Kabut tebal tragedi kemanusiaan 1965
Selasa, 24 Juli 2012 14:50:34
Reporter: Dedi Rahmadi
kuburan. shutterstock
"Saya belum tahu, kami tunggu petunjuk dari Pak Jaksa Agung. Sesuai Undang-undang, kasus pelanggaran HAM berat ditangani langsung oleh Jaksa Agung," ujar Jaksa Agung Muda tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Andhi Nirwanto kepada wartawan di Kejaksaan Agung, Selasa (24/7).
Jaksa Agung Basrief Arief saat dikonfirmasi mengaku belum membaca berkas penyelidikan yang dilimpahkan Komnas HAM ke Kejagung. "Saya belum baca. Itu tugas mereka (Komnas HAM) untuk penyelidikan. Nanti saya lihat dulu," kata Basrief.
Sebelumnya, Ketua Tim Penyelidikan Pro Justitia untuk Kasus Kejahatan Kemanusiaan tahun 1965/1966 yang juga Wakil Ketua Komnas HAM, Nurkholis mengatakan timnya telah menemukan bukti permulaan yang cukup terkait pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966 serta tahun sesudahnya.
Diduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat yakni pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
"Penyelidikan dilaksanakan hampir empat tahun. Kami memeriksa sekitar 349 orang yang mendengar dan mengalami peristiwa 1965-1966 hampir di semua provinsi, kecuali Papua," kata Nurkholis.
Para saksi menyatakan bahwa Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) bertanggungjawab atas aksi kejahatan kemanusiaan dengan korban mencapai 500.000 hingga 3 juta jiwa itu. Dia meminta Kejagung menindaklanjuti hasil penyelidikan tersebut baik berupa proses rehabilitasi dan rekonsiliasi.
Tragedi 1965 dan lembaga super bernama Kopkamtib
Rabu, 25 Juli 2012 04:11:00
Reporter: Ramadhian Fadillah
soeharto. Life via thegossip-celebrity.blogspot.com
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1965. Diduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Komnas HAM memperkirakan tragedi ini memakan korban jiwa hingga tiga juta orang. Komnas HAM juga membuat kesimpulan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat tersebut.
"Setelah melakukan penyelidikan atas temuan, analisis, dan pertemuan dengan para korban, kami menemukan bukti awal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965 seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran secara paksa, penghilangan orang dan lainnya," kata Ketua tim penyelidik kasus 65, Nur Cholis saat jumpa pers di Komnas HAM, Senin (23/7).
Namun temuan dari Komnas HAM tersebut belum ditanggapi Kejaksaan Agung yang bertugas membuat penyidikan dari hasil temuan Komnas HAM. Sama seperti kebanyakan kasus pelanggaran HAM lain, tragedi 1965 pun ditakutkan akan mangkrak tanpa penyelesaian. Seperti luka yang tidak pernah disembuhkan dan hanya ditutupi.
Kopkamtib berdiri 3 Oktober 1965, setelah G30S/PKI meletus. Pendirian Kopkamtib dilandasi keadaan negara yang sangat itu kacau dan genting. Mayjen Soeharto menjadi Panglima Kopkamtib pertama.
Kedudukannya menjadi lebih kuat setelah Presiden Soekarno memberikan perintah lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966.
Itulah legalitas bagi Soeharto untuk melakukan pembersihan pada orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka yang dianggap simpatisan atau hanya mendukung pun diciduk. Dengan dasar itu pula Soeharto membubarkan PKI dan seluruh organisasi di bawahnya.
Tahun 1965-1970, pembantaian massal terjadi di mana-mana. Tentara, atau ormas yang dibekingi tentara mencari orang-orang komunis. Sebagian ditangkap, sebagian lagi dibantai dengan kejam. Banyak yang menyaksikan kekejaman saat itu sudah tidak masuk akal. Orang-orang dibunuh dengan cara digorok, dipotong-potong atau dipukul pada bagian kepala hingga tewas. Sementara wanita-wanita yang dituduh PKI diperkosa dan mengalami kekerasan seksual.
Setelah berkuasa sebagai presiden, Soeharto tetap mempertahankan Kopkamtib. Banyak pihak yang menyebut jantung orde baru adalah Kopkamtib. Lembaga ini adalah lembaga superpower, tidak bertanggung jawab pada lembaga apapun kecuali Panglima ABRI dan Presiden Soeharto. Sebagaimana diketahui saat itu
Presiden Soeharto lah yang mengontrol ABRI. Soeharto pun bisa langsung memberi perintah pada Pangkopkamtib.
Lembaga ini punya wewenang menangkap, memata-matai, menginterograsi orang yang dicurigai melawan pemerintah. Jika Kopkamtib sudah turun, maka tidak ada lembaga lain yang bisa mencegah. Termasuk Polri dan ABRI. Masih ingat kasus perkosaan Sum Kuning? Kopkamtib mengambil alih penyidikan kasus ini dari kepolisian dan Kapolri Jenderal Hoegeng saat itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Pangkopkamtib selalu dijabat orang dekat Soeharto. Mereka adalah Jenderal Maraden Panggabean (1969- 1973), Jenderal Soemitro (1973-1974), Kemudian Laksamana Soedomo yang menjabat pelaksana tugas tahun 1974-1978. Soedomo kemudian menjadi Pangkopkamtib tahun 1978 hingga 1983.
Komnas HAM memperkirakan tragedi ini memakan korban jiwa hingga tiga juta orang. Komnas HAM juga membuat kesimpulan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat tersebut.
"Setelah melakukan penyelidikan atas temuan, analisis, dan pertemuan dengan para korban, kami menemukan bukti awal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965 seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran secara paksa, penghilangan orang dan lainnya," kata Ketua tim penyelidik kasus 65, Nur Cholis saat jumpa pers di Komnas HAM, Senin (23/7).
Namun temuan dari Komnas HAM tersebut belum ditanggapi Kejaksaan Agung yang bertugas membuat penyidikan dari hasil temuan Komnas HAM. Sama seperti kebanyakan kasus pelanggaran HAM lain, tragedi 1965 pun ditakutkan akan mangkrak tanpa penyelesaian. Seperti luka yang tidak pernah disembuhkan dan hanya ditutupi.
Kopkamtib berdiri 3 Oktober 1965, setelah G30S/PKI meletus. Pendirian Kopkamtib dilandasi keadaan negara yang sangat itu kacau dan genting. Mayjen Soeharto menjadi Panglima Kopkamtib pertama.
Kedudukannya menjadi lebih kuat setelah Presiden Soekarno memberikan perintah lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966.
Itulah legalitas bagi Soeharto untuk melakukan pembersihan pada orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka yang dianggap simpatisan atau hanya mendukung pun diciduk. Dengan dasar itu pula Soeharto membubarkan PKI dan seluruh organisasi di bawahnya.
Tahun 1965-1970, pembantaian massal terjadi di mana-mana. Tentara, atau ormas yang dibekingi tentara mencari orang-orang komunis. Sebagian ditangkap, sebagian lagi dibantai dengan kejam. Banyak yang menyaksikan kekejaman saat itu sudah tidak masuk akal. Orang-orang dibunuh dengan cara digorok, dipotong-potong atau dipukul pada bagian kepala hingga tewas. Sementara wanita-wanita yang dituduh PKI diperkosa dan mengalami kekerasan seksual.
Setelah berkuasa sebagai presiden, Soeharto tetap mempertahankan Kopkamtib. Banyak pihak yang menyebut jantung orde baru adalah Kopkamtib. Lembaga ini adalah lembaga superpower, tidak bertanggung jawab pada lembaga apapun kecuali Panglima ABRI dan Presiden Soeharto. Sebagaimana diketahui saat itu
Presiden Soeharto lah yang mengontrol ABRI. Soeharto pun bisa langsung memberi perintah pada Pangkopkamtib.
Lembaga ini punya wewenang menangkap, memata-matai, menginterograsi orang yang dicurigai melawan pemerintah. Jika Kopkamtib sudah turun, maka tidak ada lembaga lain yang bisa mencegah. Termasuk Polri dan ABRI. Masih ingat kasus perkosaan Sum Kuning? Kopkamtib mengambil alih penyidikan kasus ini dari kepolisian dan Kapolri Jenderal Hoegeng saat itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Pangkopkamtib selalu dijabat orang dekat Soeharto. Mereka adalah Jenderal Maraden Panggabean (1969- 1973), Jenderal Soemitro (1973-1974), Kemudian Laksamana Soedomo yang menjabat pelaksana tugas tahun 1974-1978. Soedomo kemudian menjadi Pangkopkamtib tahun 1978 hingga 1983.
Pangkopkamtib terakhir adalah Jenderal Benny Moerdani (1983-1988). Pangkopkamtib kemudian dibubarkan dan diganti dengan Bakorstanas.
Bakorstanas atau Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, berbeda dengan Kopkamtib. Tidak seperti Kopkamtib, Bakorstanas hanya mengkoordinasikan lembaga kemanan seperti Polri, BIN, ABRI dan lainnya. Bakorstanas tak punya fungsi komando.
Menurut Benny Moerdani, setelah 23 tahun berdiri, keberadaan Kopkamtib tak lagi dibutuhkan. Keadaan sudah banyak berubah sejak tahun 1965. Masyarakat pun sadar untuk tidak bertentangan pendapat.
Tapi dihapuskannya Kopkamtib bukan berarti rekonsiliasi dan pengusutan kasus pelanggaran HAM bisa terwujud. Kini 2012, 47 tahun setelah peristiwa berdarah itu, kabut masih menyelimuti tragedi 1965. Sama seperti bisikan seorang sumber di Komnas HAM.
"Masih ada yang tidak suka jika kasus ini diungkit-ungkit lagi. Sebagian besar menginginkan biarlah dikubur saja. Ada tekanan-tekanan politik juga," ujarnya kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Maka apakah kematian jutaan orang hanya akan dianggap sebagai takdir? Atau bagian dari gelapnya sejarah Indonesia?
[ian]Bakorstanas atau Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, berbeda dengan Kopkamtib. Tidak seperti Kopkamtib, Bakorstanas hanya mengkoordinasikan lembaga kemanan seperti Polri, BIN, ABRI dan lainnya. Bakorstanas tak punya fungsi komando.
Menurut Benny Moerdani, setelah 23 tahun berdiri, keberadaan Kopkamtib tak lagi dibutuhkan. Keadaan sudah banyak berubah sejak tahun 1965. Masyarakat pun sadar untuk tidak bertentangan pendapat.
Tapi dihapuskannya Kopkamtib bukan berarti rekonsiliasi dan pengusutan kasus pelanggaran HAM bisa terwujud. Kini 2012, 47 tahun setelah peristiwa berdarah itu, kabut masih menyelimuti tragedi 1965. Sama seperti bisikan seorang sumber di Komnas HAM.
"Masih ada yang tidak suka jika kasus ini diungkit-ungkit lagi. Sebagian besar menginginkan biarlah dikubur saja. Ada tekanan-tekanan politik juga," ujarnya kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Maka apakah kematian jutaan orang hanya akan dianggap sebagai takdir? Atau bagian dari gelapnya sejarah Indonesia?
Gerwani, nyanyian sunyi srikandi merah
Senin, 24 September 2012 05:30:00
Reporter: Ramadhian Fadillah
gerwani. ©2012 Merdeka.com
Cerita itu mengalir lancar dari mulut Lestari (81). Tutur katanya santun dan jelas. Tubuh wanita itu sudah agak bungkuk, namun ingatannya masih tajam.
Menyambut kedatangan merdeka.com di Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi, dengan ramah Lestari menghidangkan kue dalam stoples dan air mineral gelas. Kisah yang selama puluhan tahun tabu diceritakan itu pun dimulai.
"Mbah dianggap pemberontak oleh Soeharto. Dianggap mau makar. Padahal seumur hidup mbah tak pernah angkat senjata. Bagaimana bisa makar?" katanya, pekan lalu saat menerima wartawan merdeka.com, Ramadhian Fadillah dan Islahuddin.
Lestari pertama kali bergabung dengan pengurus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saat itu usianya baru 20 tahun. Dia sempat menjadi Ketua Cabang Bojonegoro. Lalu karena dianggap berprestasi, dia kemudian ditarik menjadi pengurus tingkat provinsi di Surabaya, Jawa Timur. Di sinilah dia kemudian menikah dengan Suwandi, Ketua Comite Daerah Besar (CDB) Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lestari muda tentu tak seringkih sekarang. Dulu dia begitu bersemangat memperjuangkan program-program Gerwani. Berbagai program yang menjadi fokus Gerwani saat itu adalah memperjuangkan buruh dan petani, membuat pendidikan politik untuk perempuan, serta memperjuangkan undang-undang perkawinan yang dianggap merugikan perempuan. Gerwani juga sempat membangun taman kanak-kanak yang ada di setiap kecamatan.
"Sambutan dari masyarakat saat itu bagus sekali. Terutama untuk pendidikan dan taman kanak-kanak," katanya mengenang.
Periode 1960an, hubungan PKI dan Gerwani semakin erat. Gerwani mendukung kebijakan politik PKI. PKI pun menyerahkan sisa suaranya di parlemen untuk Gerwani. Karena itu Gerwani punya wakil di DPR. Cap underbouw PKI pun makin melekat pada Gerwani.
"Memang banyak pengurus Gerwani yang juga menjabat di PKI," ujar Lestari.
Tibalah September kelam tahun 1965 itu. Lestari tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba semuanya berubah drastis. Anggota PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, dan semua underbouw PKI diburu. Mereka semua dituduh terlibat pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya.
"Padahal kami tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Suami saya masuk daftar orang yang paling banyak dicari. Dia kan orang PKI nomor satu di Jawa Timur," jelas Lestari.
Lestari lari dari Surabaya. Hidupnya berpindah-pindah untuk menghindari kejaran tentara dan massa anti-PKI. Suasana di Jawa Timur dan Jawa Tengah panas. Lestari ingat saudaranya lurah di Nganjuk, Jawa Timur tewas dibantai tanpa pengadilan. Hanya karena dicap PKI.
Akhirnya para pelarian PKI berkumpul di Blitar Selatan. Di sini, Lestari tinggal selama dua tahun. Dia menggambarkan Blitar saat itu masih sangat terbelakang. Kondisi hutan dan gua di sana dianggap ideal untuk pelarian.
Tentara kemudian menggelar operasi Trisula untuk mengejar pelarian PKI di Blitar Selatan. Operasi gabungan ini berhasil menghabisi dan menangkap para anggota PKI yang tersisa. Lestari dan suaminya tertangkap tahun 1968 saat bersembunyi di dalam gua.
Lestari lalu dibawa ke tahanan wanita di Malang. Dia tidak pernah diadili. Tapi ditahan selama 11 tahun dalam penjara di Malang. Dia baru bebas tahun 1979. Sementara suaminya akhirnya meninggal dunia tahun 1984 di penjara.
Setelah bebas bukan berarti hidup Lestari enak. Sebagai eks tahanan politik, dia ditolak di mana-mana. Apalagi saat itu pemerintahan Soeharto tak begitu saja melupakan dosa lawan politiknya. Ada tanda ET di KTP Lestari dan mantan anggota PKI lain. ET artinya eks-Tapol. Jangan harap dapat pekerjaan layak jika punya KTP bertanda ET ini. Lestari kehilangan anaknya serta keluarganya. Dia sempat hidup berpindah-pindah.
Akhirnya atas jasa suami Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, para eks tapol 1965, dibuatkan sebuah panti jompo. Panti jompo itu dinamakan Panti Waluya Sejati Abadi di Jl Kramat V nomor 1C, Jakarta Pusat. Presiden Abdurrahman Wahid yang meresmikannya tahun 2004. Para mantan tapol ini kini punya rumah. Sekarang ada 11 eks tapol yang tinggal di sana.
Hubungan para eks tapol itu dengan warga sekitar cukup baik. Jika kebetulan Lestari masuk TV, besoknya pasti satu pasar di Kramat Raya heboh.
"Weeeii, si mbah kemarin masuk TV," canda mereka. Lestari hanya tertawa.
Kini Lestari ingin hidup tenang menghabiskan sisa hidupnya. Dia ikhlash menerima penderitaannya selama puluhan tahun disiksa Orde Baru. Tapi dia menolak satu hal.
"Mbah tidak pernah makar," katanya yakin.
Menyambut kedatangan merdeka.com di Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi, dengan ramah Lestari menghidangkan kue dalam stoples dan air mineral gelas. Kisah yang selama puluhan tahun tabu diceritakan itu pun dimulai.
"Mbah dianggap pemberontak oleh Soeharto. Dianggap mau makar. Padahal seumur hidup mbah tak pernah angkat senjata. Bagaimana bisa makar?" katanya, pekan lalu saat menerima wartawan merdeka.com, Ramadhian Fadillah dan Islahuddin.
Lestari pertama kali bergabung dengan pengurus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Saat itu usianya baru 20 tahun. Dia sempat menjadi Ketua Cabang Bojonegoro. Lalu karena dianggap berprestasi, dia kemudian ditarik menjadi pengurus tingkat provinsi di Surabaya, Jawa Timur. Di sinilah dia kemudian menikah dengan Suwandi, Ketua Comite Daerah Besar (CDB) Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lestari muda tentu tak seringkih sekarang. Dulu dia begitu bersemangat memperjuangkan program-program Gerwani. Berbagai program yang menjadi fokus Gerwani saat itu adalah memperjuangkan buruh dan petani, membuat pendidikan politik untuk perempuan, serta memperjuangkan undang-undang perkawinan yang dianggap merugikan perempuan. Gerwani juga sempat membangun taman kanak-kanak yang ada di setiap kecamatan.
"Sambutan dari masyarakat saat itu bagus sekali. Terutama untuk pendidikan dan taman kanak-kanak," katanya mengenang.
Periode 1960an, hubungan PKI dan Gerwani semakin erat. Gerwani mendukung kebijakan politik PKI. PKI pun menyerahkan sisa suaranya di parlemen untuk Gerwani. Karena itu Gerwani punya wakil di DPR. Cap underbouw PKI pun makin melekat pada Gerwani.
"Memang banyak pengurus Gerwani yang juga menjabat di PKI," ujar Lestari.
Tibalah September kelam tahun 1965 itu. Lestari tidak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba semuanya berubah drastis. Anggota PKI, Gerwani, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, dan semua underbouw PKI diburu. Mereka semua dituduh terlibat pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya.
"Padahal kami tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Suami saya masuk daftar orang yang paling banyak dicari. Dia kan orang PKI nomor satu di Jawa Timur," jelas Lestari.
Lestari lari dari Surabaya. Hidupnya berpindah-pindah untuk menghindari kejaran tentara dan massa anti-PKI. Suasana di Jawa Timur dan Jawa Tengah panas. Lestari ingat saudaranya lurah di Nganjuk, Jawa Timur tewas dibantai tanpa pengadilan. Hanya karena dicap PKI.
Akhirnya para pelarian PKI berkumpul di Blitar Selatan. Di sini, Lestari tinggal selama dua tahun. Dia menggambarkan Blitar saat itu masih sangat terbelakang. Kondisi hutan dan gua di sana dianggap ideal untuk pelarian.
Tentara kemudian menggelar operasi Trisula untuk mengejar pelarian PKI di Blitar Selatan. Operasi gabungan ini berhasil menghabisi dan menangkap para anggota PKI yang tersisa. Lestari dan suaminya tertangkap tahun 1968 saat bersembunyi di dalam gua.
Lestari lalu dibawa ke tahanan wanita di Malang. Dia tidak pernah diadili. Tapi ditahan selama 11 tahun dalam penjara di Malang. Dia baru bebas tahun 1979. Sementara suaminya akhirnya meninggal dunia tahun 1984 di penjara.
Setelah bebas bukan berarti hidup Lestari enak. Sebagai eks tahanan politik, dia ditolak di mana-mana. Apalagi saat itu pemerintahan Soeharto tak begitu saja melupakan dosa lawan politiknya. Ada tanda ET di KTP Lestari dan mantan anggota PKI lain. ET artinya eks-Tapol. Jangan harap dapat pekerjaan layak jika punya KTP bertanda ET ini. Lestari kehilangan anaknya serta keluarganya. Dia sempat hidup berpindah-pindah.
Akhirnya atas jasa suami Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, para eks tapol 1965, dibuatkan sebuah panti jompo. Panti jompo itu dinamakan Panti Waluya Sejati Abadi di Jl Kramat V nomor 1C, Jakarta Pusat. Presiden Abdurrahman Wahid yang meresmikannya tahun 2004. Para mantan tapol ini kini punya rumah. Sekarang ada 11 eks tapol yang tinggal di sana.
Hubungan para eks tapol itu dengan warga sekitar cukup baik. Jika kebetulan Lestari masuk TV, besoknya pasti satu pasar di Kramat Raya heboh.
"Weeeii, si mbah kemarin masuk TV," canda mereka. Lestari hanya tertawa.
Kini Lestari ingin hidup tenang menghabiskan sisa hidupnya. Dia ikhlash menerima penderitaannya selama puluhan tahun disiksa Orde Baru. Tapi dia menolak satu hal.
"Mbah tidak pernah makar," katanya yakin.
Gerwani dan propaganda tari harum bunga yang erotis
Senin, 24 September 2012 06:30:00
Reporter: Ramadhian Fadillah
Gerwani. ©2012 Merdeka.com
Wanita-wanita itu menari setengah telanjang di depan para jenderal. Sementara para komunis pria menyiksa para jenderal, para wanita menyayat kemaluan para pimpinan TNI AD. Malam kelam 1 Oktober itu pun dihabiskan dengan pesta seks.
Itulah propaganda Orde Baru soal Gerwani. Pemerintahan Soeharto menyebut mereka adalah penyiksa para jenderal dan pelaku seks bebas. Untuk mengabadikan itu, Soeharto membuat relief di Monumen Lubang Buaya. Gambar wanita-wanita yang menari dengan berkalung bunga. Karena itu tarian ini dinamakan tarian Harum Bunga.
Gencarnya propaganda Soeharto membuat masyarakat anti-Partai Komunis Indonesia (PKI) murka luar biasa. Mereka kemudian melakukan aksi balasan bagi para anggota PKI dan organisasi underbouwnya, termasuk Gerwani.
Itulah propaganda Orde Baru soal Gerwani. Pemerintahan Soeharto menyebut mereka adalah penyiksa para jenderal dan pelaku seks bebas. Untuk mengabadikan itu, Soeharto membuat relief di Monumen Lubang Buaya. Gambar wanita-wanita yang menari dengan berkalung bunga. Karena itu tarian ini dinamakan tarian Harum Bunga.
Gencarnya propaganda Soeharto membuat masyarakat anti-Partai Komunis Indonesia (PKI) murka luar biasa. Mereka kemudian melakukan aksi balasan bagi para anggota PKI dan organisasi underbouwnya, termasuk Gerwani.
Ratusan ribu anggota PKI dibantai dengan kejam. Begitu pula dengan anggota Gerwani, yang diperkosa dan terus mengalami kekerasan seksual. Tentara dan masyarakat merasa apa yang mereka lakukan sah untuk membalas dendam karena menganggap PKI dan Gerwani juga memperkosa jenderal-jenderal.
"Ibu Puji, Ketua Gerwani Kotapraja Surabaya itu ditangkap. Sengaja diberikan pada hansip untuk diperkosa. Dia diperkosa tujuh orang sekaligus," ujar Lestari (81), salah satu pengurus Gerwani Jawa Timur saat berbincang dengan merdeka.com, pekan lalu di Panti Waluya Sejati Abadi, Jakarta.
Dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi '65 terbitan Galang Press Yogyakarta, Yanti, salah seorang tahanan politik menceritakan kisahnya. Yanti mengaku disiksa dan diperkosa agar mau mengaku telah menari Harum Bunga dan bermain seks bersama para jenderal dan anggota PKI di Lubang Buaya. Padahal dia sama sekali tidak melakukan hal itu.
Ucapan Yanti itu lalu dimuat di koran-koran. Beberapa waktu kemudian, terbit juga berita di Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha kalau anggota Gerwani dan PKI yang cantik-cantik sengaja melacur untuk membiayai partai. Makin hancurlah citra Gerwani di mata masyarakat.
Ribuan anggota Gerwani lalu diperkosa dan dibunuh. Para eksekutor belum puas jika tidak merusak kemaluan anggota Gerwani. Kadang mereka dimutilasi dan potongan tubuhnya sengaja dipamerkan. Tak tergambar kesadisan saat itu.
Sri Sulistyowati (72), seorang wartawan yang pernah menjadi pengurus Gerwani DKI Jakarta membantah semua propaganda itu. Sri menyebut anggota Gerwani bukanlah pelacur, tetapi wanita yang berpendidikan. Ada yang menjadi guru, dosen, dokter, bidan dan berbagai profesi lainnya. Dia tidak mengerti dari mana semua tuduhan Orde Baru itu berasal.
"Kami jelas marah. Disebut-sebut menyayat-nyayat kemaluan para jenderal. Itu semua tidak benar," kata Sri kepada merdeka.com.
Tapi bantahan Sri dan Lestari, dan ribuan anggota Gerwani lain tak terdengar puluhan tahun. Tersembunyi dari tebal tembok rumah tahanan. Pedih dan pilu.
[ian]"Ibu Puji, Ketua Gerwani Kotapraja Surabaya itu ditangkap. Sengaja diberikan pada hansip untuk diperkosa. Dia diperkosa tujuh orang sekaligus," ujar Lestari (81), salah satu pengurus Gerwani Jawa Timur saat berbincang dengan merdeka.com, pekan lalu di Panti Waluya Sejati Abadi, Jakarta.
Dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi '65 terbitan Galang Press Yogyakarta, Yanti, salah seorang tahanan politik menceritakan kisahnya. Yanti mengaku disiksa dan diperkosa agar mau mengaku telah menari Harum Bunga dan bermain seks bersama para jenderal dan anggota PKI di Lubang Buaya. Padahal dia sama sekali tidak melakukan hal itu.
Ucapan Yanti itu lalu dimuat di koran-koran. Beberapa waktu kemudian, terbit juga berita di Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha kalau anggota Gerwani dan PKI yang cantik-cantik sengaja melacur untuk membiayai partai. Makin hancurlah citra Gerwani di mata masyarakat.
Ribuan anggota Gerwani lalu diperkosa dan dibunuh. Para eksekutor belum puas jika tidak merusak kemaluan anggota Gerwani. Kadang mereka dimutilasi dan potongan tubuhnya sengaja dipamerkan. Tak tergambar kesadisan saat itu.
Sri Sulistyowati (72), seorang wartawan yang pernah menjadi pengurus Gerwani DKI Jakarta membantah semua propaganda itu. Sri menyebut anggota Gerwani bukanlah pelacur, tetapi wanita yang berpendidikan. Ada yang menjadi guru, dosen, dokter, bidan dan berbagai profesi lainnya. Dia tidak mengerti dari mana semua tuduhan Orde Baru itu berasal.
"Kami jelas marah. Disebut-sebut menyayat-nyayat kemaluan para jenderal. Itu semua tidak benar," kata Sri kepada merdeka.com.
Tapi bantahan Sri dan Lestari, dan ribuan anggota Gerwani lain tak terdengar puluhan tahun. Tersembunyi dari tebal tembok rumah tahanan. Pedih dan pilu.
Komnas HAM serahkan penyelidikan tragedi 65 ke Kejagung
Senin, 23 Juli 2012 16:11:31
Reporter: Muhammad Mirza Harera
Komnas HAM. ©2012 Merdeka.com/dok
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah melakukan penyelidikan terhadap kasus kejahatan kemanusiaan 1965. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan sejak tahun 2008, Komnas HAM berhasil menemukan adanya bukti awal kejahatan terhadap kemanusiaan.
"Setelah melakukan penyelidikan atas temuan, analisis, dan pertemuan dengan para korban, kami menemukan bukti awal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965 seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran secara paksa, penghilangan orang dan lainnya," kata Ketua tim penyelidik kasus 65, Nur Cholis saat jumpa pers di Komnas HAM, Senin (23/7).
Menurutnya, serangan yang dilakukan aparat diperintahkan saat pemerintahan Soeharto terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan di berbagai titik di seluruh Indonesia. Unsur untuk memenuhi pelanggaran HAM berat pun sudah ada yaitu pola dari serangkaian kejahatan ini sama meskipun berbeda wilayah.
"Meluas dan sistematis, seperti yang diterangkan dalam Undang-undang nomor 26 Tahun 2000. Kasus ini sudah memenuhi unsur meluas dan sistematis karena kejadian ini terjadi dibanyak tempat dan menunjukkan ada pola yang sama," ujarnya.
Komnas HAM pun sudah mengantongi beberapa nama yang bisa dimintai pertanggungjawabannya atas tragedi 1965 itu. Yakni Lembaga Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) tahun 1965 berada langsung di bawah komando Soeharto. Namun, Komnas HAM belum bisa menyebutkan nama itu satu per satu karena sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.
"Kami tidak bisa menyebutkan nama, karena nama-nama ini akan kami serahkan ke Kejaksaan Agung," imbuhnya.
Seperti diketahui pada tahun 1965-1966 telah terjadi serangkaian operasi militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) serta simpatisannya. Dalam operasi ini banyak korban berjatuhan dari di Indonesia. Korban yang masih hidup pun diasingkan ke pulau buruh.
"Setelah melakukan penyelidikan atas temuan, analisis, dan pertemuan dengan para korban, kami menemukan bukti awal adanya kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1965 seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran secara paksa, penghilangan orang dan lainnya," kata Ketua tim penyelidik kasus 65, Nur Cholis saat jumpa pers di Komnas HAM, Senin (23/7).
Menurutnya, serangan yang dilakukan aparat diperintahkan saat pemerintahan Soeharto terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan di berbagai titik di seluruh Indonesia. Unsur untuk memenuhi pelanggaran HAM berat pun sudah ada yaitu pola dari serangkaian kejahatan ini sama meskipun berbeda wilayah.
"Meluas dan sistematis, seperti yang diterangkan dalam Undang-undang nomor 26 Tahun 2000. Kasus ini sudah memenuhi unsur meluas dan sistematis karena kejadian ini terjadi dibanyak tempat dan menunjukkan ada pola yang sama," ujarnya.
Komnas HAM pun sudah mengantongi beberapa nama yang bisa dimintai pertanggungjawabannya atas tragedi 1965 itu. Yakni Lembaga Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) tahun 1965 berada langsung di bawah komando Soeharto. Namun, Komnas HAM belum bisa menyebutkan nama itu satu per satu karena sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.
"Kami tidak bisa menyebutkan nama, karena nama-nama ini akan kami serahkan ke Kejaksaan Agung," imbuhnya.
Seperti diketahui pada tahun 1965-1966 telah terjadi serangkaian operasi militer yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) serta simpatisannya. Dalam operasi ini banyak korban berjatuhan dari di Indonesia. Korban yang masih hidup pun diasingkan ke pulau buruh.
Priyo: Tragedi 1965 biarlah menjadi sejarah abu-abu
Rabu, 25 Juli 2012 03:18:00
Reporter: Muhammad Sholeh
Priyo Budi Santoso. ©2012 Merdeka.com
Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso meminta semua pihak untuk tidak kembali membuka sejarah kabut tebal tragedi kemanusiaan tahun 1965. Menurutnya, membuka-buka kembali luka lama pada tahun 1965 itu merupakan pekerjaan kurang terpuji.
"Membuka-buka kembali luka lama pada tahun 1965 itu pekerjaan kurang terpuji. Konsentrasi saja ada perbaikan atau tidak tentang perlakuan HAM di era reformasi. Biarlah yang 1965 itu menjadi sejarah abu-abu," kata Priyo kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurutnya, jika masyarakat atau pihak-pihak tertentu terus berusaha untuk mengungkit tragedi tersebut, malah akan semakin membangkitkan kembali sentimen masyarakat antara umat muslim dengan simpatisan PKI.
"Kalau membuka luka lama malah gak selesai-selesai. Nanti bisa-bisa jaman Ken Arok dan Mpu Gandring diperiksa juga," ujarnya.
Akan menjadi lebih baik, lanjut Priyo, jika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar fokus terhadap kasus-kasus HAM pada periode pasca reformasi saja.
"Konsentrasi saja ada perbaikan atau tidak tentang perlakuan HAM di era reformasi. Sejak reformasi lah, Komnas HAM saya mohon untuk fokus di sana. Lebih baik kita melihat ke depan. Biarkan itu menjadi bagian dari sejarah kita. Dan itu tidak boleh terjadi lagi dengan atas nama apapun," jelasnya.
[bal]"Membuka-buka kembali luka lama pada tahun 1965 itu pekerjaan kurang terpuji. Konsentrasi saja ada perbaikan atau tidak tentang perlakuan HAM di era reformasi. Biarlah yang 1965 itu menjadi sejarah abu-abu," kata Priyo kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurutnya, jika masyarakat atau pihak-pihak tertentu terus berusaha untuk mengungkit tragedi tersebut, malah akan semakin membangkitkan kembali sentimen masyarakat antara umat muslim dengan simpatisan PKI.
"Kalau membuka luka lama malah gak selesai-selesai. Nanti bisa-bisa jaman Ken Arok dan Mpu Gandring diperiksa juga," ujarnya.
Akan menjadi lebih baik, lanjut Priyo, jika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar fokus terhadap kasus-kasus HAM pada periode pasca reformasi saja.
"Konsentrasi saja ada perbaikan atau tidak tentang perlakuan HAM di era reformasi. Sejak reformasi lah, Komnas HAM saya mohon untuk fokus di sana. Lebih baik kita melihat ke depan. Biarkan itu menjadi bagian dari sejarah kita. Dan itu tidak boleh terjadi lagi dengan atas nama apapun," jelasnya.
KOMENTAR:Selama Pemerintah bersikap KONTRA REVOLUSIONER kasus diatas tidak akan terbongkar karena ini menyangkut Pengkhianatan Sistematis terhadap bangsa Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar