Pancasila Dan Anti-Imperialisme
Senin, 1 Oktober 2012
1:15 WIB · 0 Komentar
Diantara Hari Nasional yang penting di bulan Oktober adalah tanggal 1 Oktober. Kita tahu, 1 Oktober selalu dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Dan peringatan itu sangat berkait dengan keberhasilan Soeharto menggagalkan apa yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September (G30S)”.
Kejadian itu sudah berlalu 47 tahun. Di masa orde baru, pengetahuan tentang sejarah peristiwa 1965 itu hanya berasal dari satu sumber: rezim orde baru. Kita pun dipaksa untuk menerima tafsir tunggal atas sejarah itu. Akibatnya, pengetahuan kita tentang Pancasila tak bisa dipisahkan dari kepentingan orde baru.
Sekarang kita memasuki era (yang katanya) demokratisasi. Banyak sudah dokumen-dokumen penting, buku-buku, pengakuan, kesaksian-kesaksian, dan lain-lain yang berusaha mengungkap kejadian itu. Tidak sedikit yang melahirkan sudut pandang berbeda dan objektif. Bagi kami, inilah momentum untuk memulai untuk membaca ulang secara kritis sejarah tersebut.
Pembacaan ulang itu tidak bisa dianggap remeh. Ingat, berkuasanya rezim Orde Baru disertai dengan penyingkiran Bung Karno. Bahkan orde baru mengubur pemikiran-pemikiran besar Bung Karno (De-sukarnoisme). Padahal, kita tahu, Bung Karno adalah penggali Pancasila. Gagasan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Pidato itulah yang melahirkan lima prinsip dasar: Perikemanusiaan, Perikebangsaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Ironisnya, lima prinsip dasar itu justru dikubur semasa rezim Orde Baru. Lihatlah, orde baru berkuasa dengan “penjagalan” jutaan rakyat yang dituduh komunis. Juga, tak sedikit nyawa petani, buruh, mahasiswa, dan pejuang demokrasi yang dihilangkan semasa kekuasaan orde baru. Inikah makna “perikemanusiaan” itu?
Pada masa orde baru, proyek ‘nation building’ kita dibekukan. Tidak ada lagi cita-cita ekonomi berdikari. Tak ada lagi politik yang berdaulat. Tidak ada lagi keinginan membangun bangsa yang berkepribadian di bidang budaya. Sebaliknya, orde baru sangat menghamba pada modal asing. Untuk mengamankan kepentingan asing itu, orde baru menggunakan gaya politik otoritarian. Ironisnya, tak sedikit diantara mereka yang memprotes proyek neokolonialisme melalui modal asing itu dianggap anti-Pancasila.
Pada titik itulah kita mempertanyakan makna “Kesaktian Pancasila”. Bagi kami, pancasila merupakan senjata ideologis bangsa Indonesia untuk menentang kolonialisme dan imperialisme. Sebagai filsafat persatuan, Pancasila menjadi alat pemersatu berbagai golongan bangsa Indonesia dari berbagai suku-bangsa, agama, aliran politik, dan lain-lain dalam kerangka menentang kolonialisme dan imperialisme.
Apakah Pancasila di tangan rezim orde baru dipergunakan untuk memerangi kolonialisme dan imperialisme? Tidak sama sekali. Yang terjadi, pancasila dipreteli sedemikian rupa, dengan berbagai manipulasi terhadap substansi pancasila, agar sejalan dengan politik neokolonial orde baru. Pendek kata, Pancasila yang dipropagandakan oleh orde baru adalah Pancasila yang sudah dicabut roh anti-kolonialisme dan anti-imperialismenya.
Lantas, Pancasila apa yang kita rayakan setiap 1 Oktober itu? Ya, itu adalah Pancasila yang sudah dilucuti oleh roh anti-kolonialisme dan anti-imperialisme-nya. Sedangkan Pancasila 1 Juni 1945, yang ajarannya sejalan dengan cita-cita proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sudah dimatikan sejak tanggal 1 Oktober 1965 itu. Orde baru sudah meringkus ideologi Pancasila itu sejak 1 Oktober 1965 itu.
Kita tahu, ajaran pokok Pancasila adalah sosio-nasionalisme (penggabungan azas perikemanusiaan dan perikebangsaan), sosio-demokrasi (penggabungan azas demokrasi dan keadilan sosial), dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Sosio-nasionalisme memberi kita kerangka dalam membangun Negara merdeka yang benar-benar bersih dari kolonialisme dan imperialisme. Sedangkan ajaran sosio-demokrasi memberi kita kerangka dalam membangun sistem demokrasi yang bisa mendatangkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi massa-rakyat. Dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa seharusnya menjadi dasar untuk mempersatukan seluruh agama dan keyakinan bangsa Indonesia agar bisa bergotong-royong untuk mewujudkan cita-cita nasional kita: masyarakat adil dan makmur.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20121001/pancasila-dan-anti-imperialisme.html
Pelemahan Pancasila
Sabtu, 1 Oktober 2011
1:53 WIB · 0 Komentar
Pada tanggal 30 September 1965, sebuah gerakan di dalam tubuh Angkatan Darat melakukan penculikan dan penyingkiran terhadap perwira-perwira yang dianggap berhianat alias kontra-revolusi. Dewan Jenderal, nama komplotan para perwira itu, diduga akan melancarkan kudeta terhadap Bung Karno.
Akan tetapi, esoknya, 1 Oktober 1965, sebuah gerakan lain di tubuh angkatan darat mencoba mematahkan gerakan kontra-kudeta tersebut, dan kemudian berusaha tampil sebagai penyelamat negara. Gerakan ini, dengan Soeharto dan Nasution sebagai aktor utamanya, segera melemparkan tuduhan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang dari upaya kudeta saat itu.
Yang aneh adalah, bahwa gerakan Soeharto menyebut gerakannya sebagai upaya penyelamatan terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. 1 Oktober pun diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Ini sangat aneh, dan tentu saja menggelikan, bahwa Soeharto menyebut gerakannya untuk menggulingkan Bung Karno, sang penggali Pantjasila, sebagai upaya menyelamatkan Pancasila. Benarkah Bung Karno hendak merusak Pancasila?
Pancasila secara resmi lahir dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dua bulan menjelang proklamasi kemerdekaan. Saat itu, Bung Karno mengajukan lima prinsip yang akan menjadi “weltanschauung” bangsa kepada sidang BPUPKI, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Boleh dikatakan, Bung Karno adalah orang yang paling getol menganjurkan bangsa Indonesia memperdalam dan memperkuat pemahaman tentang Pancasila. Dalam berbagai pidatonya, ia menyebut Pancasila sebagai penemuan bangsa Indonesia dan sekaligus alternatif terhadap pertarungan dua gagasan besar dunia: “declaration of independence”-nya Thomas Jefferson dan “Manifesto Komunis-nya” Karl Marx dan Engels.
Dari penggalian Bung Karno, Pancasila menjadi ideologi nasional yang dapat mempersatukan sebuah bangsa yang meliputi tiga ratusan etnik, tidak kurang dari 200 bahasa, dan penduduknya memeluk banyak agama dan aliran kepercayaan.
Lalu, karena tujuan mendirikan negara Republik Indonesia untuk semua golongan, maka Pancasila pun berlaku untuk semua golongan. Juga karena negara yang dicita-citakan adalah negara yang adil dan makmur, maka Pancasila pun mengandung prinsip-prinsip yang memperjuangkan bukan saja politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Maka, pancasila di tangan Bung Karno adalah kiri. Kiri disini diartikan sebagai kelompok politik atau aliran yang memperjuangkan kesetaraan sosial. Noberto Bobbio, seorang filsuf politik Italia, merujuk “politik kiri” sebagai komitmen terhadap kesetaraan atau persamaan (politik dan ekonomi).
Dalam menjalankan perjuangan menuju Indonesia adil dan makmur, Bung Karno merangkum semua golongan, khususnya melalui persatuan tiga kekuatan besar-Nasakom: Nasionalis, Agamais, dan Komunis.
Lalu, apa yang dimaksud “kesaktian Pancasila” oleh Soeharto?
Tanggal 1 oktober 1965 merupakan momen penting, setidaknya awal dari sebuah skenario, untuk menggulingkan pemerintahan Bung Karno dan, terutama, proyek politik yang dibangun Bung Karno: Revolusi Indonesia.
Penggunaan kata “kesaktian Pancasila” adalah tipuan belaka, supaya Soeharto tidak mendapat penentangan luas dari masyarakat karena menggusur Bung Karno. Penggunaan kata itu juga sama dengan sebutan “pahlawan revolusi”. Dapatkah kata “pahlawan revolusi” disemakkan kepada para perwira yang notabene berpolitik menentang revolusi Indonesia itu sendiri.
Kami fikir hal itu umum dipergunakan dalam kudeta-kudeta manapun yang tidak mendapat sokongan dari rakyat. Biasanya, dalam kasus-kasus semacam itu, para pelaku kudeta berpura-pura mempertahankan negara, menyelamatkan pemimpin revolusi, tetapi secara intensif melumpuhkan kekuatan-kekuatan pendukung revolusi.
Dalam hal ini, jelas sekali bahwa sebelum melumpuhkan Bung Karno, Soeharto melumpuhkan pendukung loyalnya, yaitu kaum kiri, yang juga menjadi tenaga penting dalam proyek “revolusi Indonesia” –nya.
Oleh karena itu, pancasila di bawah Soeharto adalah pancasila yang sudah dilemahkan, sudah dihilangkan makna kiri-nya. Pancasila jaman Soeharto tidak lagi menjadi “weltanschauung” bangsa Indonesia, tetapi sekedar “kata-kata yang dihafalkan setiap hari” tanpa makna. Pancasila di jaman Soeharto sudah kehilangan rohnya yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Dan, bersamaan dengan pelemahan pancasila itu, Soeharto menjalankan proyek “nation and character destruction” selama 32 tahun.
Jadi, peringatan 1 oktober sebagai hari kesaktian pancasila perlu diluruskan.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20111001/pelemahan-pancasila.html
Pancasila Hari Ini
Jumat, 1 Oktober 2010
0:47 WIB · 0 Komentar
Pancasila sebagai landasan hidup bernegara dan bermasyarakat itulah yang utama dikemukakan oleh Bung Karno untuk pendirian Republik Indonesia yang merdeka. Pancasila menjadi alat persatuan untuk melawan kekuatan anti penjajahan dan bagaimana memandang dan menjalani hidup bernegara dan bermasyarakat. Pada pidato 1 Juni 1945 di depan BPUPKI yang kemudian dikenal juga sebagai Hari Lahirnya Pancasila itu Bung Karno sebelum menutup pidatonya menekankan:
jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realitiet, yakni jikalau ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, – syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko,- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka,’merdeka atau mati”!
Sayangnya, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila justru seringkali mengkhianati nilai-nilai yang dikandung Pancasila itu sendiri. Di masa rejim Soeharto, Pancasila menjadi alat politik untuk membungkam lawan-lawan politik bahkan juga rakyat yang menolak pembangunan karena pembangunan justru memulai dengan semakin menderitakan rakyat seperti memberikan ganti rugi yang tak sebanding atas tanah-tanah yang dipakai untuk pembangunan. Pancasila Soeharto tampak berjalan formal sejalan dengan kekuasaannya tanpa menekankan nilai lain yang penting bagi bangsa ini yaitu: kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Akibatnya di masa Rejim Soeharto, kekerasan yang berujung pada kejahatan atas kemanusiaan berlangsung bersamaan dengan kesenjangan sosial yang makin tinggi dan pembungkaman hak-hak politik warga Negara. Ini adalah bentuk korupsi pemikiran dan nilai Pancasila. Pancasila Soeharto ini mulai dikibarkan pada 1 Oktober 1965 yang oleh Bung Karno dinamakan sebagai gerakan satu oktober alias Gestok yang semakin sanggup menjungkirbalikkan orientasi politik pembangunan Bung Karno dengan didahului tindakan keji menghancurkan organisasi-organisasi pendukung Bung Karno disertai dengan penangkapan, pembunuhan dan pemenjaraan tanpa pengadilan terhadap ribuan simpatisan komunis dan soekarnois. Rejim Soeharto dengan cerdik menyebut 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Selama rejim Soeharto berkuasa, Pancasila yang sakti itu dijadikan tameng kekuasaan dan dijadikan palu godam untuk membungkam perlawanan rakyat. Rejim Soeharto akhirnya tumbang oleh perlawanan rakyat yang menuntut demokrasi dan perbaikan kesejahteraan.
Praktek hidup bernegara hari ini semakin memperlihatkan bagaimana toleransi hidup beragama semakin surut: satu kelompok agama melarang kelompok lain untuk beribadah; Kekerasan antar etnik atau kelompok masyarakat masih terjadi seakan kita tidak hidup dalam satu nilai kebangsaan; Kesenjangan sosial ekonomi semakin nyata: rakyat miskin makin banyak tanpa lapangan kerja serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang memadai sementara konsumtivisme dan hedonisme pun berlangsung dengan menyolok seakan melemparkan jauh-jauh semangat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat; kehidupan demokrasi yang carut-marut: politik uang yang mendorong tumbuhnya korupsi masih disertai pembungkaman bacaan dengan alasan ideologi tertentu oleh Kejaksaan Agung, misalnya, menuntut kita sebagai anak-anak bangsa yang melanjutkan warisan Indonesia Merdeka bertanya: masihkah kita berPancasila dalam hidup bernegara dan bermasyarakat? Pemerintah sendiri seakan tak hadir dalam berbagai peristiwa yang menghinakan nilai-nilai Pancasila itu…dan seakan melakukan pembiaran.
Sebagaimana Bung Karno sendiri sering mengatakan: Pancasila pada hari ini tentu tak ingin kita ambil abunya tapi justru apinya. Api Pancasila yang menyala itu tentu untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20101001/pancasila-hari-ini.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar