Menengok markas PKI yang telah mati
Minggu, 30 September 2012 16:17:27
Reporter: Mustiana Lestari
Markas PKI. ©2012 Merdeka.com
"Ada dua truk orang bawa senjata sebesar ini serang dan bakar, ngeri saya lari ke Kenari. Semua orang di sini lihat doang gak ada yang ngamanin," ujar pedagang loak yang berjualan sejak tahun 65 ini kepada merdeka.com, di Jakarta, Minggu (30/9).
Bukan hanya melihat peristiwa kebakaran, Tinus juga melihat para tentara keluar masuk pasca-pembakaran. "Pos di sini jagain di sini lama. Tapi waktu pembakaran untungnya pagi jadi belum ada orang," pungkas bapak berumur 82 ini mengenang.
Kini, bangunan yang dulu berdiri jumawa kini seakan tak bernyawa. Seperti si empunya yang dihabisi tanpa membalas, gedung ini kusam, dengan jendela pecah di mana-mana. Tak jelas nasibnya.
"Katanya sudah dibeli hotel Acacia mau dibuat restoran tapi sampai sekarang belum," kata Tinus.
Dia mengatakan, gedung tak terawat itu juga sering menjadi tempat uji nyali bagi mereka yang mengaku pemberani.
"Tapi saya jarang digodain karena sudah kenal dan sering nginep di sini," tutupnya.
Guru harus biarkan murid berpikir kritis soal G30S
Minggu, 30 September 2012 17:47:42
Reporter: Mustiana Lestari
Letkol Untung. wikipedia.org
Hingga kini siapa dalang dan bagaimana pemberontakan itu berlangsung masih samar. Lalu bagaimana guru dan pemandu wisata di museum memberikan informasi sejarah?
Royen Suryanto contohnya, pemandu museum AH Nasution ini bersikukuh menuding PKI berada di belakangnya. Hasilnya tentu saja semua pengunjung dijejali cerita versi orde lama dimana Kolonel Untung, D.N Aidit menjadi dalang pembunuhan para Jendral.
"Saya jelaskan benar dari PKI (sebab G30S/PKI) yang bertanggung jawab Letkol Untung dari PKI," ujar Royen mantap, Minggu (30/9).
Menanggapi pernyataan Royen, ketua komunitas Historia Indonesia mengungkap adalah wajar punya persepsi sendiri terhadap sejarah Indonesia. Tak ada ukuran jelas dalam sejarah tentang kebenaran. Yang terpenting adalah tetap membuka diri dan memiliki rasa ingin tahu.
"Dari perspektif tidak salah. Selama punya bahan kita punya bacaan, masalahnya baca buku apa? Masih dimaklumi, justru itu bawa fakta baru atau bawa riset baru," jelas Asep Kambali kepada merdeka.com, Jakarta, Minggu (30/9).
Seandainya dalam posisi sebagai guru pun, diharapkan mampu memberikan berbagai pemikiran ke murid-murid. Kemudian membiarkan murid tersebut menganalisa mana fakta sejarah yang dia temukan dan percayai.
"Kalau saya guru punya teknik tentu tidak akan kekeuh dengan perspektif di sini (museum). Guru sejati memberikan ke semua berbagai perspektif. Kita kasih pisau analisa, nanti dia bisa temukan fakta," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar