Senin, 3 September 2012 07:00:00
Polemik The Act of Killing (1)
Mengail kontroversi lewat PKI
Anwar Congo, pemeran utama film The Act of Killing di rumahnya, Medan, Sumatera Utara, Rabu (29/8). (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)
Reporter: Faisal Assegaf
Dari tema diambil, The Act of Killing, jelas bisa memantik kontroversi di dalam negeri dan masyarakat internasional. Tidak seperti film-film bertema peristiwa 1965 lain, dokumenter karya Joshua Lincoln Oppenheimer ini memotret peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama etnis Tionghoa dari sudut pelaku.
Cuplikan film sudah beredar di Internet sejak Selasa pekan lalu ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi musuh negara itu. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan. Ditambah lagi muncul dua tokoh, yakni mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno.
Hingga berita ini dilansir, kedua pemuka masyarakat itu belum bisa dimintai komentar soal tampilnya mereka dalam film itu. Kalla yang kini memimpin Palang Merah Indonesia tidak bisa ditemui di kantornya. Orang dekatnya juga tidak dapat dihubungi. Telepon seluler Japto juga tidak aktif. Ketika dihubungi rumahnya, disebutkan dia sedang ke luar kota.
Ketua KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Haris Azhar memastikan film ini bakal menghebohkan hingga dunia internasional. Bukan lantaran temanya saja, namun film ini juga memotret langsung pelaku lapangan dari organisasi yang sampai saat ini masih berpengaruh. "Film ini akan makin menunjukkan apa sebenarnya terjadi pada pembantaian 1965," katanya saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya Jumat pekan lalu.
Komentar serupa juga meluncur dari lisan sejarawan Asvi Warman Adam. Dia menegaskan The Act of Killing bakal makin menguatkan bukti perlunya pembentukan pengadilan hak asasi adhoc buat kasus 1965, seperti rekomendasi dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Juli lalu.
Dia yakin film ini bakal mengubah pandangan Barat dalam konteks Perang Dingin terhadap peristiwa 1965. "Selama ini masyarakat Barat mengakui (pembantaian PKI) itu jahat tapi perlu dilakukan," ujar Asvi saat dihubungi secara terpisah.
Film sepanjang 115 menit ini dipuji sejumlah kalangan. "Saya belum pernah melihat satu film berpengaruh dan menakutkan (seperti The Act of Killing) dalam satu dekade terakhir," kata Werner Herzog (aktor, sutradara, dan produser asal Jerman), seperti dikutip dari situs theactofkilling.com. "The Act of Killing sangat mengejutkan dalam sejarah film."
Errol Mark Morris menilai The Act of Killing sebagai potret luar biasa dari pembantaian massal. "Sebuah film menakjubkan dan mengesankan," kata sutradara dari Amerika Serikat ini. Surat kabar the Guardian sembilan tahun lalu menempatkan lelaki 64 tahun ini pada peringkat ketujuh dalam daftar 40 sutradar terbaik sejagat.
Bukan sekadar cerita dan tokohnya yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik. Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun identitas mereka disembunyikan. Ini termasuk satu dari tiga sutradara selain Oppenheimer dan Christine Cynn.
Sutradara ini mengaku mantan mahasiswa ikut demonstrasi anti-Soeharto pada 1998. "Saya harus tetap menyembunyikan identitas saya karena kondisi politik Indonesia saat ini masih terlalu berbahaya jika saya membuka diri," ujarnya. Oppenheimer berhasil meminta Anwar dan rekan-rekannya membuat film tentang pengalaman mereka masa muda yang menggemari film-film koboi, termasuk saat mereka membasmi PKI. Alhasil, film diberi judul Arsan dan Aminah itu menjadi bagian dari The Act of Killing.
Ironisnya, Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan Aminah, bukan The Act of Killing yang Sabtu pekan ini diputar di Festival Film Internasional Toronto, Kanada.
Cuplikan film sudah beredar di Internet sejak Selasa pekan lalu ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi musuh negara itu. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan. Ditambah lagi muncul dua tokoh, yakni mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Ketua Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila Japto Soerjosoemarno.
Hingga berita ini dilansir, kedua pemuka masyarakat itu belum bisa dimintai komentar soal tampilnya mereka dalam film itu. Kalla yang kini memimpin Palang Merah Indonesia tidak bisa ditemui di kantornya. Orang dekatnya juga tidak dapat dihubungi. Telepon seluler Japto juga tidak aktif. Ketika dihubungi rumahnya, disebutkan dia sedang ke luar kota.
Ketua KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Haris Azhar memastikan film ini bakal menghebohkan hingga dunia internasional. Bukan lantaran temanya saja, namun film ini juga memotret langsung pelaku lapangan dari organisasi yang sampai saat ini masih berpengaruh. "Film ini akan makin menunjukkan apa sebenarnya terjadi pada pembantaian 1965," katanya saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya Jumat pekan lalu.
Komentar serupa juga meluncur dari lisan sejarawan Asvi Warman Adam. Dia menegaskan The Act of Killing bakal makin menguatkan bukti perlunya pembentukan pengadilan hak asasi adhoc buat kasus 1965, seperti rekomendasi dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Juli lalu.
Dia yakin film ini bakal mengubah pandangan Barat dalam konteks Perang Dingin terhadap peristiwa 1965. "Selama ini masyarakat Barat mengakui (pembantaian PKI) itu jahat tapi perlu dilakukan," ujar Asvi saat dihubungi secara terpisah.
Film sepanjang 115 menit ini dipuji sejumlah kalangan. "Saya belum pernah melihat satu film berpengaruh dan menakutkan (seperti The Act of Killing) dalam satu dekade terakhir," kata Werner Herzog (aktor, sutradara, dan produser asal Jerman), seperti dikutip dari situs theactofkilling.com. "The Act of Killing sangat mengejutkan dalam sejarah film."
Errol Mark Morris menilai The Act of Killing sebagai potret luar biasa dari pembantaian massal. "Sebuah film menakjubkan dan mengesankan," kata sutradara dari Amerika Serikat ini. Surat kabar the Guardian sembilan tahun lalu menempatkan lelaki 64 tahun ini pada peringkat ketujuh dalam daftar 40 sutradar terbaik sejagat.
Bukan sekadar cerita dan tokohnya yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik. Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun identitas mereka disembunyikan. Ini termasuk satu dari tiga sutradara selain Oppenheimer dan Christine Cynn.
Sutradara ini mengaku mantan mahasiswa ikut demonstrasi anti-Soeharto pada 1998. "Saya harus tetap menyembunyikan identitas saya karena kondisi politik Indonesia saat ini masih terlalu berbahaya jika saya membuka diri," ujarnya. Oppenheimer berhasil meminta Anwar dan rekan-rekannya membuat film tentang pengalaman mereka masa muda yang menggemari film-film koboi, termasuk saat mereka membasmi PKI. Alhasil, film diberi judul Arsan dan Aminah itu menjadi bagian dari The Act of Killing.
Ironisnya, Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan Aminah, bukan The Act of Killing yang Sabtu pekan ini diputar di Festival Film Internasional Toronto, Kanada.
[fas]
Senin, 3 September 2012 07:32:00Polemik The Act of Killing (2)
Tertipu sang sutradara
Adegan The Act of Killing. (theactofkilling.com)
Empat tahun lalu, datang seorang bule ke Kota Medan, Sumatera Utara. Dia mencari narasumber untuk membuat film dokumenter soal pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia dan etnis Tionghoa di provinsi itu hampir setengah abad lalu.
Setelah bertanya ke sana kemari, lelaki kelahiran Austin, Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, bernama Joshua Lincoln Oppenheimer ini mendapat arahan buat menemui Anwar Congo. Dia bersama rekan-rekannya dari sebuah organisasi pemuda pada 1965 ikut membasmi ribuan anggota PKI dan warga keturunan China di seantero Sumatera Utara. "Saya waktu itu orang lapangan dan selalu hadir dalam tiap acara organisasi," kata Anwar saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Rabu pekan lalu.
Kepada Anwar, Oppenheimer fasih berbahasa Indonesia, menyatakan ingin membuat film mengenai pengalaman pria yang kini 72 tahun ini saat membantai anggota dan simpatisan organisasi terlarang itu. Oppenheimer mengaku film itu bagian dari disertasinya.
Oppenheimer pernah berkuliah di jurusan film di Universitas Harvard, Massachusetts, Amerika. Dia menyelesaikan program doktornya di bidang seni di Central Santi Martins College of the Art and Design, University of the Art London.
Anwar antusias mendengar hal itu dan dia langsung menyetujui rencana pembuatan film mengenai pembantaian itu. Apalagi, dia menjadi tokoh utama dalam film berjudul The Act of Killing itu. "Tidak pernah ada yang bikin sejarah kehidupan saya. Tentu ada kebanggaan. Makanya saya bercerita spontan dan blak-blakan saja," ujar pria mengaku lulusan kelas 4 SD ini.
Menurut Anwar, syuting berlangsung sekitar dua tahun mulai 2008. Selama itu pula, Oppenheimer bersama Anwar menjelajahi sejumlah lokasi pembantaian di Sumatera Utara, seperti Labuan Batu, Tanah Karo, dan Langkat.
Tiga bulan lalu, seingat dia, Oppenheimer datang menyodorkan surat perjanjian dalam bahasa Inggris. Tentu saja, Anwar tidak memahami isinya. Dia hanya meneken setelah Oppenheimer bilang mereka tidak ada lagi ikatan setelah pembuatan film selesai. "Saya merasa kalau saya dirugikan saya tidak bisa menuntut."
Dia mengaku sudah mewanti-wanti agar film itu diputar setelah dia meninggal. Ternyata, Openheimer pekan lalu menghubungi Anwar dan memberitahukan dokumenter soal pembantaian PKI itu bakal diputar dalam Festival Film Internasional Toronto. The Act of Killing mendapat jadwal pemutaran pada 8, 10, dan 16 September.
"Saya merasa tertipu. Ini memang kekeliruan saya. Film ini bisa saja berdampak buruk buat saya," ujar Anwar. Dia menegaskan hingga kini Oppenheimer tidak bisa dihubungi.
Merasa tertipu juga dialami Adi Zulkadry yang terlibat dalam film itu. "Saya merasa ditipu karena film itu dikomersialkan. Dia dapat untung, saya nggak dapat apa-apa," ujarnya saat dihubungi secara terpisah Kamis pekan lalu.
Seperti kepada Anwar, Oppenheimer juga mengaku terhadap Adi, film itu dibuat untuk menyelesaikan disertasi. Dia menyatakan senang mau membantu pembuatan film itu karena ingin kebenaran sejarah Indonesia diketahui dunia.
Adi mengakui ketika pembantaian PKI, dia termasuk pimpinan sebuah organisasi pemuda di Sumatera Utara. Dia menyatakan ikut pula membantai. "Saya tidak ingat karena itu pembantaian massal dan tidak dikerjakan sendiri-sendiri," ujarnya saat ditanya berapa orang dia bantai saat itu.
Namun dia menegaskan tidak menyesali keterlibatannya dalam pembantaian itu. "Ini bukan kemauan saya pribadi, ini kemauan sejarah," katanya. Menurut dia, pemerintah seharusnya bertanggung jawab memulihkan nama baik dan memberi ganti rugi kepada keluarga korban.
Ada kesan Oppenheimer - hingga tulisan ini dilansir belum bisa dimintai komentar - mengakui telah menipu kedua orang itu, terutama Anwar. "Dia mungkin suka atau tidak suka terhadap hasil akhir film," tulis dia dalam situs theactofkilling.com. Namun, dia memuji keberanian Anwar berbicara blak-blakan soal keterlibatannya dalam pembasmian PKI.
Setelah bertanya ke sana kemari, lelaki kelahiran Austin, Negara Bagian Texas, Amerika Serikat, bernama Joshua Lincoln Oppenheimer ini mendapat arahan buat menemui Anwar Congo. Dia bersama rekan-rekannya dari sebuah organisasi pemuda pada 1965 ikut membasmi ribuan anggota PKI dan warga keturunan China di seantero Sumatera Utara. "Saya waktu itu orang lapangan dan selalu hadir dalam tiap acara organisasi," kata Anwar saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Rabu pekan lalu.
Kepada Anwar, Oppenheimer fasih berbahasa Indonesia, menyatakan ingin membuat film mengenai pengalaman pria yang kini 72 tahun ini saat membantai anggota dan simpatisan organisasi terlarang itu. Oppenheimer mengaku film itu bagian dari disertasinya.
Oppenheimer pernah berkuliah di jurusan film di Universitas Harvard, Massachusetts, Amerika. Dia menyelesaikan program doktornya di bidang seni di Central Santi Martins College of the Art and Design, University of the Art London.
Anwar antusias mendengar hal itu dan dia langsung menyetujui rencana pembuatan film mengenai pembantaian itu. Apalagi, dia menjadi tokoh utama dalam film berjudul The Act of Killing itu. "Tidak pernah ada yang bikin sejarah kehidupan saya. Tentu ada kebanggaan. Makanya saya bercerita spontan dan blak-blakan saja," ujar pria mengaku lulusan kelas 4 SD ini.
Menurut Anwar, syuting berlangsung sekitar dua tahun mulai 2008. Selama itu pula, Oppenheimer bersama Anwar menjelajahi sejumlah lokasi pembantaian di Sumatera Utara, seperti Labuan Batu, Tanah Karo, dan Langkat.
Tiga bulan lalu, seingat dia, Oppenheimer datang menyodorkan surat perjanjian dalam bahasa Inggris. Tentu saja, Anwar tidak memahami isinya. Dia hanya meneken setelah Oppenheimer bilang mereka tidak ada lagi ikatan setelah pembuatan film selesai. "Saya merasa kalau saya dirugikan saya tidak bisa menuntut."
Dia mengaku sudah mewanti-wanti agar film itu diputar setelah dia meninggal. Ternyata, Openheimer pekan lalu menghubungi Anwar dan memberitahukan dokumenter soal pembantaian PKI itu bakal diputar dalam Festival Film Internasional Toronto. The Act of Killing mendapat jadwal pemutaran pada 8, 10, dan 16 September.
"Saya merasa tertipu. Ini memang kekeliruan saya. Film ini bisa saja berdampak buruk buat saya," ujar Anwar. Dia menegaskan hingga kini Oppenheimer tidak bisa dihubungi.
Merasa tertipu juga dialami Adi Zulkadry yang terlibat dalam film itu. "Saya merasa ditipu karena film itu dikomersialkan. Dia dapat untung, saya nggak dapat apa-apa," ujarnya saat dihubungi secara terpisah Kamis pekan lalu.
Seperti kepada Anwar, Oppenheimer juga mengaku terhadap Adi, film itu dibuat untuk menyelesaikan disertasi. Dia menyatakan senang mau membantu pembuatan film itu karena ingin kebenaran sejarah Indonesia diketahui dunia.
Adi mengakui ketika pembantaian PKI, dia termasuk pimpinan sebuah organisasi pemuda di Sumatera Utara. Dia menyatakan ikut pula membantai. "Saya tidak ingat karena itu pembantaian massal dan tidak dikerjakan sendiri-sendiri," ujarnya saat ditanya berapa orang dia bantai saat itu.
Namun dia menegaskan tidak menyesali keterlibatannya dalam pembantaian itu. "Ini bukan kemauan saya pribadi, ini kemauan sejarah," katanya. Menurut dia, pemerintah seharusnya bertanggung jawab memulihkan nama baik dan memberi ganti rugi kepada keluarga korban.
Ada kesan Oppenheimer - hingga tulisan ini dilansir belum bisa dimintai komentar - mengakui telah menipu kedua orang itu, terutama Anwar. "Dia mungkin suka atau tidak suka terhadap hasil akhir film," tulis dia dalam situs theactofkilling.com. Namun, dia memuji keberanian Anwar berbicara blak-blakan soal keterlibatannya dalam pembasmian PKI.
[fas]
Senin, 3 September 2012 08:00:00Polemik The Act of Killing (3)
Bertemu sang pemeran utama
Anwar Congo, pemeran utama The Act of Killing. (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)
Nama Anwar Congo tiba-tiba menjadi perhatian dengan munculnya film The Act of Killing karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer. Dia narasumber dan pemeran utama film dokumenter bercerita tentang pembunuhan massal selepas peristiwa 30 September 1965.
Tak sulit mencari rumah Anwar Congo di Medan, Sumatera Utara. Datang saja ke kawasan Medan Area, kemudian tanyakan namanya. Orang-orang setempat umumnya kenal dengan tokoh organisasi pemuda ini. Mereka akan langsung menunjuk ke arah rumah berpagar putih di Jalan Sutrisno Gang Sehati nomor 768 itu.
Anwar - berkemeja lengan panjang warna krem - langsung mempersilakan merdeka.com masuk, Rabu pekan lalu. Di dalam teras tertutup itu terlihat berbagai ornamen, termasuk foto burung bangau, anak panah dengan tatakan bertulisan 'Apache', dan cenderamata dari Panglima Komando Daerah Militer I Bukit Barisan serta Persija Jakarta.
Juga terpampang poster film Arsan dan Aminah dibintangi Anwar Congo dan rekan-rekannya. Anwar berperan sebagai koboi. “Memang sutradaranya orang TVRI, tapi Joshua (Oppenheimer) juga ikut pegang kamera di film ini. Kisahnya tentang saya bercinta dengan anak PKI. Ayahnya saya bunuh. Di ujung cerita anaknya juga mati karena dia Gerwani,” cerita Anwar sambil menunjuk dua poster berhadapan di ruangan itu.
Patung putih berbentuk kepala Anwar pun tampak di teras itu. Benda itu lebih menonjol ketimbang kolam sederhana berisi ikan koi. Tiruan kepala Anwar itu ternyata bagian dari properti The Act of Killing. “Sebelumnya ada tujuh patung, satu pecah. Belakangan lima dihancurkan, aku minta satu buat kenang-kenangan,” ujarnya.
Setelah menyalakan rokok kretek, Anwar kemudian berbicara tentang apa yang dia ceritakan kepada sutradara Joshua Lincoln Oppenheimer. Pria 72 tahun ini berkisah hanya bersekolah hingga kelas IV SD Taman Siswa, Medan. Dalam perkembangannya, Anwar muda menjadi preman. Lelaki dengan rajah naga besar di perut hingga dada ini mengaku pernah menjadi petinju di Pangkalan Brandan, Langkat, juga atlet bowling di Medan. Untuk olahraga terakhir, dia bahkan sempat bertanding di Malaysia pada 1960-an.
Semasa muda, Anwar biasa mangkal di Medan Bioskop - sekarang menjadi ruko - di Jalan Sutomo, Medan. Selain menjual tiket secara ilegal, dia memasukkan penonton ke dalam bioskop tanpa tiket. Karena terlalu sering menyelundupkan penonton ke bioskop, Anwar akhirnya dijadikan karyawan bagian pengamanan di tempat sangat popular ketika itu.
Di masa yang sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin membesar, termasuk di Medan. Anwar menuding partai ini dan organisasi binaannya sering merasa lebih kuat dan kerap berseberangan dengan partai dan kelompok lain. Menyikapi hegemoni ini, partai saingan PKI merekrut para pemuda, termasuk Anwar dari kalangan preman, untuk memperkuat barisan massanya. “Sebenarnya tidak ada yang merekrut secara resmi. Kami bergabung karena emosi,” ujarnya sambil menyilangkan tangan kanan di dada kiri.
Anwar mengklaim mereka paling militan dalam kelompok aksi anti-PKI. “Kami sering berhadapan dengan Pemuda Rakyat, organisasi binaan PKI. Bahkan kami pernah berkelahi di Lapangan Merdeka pas acara Hari Kemerdekaan. Waktu itu mereka baris di sana, kami juga baris di sana,” ujar Anwar.
Kebencian kelompok-kelompok pemuda ini terhadap PKI dan binaannya semakin memuncak setelah peristiwa 30 September 1965. “Mereka mau membunuh Jenderal A.H. Nasution, pendiri kami. Kami semakin emosi. Apalagi selama ini orang-orang PKI sering menuding kami perampok kota dan tidak berpendidikan,” dia menegaskan.
Kelompok pemuda lalu gencar menyerang kelompok PKI. Mereka terpusat di posko Jalan Sutomo. “(Lokasinya) pas di depan Pekong Lima,” ujar Anwar. Dalam penyerangan kemudian diikuti pembantaian para pengikut PKI itu, salah satu sasaran kelompok Anwar adalah kawasan Kampung Kolam, Tembung. “Kadang ada perlawanan, dua kawan kita dibunuh mereka di Kampung Kolam, dibenamkan ke dalam parit, kita semakin emosi,” ujarnya.
Kelompok Anwar juga mengejar para pendukung PKI yang lari. Mereka biasanya menggunakan mobil direbut dari Universitas Res Publica (Uresca), sekarang menjadi SMA Negeri 8, Jalan Sampali, Medan. Simpatisan PKI tertangkap kemudian diinterogasi di markas komando aksi di Jalan Sutomo. Jika terlibat, langsung dihabisi dan biasanya eksekusi berlangsung pada malam.
Dalam sinopsis film dibuat Oppenheimer, Anwar menyatakan lebih suka menggunakan kawat untuk menjerat leher pendukung komunisme. “Bukan karena suka, tapi biar tidak merepotkan. Kalau pakai senjata lain bikin susah membersihkan lagi,” ucapnya.
Kelompok aksi tidak memandang etnis dalam pembantaian ini. Warga Tionghoa dibunuh adalah yang terlibat dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), dinilai mendukung PKI. “Nggak semua. Kita juga ada kawan orang China membantu pendanaan,” ujarnya.
Pria hobi memancing ini mengatakan pembantaian itu merupakan cara ampuh membasmi komunisme dari Indonesia. Itu pula dikatakan Oppenheimer saat mewawancarai dia. Sang sutradara membandingkan sulitnya menghapus komunis di Kamboja, padahal penduduknya hanya sekitar 20 juta jiwa. “Makanya dia katanya mau buat film tentang keberhasilan itu. Dia buat dua film, katanya satu fiksi, satu dokumenter. Joshua ini tidak suka dibohongi, orangnya pintar, makanya saya ceritakan semua,” kata Anwar.
Sepengetahuan Anwar, pengambilan gambar The Act of Killing berlangsung sekitar dua tahun, mulai 2008. Dalam situs theactofkilling.com, Joshua menyatakan memulai pembuatan film itu sejak Februari 2004. Anwar mendengar sudah 640 kaset dihabiskan untuk membuat karya audio visual itu. "Kata Joshua, satu kaset satu jam. Mau mampus aku syuting dibuat Joshua ini. Malah aku sempat dikasih kamera untuk merekam diri sendiri, bebas bicara apa saja,” ucap Anwar.
Namun, Anwar mengaku belum melihat film didasarkan pada penuturan dan langsung dia bintangi itu. Dia pernah meminta salinannya, tapi Oppenheimer belum memberikan. Anwar masih bertanya-tanya seperti apa film itu. Dia hanya mendengar The Act of Killing akan diputar di Festival Film Internasional Toronto mulai Sabtu pekan ini.
Tak sulit mencari rumah Anwar Congo di Medan, Sumatera Utara. Datang saja ke kawasan Medan Area, kemudian tanyakan namanya. Orang-orang setempat umumnya kenal dengan tokoh organisasi pemuda ini. Mereka akan langsung menunjuk ke arah rumah berpagar putih di Jalan Sutrisno Gang Sehati nomor 768 itu.
Anwar - berkemeja lengan panjang warna krem - langsung mempersilakan merdeka.com masuk, Rabu pekan lalu. Di dalam teras tertutup itu terlihat berbagai ornamen, termasuk foto burung bangau, anak panah dengan tatakan bertulisan 'Apache', dan cenderamata dari Panglima Komando Daerah Militer I Bukit Barisan serta Persija Jakarta.
Juga terpampang poster film Arsan dan Aminah dibintangi Anwar Congo dan rekan-rekannya. Anwar berperan sebagai koboi. “Memang sutradaranya orang TVRI, tapi Joshua (Oppenheimer) juga ikut pegang kamera di film ini. Kisahnya tentang saya bercinta dengan anak PKI. Ayahnya saya bunuh. Di ujung cerita anaknya juga mati karena dia Gerwani,” cerita Anwar sambil menunjuk dua poster berhadapan di ruangan itu.
Patung putih berbentuk kepala Anwar pun tampak di teras itu. Benda itu lebih menonjol ketimbang kolam sederhana berisi ikan koi. Tiruan kepala Anwar itu ternyata bagian dari properti The Act of Killing. “Sebelumnya ada tujuh patung, satu pecah. Belakangan lima dihancurkan, aku minta satu buat kenang-kenangan,” ujarnya.
Setelah menyalakan rokok kretek, Anwar kemudian berbicara tentang apa yang dia ceritakan kepada sutradara Joshua Lincoln Oppenheimer. Pria 72 tahun ini berkisah hanya bersekolah hingga kelas IV SD Taman Siswa, Medan. Dalam perkembangannya, Anwar muda menjadi preman. Lelaki dengan rajah naga besar di perut hingga dada ini mengaku pernah menjadi petinju di Pangkalan Brandan, Langkat, juga atlet bowling di Medan. Untuk olahraga terakhir, dia bahkan sempat bertanding di Malaysia pada 1960-an.
Semasa muda, Anwar biasa mangkal di Medan Bioskop - sekarang menjadi ruko - di Jalan Sutomo, Medan. Selain menjual tiket secara ilegal, dia memasukkan penonton ke dalam bioskop tanpa tiket. Karena terlalu sering menyelundupkan penonton ke bioskop, Anwar akhirnya dijadikan karyawan bagian pengamanan di tempat sangat popular ketika itu.
Di masa yang sama, Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin membesar, termasuk di Medan. Anwar menuding partai ini dan organisasi binaannya sering merasa lebih kuat dan kerap berseberangan dengan partai dan kelompok lain. Menyikapi hegemoni ini, partai saingan PKI merekrut para pemuda, termasuk Anwar dari kalangan preman, untuk memperkuat barisan massanya. “Sebenarnya tidak ada yang merekrut secara resmi. Kami bergabung karena emosi,” ujarnya sambil menyilangkan tangan kanan di dada kiri.
Anwar mengklaim mereka paling militan dalam kelompok aksi anti-PKI. “Kami sering berhadapan dengan Pemuda Rakyat, organisasi binaan PKI. Bahkan kami pernah berkelahi di Lapangan Merdeka pas acara Hari Kemerdekaan. Waktu itu mereka baris di sana, kami juga baris di sana,” ujar Anwar.
Kebencian kelompok-kelompok pemuda ini terhadap PKI dan binaannya semakin memuncak setelah peristiwa 30 September 1965. “Mereka mau membunuh Jenderal A.H. Nasution, pendiri kami. Kami semakin emosi. Apalagi selama ini orang-orang PKI sering menuding kami perampok kota dan tidak berpendidikan,” dia menegaskan.
Kelompok pemuda lalu gencar menyerang kelompok PKI. Mereka terpusat di posko Jalan Sutomo. “(Lokasinya) pas di depan Pekong Lima,” ujar Anwar. Dalam penyerangan kemudian diikuti pembantaian para pengikut PKI itu, salah satu sasaran kelompok Anwar adalah kawasan Kampung Kolam, Tembung. “Kadang ada perlawanan, dua kawan kita dibunuh mereka di Kampung Kolam, dibenamkan ke dalam parit, kita semakin emosi,” ujarnya.
Kelompok Anwar juga mengejar para pendukung PKI yang lari. Mereka biasanya menggunakan mobil direbut dari Universitas Res Publica (Uresca), sekarang menjadi SMA Negeri 8, Jalan Sampali, Medan. Simpatisan PKI tertangkap kemudian diinterogasi di markas komando aksi di Jalan Sutomo. Jika terlibat, langsung dihabisi dan biasanya eksekusi berlangsung pada malam.
Dalam sinopsis film dibuat Oppenheimer, Anwar menyatakan lebih suka menggunakan kawat untuk menjerat leher pendukung komunisme. “Bukan karena suka, tapi biar tidak merepotkan. Kalau pakai senjata lain bikin susah membersihkan lagi,” ucapnya.
Kelompok aksi tidak memandang etnis dalam pembantaian ini. Warga Tionghoa dibunuh adalah yang terlibat dalam Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), dinilai mendukung PKI. “Nggak semua. Kita juga ada kawan orang China membantu pendanaan,” ujarnya.
Pria hobi memancing ini mengatakan pembantaian itu merupakan cara ampuh membasmi komunisme dari Indonesia. Itu pula dikatakan Oppenheimer saat mewawancarai dia. Sang sutradara membandingkan sulitnya menghapus komunis di Kamboja, padahal penduduknya hanya sekitar 20 juta jiwa. “Makanya dia katanya mau buat film tentang keberhasilan itu. Dia buat dua film, katanya satu fiksi, satu dokumenter. Joshua ini tidak suka dibohongi, orangnya pintar, makanya saya ceritakan semua,” kata Anwar.
Sepengetahuan Anwar, pengambilan gambar The Act of Killing berlangsung sekitar dua tahun, mulai 2008. Dalam situs theactofkilling.com, Joshua menyatakan memulai pembuatan film itu sejak Februari 2004. Anwar mendengar sudah 640 kaset dihabiskan untuk membuat karya audio visual itu. "Kata Joshua, satu kaset satu jam. Mau mampus aku syuting dibuat Joshua ini. Malah aku sempat dikasih kamera untuk merekam diri sendiri, bebas bicara apa saja,” ucap Anwar.
Namun, Anwar mengaku belum melihat film didasarkan pada penuturan dan langsung dia bintangi itu. Dia pernah meminta salinannya, tapi Oppenheimer belum memberikan. Anwar masih bertanya-tanya seperti apa film itu. Dia hanya mendengar The Act of Killing akan diputar di Festival Film Internasional Toronto mulai Sabtu pekan ini.
[fas]
Senin, 3 September 2012 08:35:00Polemik The Act of Killing (4)
Saya tidak dibayar untuk membasmi PKI
Anwar Congo, pemeran utama The Act of Killing. (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)
Nama aslinya cuma Anwar. Tambahan Congo diberikan lantaran dia hampir ikut misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Kongo. Tetapi dia batal ikut.
Sosok Anwar Congo dipastikan bakal tersohor tidak hanya di Indonesia, tapi hingga mancanegara. Sebab dia narasumber sekaligus pemeran utama film The Act of Killing karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Lincoln Oppenheimer.
Film ini bakal ditayangkan di Festival Film Internasional Toronto, Kanada, Sabtu pekan ini. Berdasarkan sinopsisnya, film ini bercerita tentang para pelaku pembunuhan massal setelah peristiwa 30 September 1965 tidak tersentuh hukum sampai saat ini. Padahal ketika itu lebih dari satu juta nyawa pendukung komunisme melayang.
Bagi Anwar, pembantaian itu adalah cara ampuh membasmi komunisme di Indonesia. Dia berkukuh tindakannya tidak salah.
Berikut petikan wawancara Yan Muhardiansyah dari merdeka.com dengan Anwar Congo di kediamannya, Jalan Sutrino Gang Sehati No 768 Medan, Rabu (29/8).
Berapa usia Anda saat membasmi anggota PKI?
Sekitar 25 atau 26 tahun. Jadi ketika itu badan betul-betul tegar.
Bagaimana Anda direkrut oleh siapa?
Saya direkrut oleh… bukan…ini kesadaran saya bersama teman-teman melihat kegiatan-kegiatan kaum komunis di Sumatera Utara kelewat memojokkan orang, seperti orang ada haluan-haluan. Ada haluan-haluan pada waktu itu, seperti pemusik dilarang karena haluannya ke Amerika. Kita sebagai orang jalanan, orang bioskop, ingin supaya bioskop itu tetap ramai, bisa dapat uang. Ini karena kesadaran sendiri.
Ada berapa orang ikut ketika itu?
Itu bukan perjuangan saya tok. Itu rakyat Sumatera Utara memang sudah gerah. Pas pula waktunya begitu, kita sama-sama bahu-membahu mencari siapa dalang-dalang mereka (PKI).
Apakah dulu Anda dilatih dan berapa lama?
Saya tidak pernah dilatih, hanya kesadaran berkawan.
Berapa Anda dibayar?
Tidak pernah ada bayaran.
Bagaimana biaya penghidupan Anda?
Penghidupan saya waktu itu hasil dari pasar gelap. Catut film. Kalau ada band-band dari Jakarta, mudah-mudahan kami bisa mencatut. Nanti donator-donatur bilang suruh jaga, kita jaga.
Berapa pendukung PKI Anda basmi dan di mana saja lokasinya?
Begini ya…kalau umumnya Medan, kalau jatuh ke tangan kami ya mudah-mudahan ... Tapi tidak (saya) satu orang, banyak kawan-kawan punya antusias. Di daerah-daerah lain juga hampir sama karena semua pada emosi.
Bisa ceritakan proses pembasmian Anda lakukan?
Pembasmiannya begini, melihat mana kalau dia itu tokoh-tokohnya. Kalau diperiksa pun dia masih menganggap dirinya hebat, dan dia pernah mengatakan dia mau mati demi Aidit (DN Aidit, Pemimpin PKI). Dia masih memakai yel-yel PKI, PKI Menang. PKI ini, PKI itu.
Kita bukan lihat faktor PKI-nya tapi komunisnya, ideologinya bertentangan dengan bangsa Indonesia. Kita itu mayoritas muslim. Sampai-sampai kita dulu pada masa jayanya (PKI) menyuruh membikin huruf L di depan rumah ulama-ulama. Dulu kalau (PKI) udah menang, (ulama) dikubur di situ. Jadi kita sebagai pemuda tiba-tiba panas. Itu gagasan-gagasan komunis menyuruh gali lubang.
Mana paling banyak Anda basmi, lelaki atau perempuan? tua atau muda (anak-anak)?
Nggak…pada waktu itu, laki-laki itu banyak karena mereka orang lapangan. Kalau perempuan diserahkan langsung ke Kodim. Kalau anak-anak kita lindungi dia.
Anda pakai senjata apa buat membasmi?
Nggak ada…spontanitas apa yang ada di badan. Ada yang kita lihat, itu saja.
Pertama kali membasmi siapa korbannya? Di mana? Jam berapa? Pakai apa?
Nggak pernah ingat saya. Pada umumnya mengerjakan begitu tengah-tengah malam, biar gampang membuangnya. Biar tidak ketahuan.
Apa Anda merasa ngeri saat membasmi pertama kali?
Nggak. Karena jiwa muda, itu tidak peduli. Apalagi kami itu orang bioskop, kadang kena minuman.
Apa bukti atau kenang-kenangan bahwa benar Anda ikut membasmi PKI?
Buktinya nggak ada karena kita juga nggak suka menyimpan begitu-begituan. Tidak ada foto hanya ada dalam ingatan saja.
Biodata
Nama : H. Anwar Congo
Lahir : Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara, 1940
Pendidikan : Kelas IV SD Taman Siswa Medan
Alamat : Jalan Sutrisno Gg Sehati No768 Medan
Istri : Hj. Salmah Miftah Aziz
Sosok Anwar Congo dipastikan bakal tersohor tidak hanya di Indonesia, tapi hingga mancanegara. Sebab dia narasumber sekaligus pemeran utama film The Act of Killing karya sutradara Amerika Serikat, Joshua Lincoln Oppenheimer.
Film ini bakal ditayangkan di Festival Film Internasional Toronto, Kanada, Sabtu pekan ini. Berdasarkan sinopsisnya, film ini bercerita tentang para pelaku pembunuhan massal setelah peristiwa 30 September 1965 tidak tersentuh hukum sampai saat ini. Padahal ketika itu lebih dari satu juta nyawa pendukung komunisme melayang.
Bagi Anwar, pembantaian itu adalah cara ampuh membasmi komunisme di Indonesia. Dia berkukuh tindakannya tidak salah.
Berikut petikan wawancara Yan Muhardiansyah dari merdeka.com dengan Anwar Congo di kediamannya, Jalan Sutrino Gang Sehati No 768 Medan, Rabu (29/8).
Berapa usia Anda saat membasmi anggota PKI?
Sekitar 25 atau 26 tahun. Jadi ketika itu badan betul-betul tegar.
Bagaimana Anda direkrut oleh siapa?
Saya direkrut oleh… bukan…ini kesadaran saya bersama teman-teman melihat kegiatan-kegiatan kaum komunis di Sumatera Utara kelewat memojokkan orang, seperti orang ada haluan-haluan. Ada haluan-haluan pada waktu itu, seperti pemusik dilarang karena haluannya ke Amerika. Kita sebagai orang jalanan, orang bioskop, ingin supaya bioskop itu tetap ramai, bisa dapat uang. Ini karena kesadaran sendiri.
Ada berapa orang ikut ketika itu?
Itu bukan perjuangan saya tok. Itu rakyat Sumatera Utara memang sudah gerah. Pas pula waktunya begitu, kita sama-sama bahu-membahu mencari siapa dalang-dalang mereka (PKI).
Apakah dulu Anda dilatih dan berapa lama?
Saya tidak pernah dilatih, hanya kesadaran berkawan.
Berapa Anda dibayar?
Tidak pernah ada bayaran.
Bagaimana biaya penghidupan Anda?
Penghidupan saya waktu itu hasil dari pasar gelap. Catut film. Kalau ada band-band dari Jakarta, mudah-mudahan kami bisa mencatut. Nanti donator-donatur bilang suruh jaga, kita jaga.
Berapa pendukung PKI Anda basmi dan di mana saja lokasinya?
Begini ya…kalau umumnya Medan, kalau jatuh ke tangan kami ya mudah-mudahan ... Tapi tidak (saya) satu orang, banyak kawan-kawan punya antusias. Di daerah-daerah lain juga hampir sama karena semua pada emosi.
Bisa ceritakan proses pembasmian Anda lakukan?
Pembasmiannya begini, melihat mana kalau dia itu tokoh-tokohnya. Kalau diperiksa pun dia masih menganggap dirinya hebat, dan dia pernah mengatakan dia mau mati demi Aidit (DN Aidit, Pemimpin PKI). Dia masih memakai yel-yel PKI, PKI Menang. PKI ini, PKI itu.
Kita bukan lihat faktor PKI-nya tapi komunisnya, ideologinya bertentangan dengan bangsa Indonesia. Kita itu mayoritas muslim. Sampai-sampai kita dulu pada masa jayanya (PKI) menyuruh membikin huruf L di depan rumah ulama-ulama. Dulu kalau (PKI) udah menang, (ulama) dikubur di situ. Jadi kita sebagai pemuda tiba-tiba panas. Itu gagasan-gagasan komunis menyuruh gali lubang.
Mana paling banyak Anda basmi, lelaki atau perempuan? tua atau muda (anak-anak)?
Nggak…pada waktu itu, laki-laki itu banyak karena mereka orang lapangan. Kalau perempuan diserahkan langsung ke Kodim. Kalau anak-anak kita lindungi dia.
Anda pakai senjata apa buat membasmi?
Nggak ada…spontanitas apa yang ada di badan. Ada yang kita lihat, itu saja.
Pertama kali membasmi siapa korbannya? Di mana? Jam berapa? Pakai apa?
Nggak pernah ingat saya. Pada umumnya mengerjakan begitu tengah-tengah malam, biar gampang membuangnya. Biar tidak ketahuan.
Apa Anda merasa ngeri saat membasmi pertama kali?
Nggak. Karena jiwa muda, itu tidak peduli. Apalagi kami itu orang bioskop, kadang kena minuman.
Apa bukti atau kenang-kenangan bahwa benar Anda ikut membasmi PKI?
Buktinya nggak ada karena kita juga nggak suka menyimpan begitu-begituan. Tidak ada foto hanya ada dalam ingatan saja.
Biodata
Nama : H. Anwar Congo
Lahir : Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara, 1940
Pendidikan : Kelas IV SD Taman Siswa Medan
Alamat : Jalan Sutrisno Gg Sehati No768 Medan
Istri : Hj. Salmah Miftah Aziz
[fas]
Senin, 3 September 2012 09:00:00Polemik The Act of Killing (5)
KOMENTAR:Inilah bukti hilangnya Perikemanusiaan Yang Adil dan Beradab dari suatu Generasi akibat Provokasi Politik Orde Baru
Saya tidak menyesal
Anwar Congo, pemeran utama The Act of Killing. (merdeka.com/Yan Muhardiansyah)
Kategori
Reporter: Yan Muhardiansyah
Anwar Congo tidak ingat lagi berapa anggota dan pendukung Partai Komunis Indonesia telah dibasmi. Maklum saja, peristiwa itu sudah lewat hampir setengah abad.
Hanya saja, dia menegaskan tidak menyesal. Soal dosa, dia membela diri orang-orang dia basmi itu tidak percaya Tuhan.
Berikut penuturan Anwar Congo saat ditemui Yan Muhardiansyah dari merdeka.com di rumahnya, Jalan Sutrino Gang Sehati No 768 Medan, Rabu (29/8).
Kenapa Anda mau direkrut menjadi pembasmi PKI?
Pada umumnya dulu anak jalanan bergabung di satu kelompok bertentangan dengan kelompok anu (komunis). Seperti kawan-kawan saya dulu paling benci dengan komunis. Saya salah satunya.
Umumnya anak jalanan di setiap pelosok Sumatera Utara tidak senang dengan komunis karena mereka (PKI) menganggap anak jalanan adalah anak-anak perampok kota, tidak pernah diajar, tidak berpendidikan.
Anda pernah dipaksa membasmi?
Tidak pernah, hanya emosi kita.
Setelah membasmi, apakah Anda pernah mengalami mimpi buruk?
Saya sudah berusaha menghilangkan mimpi buruk saya dengan pergi ke Padang dulu, empat puluh hari, Suluk namanya tahun 1999. Setelah berhaji baru tidak ada lagi.
Apakah sampai saat ini Anda merasa menyesal dan berdosa?
Saya tidak pernah menyesal karena itu sudah berlalu. Buat saya, yang sudah berlalu tidak saya ingat-ingat lagi. Biarpun itu satu anu dalam perjalanan hidup saya, saya tidak pernah menyesal. Perkara dosa, saya membayangkan yang saya kerjai ini orang tidak pernah mempercayai Tuhan.
[fas]
http://www.merdeka.com/khas/mengail-kontroversi-lewat-pki-polemik-the-act-of-killing-1.htmlHanya saja, dia menegaskan tidak menyesal. Soal dosa, dia membela diri orang-orang dia basmi itu tidak percaya Tuhan.
Berikut penuturan Anwar Congo saat ditemui Yan Muhardiansyah dari merdeka.com di rumahnya, Jalan Sutrino Gang Sehati No 768 Medan, Rabu (29/8).
Kenapa Anda mau direkrut menjadi pembasmi PKI?
Pada umumnya dulu anak jalanan bergabung di satu kelompok bertentangan dengan kelompok anu (komunis). Seperti kawan-kawan saya dulu paling benci dengan komunis. Saya salah satunya.
Umumnya anak jalanan di setiap pelosok Sumatera Utara tidak senang dengan komunis karena mereka (PKI) menganggap anak jalanan adalah anak-anak perampok kota, tidak pernah diajar, tidak berpendidikan.
Anda pernah dipaksa membasmi?
Tidak pernah, hanya emosi kita.
Setelah membasmi, apakah Anda pernah mengalami mimpi buruk?
Saya sudah berusaha menghilangkan mimpi buruk saya dengan pergi ke Padang dulu, empat puluh hari, Suluk namanya tahun 1999. Setelah berhaji baru tidak ada lagi.
Apakah sampai saat ini Anda merasa menyesal dan berdosa?
Saya tidak pernah menyesal karena itu sudah berlalu. Buat saya, yang sudah berlalu tidak saya ingat-ingat lagi. Biarpun itu satu anu dalam perjalanan hidup saya, saya tidak pernah menyesal. Perkara dosa, saya membayangkan yang saya kerjai ini orang tidak pernah mempercayai Tuhan.
KOMENTAR:Inilah bukti hilangnya Perikemanusiaan Yang Adil dan Beradab dari suatu Generasi akibat Provokasi Politik Orde Baru
3 komentar:
ilm ini berlatar belakang peristiwa kampung kolam 24 oktober 1965, puncak dari pertikaian antara PKI dan PP di Sumut priode 1962-1967. Dalam peristiwa ini seorang kader PP dr.med.Adlin Prawiranegara tewas dibenamkan dalam lumpur menggunakan bantalan kereta api, ditimbuni dengan sampah dan diatasnya digulingkan bangkai kambing serta ditancapkan pohon pisang. Propaganda yang berhasil tapi soal pembantaian massal untuk kepentingan anggaran atas nama HAM, dokumenter sampah karena memanipulasi data dan fakta yang terjadi saat itu.
Nggak capek Oom? Cacingan deh lu....
Posting Komentar