Luthfi Assyaukanie (3)
Tidak ada negara maju dengan syariat Islam
Reporter: IslahudinJumat, 19 Oktober 2012 11:54:37
Lembaga survei menyimpulkan kian merosotnya perolehan suara partai Islam dalam tiap pemilu. Tidak sedikit tokoh partai Islam yang merasa itu hanya survei biasa yang masih bisa mengalami kesalahan dan tidak sepenuhnya hasil itu mutlak.
Namun, bagi Luthfi Assyaukanie, Deputi Direktur eksekutif Freedom Institute, hasil survei itu sudah memperlihatkan bagaimana mestinya partai Islam mestinya segera berbenah. Menolak hasil survei itu boleh saja, namun hasil perolehan partai Islam dalam tiap pemilu sudah sebagai bukti nyata bentuk pandangan pilihan masyarakat terhadap partai Islam. Selain itu bagaimana melihat tingkat kemajuan negara-negara Islam yang menggunakan syariat Islam seperti Arab Saudi dan Iran.
Berikut penuturan Luthfi Assyaukanie saat ditemui Islahuddin, wartawan merdeka.com pada Kamis (18/10) sore di sekretariat Freedom Institute, Jalan Proklamasi Nomor 41 Menteng Jakarta Pusat.
Sejauh mana Islam harus berperan dalam kehidupan politik di Indonesia?
Itu isu lama, sejauh mana Islam mengakomodasi masalah-masalah politik. Ada sebagian orang percaya, Islam harus menaklukkan politik atau Islam harus berpolitik, harus mendirikan partai Islam, harus menjalankan dakwah Islam lewat partai politik, dan seterusnya. Ada juga sebaliknya, kita boleh lebih religius, menjadi orang yang saleh, tapi dalam urusan politik itu urusan dunia, tidak ada urusannya dengan agama.
Saya kira jumlah umat Islam yang percaya dengan tidak ada hubungan Islam dan politik itu lebih banyak jumlahnya. Buktinya pemilu ini, tentu saja pemilu adalah bukti nyata, tidak bisa dibohongi. Orang di luar sana bilang, “Oh, orang Islam itu percaya pada agama dan negara (addin wa daulah)”, atau macam-macam, itu cuma bicara saja, buktinya tetap pemilu. Saat mereka datang ke bilik suara mereka tidak memilih partai Islam. Kalau mereka yakin pandangan agama dan negara adalah satu kesatuan mereka akan memilih partai Islam.
Apakah Islam memang tidak boleh ikut campur dalam kehidupan politik?
Ada sebagian yang berkeyakinan begitu, tapi sebagian besar masyarakat Indonesia justru meyakini sebaliknya. Ya sudahlah, Islam tidak usah ikut campur dalam masalah politik, itu kalau ukurannya partai-partai politik.
Apakah anda percaya negara yang menerapkan syariat Islam bisa maju?
Setahu saya tidak ada negara yang maju dengan menggunakan syariat Islam. Apa ada contohnya?
Bagaimana dengan Iran dan Arab Saudi?
Maju apanya, ekonominya paling terbelakang. Terbelakang dalam artian, mereka hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada sebagai sumber utama ekonominya. Berapa lama sumber alam terus untuk eksplorasi?
Ada contoh negara Islam yang bisa dibilang maju?
Tidak ada. Negara yang paling mundur di dunia, adalah negara yang melawan kodrat manusia. Negara-negara Islam itu melawan kodrat manusia, jadi tidak akan bisa maju. Manusia itu kodratnya menginginkan kebebasan pada dasarnya. Sementara negara-negara yang menerapkan itu, memusuhi kebebasan itu. Misalnya di Arab Saudi, perempuan tidak diperbolehkan mengendarai mobil sendiri. Orang mau bicara politik tidak boleh, di sana orang tidak boleh demonstrasi.
Tapi sebulan kemarin Arab Saudi sudah mengeluarkan aturan yang membolehkan perempuan boleh mengendarai mobil sendiri?
Bayangkan, sudah zaman segini baru memperbolehkan. Orang-orang yang menginginkan aturan itu sendiri juga orang-orang dari kerajaan itu sendiri. Anak-anak raja, anak-anak pangeran yang ingin mengemudi sendiri, mereka yang kuliahnya di barat. Jadi negara-negara itu tidak akan maju, karena melawan kodrat manusia.
Iran begitu juga, mundur jauh sekali. Kalau pun ada pencapaian, itu pasti dari orang-orang yang melawan sistem itu. Misalnya, orang sering bilang, “Kok film-film Iran itu bagus-bagus.” Justru karena mereka memberontak dari situasi yang mengungkung. Para sineas Iran itu adalah orang yang tidak setuju dengan sistem negara Islam di Iran. Itu yang salah dimengerti orang. Setiap ada pencapaian di negara-negara yang seperti itu, muncul dari mereka yang anti dari sistem yang ada di sana.
Bagaimana dengan dari sisi kemajuan ekonominya?
Saya rasa tidak. Melihat ekonomi bukan hanya melihat pendapatan per kapita atau Produk Domestik Bruto (PDB) tapi kita harus lihat, harus diuraikan, dari mana mereka mendapatkan itu. kalau Indonesia, saya sangat bangga dengan pencapaian ekonomi kita. Itu dilakukan dengan kerja keras dan sungguh-sungguh. Tapi kalau negara-negara penghasil minyak di teluk itu tidak bisa dibanggakan.
Mulai dengan
[tts] Luthfi Assyaukanie (1)
Sekularisasi politik di Indonesia berhasil
Reporter: IslahudinJumat, 19 Oktober 2012 11:33:28
Hasil survei pilihan umum untuk 2014 untuk partai politik yang dilansir Saiful Mujani Research Center pekan lalu menempatkan partai nasionalis dalam posisi lima besar, seperti Partai Golongan Karya (14 persen) , Partai Demokrasi Indonesia (9 persen), Partai Demokrat (8 persen), Partai Nasional Demokrat (4 persen).
Hasil survei itu menyebutkan partai-partai Islam hanya bisa meraup suara di bawah lima persen. Posisi partai Islam dalam lansiran Lingkaran Survei Indonesia juga hampir sama, terus mengalami kemerosotan, malah kalah bersaing dengan partai baru, Partai Nasional Demokrat yang bisa mendapatkan suara lima persen.
Bagi Luthfi Assyaukanie, Doktor kajian Islam kontemporer, persentase suara yang diperoleh partai Islam itu bukanlah hal yang mengagetkan. Menurutnya, pandangan masyarakat kian terbuka, pilihan partai tidak mempengaruhi religiusitas pemilihnya. Berikut petikan wawancaranya dengan Islahuddin wartawan merdeka.com saat ditemui Kamis (18/10) sore di sekretariat Freedom Institute, Jalan Proklamasi Nomor 41 Menteng Jakarta Pusat.
Apa penyebab merosotnya popularitas partai Islam?
Itu bukan hal baru. Seingat saya, Lingkaran Survei Indonesia juga sudah melakukan beberapa kali survei popularitas partai sejak 1999 hingga 2000-an awal. Hasilnya selalu ditemukan kurang lebih sama, popularitas partai Islam mengalami penurunan dari hari ke hari. Rilis yang baru kemarin tidak ada yang baru.
Secara umum angka-angkanya partai Islam itu kalau digabungkan secara keseluruhan kurang dari 20 persen. Jadi kalau pegangan kita pemilu bukan survei, jumlahnya sekitar 15-20 persen. Memang ada kecenderungan partai-partai Islam itu menurun suaranya.
Apa kategori partai disebut partai Islam?
Yang dimaksud partai Islam, partai yang menyatakan programnya dan landasannya berazaskan Islam, bukan Pancasila. Dengan demikian yang disebut Partai Islam itu adalah PPP, PKS, PBB. Saat ini yang ada di parlemen ada dua, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang lain basisnya Pancasila, termasuk Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Tapi ada definisinya yang lebih luas, ada juga yang mengatakan basis massanya anggota organisasi besar Islam. Misalnya PKB, karena basis massanya Nahdlatul Ulama (NU), kemudian PAN, karena basis massanya Muhammadiyah. Tapi itu tidak ada jaminan, kalau itu definisinya, misalnya PAN, semakin lama kian ditinggalkan oleh Muhammadiyah, agak susah memegang basis massa dari organisasi besar Islam.
Jadi definisi yang paling tepat menurut saya, partai Islam adalah partai yang flat form di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tanggah (AD/ART) adalah asasnya Islam, bukan Pancasila dan PKS dan PPP yang masih menggunakan itu.
Merosotnya popularitas partai Islam apa karena masyarakat muak dengan kelakuan politisi Islam?
Kalau penjelasan jauhnya ada proses yang cukup kompleks. Proses apa yang saya sebut sekularisasi politik di negara kita cukup berhasil. Sekularisasi politik itu artinya orang bisa secara personal bisa religius tapi secara politik dia sekuler. Misalnya saya tetap bisa melakukan haji, zakat, salat, tapi begitu datang ke kotak pemilihan saat pemilihan umum (Pemilu) saya tidak mau memilih partai Islam, karena saya tidak percaya partai Islam bisa bekerja dengan baik di pemerintahan. Itu yang saya sebut sebagai sekularisasi politik.
Nah, terjadinya sekularisasi politik ini yang cukup intens dalam beberapa puluh tahun terakhir. Itu terjadi sejak Orde Baru dan kita petik hasilnya sekarang. Orang-orang muslim percaya, aspirasi politik mereka tidak perlu disalurkan ke partai-partai Islam. Tidak serta mereka kurang religius kalau mereka memilih Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan partai yang lainnya.
Apa memang selama ini partai Islam ini tidak mengakomodasi pemilihnya?
Itu persoalan lain. Partai-partai yang berideologi eksklusif, bagaimana pun partai Islam itu ideologinya eksklusif. Pertama mereka memainkan sentimen keagamaan, itu saja sudah mempersempit cakupan suara.
Kedua politik itu dalam skemanya posisinya selalu berada di kiri dan di kanan jauh. Yang di tengah itu biasanya yang cair, misalnya partai yang mengusung ideologi yang sangat liberal itu dia akan berada jauh di kiri dengan partai yang mengusung ideologi Islam akan berada jauh di kanan. Yang di tengah-tengah itu selalu ceruk suara yang besar.
Partai Islam kalau mau mendapatkan suara yang besar dia harus ke tengah, jangan ke pinggir. Nah, partai-partai Islam sekarang ada di pinggir yang suaranya kurang dari 20 persen. 80 persen suara itu berada di tengah, itu yang diperebutkan PDIP, Golkar, Demokrat, dan partai-partai nasionalis yang lain. Partai Islam kalau mereka mau mendapat dukungan banyak harus ke tengah.
Apa maksud anda istilah pinggir kiri, kanan, dan tengah?
Begini spektrum partai politik, yang di kiri dan kanan itu kecil, jumlahnya kurang dari 20 persen. Partai yang berideologi sosialis, komunis, atau nasionalis, ada di pinggir kiri. Sedangkan partai Islam berada di pinggir kiri. Di tengah itu yang banyak, suaranya sekitar 80 persen. PKS itu masih di pinggir karena masih menjual isu Islam. Karena masih menjual isu Islam, orang-orang di pinggir ini yang masih percaya dengan jualan Islam akan memilih PPP. Kalau PPP mencoba ke tengah, padahal di tengah ini banyak sekali pemainnya. Dia harus bersaing dengan PDIP, Golkar, Demokrat, nasional Demokrat, belum lagi dengan PAN, PKB, dan yang lainnya.
Tantangannya buat PPP kalau tidak meyakinkan, kalau mereka sudah berubah visi saat kampanye, bisa saja yang tengah tidak akan memilih dia yang pinggir sebagai pemilih tetapnya akan kabur meninggalkannya. Dilemanya seperti itu. Tokoh-tokoh seperti Lukman Saifudin itu menurut saya menyadari hal itu. “Daripada kita kehilangan suara yang 5 persen atau kurang, lebih baik menjaga itu, karena belum pasti mendapatkan suara yang lebih besar”.
Seperti apa contoh konkretnya?
Nama boleh partai Islam tapi mereka harus menunjukkan pada masyarakat, mereka mengusung politik yang moderat. PKS sebetulnya awalnya berusaha menjadi partai yang relatif moderat. Ini kalau melihat Pemilu 1999, jualan politiknya sangat agamais. Kampanyenya tentang syariat Islam, tentang perubahan atau amandemen konstitusi dan seterusnya. Saat itu mereka mendapat suara 2 persen atau kalau tidak salah ingat kurang dari 2 persen, saat itu namanya Partai Keadilan.
Tapi pada pemilu 2004, mereka tidak hanya mengubah nama tapi juga strategi. Saya masih ingat, kampanye-kampanye PKS tahun 2004 itu membuang seluruh kampanye agenda-agenda Islam. Jadi yang mereka kampanyekan, misalnya pemerintahan yang bersih, reformasi birokrasi, anti korupsi, hal-hal yang sangat umum, sangat duniawi, sangat profan, tidak ada kaitannya dengan agama. Maka saat itu suaranya naik, PKS suaranya saat itu dapat tujuh persen.
Kemudian 2009 suaranya stagnan, itu adalah ujian dari kampanyenya pada 2004. Ada masalah kasus korupsi, masalah moral, dan lain-lainnya. Nanti kita lihat, kalau survei terakhir suara PKS turun karena kasus-kasus korupsi yang menimpa kader-kadernya. Itu disorot media dan dilihat orang setiap hari. Mulanya PKS lulus sebagai partai moderat awalnya, tapi tidak lulus ketika janji-janji kampanyenya dilanggar. Itu yang menjelaskan kenapa PKS tidak naik kelas atau mendapatkan suara lebih dari yang didapat sebelumnya.
Bagaimana dengan Partai Persatuan Pembangunan?
PPP sebetulnya lebih solid dari PKS. Solid dalam artian, PPP punya massa yang lebih terikat. Sementara PKS itu massa yang cair. Massa PKS itu massa terdidik, massa yang kritis, sementara massa PPP itu kurang terdidik, secara tradisi saja. Tradisi dalam arti kalau orang tuanya PPP anaknya juga akan mengikuti, seperti dari sebagian masyarakat Betawi, kemudian dari Jawa Timur, itu yang masuk partai agama secara tradisi. Kalau PKS itu suaranya sangat mengambang, dia bisa bertambah dan bisa berkurang.
Biodata
Luthfi Assyaukanie
Pendidikan:
Ph.D: Universitas Melbourne , Australia (2006)
MA: Universitas Melbourne , Australia (2003)
MA: Universitas Islam Internasional, Malaysia, (1995)
BA: the Universitas Yordania, Yordania (1993)
Pekerjaan
Deputi Direktur Eksekutif Freedom Institute (Sekarang)
Dosen Jurusan Filsafat dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta (2000-sekarang)
Penghargaan
Nominasi Australian Alumni Award (2008)
Penghargaan Tesis terbaik dari Rektor Universitas Melbourne, Australia (2008)
Mulai dengan
[tts]
Luthfi Assyaukanie (2)
Semakin jual agenda Islam, semakin tidak laku
Reporter: IslahudinJumat, 19 Oktober 2012 11:46:09
Kategori
Khas
Berita tag terkait
3 Alasan partai Islam tidak akan laku di Pilpres 2014
Gus Dur dan Amien Rais tokoh Islam paling berpengaruh
kampanye PKS. ©2012 Merdeka.com
37
Sejak pemilu pertama di Indonesia pada 1955, partai Islam mendapatkan suara mencapai 43 persen suara pemilih. Namun 60 tahun kemudian, setidaknya dari hasil survei untuk pemilu 2014 seperti dirilis Saiful Mujani Research dan Lingkaran Survei Indonesia, menempatkan partai Islam dengan perolehan suara di bawah lima persen.
Menurut Luthfi Assyaukanie, Doktor kajian Islam kontemporer, penyebab menurunnya itu tidak hanya karena tidak ada tokoh politisi Islam yang sekaliber Gus Dur dan Cak Nur. Dia melihatnya partai Islam saat ini terlihat tidak percaya diri dan enggan mengubah diri dengan mengikuti perkembangan pandangan pemilih saat ini.
Ditemui di kantor Freedom Institute, Jalan Proklamasi Nomor 41 Menteng Jakarta Pusat. Luthfi Assyaukanie menjelaskan semuanya kepada Islahuddin wartawan merdeka.com pada Kamis (18/10) sore. Berikut nukilan wawancaranya:
Apakah dari survei itu bisa disimpulkan partai Islam tidak laku dalam pemilu 2014?
Begini, ada kaidah yang sampai sekarang saya percaya. Semakin partai Islam menjual agenda Islam, semakin mereka ditinggalkan oleh masyarakat.
Bukankah itu sebaliknya?
Apa buktinya? Depok bisa dijadikan contoh basis PKS, tapi perhitungan nasional tidak hanya Depok dan di tempat lain orang tidak berpikir seperti orang-orang Depok yang memilih PKS. Depok juga tidak semuanya yang memilih PKS. Saya tidak tahu berapa jumlah pemilih PKS di Depok, angkanya saya tidak tahu pasti. Tapi secara nasional suaranya tidak lebih dari lima persen.
Menurut Anda siapa politisi Islam yang sekiranya pantas disebut mewakili umat Islam sekarang?
Itu agak susah mencari figur sosok Islam sekaliber Gus Dur, Cak Nur untuk saat ini, terutama kalau kita mencarinya di partai politik. Popularitas Muhaimin Iskandar, misalnya, meskipun dia menteri, tapi tidak pernah lebih dari 2-3 persen. Popularitasnya rendah sekali. Saya pernah ikut survei di LSI, tokoh-tokoh partai politik yang mewakili anak-anak muda seperti Muhaimin Iskandar dan tokoh-tokoh yang lainnya, suaranya rendah sekali.
Tokoh-tokoh yang populer justru diisi oleh orang-orang yang biasa kita dengar dan populer seperti, Aburizal Bakrie, Megawati, dan yang lainnya. Ada beberapa tokoh sebetulnya, misal di PPP itu ada namanya Lukman Saifudin. Dia tidak begitu populer tapi bagus. Dia anaknya Saifuddin Zuhri, menteri agama pada era Soekarno. Mestinya tokoh kayak dia didorong, menurut saya lebih menjanjikan. Tapi saya tidak tahu, dalam politik itu kadang-kadang orang baik tidak bisa diterima, atau kadang sebaliknya.
Dengan sistem sekarang, mungkin tidak tokoh baik itu bisa didorong untuk naik?
Di Amerika Serikat itu ada sistem konvensi partai, di kita tradisi itu tidak ada. Golkar pernah melakukan itu, tapi berhenti. Sistem konvensi itu dihentikan, tidak dipakai lagi. Saya kira sistem yang dibuat Golkar itu belum matang. Sistem rekrutmen tokoh di partai politik kita belum matang. Kalau di Amerika Serikat sudah matang. Konvensi digunakan untuk menjaring orang-orang terbaik.
Dalam partai politik kita, yang menjadi ketua partai bukan orang yang terbaik dalam artian yang dibayangkan oleh banyak orang, tapi mereka yang punya uang banyak. Punya modal untuk membeli suara Dewan Pengurus Cabang (DPC) dan Dewan Pengurus Pusat (DPP) itu sudah bisa menjadi ketua umum, itu yang terjadi. Suka atau tidak suka itu yang terjadi dalam partai politik kita, termasuk partai-partai Islam. PKB misalnya, kalau tidak punya uang banyak, tidak mungkin Muhaimin bisa menjadi ketua partai.
Apakah di Indonesia saat ini, banyak politisi yang mengelabui pemilih dengan menjual Islam?
Mungkin istilah menjual tidak terlalu tepat, karena tokoh-tokoh partai Islam sendiri akan keberatan, kalau dikatakan menjual isu-isu Islam. Tapi dalam pengertian yang lebih umum bisa saja menjual Islam sebagai isu politik. Partai politik yang ceruknya ada suara Islam berada di pinggir kanan, ini akan dilema.
Saya pernah memberikan usulan kepada partai Islam termasuk PPP, teman-teman PPP bilang, kalau ke tengah, yang tengah tidak dapat, di pinggir juga akan lepas. Akhirnya tidak dapat apa-apa. Itu ketakutan mereka. Jadi bukan tanpa risiko kalau mereka menjadi lebih terbuka. Kenapa menjual isu Islam, karena yang mereka target ceruk suara yang kecil itu untuk menjaga suara yang tidak seberapa. Kalau mereka lebih terbuka, jangan-jangan yang di tengah belum tentu mendukung mereka, sedangkan yang di pinggir sudah kabur duluan.
Apa bisa itu disebut partai yang statis dalam hal strategi?
Itu artinya mereka tidak percaya diri, belum dicoba saja. Kalau mereka mengumumkan, agak riskan juga, risikonya besar juga. Mungkin suaranya akan turun, karena itu perlu sosialisasi, kampanye lagi, untuk meyakinkan orang-orang yang berada di tengah itu sendiri.
Saya sendiri belum tentu yakin, misal ada yang bilang ini partai yang liberal dan terbuka, saya tidak begitu yakin. Orang-orang di tengah itu tidak mudah yakin, perlu bukti dan konsistensi, perlu waktu. Sementara kalau tidak dapat yang di tengah, lebih baik menjaga suara yang ada atau pemilih yang loyal.
Apa memang tingkat pendidikan masyarakat sekarang membuat mereka tidak mudah percaya?
Iya, sebagian karena pendidikan. Yang karena latar belakang sosial politiknya bagus. Maksud saya, orang yang tumbuh dari latar belakang nasionalis yang selama ini mendukung PDIP atau Golkar mereka akan lebih nyaman meneruskan tradisi itu. Hanya kecuali dia tiba-tiba masuk, kemudian mendapat pengaruh dari lingkungan atau teman, masuk ke partai politik Islam, baru itu berubah.
Tapi biasanya secara tradisi, sebagian besar masyarakat kita cenderung ke partai-partai nasionalis daripada ke partai Islam. Itu terbukti dari pemilu 1999 sampai 2009. Pemilu terakhir, partai-partai Islam suaranya tidak lebih dari 15 persen. Saya menganggapnya kaidah. Kelihatannya akan berlangsung terus selama tidak ada perubahan dari partai-partai Islam.
Bisa disebut sebagai partai-partai itu sebagai partai yang jumud?
Iya, tidak ada perubahan, tidak ada terobosan. Tidak seperti partai di Turki. Di sana itu ada namanya partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi-Partai Keadilan dan Pembangunan), itu boleh disebut sebagai PKS-nya Turki. Tapi mereka punya terobosan yang luar biasa menurut saya.
Mungkin tidak bisa ditiru sepenuhnya, tapi secara umum AKP lebih moderat dan lebih liberal dari partai-partai Islam yang ada di Indonesia. karena itu, masyarakat Turki yang sangat sekuler pun masih bisa menerima partai itu. Mereka menjadi pemenang pemilu, saya tidak tahu berapa persen tingkat kemenangannya, tapi Presiden dan Perdana Menterinya Turki saat ini berasal dari AKP.
Mulai dengan
[tts]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar