Peringatan G30S dan Sobron Aidit
Kamis, 30 September 2010 | 10:40 WIB
TEMPO Interaktif, Hingga berumur 65 tahun, ternyata negeri ini masih belum bisa berperan sebagai ibu pertiwi yang bisa menerima semua anak-anaknya. Perbedaan ideologi rentan mencabik-cabik anak bangsa. Masih sulit bagi kita untuk berani berbeda. Misalnya, setiap kali tanggal 30 September tiba, perasaan tercabik-cabik terasa kuat bergejolak dalam hati penulis manakala merenungkan belum adanya rekonsiliasi sejati di antara sesama anak bangsa. Lihat saja, isu komunisme masih diembus-embuskan di mana-mana, kendati di dunia, komunisme sudah sekarat. Ada kesengajaan komunisme dijadikan mitos dan hantu yang hidup.
Akibat hantu komunisme, hingga kini masih ada ribuan eksil yang terpaksa tinggal jauh dari pangkuan ibu pertiwi. Entahlah, tiba-tiba penulis jadi ingat pada salah satu eksil yang namanya menjadi <I>brand<I> global, yaitu Sobron Aidit. Dia sudah wafat pada Sabtu pagi 10 Februari 2007 di Paris.
Sosok satu ini dilahirkan pada 2 Juni 1934 di Belitung, Sumatera Selatan, dan meninggalkan Indonesia pada 1963 untuk bekerja di Tiongkok. Pada 1965 terjadi peristiwa G30S-PKI. Orang-orang yang berkaitan dengan PKI ditangkapi dan yang tinggal di luar negeri terhalang pulang. Adik kandung D.N. Aidit itu termasuk di antaranya. Tidak mengherankan, lewat goresan penanya entah puisi atau esai, Sobron seperti tak lelah-lelah bersuara bahwa ada yang keliru dari masa silam negeri ini yang belum sepenuhnya diperiksa. Pasalnya, masa silam bangsa kita hingga kini masih suka mengandung dan melahirkan dendam.
Dan dendam itu bukan hanya ditembakkan pada Sobron seorang. Dendam itu berjemaah dan massif sifatnya, baik pelaku maupun obyek sasarannya. Dilihat dari lamanya waktu, yang dimulai pada awal dekade 1960, kita juga bisa geleng-geleng kepala. Betapa dendam itu sudah sangat lama dirawat, sehingga berkarat dan senantiasa dihidupkan agar dendam itu tidak segera padam. Tidak aneh, ketika satu pelaku dendam meninggal, dia bisa mewariskan kepada keturunannya. Demikian pula, anak-cucu atau generasi kemudian, yang sebenarnya sudah tidak tahu apa-apa lagi tentang pertarungan ideologi para leluhur mereka di dekade 1960 yang memuncak dalam Peristiwa 30 September 1965, juga bisa menjadi korban dendam.
Korban dendam bukan hanya mereka yang menjadi sasaran dendam. Pelaku dendam atau mereka yang mewarisi dendam sebenarnya juga menjadi korban. Coba rasakan sendiri saat kita tengah mendendam, ada sesuatu dalam jiwa kita yang meronta-ronta atau terbakar seperti api. Cuma, dalam konteks ini, para korban dendam yang ada dalam posisi Sobron dan para eksil lain sungguh berada dalam posisi yang lemah dan kalah.
Kekalahan Sobron atau para eksil lain adalah terusir dari tanah air yang mereka cintai dan dilarang pulang. Goenawan Mohamad (GM), esais kondang itu, pernah menulis: ”Seorang eksil adalah seorang yang ditundung. Seorang tundungan pada dasarnya hidup dalam perpindahan yang belum sampai ke mana pun juga: di dalam dirinya tersemat sebuah negeri yang tak terlupakan namun harus ditinggalkan, sementara itu ia menemukan sebuah negeri lain yang kini jadi alamat tinggal namun bukan sebuah tempat pulang”(Caping GM, Tempo, 21 Januari 2007).
Apa yang ditulis GM itu memang seperti sebuah isyarat akan ada eksil yang mati. Dan akhirnya itu dipenuhi dalam diri Sobron, kendati dalam Caping itu yang dimaksudkan GM adalah seorang eksil bernama Adonis atau Ali Ahmad Said, sastrawan kelahiran Suriah yang sejak 1956 meninggalkan negerinya dan terakhir pindah ke Paris pada 1986.
Tidak diketahui apakah Adonis pernah bertemu dengan Sobron di Paris. Yang pasti, keduanya sama-sama menjalani hidup sebagai eksil. Dan Adonis punya puisi yang tampaknya juga tepat untuk Sobron, meski yang ditulisnya adalah nama Odiseus, tokoh epos Yunani kuno yang terkenal dalam Perang Troya. Sepulang dari perang Troya yang kemudian dipentaskan dalam banyak sandiwara dan film itu, Odiseus juga menjadi eksil karena harus menempuh banyak kawasan atau banyak negeri yang ganjil. Adonis menulis dalam puisinya:
“Meski kau pulang, ah, Odiseus
meski kau terbendung ruang,
dan pemandumu punah terbakar
di parasmu yang kehilangan
atau rasa negrimu yang akrab
kau akan tetap sebuah cerita kelana
kau akan tetap di negri yang tak berjanji
kau akan tetap di negri yang tak kembali”
Puisi itu persis seperti menyindir Sobron, yang rindu pada Belitung, rindu negeri ini, tapi harus mati di Paris. Semua gara-gara dendam. Dendam yang anehnya juga membelah manusia-manusia di negeri ini, termasuk manusia yang punya embel-embel budayawan, penyair, atau sastrawan. Boleh jadi kita sudah mendengar polemik Pramoedya Ananta Toer versus Mochtar Lubis, polemik kubu Manikebu versus LEKRA, yang sudah banyak diulas di media kita.
Seharusnya generasi saat ini tidak bisa dipecah-belah lagi. Generasi pasca-65 atau 66, seperti penulis, seharusnya memang menjadi kekuatan yang menjadi inspirasi untuk mengakhiri segala bentuk dendam. Berbagai karut-marut bangsa ini sebenarnya bisa dicari akarnya pada dendam yang masih kuat bercokol dalam hati. Membebaskan bangsa ini dari dendam masa silam bukan hanya merupakan tugas para politikus atau tokoh-tokoh agama, tapi juga tugas kita semua, khususnya para penulis, penyair, sastrawan, dan pelaku budaya lainnya.
Puisi, esai, karya sastra, atau karya budaya lain seharusnya bisa menjadi kekuatan untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari dendam. Dengan demikian, kita akan bisa melihat masyarakat yang mau belajar saling memaafkan. Nelson Mandela juga sering menyampaikan pesan ini kepada para penulis, sastrawan, atau budayawan di negerinya untuk menjadi kekuatan penyembuh bagi masyarakat yang terluka akibat dendam masa silam.
Seperti kita tahu, Mandela adalah korban kebiadaban sistem apartheid, tetapi akhirnya dikenal sebagai sosok pemenang karena berani mengasihi dan mengampuni rezim yang pernah menindasnya. Bayangkan, dia sudah dipenjara selama 27 tahun, dari 1963 sampai 1990. Dalam bukunya, Long Walk To Freedom, Mandela menulis: “Aku ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-musuhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita bermusuhan.” Dengan spirit kasih seperti itu, Mandela berhasil mewujudkan cita-cita rekonsiliasi di negerinya, Afrika Selatan. Betapa indahnya jika di negeri yang memproduksi batik yang digemari Mandela ini juga akan dilahirkan banyak sosok yang mau memakai spirit Mandela untuk berani mengampuni. Kita semua yang cinta damai tentu punya kerinduan serupa untuk Indonesia.
Akhirnya, kalau kita tidak berani memaafkan dan menghapus dendam, Tocqueville (1805-1859) sudah memberi peringatan. Dalam bukunya Democracy in America, dia mengingatkan: "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, manusia mengelana di tengah kabut." *
Akibat hantu komunisme, hingga kini masih ada ribuan eksil yang terpaksa tinggal jauh dari pangkuan ibu pertiwi. Entahlah, tiba-tiba penulis jadi ingat pada salah satu eksil yang namanya menjadi <I>brand<I> global, yaitu Sobron Aidit. Dia sudah wafat pada Sabtu pagi 10 Februari 2007 di Paris.
Sosok satu ini dilahirkan pada 2 Juni 1934 di Belitung, Sumatera Selatan, dan meninggalkan Indonesia pada 1963 untuk bekerja di Tiongkok. Pada 1965 terjadi peristiwa G30S-PKI. Orang-orang yang berkaitan dengan PKI ditangkapi dan yang tinggal di luar negeri terhalang pulang. Adik kandung D.N. Aidit itu termasuk di antaranya. Tidak mengherankan, lewat goresan penanya entah puisi atau esai, Sobron seperti tak lelah-lelah bersuara bahwa ada yang keliru dari masa silam negeri ini yang belum sepenuhnya diperiksa. Pasalnya, masa silam bangsa kita hingga kini masih suka mengandung dan melahirkan dendam.
Dan dendam itu bukan hanya ditembakkan pada Sobron seorang. Dendam itu berjemaah dan massif sifatnya, baik pelaku maupun obyek sasarannya. Dilihat dari lamanya waktu, yang dimulai pada awal dekade 1960, kita juga bisa geleng-geleng kepala. Betapa dendam itu sudah sangat lama dirawat, sehingga berkarat dan senantiasa dihidupkan agar dendam itu tidak segera padam. Tidak aneh, ketika satu pelaku dendam meninggal, dia bisa mewariskan kepada keturunannya. Demikian pula, anak-cucu atau generasi kemudian, yang sebenarnya sudah tidak tahu apa-apa lagi tentang pertarungan ideologi para leluhur mereka di dekade 1960 yang memuncak dalam Peristiwa 30 September 1965, juga bisa menjadi korban dendam.
Korban dendam bukan hanya mereka yang menjadi sasaran dendam. Pelaku dendam atau mereka yang mewarisi dendam sebenarnya juga menjadi korban. Coba rasakan sendiri saat kita tengah mendendam, ada sesuatu dalam jiwa kita yang meronta-ronta atau terbakar seperti api. Cuma, dalam konteks ini, para korban dendam yang ada dalam posisi Sobron dan para eksil lain sungguh berada dalam posisi yang lemah dan kalah.
Kekalahan Sobron atau para eksil lain adalah terusir dari tanah air yang mereka cintai dan dilarang pulang. Goenawan Mohamad (GM), esais kondang itu, pernah menulis: ”Seorang eksil adalah seorang yang ditundung. Seorang tundungan pada dasarnya hidup dalam perpindahan yang belum sampai ke mana pun juga: di dalam dirinya tersemat sebuah negeri yang tak terlupakan namun harus ditinggalkan, sementara itu ia menemukan sebuah negeri lain yang kini jadi alamat tinggal namun bukan sebuah tempat pulang”(Caping GM, Tempo, 21 Januari 2007).
Apa yang ditulis GM itu memang seperti sebuah isyarat akan ada eksil yang mati. Dan akhirnya itu dipenuhi dalam diri Sobron, kendati dalam Caping itu yang dimaksudkan GM adalah seorang eksil bernama Adonis atau Ali Ahmad Said, sastrawan kelahiran Suriah yang sejak 1956 meninggalkan negerinya dan terakhir pindah ke Paris pada 1986.
Tidak diketahui apakah Adonis pernah bertemu dengan Sobron di Paris. Yang pasti, keduanya sama-sama menjalani hidup sebagai eksil. Dan Adonis punya puisi yang tampaknya juga tepat untuk Sobron, meski yang ditulisnya adalah nama Odiseus, tokoh epos Yunani kuno yang terkenal dalam Perang Troya. Sepulang dari perang Troya yang kemudian dipentaskan dalam banyak sandiwara dan film itu, Odiseus juga menjadi eksil karena harus menempuh banyak kawasan atau banyak negeri yang ganjil. Adonis menulis dalam puisinya:
“Meski kau pulang, ah, Odiseus
meski kau terbendung ruang,
dan pemandumu punah terbakar
di parasmu yang kehilangan
atau rasa negrimu yang akrab
kau akan tetap sebuah cerita kelana
kau akan tetap di negri yang tak berjanji
kau akan tetap di negri yang tak kembali”
Puisi itu persis seperti menyindir Sobron, yang rindu pada Belitung, rindu negeri ini, tapi harus mati di Paris. Semua gara-gara dendam. Dendam yang anehnya juga membelah manusia-manusia di negeri ini, termasuk manusia yang punya embel-embel budayawan, penyair, atau sastrawan. Boleh jadi kita sudah mendengar polemik Pramoedya Ananta Toer versus Mochtar Lubis, polemik kubu Manikebu versus LEKRA, yang sudah banyak diulas di media kita.
Seharusnya generasi saat ini tidak bisa dipecah-belah lagi. Generasi pasca-65 atau 66, seperti penulis, seharusnya memang menjadi kekuatan yang menjadi inspirasi untuk mengakhiri segala bentuk dendam. Berbagai karut-marut bangsa ini sebenarnya bisa dicari akarnya pada dendam yang masih kuat bercokol dalam hati. Membebaskan bangsa ini dari dendam masa silam bukan hanya merupakan tugas para politikus atau tokoh-tokoh agama, tapi juga tugas kita semua, khususnya para penulis, penyair, sastrawan, dan pelaku budaya lainnya.
Puisi, esai, karya sastra, atau karya budaya lain seharusnya bisa menjadi kekuatan untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari dendam. Dengan demikian, kita akan bisa melihat masyarakat yang mau belajar saling memaafkan. Nelson Mandela juga sering menyampaikan pesan ini kepada para penulis, sastrawan, atau budayawan di negerinya untuk menjadi kekuatan penyembuh bagi masyarakat yang terluka akibat dendam masa silam.
Seperti kita tahu, Mandela adalah korban kebiadaban sistem apartheid, tetapi akhirnya dikenal sebagai sosok pemenang karena berani mengasihi dan mengampuni rezim yang pernah menindasnya. Bayangkan, dia sudah dipenjara selama 27 tahun, dari 1963 sampai 1990. Dalam bukunya, Long Walk To Freedom, Mandela menulis: “Aku ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-musuhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita bermusuhan.” Dengan spirit kasih seperti itu, Mandela berhasil mewujudkan cita-cita rekonsiliasi di negerinya, Afrika Selatan. Betapa indahnya jika di negeri yang memproduksi batik yang digemari Mandela ini juga akan dilahirkan banyak sosok yang mau memakai spirit Mandela untuk berani mengampuni. Kita semua yang cinta damai tentu punya kerinduan serupa untuk Indonesia.
Akhirnya, kalau kita tidak berani memaafkan dan menghapus dendam, Tocqueville (1805-1859) sudah memberi peringatan. Dalam bukunya Democracy in America, dia mengingatkan: "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, manusia mengelana di tengah kabut." *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar