Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Minggu, 19 Agustus 2012

PKS Dan Ikhwanul Muslimin

PKS Dan Ikhwanul Muslimin


Minggu, 19 Agustus 2012
2:16 WIB · 0 Komentar





Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kembali memperlihatkan politik limbungnya. Di Pilkada DKI Jakarta, PKS merasa mantap mendukung Foke-Nara. Pasangan itu dianggap pro-neoliberal. Tapi, hal itu bukanlah hal yang baru. Di politik nasional, PKS juga menjadi pendukung rezim neoliberal.



Politik yang limbung itu, kata sebagian orang, cerminan dari pragmatisme yang sedang menggelayuti elit-elit PKS. Syahwat berkuasa PKS kian tak terkendali. Akhirnya, PKS tampil dengan politik tanpa prinsip.



Padahal, banyak yang bilang, PKS itu representasi Ikhwanul Muslimin (IM) di Indonesia. Ideologi PKS dianggap mirip dengan IM. Sudah begitu, banyak pengikut PKS kemana-mana menenteng pemikiran tokoh pendiri IM, Hassan al-Banna.



Dalam bukunya, Ideologi Politik PKS, M. Imdadun Rahmat menyebut cikal-bakal PKS sudah ada sejak tahun 1970-an. Bibit-bibit PKS adalah aktivis dakwah kampus. Mereka menghimpun massa melalui kelompok diskusi dan pengajian. Gerakan mereka bersifat klandestin.



Meski lahir di bawah kekuasaan otoriter orde baru, embrio PKS itu tidak terang-terangan menentang rezim. Tetapi, begitu rezim Soeharto sudah di bibir jurang, kader-kader PKS ini mulai muncul ke permukaan. Mereka memutuskan untuk berjuang melalui jalur politik. Berdirilah Partai Keadilan (PK) saat itu.



Ini berbeda dengan sejarah IM di Mesir. Sejak berdirinya IM sudah “kenyang” dengan represi. Pendiri partai ini, Hassan al-Banna, dibunuh oleh agen negara pada tahun 1949. Salah satu pemikir terbesarnya, Sayyid Qutb, digantung oleh Nasser pada tahun 1996. Banyak kader lainnya yang pernah dipenjara.



Kita lihat sepak terjang PKS. Pada pemilu 1999, PK meraih suara sebesar 1,3%. Lalu, pada pemilu 2004, prestasi PKS cukup menakjubkan, yakni mampu menaikkan suara secara signifikan hingga 7,34% suara. Sedangkan pada pemilu 2009 PKS kembali menaikkan suaranya hingga 7,9%. PKS kemudian masuk dalam jajaran partai yang diperhitungkan di Indonesia.



Sayang, begitu di dalam kekuasaan, politik PKS makin tak berwarna. PKS mendukung rezim SBY pada pemilu 2004. Kemudian itu dukungan itu dilanjutkan pasca pemilu 2009. Di sinilah terjadi banyak kontradiksi: banyak kebijakan politik rezim neoliberal bertolak-belakang dengan kepentingan ummat.



Belum lagi tingkah kader PKS di parlemen: ada kader yang terperangkap kasus korupsi, ada kader yang ketangkap kamera wartawan sedang nonton film porno, dan lain-lain. Sudah begitu, kadangkala sikap politik kader-kader PKS di parlemen kadang tak seirama dengan keinginan gerakan ekstra-parlementer.



Ada satu kata kunci di sini: PKS sangat takut kehilangan kekuasaan politik. Padahal, dalam pikiran ideal, terpental dari kekuasaan karena mempertahankan prinsip politik jauh lebih bermartabat ketimbang menjadi “petualang tanpa prinsip”.



Ini sangat berbeda dengan sepak terjang IM di Mesir. Mereka tak takut kehilangan kekuasaan, bahkan berulang-kali “dibekukan” oleh pemerintah berkuasa. Konsistensi ideologis IM—terlepas dari ideologi yang diembannya—membuatnya “kenyang” sebagai gerakan oposisi.



Basis massa IM dan PKS juga agak berbeda. Katanya, basis massa PKS sebagian besar merupakan klas menengah dan kaum terdidik. Sedangkan basis massa IM sebagian besar borjuis kecil perkotaan dan pedesaan. Banyak fanatik IM adalah petani miskin di desa-desa.



Pada awalnya, PKS memang berkembang karena pengorganisiran. Keanggotaan PKS pun terus meningkat. Secara organisasi, PKS dikategorikan partai berdisiplin dan terorganisasikan dengan baik. Namun, entah mengapa, tradisi itu mulai agak menurun sekarang ini.



Kelihatannya, PKS saat ini benar-benar mengandalkan posisinya di kekuasaan sebagai syarat mutlak untuk berkembang. Bahkan, sebagai sebuah partai parlementer yang butuh banyak konstituen, PKS menampilkan diri sebagai partai pluralis. Ya, bagi sebagian orang, PKS sudah benar karena mengabdi pada realitas politik.



Tetapi IM di Mesir tidak menggunakan cara itu. IM lebih percaya dengan pengorganisasian massa sebagai syarat mengembangkan organisasi. Sedangkan “penaklukan kekuasaan” hanyalah hasil akhir dari pembangunan kekuatan.



Untuk itu, strategi IM juga terbilang cukup pintar. Mesir, seperti juga Indonesia, ditandai oleh model pembangunan neoliberal yang menggemukkan sektor informal. Sektor informal di Mesir mencapai 60% dari populasi. IM membidik sektor itu dengan mendirikan kegiatan amal, rumah sakit gratis, dan apotik gratis. Terhadap suara petani di pedesaan, IM mengucurkan kredit mikro. Dengan begitu, struktur IM terus-menerus bekerja di tengah massa tanpa menunggu momen pemilu atau bencana alam (layaknya PKS dan partai-partai lain di Indonesia). (Sumber: Kusno, Ikhwanul Muslimin Dan Akar Rumput, BO)

Suara PKS terus tergerus. Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2007 lalu, kandidat yang diusung oleh PKS, yaitu Adang Daradjatun dan Dani Anwar, mendapat 42% suara. Sedangkan pada pilkada DKI tahun 2012 putaran pertama lalu, kandidat yang diusung PKS, Hidayat Nur Wahid dan Didik J Rachbini, hanya mendapat suara 11,72%. Padahal, Hidayat Nur Wahid merupakan figur penting PKS.



Ya, begitulah nasib PKS: mulai tersungkur begitu hampir merengkuh kekuasaan. Sedangkan IM sedang menapaki jalan berkuasa di Mesir.



Aditya Thamrin, penggiat di perhimpunan diskusi Praxis Theoria (aditya.praksis@gmail.com)


http://www.berdikarionline.com/opini/20120819/pks-dan-ikhwanul-muslimin.html

Tidak ada komentar: