Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Kamis, 09 Agustus 2012

JOKOWI BASUKI

Jakowi-Basuki

Jokowi, Jokowisme dan Siklus Sejarah Bangsa








1342285954955534571
Jokowi dengan PDIP di belakangnya. Keterkaitan sejarah tak terpisah. Sumber photo: http://jurnaline.com/2012/06/05)

Fenomena Jokowi dan ‘jokowisme’ dalam pilkada DKI semakin menarik untuk diperbincangkan. ‘Kemenangan’ Jokowi pada putaran pertama 11 Juli mengalahkan Foke lebih dari sekadar ‘kemenangan’ pilkada. Ini adalah kemenangan ‘psikologis’ wong cilik-ndeso-pembaharuan atas  birokrat-kota-kemapanan. Entah ndilalah (kebetulan) atau sudah menjadi pakem ‘alur cerita’ dari sononya, Jokowi dan PDIP tak lepas dari kemiripan sejarah PNI dan Bung Karno, beserta catatan peristiwanya dalam sejarah bangsa. Fenomena Jokowi seakan menjadi pembuka akan adanya perulangan dalam siklus 70 tahun sejarah nusantara.



Pada 28 Oktoer 1928 Kongres Pemuda II di Batavia diketuai oleh Sugondo Djojopuspito menerima Sumpah Pemuda: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Inilah awal revolusi kemerdekaan berlandaskan kebangsaan dengan peran utama pemuda terpelajar, ‘ruh’ pembaharuan yang manabrak logika zaman. Suatu hal yang mustahil melihat kolonialisme Belanda yang telah berabad-abad mencengkeram bumi nusantara. Di tahun ini pula, PNI (Partai Nasional Indonesia) muncul sebagai partai, setelah sebelumnya didirikan pada 4 Juli 1927 oleh Bung Karno dan dr. Tjiptomangunkusumo dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia.


Seakan usia manusia yang butuh waktu 17 tahun untuk meraih pengakuan kedewasaan, baru pada 17 Agustus 1945 proklamasi membuka gerbang Indonesia merdeka. Impian dan kemustahilan para pemuda 1928 tiba-tiba menjadi realita. “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa…” Indonesia bisa merdeka. Mukjizat telah menabrak logika. Bahkan kalau saja bukan karena ‘penculikan-paksa’ beberapa pemuda dalam peristiwa Rengasdenglok, mungkin Bung Karno sendiri belum tentu meyakini bahwa hari itu adalah momen terbaik untuk proklamasi. Momentum datang, kesempatan tersedia plus ‘nekad,’ sejarah akhirnya mencatat.




13422866217379091

Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, Jilid 1 revolusi Indonesia merdeka.(sumber photo: http://www.exelbyte.com/pemerintahan)



Berselang 70 tahun sejak Sumpah Pemuda, perulangan sejarah terjadi. Gelombang reformasi menggelora pada 1998, kembali dimotori oleh pemuda-mahasiswa. Runtuhlah rezim orba setelah 32 tahun berkuasa, ditandai dengan turunnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sejarah reformasi tak lepas dari sejarah PDIP. Setelah mengalami gonjang-ganjing dan berjuang ‘berdarah-darah’ melawan penindasan rezim orde baru, Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan PDIP, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,  pada 14 Februari 1999 setelah sebelumnya bernama PDI.


Perjalanan reformasi tak seindah yang dibayangkan. Seperti kisah sejarah sebelumnya, ‘mukjizat nasional’ runtuhnya rezim orde baru ternyata hanyalah euforia sesaat. Empat belas tahun berlalu, sayup-sayup gema pembaharuan makin menghilang. Reformasi tinggal wacana. Nyaris tak lagi terdengar, lenyap, senyap, sepi ditelan hari. Gelombang harapan kandas, tinggal buih-buih dan riak kecil di tepian. Senada dan seirama dengan nasib mayoritas penghuni wilayah tepian, kaum marjinal yang terpinggirkan.


Harta, nyawa dan kekeluargaan bangsa yang sempat terguncang gagal ditebus dengan harga yang layak dan sepadan. Reformasi, tak lebih dari  sambel terasi. Pedas, panas dan sedap terasa di lidah dalam sesaat, hanya tersisa aroma terasi yang masih sedikit menyengat hidung, itupun hanya ketika uap dari mulut dihembuskan ke udara. Seperti itulah aroma reformasi, tak lebih kata-kata bersejarah, sisa-sisa aroma tajam di hidung rakyat, hanya sesekali dihembuskan di pinggir halaman koran, tapi cita rasa dan manfaat nyata bagi rakyat kecil nyaris tak tersisa.




13422869911561245864

Proklamasi 17-8-1945, 17 tahun setelah sumpah pemuda 1928. (sumber photo http://listofhenri.blogspot.com)



Ternyata alur sejarah tak bisa diduga. Realita tak selamanya terjadi sesuai dengan rencana, perhitungan logika dan analisis berdasarkan data-data statistik semata. Kini bangsa ini sedang terkurung lingkaran setan ‘kebingungan’ nasional. Bahkan bangsa ini telah kehilangan logika. Agama telah kehilangan logika. Negara telah kehilangan logika. Dalam logika-gila-dan-gila-logika, manusia tak lagi bisa membedakan mana yang logis dan mana yang tidak logis. Waras dan gila sudah tak ada lagi batasnya. Tak ada orang gila yang mengakui kegilaannya.


Kita memasuki era “zaman edan.” Di zaman edan, semua manusia ‘merasa’ waras, meski faktanya tak waras. Ketika manusia telah ‘gila’ logika, semua peristiwa hanya diukur dengan logika dangkal, bahkan tanpa pernah menyadari bahwa logika yang dipakai sebenarnya logika gila, tidak logis, tidak masuk akal, alias pikiran edan. Hingga akhirnya ketika kegilaan pada logika masih saja gagal menyelesaikan carut-marut berbagai problema, masih saja hampir seluruh anak bangsa ‘keukeuh’ memakai logika lama dan tidak berusaha memutar arah dan cara berlogika.


Negeri edan di zaman edan menjadi satu realitas sosiohistoris Republik “burnaskopen”, masyarakat homo homini lupus nusantara yang memprihatinkan. Lingkaran setan sistemik ‘negara gagal’, rusaknya lingkungan alam dan lingkungan kehidupan, hancurnya tata keadaban publik, rusak ngeblangsak tata masyarakat, tata bangsa dan tata negara, kepandiran berpikir dan kegagapan bersikap, kekalahan peradaban, kesadaran ‘banal-magis’ elit-alit, matinya hukum dan keadilan, jurang kesenjangan menganga lebar-dalam, pola hidup hedonisme-materialisme dengan wabah endemik watak elit poly-tikus politik berpolitik  transaksional ‘banal abal-abal’ pragmatisme sempit-pendek partaikular-partambal sulam.


Kini fenomena Jokowi dan Jokowisme bercampur aduk antara cerita rakyat, dongeng, legenda, mitos dan sejarah menyentak publik dan ‘kenyamanan’ politik. Ketika ‘spirit kebangkitan Jokowi’ menohok logika dalam ‘kemenangan’ sementara di  pilkada ibukota, banyak orang masih belum percaya meski sempat terkesima. Itu hanya kebetulan belaka! Maka ketika sebagian besar rakyat kecil banyak berharap fenomena Jokowi dan Jokowisme menjadi “momen-momentum” perubahan-pembaharuan  mendasar dan holistik bagi masyarakat-bangsa-negara Indonesia yang saat ini dalam keadaan ‘sakit parah,’ tetap saja belum cukup menggugah kesadaran dan logika.


Ternyata tak gampang untuk melakukan revolusi mental bangsa yang sudah terlanjur sekian lama  berkesadaran ‘magis-banal‘ tanpa kesadaran ‘kritis emansipatoris transformatif, apalagi liberatif’. Kata Romo Mudji Sutrisno, kesadaran pembebasan bangsa ini telah lumpuh dan mati-beku. Di realitas dunia maya saja (mungkin termasuk Kompasiana) yang terlihat hanya ekspresi masyarakat nggrundel-mengeluh (fret society) yang fatalis-pesimis-permisif dan ‘au ah gelap.


J. Kristiadi juga pernah berkata, “Masih jauh panggang dari api.” Dalam 10-15 tahun ke depan dengan sistem demokrasi prosedural abal-abal tanpa ’sukma demokrasi’ belum akan melahirkan elit otentik, negarawan bersukma kerakyatan. Tak akan lahir leader, yang ada cuma ‘dealer, agen atau broker politik berkepentingan partikular sempit-pendek bercorak transaksional-dagang sapi, lagi-lagi mengkhianati amanat penderitaan rakyat.




13422872911798692629

Reformasi 1998, perulangan sejarah revolusi-pembaharuan 70 tahun setelah Sumpah Pemuda 1928. (sumber photo: http://www.shnews.co)



“Tanpa visi dan pemimpin otentik berintegritas-berkomitmen kebangsaan sejati, publik-rakyat akan menjadi liar.” Reformasi 1998 tak ada anasir-anasir itu semua, Andrinof Chaniago mengibaratkan nasi setengah matang yang gagal tanak dan tak didukung elemen golongan publik yang matang SDM demokrasi-nya. Bahkan Amin Rais saja sebagai salah satu pelopor reformasi, 5 tahun lalu telah mengatakan “Reformasi telah mati sebelum sempat tumbuh.”


Namun memang alur sejarah tak selamanya bisa diduga. Realita tak selamanya terjadi sesuai dengan rencana, perhitungan logika dan analisis berdasarkan data-data statistik semata. Semua akan tergantung pada rakyat dan Tuhan, “Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat Suara Tuhan”. Tangan rakyat tangan Tuhan. Bila Tuhan telah ‘menghadiahkan’ momentum, rakyat cerdas menangkap kabar langitan, seharusnya 2015 waktu yang tepat untuk menggugah kesadaran rakyat untuk perubahan. Karena jika momentum itu terlewatkan, mungkin kita harus menunggu siklus berikutnya 70 tahun lagi di tahun 2085.


Spirit revolusi kebangsaan pemuda pada 1928 melihat Indonesia merdeka sebagai hal yang logis pada 17 tahun setelahnya, di tahun 1945. Maka spirit reformasi mahasiswa juga mungkin akan melihat Indonesia ‘benar-benar’ merdeka sesuai tujuan reformasi sebagai hal yang logis pada 17 tahun setelahnya, di tahun 2015. Ini seperti pengulangan sejarah, “Indonesia merdeka jilid 2.” Dalam ramalan 7 satrio piningit Ronggowarsito, satrio pertama adalah Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, pemimpin yang akrab penjara dan tokoh pemimpin tersohor di seluruh dunia. Bung Karno, sang proklamator telah membuka gerbang pertama.


Dan satrio ke-7, satrio pinandhito sinisihan wahyu, presiden RI ke-7 bakal tampil pada 2014, setahun menjelang 70 tahun usia NKRI merdeka, 2015. Jayabaya menyebutnya sebagai “ratu adil” yang akan membawa nusantara mencapai kejayaan, gemah ripah loh jinawi, tata titi tentrem kerta raharja. Ia yang akan menumbangkan penguasa feodal-ningrat-birokrat arogan, para elit raksasa buta betara kala. Siklus 70 tahun dalam sejarah memang misterius, tapi momentum 70 tahunan akan selalu ada, percaya atau tidak, tak jelas bedanya, seperti ketidakjelasan batas waras pada koin logika.


Apa arti sebuah ramalan? Bukankah itu hanya mitos, dongeng sebelum tidur untuk mengusir rasa bersalah atas kegagalan? Ramalan hanya diperuntukkan bagi wong edan! Tapi di zaman edan, siapa yang berhak mengklaim diri masih waras? Waras-edan hanyalah keberpihakan pada salah satu di antara dua sisi keping koin logika. Sepekan sebelum pilkada digelar, mungkin ketika ada yang berkata, “Jokowi akan memenangi putaran pertama!” kita akan menganggapnya gila. Bahkan ketika dikatakan gubernur DKI adalah Jokowi? Ngimpi!. Apalagi jika ada yang berkata, Jokowi bakal menjadi presiden Indonesia pada 2014 atau 2019, mungkin akan keluar pernyataan yang sama. Gila, edan, sinting, ngimpi!


Baru ketika Jokowi-Ahok berhasil menohok ‘kepintaran’ para analis politik dan berbagai lembaga survei yang lebih menjagokan Foke-Nara pada pilkada 11 Juli, tiba-tiba semua menjadi logis, masuk akal. Ternyata para ‘peramal edan’ kembali memperoleh predikat kewarasan. Fenomena Jokowi di pilkada DKI dan gelombang Jokowisme adalah suluk dan indikasi bahwa saat itu hampir tiba, kebangkitan wong cilik, kaum sandal jepit-rakyat kecil lemah tertindas dan tergilas zaman, zaman edan di negara edan yang kebingungan.




1342287879161148551

Spirit Jokowi dan jokowisme semoga menjadi pembuka RI1-7 pada 2014, 17 tahun pasca reformasi dan 70 tahun Indonesia merdeka pada 2015 (sumber photo: http://yangcocok.blogspot.com)



Takdir sejarah tak selamanya secara matematis dan logis bisa dihitung. Gelombang perubahan, bila riaknya telah terlihat tak akan bisa dibendung. Siklus sejarah selalu berulang sepanjang zaman. Dan hanya ‘wong-wong edan’ yang bisa meyakini akan adanya perulangan. Apakah itu ‘wangsit,’ ilham, wahyu, atau de javu, ada hal-hal misterius yang tak bisa terjangkau dengan logika, apalagi jika logika itu juga sudah menabrak dan melabrak otentitas logika negara dan spiritualitas republik-demokrasi Pancasila.


Lalu bagaimana ketika ada sebuah ramalan: “Akan (telah) ada seseorang di suatu kota di tanah Jawa yang ‘merintis’ kasta dari orang biasa (sudra), ‘naik kelas’ ke kasta pengusaha (waisya) sebelum kemudian ‘naik kelas’ lagi memakai ‘baju’ ksatriya memimpin sebuah pemerintahan kota dengan melepaskan ikatan ke-waisya-sudra-annya. Dengan ikhlas ia persembahkan ‘kerajaan kecil’ bisnisnya untuk kepentingan masyarakat tanpa secuilpun menerima ‘upah materi’ dari pengabdian ke-ksatriya-annya di pemerintahan.


Jika ia tetap berjalan di atas jalur pakem firah caturwarna dalam ‘perjalanan spiritual’-nya, maka tidak mustahil ia akan terus meretas ‘kenaikan kelas’ kasta demi kasta, hingga kasta meraih tertinggi sebagai lakon utama sejarahsatrio pinandhito sinisihan wahyu,” ksatriya berwatak brahmana yang mengemban amanat ‘perintah langitan’ untuk tampil sebagai salah satu daftar pemimpin terbaik bangsa-negara.“ (bait terakhir Sudra Berkuasa, Kiamat Negara!)


Biarlah sejarah menjadi sejarah, biarlah ramalan menjadi ramalan, dan biarlah yang edan tetap edan. Jokowi jadi gubernur DKI atau tidak, jadi presiden RI atau tidak, jadi pedagang atau budak, Jokowi tetaplah Jokowi, inspirasi jokowisme, simbol pembaharuan dan perlawanan terhadap kejenuhan zaman. Yang penting adalah kita tak di’haram’kan berharap akan munculnya ‘Jokowi-Jokowi’ baru yang selalu dirindukan rakyat dan jokowisme yang akan menjadi ideologi dan spirit menjelang jilid 2 perulangan sejarah bangsa, mewujudkan cita-cita reformasi 1998, semoga di tahun 2015 Indonesia benar-benar telah merdeka. ***


Salam…
El Jeffry


http://sejarah.kompasiana.com/2012/07/15/jokowi-jokowisme-dan-siklus-sejarah-bangsa/


 


Gubernur DKI Jokowi? Ngimpi…!!!







13416600081485574051

Jokowi berpose bersama becak, tokoh pilihan Tempo 2008 yang tengah merajut mimpi di DKI (sumber photo: http://www.jakartapress.com/detail/read/8163/pdip-dki-ngotot-pertahankan-jokowi-cagub)



Masa kampanye Pilgub DKI memasuki hari terakhir. Enam ksatria terhebat Indonesia masa kini selama 14 hari bertarung opini berebut simpati rakyat DKI, ‘mengadu nasib’ untuk bisa sah menjadi ‘raja ibukota.’ Setelah rehat 3 hari dalam masa tenang, barulah akan digelar pertarungan final, tepat 11 Juli nanti. Diantara nama-nama Jokowi, Faisal Basri, Fauzi Bowo, Alex Nurdin, Hidayat Nurwahid dan Hendardji, semuanya layak untuk jadi ‘sang jawara ibukota,’ DKI1.


Saya bukan warga DKI, bukan simpatisan parpol pengusung calon, bukan analis politik, bukan dukun, peramal atau paranormal. Tapi berdasarkan ‘wangsit’ dan rumus hitung rahasia wong ndeso, plus sedikit ‘bisikan’ suara hati khas rakyat kecil, saya berani bertaruh khusus untuk satu nama, Jokowi. So, menjagokan Jokowi untuk menjadi Gubernur DKI? Ngimpi…!!!


Lho, kok? Ya jelas kokLha wong orang yang satu ini secara de jure gak ada ‘potongan’ jadi pemimpin besar, kok berani-beraninya gumrandhah mencalonkan diri memimpin daerah paling besar problemnya dari seluruh provinsi di Indonesia. Namanya saja DKI, Daerah Khusus Ibukota, yang bisa menangani ya tentu saja harus orang khusus wa bil khusus, alias bukan orang sembarangan.


Sang insinyur memang, konon kabarnya sukses dengan segudang prestasi semenjak menjabat sebagai walikota Solo untuk dua kali masa bakti, 2005-2015. Tapi ibukota negara, kota metropolitan, jelas beda dengan kota Solo yang hanya sebuah kota kecil dengan wilayah kecil lagi terpencil di daerah Jawa Tengah. Memang sih, secara de facto Jokowi ini banyak membuktikan diri sebagai pemimpin progresif.


Tapi namanya juga kabar berita, benar tidaknya hanya sejarah yang bisa membuktikannya. Dan tak ada salahnya sedikit menengok rekam jejak sejarah perjalanan hidup seorang Jokowi yang akhir-akhir ini makin melegenda. Masih konon kabarnya, sejarah hidup sang kandidat penuh warna perjuangan. Berjuang mendaki ‘kasta’ dari sudrawong cilik yang miskin penuh kepedihan, pernah digusur dari bantaran kali tanpa pesangon di tahun 70-an, lalu perlahan terjun ke dunia usaha, ‘ngawulo’ pada usaha mebel pamannya sebelum naik kasta waisya sebagai pengusaha mebel sukses, sampai akhirnya naik kastaksatria sebagai walikota Solo.


Perjalanan sejarah yang luar biasa. Bila itu benar, memang suatu pencapaian fenomenal yang jarang sukses diperankan para pemimpin di republik ini. Tapi, layakkah kesuksesan mengelola kota kecil dijadikan modal untuk mengulang kesuksesan yang sama di kota besar seperti Jakarta, dengan 1001 problem yang begitu rumit dan besar tiada tara?


Ini Jakarta lho, mas, bukan Solo. Memang kalau diperbandingkan dengan empat kandidat lain, mungkin masih bolehlah Jokowi bergigi. Kalaulah ada yang lumayan kuat dalam pengalaman, hanyalah Alex Nurdin, dengan pengalaman sebagai Gubernur Sumatera Selatan sejak 2008 dan sebelumnya telah ‘kenyang’ pula saat menjadi Bupati Musi Banyuasin dalam 2 peroide, 2001-2006 dan 2007-2012 (mengundurkan diri tahun 2008 dalam pencalonan pilgub 2008). Sedang  Faisal Basri, Hidayat Nurwahid dan Hendardji, ketiganya boleh dibilang masih ‘miskin pengalaman’ dalam memimpin pemerintahan.



13416602311055915330

Sang Incumbent dan tuan rumah, Fauzi Bowo. Bersiap mengubur mimpi Jokowi? (sumber photo: http://skalanews.com/baca/news/2/34/109571/megapolitan/survei-puskaptis-unggulkan-foke-dibanding-jokowi.html)



Tak salah kiranya jika Fauzi Bowo, sang incumbent ‘menyerang’ lawan dengan mengkampanyekan pentingnya pengalaman. “Jakarta butuh pemimpin experience, bukan experiment.“ Nah mau adu titel dan pengalaman dengan Foke? Ini baru berat. Dr. Ing. H. Fauzi Bowo, ‘tuan rumah’ yang jelas hafal seluk-beluk Jakarta sampai ke lubang-lubangnya, usia 64 tahun, 13 tahun lebih tua dengan berpengalaman memimpin Jakarta selama 5 tahun, plus menjadi wagub selama 5 tahun pula. Bisakah Jokowi menandingi lawan yang satu ini? Jawabannya, ngimpi!


Jika masih ada orang lama berkuasa dan lebih berpengalaman, untuk apa beresiko dengan figur baru? Pembaharuan dan terobosan yang Jokowi sukses terapkan di kota Solo nggak bakalan cocok untuk kota sebesar Jakarta. Ibukota nggak butuh pembaharuan! Lagian warga ibukota mestinya sudah puas dengan keberhasilan yang telah dicapai gubernur lama. Tak perlu heran, takut resiko sudah menjadi mental nasional, ‘zona nyaman’ lebih mengasyikkan daripada harus bereksperimen dengan hal-hal baru yang tentu saja selalu beresiko. Ibukota kok buat coba-coba. Kalau salah dan gagal, gimane cing?


Kita memang sudah terlalu lama terbentuk menjadi generasi mapan-stagnan, pun demikian pula tentunya dengan warga DKI. ‘Stok lama’ yang sudah ketahuan langkah dan prestasinya pasti lebih disukai daripada pendatang baru yang penuh visi dan misi pembaharu. Meski pada kenyataannya yang sering terjadi justru para pendatang baru ini lebih sukses daripada warga tuan rumah sendiri. Buktinya, kaum betawi pribumi sudah makin hilang ditelan bumi. Apa lagi yang hendak ditawarkan Jokowi sebagai ‘perantau’ untuk ‘zona nyaman’ warga DKI?


Jokowi  memang terbukti sukses, salah satunya branding kota Solo dengan slogan “Solo: The Spirit of Java“. Tapi bisakah ilmunya diterapkan di DKI, branding Jakarta dengan slogan “Jakarta: The Spirit of Indonesia”? Lagi-lagi ngimpi! Jakarta tak butuh branding dan slogan. Jakarta lebih butuh realita. Jakarta lebih cocok sebagai kota problema! Lalu bagaimana caranya Jokowi akan berjuang mengatasi 7 permasalah ibukota sebagaimana program kampanyenya? Kemacetan, banjir, masalah premanisme, masalah menjamurnya mal dan minimarket, trotoar dan pedestrian, ormas anarkis yang meresahkan warga DKI dan masih banyaknya angka anak putus sekolah? Dari ‘doeloe’ sampai kini, Jakarta kan sudah identik dan akrab dengan masalah-masalah itu. Nyatanya dari 12 gubernur yang pernah menjabat sejak proklamasi 1945, tak satupun yang mampu memberesi dengan tuntas-tas hingga warga ibukota puas! Warga Jakarta sudah kehilangan mimpi indah karena terlalu lama terkurung dalam mimpi buruk. Lalu Jokowi jadi Gubernur DKI menawarkan mimpi baru untuk membenahi? Sekali lagi, ngimpi!


Nhah, kalau Jokowi terbukti bisa membenahi 7 permasalahan serupa dan sama di kota Solo, itu baru reality! Kan sekarang untuk membuat orang percaya harus melalui barang bukti, dan bukti itu harus sama persis dan serupa, bukan sekedar analogi dan visi-misi! Prestasi Jokowi memang tercatat dalam sejarah pernah mendapatkan 5 kali penghargaan personal. Salah satu dari “10 tokoh 2008” oleh majalah Tempo, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Award, Bung Hatta Anticorruption Award (2010), Charta Politica Award (2011) dan Wali Kota teladan dari Kementerian Dalam Negeri (2011).


Malah, kembali konon kabarnya, beliau saat ini (5/7) masuk dalam daftar “10 tokoh terpopuler ke-4 ala google bersama Dahlan Iskan, SBY, Prabowo, Boediono, Megawati, Ruhut Sitompul, Anas Urbaningrum, JK dan Hatta Rajasa. Dari daftar ini memang hanya Jokowi satu-satunya cagub DKI yang paling ngetop di dunia maya. Tapi untuk menjadi gubernur DKI, pentingkah sejarah perjuangan dan popularitas? Tak cuma warga DKI, wong rasanya seluruh warga NKRI saja sudah tak menganggap penting sejarah perjuangan bangsa. Kalau popularitas itu baru semua orang berlomba-lomba dengan segala cara.


Sejarah hanyalah cerita lama, tak lebih dari kurikulum tambahan pelajaran sekolah dan mata kuliah, dongeng indah untuk mengantar tidur seorang bocah. Selebihnya hanya tumpukan arsip dan catatan tebal di museum perpustakaan nasional. Sejarah di negeri ini sudah tak penting lagi. Kalaupun sedikit perlu, paling-paling juga hanya sebatas wacana dan nostalgia yang mampir sesaat di kepala lalu cepat terlupa. Kita kan memang bangsa pelupa, kalau tidak, tentu bangsa ini tidak terpuruk sedemikian hebatnya mengulang kesalahan sejarah yang sama bertahun-tahun lamanya. Ya toh?


Sebagaimana halnya dengan sejarah Jokowi yang konon kabarnya penuh dengan perjuangan darma bakti bagi rakyat kecil layaknya seorang prawira-ksatria. Wajar saja jika kita sudah tak mudah untuk percaya. Di zaman edan ini mosok sih ada pak walikota yang tak pernah mengambil gaji jabatan selama 2 periode? Padahal sudah menjadi budaya bahwa jabatan dan kekuasaan adalah ‘lahan basah’ untuk mengumpulkan harta. Mosok di jaman ini ada pejabat yang menolak fasilitas bagus yang memang secara sah disediakan oleh pemerintah? Bukankah yang ada justru budaya memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi?


Jangan-jangan itu hanya kabar angin yang dibikin-bikin untuk sekadar cari sensasi. Kalaupun memang benar, itu berarti Jokowi ini sudah nggak berbudaya, alias ‘menyimpang’ dari budaya kita, budaya korup dan kemaruk! Bagaimana nanti kalau Jokowi terpiih jadi gubernur DKI? Jangan-jangan ada perombakan budaya besar-besaran di kalangan pejabat pemerintahan? Oalah, mana ada yang mendukung kalau begitu. Maka dengan keanehan perilaku budaya ini, menjadikan Jokowi sebagai gubernur DKI adalah ngimpi!



13416604151404168105

Kepemimpinan merakyat



Lalu apa lagi yang layak diandalkan seorang Jokowi untuk membuat warga DKI jatuh hati? Kesederhanaan seperti kalau beliau sedang berkeliling daerah dengan sepeda onthel? Kepemimpinan andhap asor seperti saat berembug dengan warga miskin agar berkenan dibantu pindah dari bantaran Bengawan Solo? Bersikap dermawan dengan memberikan kredit ringan pembangunan rumah bagi warga tak mampu? Keprihatinan berlebihan kepada hak kesehatan warga miskin untuk mendapatkan pengobatan? Memindahkan pedagang kaki lima tanpa pakai satpol PP?


Apa semua cara itu bakalan disukai warga Jakarta yang sudah terbiasa hidup di bawah pemimpin arogan-jumawa, mengedepankan pendekatan kekuasaan ketimbang pendekatan kemanusiaan? Beda dengan Solo, warga Jakarta sudah terbiasa bertarung dengan kekerasan dan benturan, bukan tempat yang tepat untuk mengajarkan nilai-nilai welas-asih dan nguwongke wong. Pola kepemimpinan seperti itu sepertinya hanya cocok diterapkan di daerah Jawa Tengah. Ibukota lebih cocok budaya hantam kromo, bukan toto kromo! Maka bila Jokowi bermaksud mentransformasi nilai-nilai kejawen dengan kelemah-lembutan, sekali lagi, masih ngimpi!


Cukup sudah ngimpi Jokowi! Seorang Jokowi hanyalah figur ilusi yang nyeleneh darizaman edan di negeri ini. ’Anomali’ dari nilai-nilai moral, budaya dan tradisi bangsa yang sudah keblinger, tererosi dan terdegradasi sedemikian hebatnya. Membawa Jokowi sebagai pemenang dalam pilgub DKI adalah mission impossible, sebab warga Jakarta sudah tak lagi punya mimpi. Namun, bagaimanapun, sedikit agak berbeda dengan warga Jakarta, sebagai anak bangsa yang merindukan tampilnya sosok ksatria teladan bagi pembaharuan, saya justru tetap akan bermimpi. Toh saya bukan warga Jakarta. Baik buruknya ibukota Indonesia tergantung dari pilihan warga Jakarta, bukan tergantung saya.


Apakah seorang Jokowi hanya tetap menjadi impian, harapan dan do’a rakyat jelata, ataukah benar-benar menjadi nyata bagi impian panjang kota metropolitan, akan ditentukan pada 4 hari ke depan. Yang pasti saya akan “selalu dan selalu bermimpi,” meski warga Jakarta dan bahkan 240 juta manusia Indonesia enggan lagi bermimpi. Dan untuk pak Ir. Joko Widodo, saya akan ikut bermimpi bersama Anda! Semoga masih banyak rakyat kecil yang berani bermimpi untuk masa depan. Dan saya percaya pada sebuah filosofi, bahwa nilai kesuksesan sejati seorang ksatria-prawira adalah ketika ia berani bermimpi, lalu berjuang ‘berdarah-darah’ mewujudkannya menjadi nyata, termasuk untuk ibukota DKI Jakarta! Selamat berjuang, do’a saya selalu menyertai Anda! ***


Salam…
El Jeffry



RI1 2014, Satrio Piningit dan Tuah Angka 7


OPINI | 08 June 2012 | 19:56 Dibaca: 1738   Komentar: 5   2 dari 2 Kompasianer menilai menarik







13391526221893461388

6 dari 7 satrio piningit RI1. Siapakah yang ke-7?



Alkisah, negeri “antah berantah” makin resah oleh naiknya suhu percaturan politik dalam perpolitikan catur saat bidak-bidak berkompetisi promosi menjadi raja. Kegelisahan bertambah-tambah karena tingkah ‘para perwira’ semakin hilang arah dari tuntunan pakem lakon sejarah. Gajah-gajah, kuda-kuda, benteng-benteng dan menteri-menteri, aktor utama perpolitikan catur politik makin menggelitik sekaligus membuat bulu kuduk bergidik. Republik-demokratik yang mestinya identik dengan daulat rakyat-mayoritas rakyat-wong cilik dibolak-balik di atas papan polemik, intrik dan konflik elit politik. Kisah politik. Kaum elit polahe pletak-pletik, kaum alit-kecil pol-polane ngitik, ujung-ujungnya cuma mengekor saja.


Republik seharusnya res-publica, rakyat berdaulat-kuasa, bukan papan terbuka segelintir elit untuk perebutan tahta dan harta. Demokrasi seharusnya demos-cratein,pemerintahan daulat rakyat, bukan demo-kreasi, ajang adu-rekayasa berongkos raksasa dengan menghamburkan uang negara, menggeser hak rakyat untuk sejahtera. Alhasil, pesta demokrasi republik akhirnya menjadi pesta demon-crazy dalam repot-publik, ‘setan-setan’ berpesta menggila, merepotkan dan menguras deposit energi negeri triliunan kalori perhari. Hari-hari publik semakin pelik,wong cilik semakin tercekik, rakyat senen-kemis di ambang putus asa, lalu harus bagaimana?


Masa depan suram, akhirnya harapan ‘terpaksa’ bertumpu pada mitos, kisah, pekabaran silam dan legenda, bahwa “Satrio Piningit akan datang di ujung zaman sebagai Ratu Adil, utusan dewa batara juru selamat umat manusia. “Tanpa harapan, bagaimana spesies manusia akan bertahan dalam seleksi alam dalam pertarungan peradaban? Ini hanya sepenggal kisah, tapi apa bedanya kisah dengan sejarah? Bukankah sejarah dan pahlawan hanyalah kumpulan kisah heroik  sebuah bangsa, gabungan antara kejadian nyata atau legenda, plus sedikit rekayasa ‘juru tulis’ penguasa lalu diresmikan di kitab-kitab tebal perpustakaan nasional? Dalam sejarah ada kisah, dalam kisah ada sejarah, percampuran mitos, gugon tuhon, fakta, obsesi, teori dan filosofi yang dikemas brilian untuk kemudian dijadikan panduan ber-tata masyarakat, tata bangsa dan tata negara.


Angka-angka selalu menyimpan rahasia. 7 hari dalam sepekan, 7 lapis langit dan bumi, 7 warna pelangi, 7 rongga tubuh utama, 7 jam ideal waktu kerja, 70 tahun usia rata-rata manusia, 70.000 malaikat penjaga. 7 keajaiban alam tak henti mengundang pesona. 7 abad siklus revolusi peradaban dunia, pencerahan Isa Al-Masih awali Masehi, revolusi jahiliyyah abad ke-7 Jazirah Arabia, revolusi industri abad ke-14 Eropa, dan konon akan menyala api revolusi peradaban abad ke-21 di bumi Timur. Lalu dikaitkan dengan kejayaan nusantara 700 tahun silam, Majapahit era Gajah Mada. Kini, NKRI akan memasuki usia 70 tahun pada 2015. Langkah-langkah kaki presiden RI ke-7 makin nyaring terdengar menuju singgasana.


Ramalan Jangka Jayabaya mengingatkan. 7 Satrio piningit Ronggowarsito dikabarkan: Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Piningit Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro dan Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu. 6 dari 7 satrio berurutan ditafsirkan.  Bung Karno, Pak Harto, Habibie, Gus Dur, Mbak Mega, dan SBY. Tinggal satu lagi, satrio piningit ke-7, Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu, sang Ratu Adil RI-1 niscaya ‘naik tahta’ pada pilpres 2014 mendatang. Siapakah gerangan dia, adakah bisa dikenal ciri-cirinya?


Digambarkan oleh R. Ng. Ronggowarsito, “Ratu Adil” atau “Satrio Piningit”, ksatria tersembunyi memiliki segala sifat adil-ideal pemimpin, tokoh suci bagaikan bunga teratai putih yang harum semerbak, laksana bunga pandan tersembunyi di kelebatan daunnya. Keadilan dan kebijaksanaannya bisa diterima semua kalangan, rakyat dan para pembesar lapang dada menerima segala keputusannya dan tunduk terhadap perintahnya. Dia adalah tokoh pemimpin religius, Resi Begawan(Pinandito), senantiasa bertindak atas dasar hukum Tuhan, dan ia akan membawa Nusantara menuju kejayaa, gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem kertoraharjo, melimpah sumber daya alam dan subur-makmur, aman, tentram, dan sejahtera.





13391527291594441184
Kandidat kuat satrio piningit ke-7 pilpres 2014?


Siapakah gerangan dia sang satrio piningit itu? Mencermati perkembangan terkini, mungkinkah dia adalah 1 dari 7 satrio yang diusung oleh 7 parpol? Mungkinkah dia Hatta Rajasa (PAN), Kristiani Yudhoyono (Demokrat), Aburizal Bakrie (Golkar), Prabowo Subianto (Gerindra), Wiranto (Hanura), Megawati Soekarnoputri (PDIP) atau Surya Paloh (Nasdem)? Adakah di antara mereka yang memenuhi kriteria sebagaimana sekilas disifatkan di atas? Jawabannya cukup di simpan dalam renungan saja.


Mungkinkah dia adalah 1 dari 7 kandidat alternatif  ini? Sri Mulyani Indrawati, Yusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, Suryadarma Ali, Muhaimin Iskandar, Sri Sultan Hamengkubowono X atau Puan Maharani? Pertanyaan yang sama, jawaban yang sama. Ataukah dia muncul dari calon independen, kuda hitam dan bukan orang politik? Ada Dahlan Iskan, Jokowi, Mahfud MD, Soekarwo, Djoko Suyanto, Fadjroel Rahman atau  K.H. Abdullah Gymnastiar? Pertanyaan dan jawaban yang masih sama.


Tak ada jawaban jelas dan pasti. Yang jelas dan pasti, satrio piningit adalah ksatria terpingit, alias disembunyikan. Bisa benar-benar tersembunyi dan baru muncul pada detik-detik akhir jejer pengantin di pelaminan singgasana, atau bisa juga secara simbolik sebagai kuda hitam, sudah dikenal tapi tidak diprediksi bakal naik tahta, seperti kemunculan SBY pada pilpres 2004. Bukankah pahlawan adalah produk sejarah yang muncul dari persilangan ruang-waktu dalam ketepatan momentum secara kebetulan? Atau kadang mutlak merdeka dari campur tangan ruang-waktu lalu muncul sebagai kebenaran? Misteri selalu menjadi misteri, seperti misterinya angka 7 dalam berbagai peristiwa di alam semesta.


Yang penting, kisah satrio piningit, Ratu Adil, dan misteri angka 7 cukuplah sebagai renungan bersama untuk tidak mengulang cerita  “Republik Burnaskopen dan Sindroma Mpu Gandring” , kisah ketidaksabaran manusia dalam perebutan tahta yang akhirnya merenggut 7 nyawa aktor utama politik akibat kutukan. Blunder sejarah selalu berujung petaka. Biarlah kisah dan sejarah berjalan sesuai alur yang fitrah. Diterima atau disanggah ia tetap khazanah hikmah, ‘pesan langitan’ bahwa bumi pertiwi sedang meresah-gelisahkan poros roda republik yang makin menyimpang dari track sejarah.


Dalam ‘pertarungan’ politik sebagai konsekuensi logis dari pilihan berdemokrasi, satrio piningit akan lebih logis-demokratis jika dimaknai sebagai satrio pinilih, pemimpin terbaik hasil pemilihan, penyulingan saripati cratein-publica-rakyat. Thomas Jefferson menafsir demokrasi sebagai ‘agama publik’, bonum commune-publicum, suara rakyat adalah suara Tuhan. Untuk sekali saja biarkan Tuhan berbicara dengan bahasa Indonesia lewat nilai-nilai luhur demokrasi Pancasila. Siapapun dia yang akhirnya ‘naik tahta,’ semua ‘wajib ‘ain untuk legowo menerima keputusan Tuhan memingit dan memilih pemimpin bangsa. Tentunya Dia tidak akan salah pilih, dan tentunya sang ratu adil akan benar-benar menjadi ratu yang adil, menegakkan keadilan, mengembalikan hak-hak rakyat yang bertahun-tahun terlunta-lunta, dan menghukum para durjana yang sekian lama menghisap darah orang-orang tak berdosa.


Sembari menunggu waktu berlalu, semua bisa ber-introspeksi-muhasabah agar tidak mengulang blunder sejarah, belajar menempa kearif-bijaksanaan dalam mempersiapkan dan menentukan pilihan. Memingit satrio piningit dan memilih satrio pinilih dengan hati bersih, melangkah dan meraih tahta ratu adil dengan cara-cara adil. Masa depan Indonesia tergantung dari pilihan setiap jiwa manusia Indonesia. Mungkin misteri akan mulai terkuak 777 hari lagi, di akhir bulan 7 pada 2014 nanti, di mana masa depan bangsa dipertaruhkan.


Akhir kisah, biarlah sejarah menjadi sejarah, akankah kembali hadir di sini kejayaan nusantara, atau menunggu 70 tahun lagi pada putaran kisah sejarah 7 satrio piningit jilid dua, waktu yang akan berbicara. Atau mungkin menanti 700 tahun lagi dalam siklus revolusi peradaban dunia selanjutnya di abad ke-28, itupun kalau ‘tuan rumah’ belum berpindah ke Afrika. Semua hanya bisa berharap, semoga sejarah tidak berakhir sebagai sekedar kisah negeri “antah-berantah, ketika sekelompok makhluk luar angkasa menggali situs purbakala dalam observasi dunia di tahun 90012, terbaca dalam sekelumit berita di media alam semesta, bahwa, “Di tanah ini, 70.000 tahun silam pernah berdiri sebuah negara demokrasi dengan nama, Republik Indonesia… ***


Salam…
El Jeffry





Republik Burnaskopen dan Sindroma Mpu Gandring





Inilah sebuah kisah tentang hilangnya ‘pusaka keramat’ kesabaran dari sebuah negeri, republik burnaskopen. “ Bubur panas kokopen! “ Bubur panas, makanlah!. Falsafah warisan leluhur Jawa yang seharusnya menjadi pepenget-tadzkirah, pengingat-ingat laku sejarah, namun karena ‘sang pusaka’ tak dirawat, maka pepenget kehilangan greget, tadzkirah dianggap gharah, kebohongan. Tuah luhur makin luntur dan malih rupa menjadi ‘mesin penghancur’, persis seperti salah tanak beras, nasi yang diimpikan, bubur yang didapatkan.


Namun tiada rotan akarpun berguna, tiada nasi buburpun masih bergizi. Seburuk-buruk salah adon asupan nutrisi tubuh bangsa, sebenarnya ia masih bisa bermanfaat. Namun burnaskopen membuat ‘rantai keterlanjuran’ bertumbuh makin ricuh dan penyakit bertambah makin parah. Cobalah makan bubur panas-panas. Nikmat, kenyang dan kesehatan yang ada di niat, justru siksa dan kerusakan organ yang didapat.


Ketidaksabaran menjadi penyakit kronis negeri ini. Hal itu terjadi manakala akal sehat menghilang dari kepala dan iman-budi pekerti terlepas dari hati. Ketidaksabaran selalu membawa kegagalan, bahkan kehancuran dan kebinasaan. Kita masih butuh belajar menghayati falsafah tartil untuk mengerti arti pentingnya sebuah kesabaran dalam hidup berbangsa dan bernegara.


Negara burnaskopen, entah republik, kerajaan, kekaisaran, kesultanan atau apapun bentuknya adalah negara yang sejatinya masih setengah matang. Kematangan menjadi kemestian dari sebuah proses alam yang tidak bisa diganggu-gugat dan ditawar-tawar. Semua ada kadar mutlak dan perhitungan absolut yang tidak bisa dilanggar. Sekali melanggar, kesempurnaan hasil menjadi buyar. Burnaskopen adalah pralambang kecerobohan sikap menganggap final sesuatu yang baru setengah perjalanan. Negara setengah matang hanya akan membawa cerita  bendera setengah tiang, upacara duka cita dan prahara belasungkawa sepanjang zaman.


Politik burnaskopen, sesempurna apapun doktrin dan platform-nya tak akan membawa manfaat apa-apa kecuali hanya menyemarakkan formalitas ‘permainan’ ketatanegaraan semata. Politik  kepentingan sebenarnya adalah keniscayaan, bahkan itulah tujuan luhur dari kemanusiaan, selama berkiblat pada kepentingan orang banyak, mayoritas rakyat, kepentingan jama’ah umat-bangsa-negara.


Politik burnaskopen hanya kolektor partai-partai ‘kurcaci’ yang terjebak dalam tempurung ruang-waktu, kepentingan skala sempit-partaikular-parsial-kelompok kecil dan jangka pendek- partambal-sulam, bukan partai massa-masyarakat-bangsa dan bukan pula partai masa depan, alat perjuangan mempersiapkan tatanan generasi mendatang.


Perilaku burnaskopen tak bisa diharapkan membawa kebaikan dan perbaikan masa depan, bahkan untuk hari ini seringkali sudah membawa kerusakan, persis makan bubur panas-panas, hanya menimbulkan siksa, perih-luka dan melepuhnya citra manusia.


Legenda Ken Arok dengan skandal Mpu Gandring-Gate telah mengajarkan bagaimana kekuasaan yang diraih dengan manhaj burnaskopen hanya melahirkan luka-luka, rantai dendam dan jatuhnya korban yang tiada habisnya. Komplikasi api syahwat ‘wanita dan tahta’ menjadi virus ganas di dalam jiwa seorang Ken Arok dalam meraih cinta Ken Dedes dan kekuasaan Adipati Tunggul Ametung.


Pusaka keris telah dipesan pada seorang maestro pusaka ternama, Mpu Gandring. Namun ketidaksabaran sang legenda karena mabuk syahwat obsesi dan ambisi memaksa sang empu menyerahkan pusaka ‘setengah matang’, keris yang belum finishing terpaksa pula aktif prematur.  Laknat turun, tragedipun tercipta, kutukan yang dibawa oleh sang pusaka merenggut tujuh nyawa, termasuk Ken Arok, sang legenda.


Republik seharusnya res-publica, kekuasaan ada di tangan rakyat. Dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat. Rakyat adalah raja. Rakyat adalah daulat. Rakyat adalah penguasa. Selama falsafah dan nilai-nilai luhur itu dijaga maka ia akan membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi sebuah bangsa.


Namun ketika terjadi pengkhianatan terhadapnya, apapun bentuk, model dan istilah politik dan aturan ketatanegaraan hanya akan membawa kehancuran dan penderitaan. Republik burnaskopen hanya akan menjadi slogan, simbol dan teori indah di atas ‘kitab hukum teks’, namun karena teks hukum kehilangan ruh, maka yang dirasakan rakyat selalu saja kepedihan, gerah dan kepanasan serta kerusakan organ, yang akhirnya berbuah pada kerusakan sistemik pada sebuah bangsa.


Sebuah pekerjaan besar kita semua untuk mengembalikan arah perjalanan kereta republik umat-bangsa agar kembali kepada fitrahnya, ‘rel’ demokrasi luhur-suci, kemerdekaan dan cita-cita anak negeri. Polemik, intrik dan konflik turun temurun yang mencekik leher ibu pertiwi harus segera dilepaskan. Nasi yang telah menjadi bubur biarlah menjadi bubur, mustahil membalik takdirnya menjadi nasi. Kearifan penyikapan dan kebijaksanaan penilaian adalah hal terbaik yang wajib dilakukan. Kesadaran dan penyadaran, kesabaran dan penyabaran, kebaikan dan perbaikan. Hari ini kita makan bubur warisan, tapi jangan kita membuat bubur serupa di kali kedua, apa lagi mewariskannya pada anak cucu kita. 


Penyakit kronis burnaskopen ketidaksabaran harus dikeluarkan dari jiwa-jiwa kita, lalu memutus mata rantai keterlanjuran agar cukup hanya berhenti pada generasi kini. Semai dan hidupkan benih-benih kesadaran dan kesabaran menjalani setiap proses kehidupan. Jika tidak, maka ‘laknat’ Mpu Gandring akan berulang sepanjang zaman, generasi masa lalu, masa kini dan masa depan, dan kita bukan hanya gagal menjadi sebuah umat-bangsa-negara, namun juga akan gagal menjadi manusia.


El Jeffry




 



Tidak ada komentar: