Minggu, 30 September 2012 | 05:18 WIB
Aidit Merokok, Deskripsi Politik Film G30S
TEMPO.CO, Jakarta -- Embie C. Noer, direktur musik film Pengkhianatan G 30 S/PKI, ingat kata-kata Arifin C. Noer saat mendeskripsikan film yang akan mereka buat dengan sangat singkat, ”Ini film horor, Mbi.”
Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir bebunyian. ”Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus muridnya sejak dia masih muda,” tutur Embie seperti dikutip majalah Tempo 7 Oktober 2007. ”Karena itu, yang sama-sama kami pahami adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang debatable.”
Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok—seperti diyakini sang adik, Murad Aidit. ”Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik,” kata Embie.
Ia prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. ”Banyak yang gagal membaca film ini,” keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23 tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai ”film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian” (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984).
Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat dengan para pionir, seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh untuk estetika. ”Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard, dengan semangat budaya pseudo-modern,” ujarnya.
Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C. Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. ”Dia sangat excited ketika melihat hasil akhirnya,” tutur Jajang.
Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora.
Rumitnya lagi, foto itu pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. ”Ternyata bentuk fisik Aidit tak sebesar yang kami bayangkan semula,” ujar Jajang. ”Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu’bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa.” Jajang mencontohkan, pencarian pada ”kemiripan wibawa” ketimbang kemiripan wajah juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh pada Umar Kayam.
Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. Jajang mengungkapkan, mereka masih kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. ”Satu-satunya tambahan informasi yang muncul adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di situlah repotnya,” Jajang terkekeh sejenak. ”Syu’bah enggak bisa dibilang dandy.”
Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu, Arifin merasa merokok sebagai representasi dari The Thinker. ”Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya,” ulas Jajang. ”Itu sebabnya ada adegan di mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik Indonesia.”
Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.
Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir bebunyian. ”Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus muridnya sejak dia masih muda,” tutur Embie seperti dikutip majalah Tempo 7 Oktober 2007. ”Karena itu, yang sama-sama kami pahami adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang debatable.”
Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok—seperti diyakini sang adik, Murad Aidit. ”Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik,” kata Embie.
Ia prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. ”Banyak yang gagal membaca film ini,” keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23 tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai ”film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian” (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984).
Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat dengan para pionir, seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh untuk estetika. ”Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard, dengan semangat budaya pseudo-modern,” ujarnya.
Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C. Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. ”Dia sangat excited ketika melihat hasil akhirnya,” tutur Jajang.
Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora.
Rumitnya lagi, foto itu pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. ”Ternyata bentuk fisik Aidit tak sebesar yang kami bayangkan semula,” ujar Jajang. ”Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu’bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa.” Jajang mencontohkan, pencarian pada ”kemiripan wibawa” ketimbang kemiripan wajah juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh pada Umar Kayam.
Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. Jajang mengungkapkan, mereka masih kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. ”Satu-satunya tambahan informasi yang muncul adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di situlah repotnya,” Jajang terkekeh sejenak. ”Syu’bah enggak bisa dibilang dandy.”
Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu, Arifin merasa merokok sebagai representasi dari The Thinker. ”Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya,” ulas Jajang. ”Itu sebabnya ada adegan di mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik Indonesia.”
Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar