Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Jumat, 10 Agustus 2012

17 Agustus 1945 Sebagai Cetusan Revolusi!

17 Agustus 1945 Sebagai Cetusan Revolusi!

Selasa, 16 Agustus 2011 | 3:56 WIB   ·   0 Komentar
Soekarno program PBH







17 Agustus 1945: pada pagi hari itu ribuan rakyat Indonesia di Jakarta mengalir ke jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka datang dengan bamboo runcing, batu, sekop, tongkat, parang, dan apa saja yang bisa mereka bawa. Mereka sudah mendengar kabar, bahwa Bung Karno akan membacakan proklamasi kemerdekaan.
Bung Karno dan ribuan orang di situ, pada hari itu, telah membuat sejarah. Mereka telah membuat sebuah sejarah yang ditunggu beratus-ratus tahun lamanya. Tidak terhitung berapa banyak pengorbanan untuk hari penting itu.
Itulah proklamasi kemerdekaan. Ia adalah suatu—meminjam istilah Bung Karno—pekik “berhenti” kepada penjajahan 350 tahun. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pengumuman (proclamare) terhadap lahirnya sesuatu yang baru dan keruntuhan yang lama. Dengan demikian, dapat pula dipahami, bahwa proklamasi adalah sebuah pengumuman tentang dimulainya revolusi.
Agustus memang sebuah revolusi, sebagaimana dikatakan Soekarno, sebuah momen untuk menjebol dan membangun. Pada 17 Agustus itu, dimulailah sebuah perjuangan untuk menjebol yang lama dan membangun yang baru.
Naskah proklamasi sendiri hanya pengumuman. Pada hari itu, seperti dikatakan Soekarno, barulah empat hal yang sudah selesai: (1) naskah proklamasi itu sendiri, (2) bendera kebangsaan Sang Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, (3) falsafah negara, yaitu: Pancasila, (4) Undang-Undang Dasar yang bersendikan palsafah negara itu. Di luar itu, kata Soekarno, masih harus diusahakan dengan melanjutkan perjuangan menurut cita-cita 17 Agustus 1945 itu.
Hal itu tercantum dan tersirat dalam kalimat proklamasi:
    “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
Karena itu, sebagaimana sering dicetuskan Bung Karno sendiri, 17 agustus adalah awal dari sebuah revolusi nasional, sebuah proses destruksi dan konstruksi, menjadi bangsa yang sempurna: lepas dari kolonialisme dan imperialisme.
Pada tahap awal, revolusi nasional itu berhasil menyelesaikan tugasnya, yaitu mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Pada saat itu, baik pihak Jepang maupun Sekutu, menganggap wilayah Indonesia dalam status-quo dan dalam tahap persiapan diserahkan kembali kepada Belanda.
Belanda, yang dua kali melancarkan agresi militer besar-besaran, menyebut tindakannya itu sebagai aksi polisional. Artinya, Belanda sebagai kekuatan lama tidak mengakui lahirnya Indonesia sebagai sebuah kenyataan baru. Tetapi Revolusi Agustus berhasil membuktikan kebenaran hukum revolusi: Revolusi menolak hari kemarin!
Alhasil, pada 19 september 1945, ratusan ribu orang dari pelbagai penjuru Jakarta berkumpul di lapangan Ikada. Sekalipun dihalang-halangi oleh militer Jepang, tetapi ratusan ribu orang itu tetap nekat menegaskan: sekali merdeka tetap merdeka!
Ratusan ribu orang itu adalah gemuruh manusia yang hendak merdeka. Mereka bukanlah lagi rakyat Indonesia di tahun sebelum 1945. Mereka adalah manusia baru: manusia merdeka. Bukan lagi manusia terperintah…
Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sesudahnya, tidak terhitung jumlah rakyat Indonesia yang terpanggang api revolusi Agustus. Mereka bertempur dengan penuh keberanian melawan tentara belanda yang berkeinginan “meng-Hindia-Belanda” Indonesia kembali.
Lalu, dalam keadan terpojok, kaum kolonialis menawarkan jalan baru: Konferensi Meja Bundar. Melalui pernjajian KMB itu, pihak kolonialis berusaha menghambat derap langkah revolusi Agustus. Tetapi, keinginan itu mengalami kegagalan, begitu rakyat Indonesia kembali bergerak untuk membatalkan KMB itu.
Revolusi agustus, seperti juga revolusi-revolusi besar di berbagai belahan dunia, pernah mengalami pasang dan surut. Ada kalanya revolusi itu ditantang sangat hebat oleh kalangan kontra-revolusi, dengan berusaha menciptakan “penyimpangan” terhadap tujuan revolusi itu. Itulah yang terjadi dengan penerapan sistim demokrasi liberal pada tahun 1950an.
Begitulah, ketika revolusi mulai mandek, Bung Karno terus membakarnya: jangan mundur, —–mundur hancur, mandek amblek. Sehingga revolusi kembali menemukan jalannya yang tepat. Lahirlah ”Re-So-Pim” untuk mengarahkan revolusi itu pada jalurnya yang tepat dan menurut hukum sejarahnya.
Lalu, di penghujung tahun 1965, revolusi nasional benar-benar terhenti. Tetapi tidak mati suri atau sudah selesai. Hanya tenaga-tenaga penggerak revolusinya saja pada saat itu yang dibasmi. Tetapi, cita-cita revolusi agustus sendiri tidak bisa berhenti.
Sekarang, di tengah penindasan imperialisme yang hampir tak ada bedanya dengan kolonialisme sebelum 1945, bangsa Indonesia kembali terpanggil untuk mengobarkan kembali semangat “Revolusi Agustus” itu. (Kusno)

17 Agustus 1945: Revolusi Belum Selesai

Selasa, 16 Agustus 2011 | 1:24 WIB   ·   0 Komentar
bung-karno-che-guevara
Pada 17 Agustus 1957, sebelum memulai pidatonya yang berjudul “Suatu Tahun Ketentuan”, Bung Karno membacakan sebuah ikrar. Ikrar itu memuat lima point, yang kesemuanya bertekad melanjutkan cita-cita “Revolusi Agustus”.
17 Agustus memang sebuah revolusi, seperti dikatakan Soekarno, karena merupakan sebuah proses menjebol dan membangun. Yang dijebol adalah kolonialisme, sedangkan yang dibangun adalah Indonesia Merdeka.
Karena ia sebuah revolusi, maka Revolusi Agustus tidak berhenti di hari itu juga. Justru, 17 Agustus itu adalah pengumuman akan dimulainya revolusi. Soekarno sendiri mengatakan, saat itu barulah empat yang sudah selesai: (1) naskah proklamasi itu sendiri, (2) bendera kebangsaan Sang Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, (3) falsafah negara, yaitu: Pancasila, (4) Undang-Undang Dasar yang bersendikan palsafah negara itu.
Di luar yang empat itu, barulah bangsa Indonesia akan memperjuangkannya melalui sebuah revolusi. Oleh karena itu, tidak salah kemudian jikalau Soekarno mengikrarkan bahwa “Revolusi Belum Selesai”. Pada kenyatatannya, apa yang dicita-citakan Revolusi Agustus belum tercapai.
Sudah 46 tahun—sejak 1965 ketika Bung Karno dan pendukungnya dikalahkan—Revolusi Agustus terinterupsi. Pada saat bersamaan, praktek kolonialisme kembali bercokol dan mengambil posisi dominan dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Di lapangan ekonomi, posisi ekonomi Indonesia sudah kembali seperti jaman kolonial: Indonesia sebagai penyedia bahan baku, penyedia tenaga kerja murah, pasar bagi produk negeri-negeri maju, dan tempat penanaman modal asing. Itu mulai berlaku sejak jaman Orde Baru.
Situasi sekarang makin nyata: kita makin terjajah! Jika dilihat dari berbagai jenis komoditi ekspor kita, maka hampir semuanya adalah bahan mentah, seperti batubara (70%), minyak (50%), gas (60%), bauksit, minyak kelapa sawit, dan karet. Hampir 70% modal yang menggali untung di Indonesia adalah modal asing. Akibatnya, modal asing pun mendominasi sejumlah sektor strategis: Minyak dan gas (80-90%), perbankan (50.6%), telekomunikasi (70%), kebun sawit (50%), pelayaran barang (94%), pendidikan (49%), dan lain-lain.
Indonesia masih menjadi tempat pemasaran barang-barang hasil produksi negara maju: sebanyak 92% produk teknologi yang dipakai rakyat Indonesia adalah buatan asing, 80% pasar farmasi dikuasai asing dan 80% pasar tekstil dikuasai produk asing.
Selain itu, hampir semua bahan kebutuhan hidup rakyat dipenuhi melalui impor: Indonesia sekarang sudah masuk negara pengimpor beras terbesar; mengimpor 40 persen gula dari kebutuhan nasional; impor sekitar 25 persen konsumsi nasional daging sapi; mengimpor satu juta ton garam yang merupakan 50 persen dari kebutuhan nasional; dan impor 70 persen kebutuhan susu.
Indonesia menjadi penyedia tenaga kerja murah, baik untuk keperluan pasar tenaga kerja di dalam negeri maupun pasar tenaga kerja internasional. Gaji buruh di Indonesia disebut-sebut salah satu yang paling rendah di Asia. Sebagai contoh: upah buruh Indonesia lebih rendah tiga hingga empat kali lipat dibandingkan Malaysia. Ini diperparah lagi dengan pemberlakuan sistim kerja kontrak dan outsourcing.
Jelaslah, kalau cita-cita Indonesia Merdeka adalah kemerdekaan sepenuh-penuhnya, maka jelas cita-cita Revolusi Agustus belum terwujud. Jika generasi Bung Karno telah berhasil memproklamasikan dan mempertahankannya melalui perjuangan fisik, maka tugas kita untuk melanjutkannya.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20110816/17-agustus-1945-revolusi-belum-selesai.html

Tidak ada komentar: