Senin, 24 September 2012
Kearifan Sejarah Malam Jahanam
Bedah buku Malam Bencana 1965 jilid 1 & 2. Ki-Ka: Iwan Gardono, Abdurrakhman, dan Taufik Abdullah.
Foto: Hendaru Tri Hanggoro.
Kearifan Sejarah Malam Jahanam
G30S menimbulkan dendam sejarah yang berkepanjangan. Melalui kearifan sejarah, dendam itu diharapkan dapat diredam.
OLEH: HENDARU TRI HANGGORO
SELAMA Orde Baru berkuasa, hanya tafsir penguasa yang benar mengenai peristiwa Gerakan 30 September (G30S) bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang sekaligus pelaku tunggal peristiwa itu. Penguasa memonopoli kebenaran sejarah. Tafsir lain dianggap tidak benar. Tak ada dialog. Akibatnya, luka menganga bangsa ini tak lantas kering. Sakitnya pun tak kunjung hilang selama puluhan tahun. Hingga akhirnya reformasi bergulir menggulingkan Orde Baru, dialog terbuka mengenai peristiwa itu tumbuh subur. Sebuah bangsa berusaha menyembuhkan luka dan menghilangkan sakitnya.
Peristiwa G30S mengawali periode baru sejarah negeri ini. Ia dianggap menjadi batas sejarah antara Indonesia Baru (Soeharto) dengan Indonesia Lama (Sukarno). Peristiwa itu hanya terjadi semalam, namun melahirkan rentetan peristiwa berdarah yang panjang dalam sejarah negeri ini. Seketika itu, konflik antaranak bangsa meledak. Permusuhan dan kebencian menyeruak memakan banyak korban jiwa. Puluhan tahun bangsa ini bertanya, mengapa dan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi dan melahirkan dampak mahadahsyat.
“Sejarah tak cukup dijelaskan dengan hanya menjawab pertanyaan apa, siapa, bila, dan dimana. Pertanyaan mengapa dan bagaimana juga perlu dijawab untuk mencari akar terjadinya sebuah peristiwa. Terutama dalam G30S ini,” kata Taufik Abdullah, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam bedah buku dua jilid, Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional di Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok (22/3). Buku yang direncanakan terbit empat jilid ini, merupakan kumpulan tulisan terbaru mengenai peristiwa G30S, sebelum dan setelahnya.
Ditulis oleh sekumpulan sejarawan dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia, jilid pertama buku ini berusaha menyajikan rekonstruksi baru peristiwa G30S. Sebuah rekonstruksi yang tak berhenti pada jawaban dari pertanyaan apa, dimana, bila, dan siapa. Ada sembilan tulisan yang berusaha merekonstruksi peristiwa itu. Semuanya memiliki cara ungkap dan hasil rekonstruksi yang berbeda perihal mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Ini terjadi karena pendekatan multidisiplin yang dipakai kesembilan sejarawan tersebut. Iwan Gardono, sosiolog UI sekaligus pembicara dalam bedah buku tersebut, menyatakan bahwa peristiwa G30S tak hanya peristiwa sejarah, tetapi juga peristiwa politik dan sosial-budaya. Oleh karena itu, pendekatan disiplin ilmu lain mutlak diperlukan untuk membantu menyingkap tabir G30S.
Meski demikian, Taufik menerangkan bahwa penggunaan ilmu bantu dalam usaha rekonstruksi G30S dapat jatuh ke dalam teori, bukan kebenaran sejarah. Ini bisa terjadi lantaran sejarawan mengalami kesulitan sumber-sumber terverifikasi yang terkait G30S. Bahkan, sumber-sumber itu bisa sangat bertentangan satu sama lain.
Biasanya, kekurangan sumber itu dapat tertutupi dengan teori. Teori-teori itu bisa terlihat sangat logis, tetapi belum cukup mampu bertutur mengenai kebenaran sejarah. “Kebenaran sejarah biasanya secara logis bisa diterangkan dan dipahami, tetapi sesuatu yang logis tidak selamanya mewakili kebenaran sejarah atau kepastian historis,” kata Taufik.
Iwan juga mengingatkan agar sebuah teori atau model tak serta merta diterapkan dalam merekonstruksi G30S, terutama terkait konflik-konflik yang meletup di daerah setelahnya. “Teori dan model itu tergantung tempat. Tiap wilayah memiliki kekhasannya sendiri,” terang Iwan. “Jadi, teori dan model itu bisa berbeda di tiap wilayah.”
G30S tak pelak membawa beberapa daerah di Indonesia ke dalam kekacauan. Pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap “terlibat” dan “terkait” dengan PKI berlangsung sejak Oktober 1965 hingga beberapa tahun kemudian. Ini tak lepas dari pernyataan umum yang berkembang saat itu bahwa dalang dan pelaku tunggal G30S adalah PKI. Selain itu, konflik ini juga dapat dilihat dari konteks politik Indonesia sebelum terjadinya G30S.
Tiga kekuatan besar tampil dalam arena politik Indonesia sejak Dekrit Presiden 1959. Mereka adalah Sukarno, Angkatan Darat (AD), dan PKI. Sukarno sangat mendambakan adanya persatuan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunis). Sebuah gagasan yang sangat ditentang AD, namun disambut hangat PKI. Ketiganya mempunyai pendukung dan tidak pernah akur, sebagaimana dicita-citakan Sukarno. Setelah G30S meletup, konflik terbuka ketiga pendukung itu tak terelakan. Meski begitu, Taufik menegaskan bahwa batas konflik itu seringkali kabur. “Batas-batas antara konflik sosial dan terorisme negara mencair begitu saja,” kata Taufik mengomentari buku jilid kedua yang membahas konflik lokal setelah G30S.
Bersamaan dengan konflik lokal yang memanas, Sukarno makin kehilangan kekuasaan. MPRS mencabut kedudukan Sukarno sebagai presiden seumur hidup dan menolak Nawaksara, pidato pertanggungjawaban Sukarno. Proklamator yang pernah dielu-elukan bangsanya itu akhirnya jatuh pada 1968 di tengah kecaman bangsanya karena tak juga membubarkan PKI. Soeharto menggantikannya secara resmi sejak itu meski dia telah memegang kekuasaan sedari Maret 1966.
“Malam Jahanam”, istilah Taufik untuk G30S itu telah mengubah peta politik dan situasi Indonesia secara keseluruhan. Soeharto memulai pemerintahannya dengan pembersihan PKI yang sekaligus mengingkari gagasan Nasakom Sukarno. Dia tak memberi ruang sedikitpun bagi kehadiran PKI. Dia memperkenalkan istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” sebagai usaha menutup ruang bagi PKI. “Ini menambah tradisi dendam yang tidak pernah pudar sehingga bisa dipahami ketika Soeharto jatuh, muncul usaha pelurusan sejarah dari mereka yang disebut korban,” kata Taufik. Kebenaran tunggal sejarah seketika diambil-alih, dari pemerintah ke korban. Dan tradisi dendam masih berlanjut di tengah upaya dialog terbuka atas G30S.
Di tengah tradisi dendam dan dialog terbuka itu, dua buku itu terbit. Buku itu menambah khazanah tafsir mengenai peristiwa G30S. Sejak reformasi, banyak buku terbit yang berusaha menguak kabut tebal tragedi besar bangsa ini. Kenyataan ini menandakan bahwa peristiwa G30S tak pernah kehilangan daya pikatnya. Ia selalu aktual dan terus menuntut untuk didialogkan. “Buku ini selain cukup komprehensif membahas G30S, juga memberikan ruang bagi kita untuk belajar dari apa yang telah terjadi pada malam jahanam agar dendam itu tak berlanjut,” ujar Taufik. “Tetapi, ini menuntut kearifan sejarah kita.”
KOMENTAR:Sebenarnya Kuncinya pada Untung dan Latif yang jelas jelas anak buah Suharto dan yang terbunuhpun Tim Pemeriksa TPK Kodam VII Diponegoro serta A Yani yang menjadi saingan Suharto.Gerakan ini jelas didukung CIA yang tidak menyukai Konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, tapi pendukung Orde Baru seperti Penulis yang memang secara politik tidak suka dengan Bung Karno berlaku tidak jujur dalam sejarah,Sam Kamaruzaman adalah agen ganda.Jadi sebuah sandiwara konspirasi telah terjadi malam itu yang semua dilakukan oleh tentara untuk membunuh jenderal jenderalnya.Tepat seperti apa yang dikatakan Bung Karno bahwa ini adalah konflik internal Angkatan Darat.Seandainya Nasution sadar bahwa dirinyapun menjadi target untuk dilenyapkan dalam konspirasi ini mungkin ceritanya akan lain dalam sejarah.Semua terbukti setelah Bung Karno terguling Suharto berdamai dengan Malaysia.dan Nasution pun disingkirkan dari Ketua MPR.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar