”– tidak bisa meloncat langsung ke sosialisme.

Soekarno mengatakan begini:

“Apakah satu masyarakat, yang di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, — yang di dalamnya ada “sama rasa sama rata”, tetapi yang di dalamnya misalnya orang harus berjalan kaki atau menaiki gerobak-kerbau kalau hendak pergi dan Bandung ke Surabaya karena tidak ada auto (mobil, ed.) atau kereta-api; yang di dalamnya orang harus hidup dalam gelap-gulita pada waktu malam karena tidak ada listrik ataupun minyak-tanah; yang di dalamnya orang bodo plonga-plongo karena tidak ada percetakan yang mencetak buku-buku atau surat-surat-kabar; yang didalamnya orang harus menderita banyak penyakit oleh karena tidak ada pabrik yang membuat keperluan pengobatan; yang di dalamnya tiap-tiap tahun di tiap-tiap sungai orang harus lagi-lagi membuat bendungan air pengairan oleh karena di dalam tiap-tiap musim-hujan dam-dam semuanya dadal sebab tidak terbuat dari besi dan beton; yang di dalamnya produksi sawah paling mujur hanya padi sekian kwintal sebau dan palawija sekian pikul sebau oleh karena pertanian masih dijalankan seperti di jaman Nabi Adam, dan tidak ada alat-alat untuk mengolah sawah-sawah itu secara semanfaat-manfaatnya; pendek-kata: satu masyarakat kuno-kuno-mbahnya-kuno, zonder auto, zonder kereta-api, zonder pabrik-pabrik, zonder surat-surat-kabar, zonder radio, zonder rumah-rumah-sakit, zonder kapal-kapal, zonder korek-api, zonder potlod, zonder buku-buku, zonder aspal, zonder sepeda, zonder semen, zonder sekolahan, zonder ……..ya entah zonder apapun namanya lagi, — dapatkah masyarakat yang demikian itu, walaupun di dalamnya tidak ada kapitalisme, tidak ada borjuasi, tidak ada feodalisme, dan ada “sama rasa sama rata”, — dapatkah masyarakat demikian itu bernama masyarakat yang “berkesejahteraan sosial?”

Bagi Soekarno, masyarakat seperti di atas tidak bisa menghadirkan “kesejahteraan sosial”. Masyarakat seperti di atas tidak akan bisa hidup atau berdiri teguh di tengah alam kapitalistis seperti sekarang. Masyarakat yang seperti itu, kata Soekarno, sangat gampang menjadi mangsanya imperialisme, yang sedikit-banyaknya akan dibanjiri barang-barang modern buatan industri kapitalis.

Soekarno mendefenisikan sosialisme sebagai adanya kepemilikan terhadap pabrik-pabrik atau alat produksi secara kolektif; industrialisme yang kolektif; produksi yang kolektif; dan distribusi yang kolektif.

Soekarno mengatakan: “alat-alat-teknik, dan terutama sekali semangat gotong royong yang telah masak, itulah soko-gurunya pergaulan hidup sosialistis. Sosialisme adalah kecukupan berbagai kebutuhan dengan pertolongannya modernisme yang telah dikolektivisir. Sosialisme adalah “redelijk gemak”,— sosialisme adalah “keenakan-hidup yang pantas”.

Karena itu, di mata Soekarno, sosialisme memerlukan syarat-syarat objektif: kemajuan tenaga-tenaga produksi, kesadaran rakyat untuk bergotong-royong, dan kehidupan politik yang sudah sangat demokratis.

Dengan demikian, masyarakat semi-jajahan dan bekas jajahan—yang benar-benar belum bersih dari sisa-sisa penjajahan—tidak bisa langsung meloncat menuju sosialisme.

Soal tahapan ini, Soekarno menjelaskan, kita bisa meneruskan tingkatan revolusi yang satu ke tingkatan revolusi yang lain (uninterupted), tetapi tidak bisa melangkahi satu tingkatan revolusi atau memborong dua tingkatan revolusi itu sekaligus. Setiap tahap revolusi bisa saja dipercepat, tetapi lagi-lagi harus memperhitungkan situasi dan hukum objektif perkembangan masyarakat setempat.

Setiap tingkatan revolusi, kata Soekarno, punya periode dan kewajiban tersendiri, sesuai dengan tahap perkembangan historis dan kontradiksi pokok yang dihadapinya. Oleh karena itu, Soekarno mengatakan, soal revolusi bukan soal “main radikal-radikalan” atau klaim paling revolusioner. Akan tetapi, Soekarno menganggap tugas seorang revolusioner adalah mengerti hukum-hukum revolusi dan hukum perkembangan objektif dari sejarah.

Dua tahap Revolusi

Soekarno membentangkan revolusi Indonesia mesti melalui dua tahap: revolusi nasional demokratis dan sosialisme.

Pada tahap pertama, yakni revolusi nasional-demokratis, tugas pokok kita adalah menghancurkan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme. Dengan demikian, revolusi tahap pertama ini bersifat nasional dan demokratis.

Sifat nasionalnya terletak pada tugas pokoknya menghancurkan kolonialisme dan imperialisme. Sedangkan watak demokratisnya terletak pada penentangannya terhadap keterbelakangan feodal, otoritarianisme, dan militerisme.

Revolusi nasional akan menghasilkan negara nasional yang merdeka dan berdaulat. Pada tahap itu, semua sisa-sisa kolonialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya akan dilikuidasi. Negara merdeka inilah kelak senjata untuk menyiapkan syarat-syarat tahap sosialis.

Akan tetapi, seperti ditekankan Soekarno, revolusi nasional bukan berarti sekedar “indonesianisasi”. Tidak sekedar mengganti kepemilikan perusahaan asing dengan orang Indonesia. Tidak pula sekedar mengganti pegawai kolonial dengan orang-orang Indonesia. Akan tetapi, esensi revolusi nasional adalah menghancurkan nilai-nilai, kebiasaan, dan praktek sistim kolonialisme dan imperialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya.

Sedangkan revolusi demokratis akan menghasilkan negara Indonesia yang benar-benar demokratis, yang terbebas dari keterbelakangan feodal dan kungkungan segala bentuk kediktatoran.

Pada tahap ini, akan dijalankan revolusi agraria yang akan membebeskan berpuluh-puluh juta kaum tani. Di sini, kepemilikan tanah akan didemokratiskan dan akan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Tanah, seperti ditegaskan Soekarno, tidak boleh menjadi alat penghisapan.

Pasal 33 UUD 1945 itu letaknya di fase transisi dari nasional demokratis menuju sosialisme. Jadi, pasal 33 UUD 1945 adalah usaha memberantas kapitalisme dan menyiapkan basis menuju sosialisme.

Salah satu turunan pasal 33 UUD 1945 adalah UU pokok agraria (UUPA) tahun 1960. Tugas pokok UUPA adalah melikuidasi sistem pertanahan berbau feodal dan kolonialistik. Tetapi, secara bersamaan, UUPA 1960 juga menyiapkan basis menuju sosialisme.

Tahap kedua revolusi indonesia adalah revolusi sosialis. pada tahap ini, perjuangan pokok diarahkan untuk menghilangkan segala bentuk “I’exploitation de I’homme par I’homme” dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.

Di dalam Manipol 1959 ditegaskan, “hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme”. Soekarno merumuskannya sebagai “sosialisme Indonesia”, yakni sosialisme yang disesuikan dengan kondisi-kondisi di Indonesia.

Menentang Fasensprong dan Evolusionisme

Soekarno seorang materialis historis. Ia belajar dari Marx tentang hukum-hukum objektif perkembangan sejarah. Dari sinilah Soekarno menentang keras pendapat kaum fasensprong dan evolusionisme.

Soekarno menjelaskan pandangan evolusionisme sebagai berikut: “masyarakat ini bertumbuh dari satu tingkat secara evolusioner cepat atau tidaknya evolusi ini tergantung daripada keadaan kelain tingkat. Dikatakan, masyarakat manusia ang dulunja agraris, secara evolusioner dengan sendirinya masuk kedalam tingkat fase industri kecil. Di tingkat industri kecil, bercampur dengan tingkat agraris ini, dengan sendirinya nanti otomatis evolusioner masuk dalam tingkatan industri kapitalis. Dan dari tingkatan industri kapitalis itu secara evolusioner dengan sendirinya masuk didalam alam sosialis.”

Soekarno tidak setuju dengan pandangan ini. Menurutnya, masyarakat agraris tidak akan serta-merta menuju industrialisasi kapitalis, apalagi menuju sosialisme. Sebab, perkembangan masyarakat Indonesia, juga tenaga-tenaga produktifnya, dirintangi oleh sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme/imperialisme.

Selain itu, evolusionisme berarti tidak menghancurkan sarana-sarana lama, yakni feodalisme dan kolonialisme, dengan sesuatu yang baru. Tidak ada penjebolan masyarakat lama dan pembangunan masyarakat baru. Akibatnya, evolusionisme lebih mirip dengan “menyerahisme”.

Sementara itu, pendapat lainnya adalah fasensprong, yakni bahwa masjarakat agraria kita bisa melompat kemasjarakat sosialis tanpa harus melalui kapitalisme.

Teori ini juga dibantah oleh Bung Karno. Fasensprong mengabaikan fase revolusi nasional demokratis. Bagi pendukung fasensprong, di negeri semi-jajahan seperti Indonesia, yang dianggapnya ‘mata-rantai terlemah kapitalisme’, ada peluang untuk meloncat langsung ke sosialisme.

Akan tetapi, bagi Soekarno, sosialisme tidak akan bisa dibangun tanpa menghancurkan sepenuhnya feodalisme dan kolonialisme/imperialisme. Soekarno mengatakan, sosialisme hanya akan menjadi obrolan omong-kosong ketika hanya sedikit saja orang yang bisa membaca; rumah-rumah hanya diterangi oleh lampu minyak-kelapa, ibu-ibu masih meniup-niup api dapur untuk memasak, dan ibu-ibu masih memintal atau menjahit sendiri tiap-tiap baju anaknya.

Sosialisme, kata Soekarno, memerlukan kemajuan teknik dan klas pekerja yang terorganisir. Sebab, prinsip sosialisme adalah: setiap orang bekerja sesuai kemampuan dan menerima sesuai hasil kerjanya. Maka, harus ada kemajuan tenaga-tenaga produktif secara besar-besaran, agar bisa berproduksi secara melimpah dan memenuhi kebutuhan rakyat. Tanpa itu, sosialisme hanya akan berarti kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan.

Soekarno sangat menyadari, kemajuan tenaga-tenaga produktif dihambat oleh sisa-sisa feodalisme dan imperialisme. Imperialisme hanya menjadikan Indonesia sebagai penyedia bahan baku bagi industri kapitalis, pasar bagi hasil produksi negara imperialis, penyedia tenaga kerja murah, dan tempat penanaman modal asing.

Bung Karno Dan Soal-Soal “Revolusi”

Jumat, 4 Mei 2012
1:47 WIB • 0 Komentar



Banyak pemimpin sekarang alergi dengan kata “Revolusi”. Yang ada di kepala mereka: kata ‘Revolusi’ identik dengan kaum kiri. Kata itu paling sering digembor-gemborkan kaum komunis! Begitulah kira-kira anggapan sebagian pemimpin sekarang.

Tetapi, di jaman ketika Republik ini baru diperjuangkan, kata “Revolusi” sangat digandrungi. Hampir semua kalangan pergerakan, baik nasionalis, marxis, maupun islamis, sangat akrab dengan kata “Revolusi”.

Tidak terkecuali Bung Karno. Boleh dikatakan, sejak Bung Karno menginjakkan kaki di dunia pergerakan, ia sudah sangat akrab dengan kata “Revolusi”. Hampir tidak ada tulisan dan pidato-pidatonya yang absen menyebut revolusi.

Akibatnya, pada Desember 1929, Soekarno ditangkap. Penguasa kolonial menuding pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) ini sedang mempersiapkan sebuah “revolusi”. Maklum, Belanda masih trauma dengan revolusi-nya PKI pada tahun 1926/1927 di Jawa dan Sumatera.

Setahun kemudian, ia menjalani proses persidangan. Pidato pembelaannya diberi judul “Indonesia Menggugat”. Di situ, Soekarno secara khusus menggeledah pengertian revolusi dan revolusioner.

Revolusioner, kata Soekarno, berarti radikal, yaitu mau mengadakan perubahan dengan lekas. Bagi Soekarno, revolusioner tidak hanya melekat kepada “kaum merah”, tetapi kepada siapa saja yang menghendaki perubahan cepat.

Soekarno pun segera meminjam penjelasan Karl Marx:

“Kaum sosialis adalah revolusioner, bukan karena bertingkah laku keras, tapi karena anggapan mereka tentang tumbuhnya cara produksi, yakni: di dalam pertumbuhan itu harus ditimbulkan pengertian-pengertian dan bentuk baru tentang milik dan produksi. Sebaliknya anggapan dari orang sekarang, mereka itu revolusioner karena cita-cita dan usahanya menyusun dan membikin matang untuk itu, kelas yang harus akan melaksanakan sistem baru itu.”

Soekarno dengan terus terang mengatakan, “PNI adalah suatu partai yang ingin membikin revolusi-revolusi”. Sayang, PNI tidak berkembang lama karena segera direpresi oleh penguasa kolonial.

Belakangan, Soekarno punya rumusan sendiri tentang apa itu revolusi. Soekarno merumuskan arti dan hakekat tiap revolusi sebagai “perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan keadaan yang baru.”

Kita akrab dengan pengertian revolusi ala Bung Karno: menjebol dan membangun. Dengan demikian, revolusi ala Soekarno tidak mengenal kata “berhenti”. Ia akan terus menjebol dan membangun. Bahkan, dengan merujuk pada marxisme, Soekarno menganggap revolusi sebagai lokomotif dari sejarah perkembangan manusia itu sendiri.

Ini yang membedakan dengan Bung Hatta. Pada Desember 1956, Bung Hatta menyampaikan sebuah pidato penting. Di pidato itu ia mengatakan, “sudah saatnya revolusi harus dibendung”. Hatta menjelaskan, “tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, sebab apabila tidak dibendung dalam waktu yang tepat, pasak dan tiang yang jadi longgar tadi terus berantakan. Sementara itu, anasir-anasir baru memasukinya, mengambil keuntungan dari situ, dan antara merdeka dan anarki, tidak terang lagi batasnya…”

Setiap revolusi punya hukum-hukum. Sebagai seorang penganut materialisme historis, Soekarno tahu betul bahwa hukum-hukum revolusi tidak bisa dilepaskan dari tahap perkembangan masyarakat.

Bung Karno pun menjelaskan hukum-hukum revolusi:

Pertama, setiap revolusi mesti punya kawan dan punya lawan. Setiap kekuatan revolusi harus sanggup mendefenisikan siapa kawan dan siapa lawan. Dan, setelah itu, harus ditarik garis pemisah yang terang antara siapa kawan dan siapa lawan dalam revolusi Indonesia.

Pada tahap revolusi nasional demokratis, musuh revolusi Indonesia adalah imperialisme dan feodalisme. Dengan demikian, kawan dalam tahap revolusi ini adalah semua kekuatan revolusioner yang menentang imperialisme dan feodalisme.

Kedua, setiap revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau “revolusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;

Soekarno sangat menentang revolusi istana. Ia, seperti juga Lenin, mengartikan revolusi sebagai “pesta rakyat tertindas”: rakyat yang berabad-abah dihisap dan tak dapat kekuasaan apapun, mencapai kebebasannya dalam saat-saat revolusi tersebut.

Ketiga, setiap revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan. Sebab, kalau destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau pembangunan maka saja dengan kekacauan, dan sebaliknya; konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme.

Keempat, setiap revolusi selalu punya tahap-tahapnya. Soekarno menggariskan Revolusi Indonesia harus melalui dua tahap: tahap nasional-demokratis dan tahap Sosialis. Tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; – inilah dialektika Revolusi.

Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat. Soekarno mengambil contoh Revolusi Indonesia. Revolusi Indonenesia dirumuskan sangat jelas dalam Manifesto Politik (Manipol).

Keenam, Revolusi harus punya soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya.

Soekarno menekankan, “kaum buruh dan kaum tani, baik karena vitalnya maupun karena sangat banyak jumlahnya, harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan menjadi sokoguru masyarakat adil dan makmur di Indonesia.”

Sejak berkecimpung dalam pergerakan, Soekarno sudah menekankan arti penting kepeloporan proletar. Alasannya, menurut Soekarno, proletar sebagai klas berhadapan langsung dengan kapitalisme. Selain itu, hanya proletar yang mengerti hukum objektif perkembangan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

Meski demikian, dalam tahap revolusi yang pertama, nasional-demokratis, kunci kemenangan revolusi ada di kaum tani dan marhaen pada umumnya. Sebab, merekalah kekuatan mayoritas dalam susunan rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, mengingat perangnya sebagai soko-guru revolusi, maka kaum buruh dan tani harus sadar-politik dan sadar revolusi. Artinya, gerakan buruh dan tani harus memahami hakekat perjuangan politik dan, secara bersamaan, tahu cara melaksanakan revolusi.

Setiap revolusi mesti punya tujuan alias “hari depan”. Soekarno dalam pidato Manipol dengan tegas mengatakan, “hari depan Revolusi Indonesia bukanlah ke kapitalisme dan sama sekali bukan menuju ke feodalisme, akan tetapi menuju ke Sosialisme yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang tepat di Indonesia, dengan rakyat Indonesia, dengan adat-istiadat, dengan psikologi dan kebudayaan rakyat Indonesia.”

Karena Revolusi Indonesia mengarah pada dunia baru bernama Sosialisme, maka Soekarno menegaskan bahwa Revolusi Indonesia tidak bisa dipisahkan dari revolusi besar dunia.

TIMUR SUBANGUN, Kontributor Berdikari Online

Tidak ada komentar: