Kisah 3 murid Tjokroaminoto: Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo
soekarno muda. ©2012 Merdeka.com/ilusrasi
Jauh sebelum memilih jalan hidupnya masing-masing, tiga tokoh pergerakan Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo pernah tinggal bersama. Mereka menjadi murid dari pemimpin Sarekat Islam Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Di sebuah jalan kecil bernama Gang Paneleh VII, di tepi Sungai Kalimas, Surabaya, rumah Tjokroaminoto berada. Rumah itu bernomor 29-31.
Setelah menjadi pemimpin SI yang anggotanya 2,5 juta orang, Tjokroaminoto yang saat itu berusia 33 tahun tidak memiliki penghasilan lain, kecuali dari rumah kos yang dihuni 10 orang itu. Setiap orang membayar Rp 11. Istri Tjokro, Soeharsikin, yang mengurus keuangan mereka.
Banyak alumni rumah kos tersebut yang menjadi tokoh pergerakan sebelum kemerdekaan. Soekarno yang kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia. Semaoen, Alimin, dan Musso menjadi tokoh-tokoh utama Partai Komunis Indonesia serta SM Kartosoewirjo yang kemudian menjadi pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran.
Soekarno
Soekarno 'mondok' di rumah Tjokroaminoto pada usia 15 tahun. Ayah Soekarno, Soekemi Sosrodihardjo, menitipkan Soekarno yang melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS). Saat itu, tahun 1916, Tjokroaminoto sudah menjadi Ketua Sarekat Islam, organisasi politik terbesar dan yang pertama menggagas nasionalisme.
Dalam salah satu biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengenang Tjokroaminoto sebagai idolanya. Dia belajar tentang menggunakan politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat. Dia belajar tentang bentuk-bentuk modern pergerakan seperti pengorganisasian massa dan perlunya menulis di media. Sesekali Soekarno menulis menggantikan Tjokro di Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Soekarno juga kerap menirukan gaya Tjokroaminoto berpidato.
SM Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo muda mulai tertarik pada dunia pergerakan saat bersekolah di Nederlandsch Indische Artsen School atau biasa disebut Sekolah Dokter Jawa yang berlokasi di Surabaya pada 1923. Dia gemar membaca buku-buku milik pamannya, Mas Marco Kartodikromo yang sebagian besar buku beraliran kiri dan sosialisme.
Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarikat Islam beraliran merah. Terpengaruh berbagai bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung dengan Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Guru utamanya di dunia pergerakan sekaligus guru agamanya adalah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Kartosoewirjo begitu mengagumi dan terpesona dengan Tjokroaminoto yang sering berpidato dalam berbagai pertemuan. Kartosoewirjo melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.
Untuk membayar uang pondokan, Kartosoewirjo bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membuatnya menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto.
Tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda menjadi ciri khas Kartosoewirjo. Dalam artikelnya tampak pandangan politiknya yang radikal. Dia juga sering mengkritik pihak nasionalis. Kartosoewirjo bersama Tjokroaminoto hingga tahun 1929.
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah. Kekecewaannya terhadap pemerintah membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh bergabung.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Soekarno yang menjadi presiden, teman kosnya semasa di Surabaya, adalah orang yang menandatangani eksekusi mati Kartosoewirjo pada September 1962.
Semaoen
Semaoen adalah Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama. Kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) wilayah Surabaya.
Pertemuannya dengan Henk Sneevliet tokoh komunis asal Belanda pada 1915, membuat Semaoen bergabung dengan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) cabang Surabaya.
Aktivitasnya yang tinggi dalam dunia pergerakan membuatnya berhenti bekerja perusahaan kereta Belanda. Saat pindah ke Semarang, dia menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang.
Pada tahun 1918 dia juga menjadi anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI). Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda.
Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.
PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921.
Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.
[bal]Di sebuah jalan kecil bernama Gang Paneleh VII, di tepi Sungai Kalimas, Surabaya, rumah Tjokroaminoto berada. Rumah itu bernomor 29-31.
Setelah menjadi pemimpin SI yang anggotanya 2,5 juta orang, Tjokroaminoto yang saat itu berusia 33 tahun tidak memiliki penghasilan lain, kecuali dari rumah kos yang dihuni 10 orang itu. Setiap orang membayar Rp 11. Istri Tjokro, Soeharsikin, yang mengurus keuangan mereka.
Banyak alumni rumah kos tersebut yang menjadi tokoh pergerakan sebelum kemerdekaan. Soekarno yang kemudian mendirikan Partai Nasional Indonesia. Semaoen, Alimin, dan Musso menjadi tokoh-tokoh utama Partai Komunis Indonesia serta SM Kartosoewirjo yang kemudian menjadi pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Di rumah itu juga, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur sering bertukar pikiran.
Soekarno
Soekarno 'mondok' di rumah Tjokroaminoto pada usia 15 tahun. Ayah Soekarno, Soekemi Sosrodihardjo, menitipkan Soekarno yang melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS). Saat itu, tahun 1916, Tjokroaminoto sudah menjadi Ketua Sarekat Islam, organisasi politik terbesar dan yang pertama menggagas nasionalisme.
Dalam salah satu biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno mengenang Tjokroaminoto sebagai idolanya. Dia belajar tentang menggunakan politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat. Dia belajar tentang bentuk-bentuk modern pergerakan seperti pengorganisasian massa dan perlunya menulis di media. Sesekali Soekarno menulis menggantikan Tjokro di Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima. Soekarno juga kerap menirukan gaya Tjokroaminoto berpidato.
SM Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo muda mulai tertarik pada dunia pergerakan saat bersekolah di Nederlandsch Indische Artsen School atau biasa disebut Sekolah Dokter Jawa yang berlokasi di Surabaya pada 1923. Dia gemar membaca buku-buku milik pamannya, Mas Marco Kartodikromo yang sebagian besar buku beraliran kiri dan sosialisme.
Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarikat Islam beraliran merah. Terpengaruh berbagai bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung dengan Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.
Guru utamanya di dunia pergerakan sekaligus guru agamanya adalah Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Kartosoewirjo begitu mengagumi dan terpesona dengan Tjokroaminoto yang sering berpidato dalam berbagai pertemuan. Kartosoewirjo melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.
Untuk membayar uang pondokan, Kartosoewirjo bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membuatnya menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto.
Tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda menjadi ciri khas Kartosoewirjo. Dalam artikelnya tampak pandangan politiknya yang radikal. Dia juga sering mengkritik pihak nasionalis. Kartosoewirjo bersama Tjokroaminoto hingga tahun 1929.
Pada masa perang kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo terlibat aktif tetapi sikap kerasnya membuatnya sering bertolak belakang dengan pemerintah. Kekecewaannya terhadap pemerintah membulatkan tekadnya untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh bergabung.
Perjuangan Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Soekarno yang menjadi presiden, teman kosnya semasa di Surabaya, adalah orang yang menandatangani eksekusi mati Kartosoewirjo pada September 1962.
Semaoen
Semaoen adalah Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pertama. Kemunculannya di panggung politik pergerakan dimulai di usia belia, 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) wilayah Surabaya.
Pertemuannya dengan Henk Sneevliet tokoh komunis asal Belanda pada 1915, membuat Semaoen bergabung dengan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, organisasi sosial demokrat Hindia Belanda (ISDV) cabang Surabaya.
Aktivitasnya yang tinggi dalam dunia pergerakan membuatnya berhenti bekerja perusahaan kereta Belanda. Saat pindah ke Semarang, dia menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar Djawa-Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang.
Pada tahun 1918 dia juga menjadi anggota dewan pimpinan di Sarekat Islam (SI). Sebagai Ketua SI Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan pemogokan buruh. Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono, Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda.
Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungannya dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.
PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam, tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan Oktober 1921.
Pada akhir tahun itu juga dia meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum. Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922, dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI tetapi kurang berhasil.
Kartosoewirjo, pernah dipecat gara-gara minati komunis
Kartosoewirjo. Handout/Hari Terahir Kartosoewirjo/Fadli Zon
Reporter: Mustiana Lestari
Kejahatan politik yang dituduhkan di era Soekarno membawa Kartosoewirjo meregang nyawa di tiang penembakan. Bersama ribuan pengikutnya pria yang bernama asli Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini berniat merobohkan NKRI dengan melakukan pemberontakan bahkan merencanakan pembunuhan terhadap rPesiden Soekarno.
Bagaimanakah perjalanan hidupnya hingga saat ini dia dikenal sebagai salah satu noda dalam sejarah Indonesia.
Dari buku 'hari terakhir Kartosoewirjo', disebutkan anak dari seorang mantri perusahaan candu dan bangsawan ini telah menempuh pendidikan yang lebih dari rakyat kebanyakan kala itu. Mulai dari sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) lalu HIS (Hollandsch Inlandsche School) kemudian ELS (Europeesche Lagere School) hingga sekolah kedokteran NIAS (Nederlands Indische Artsen School).
Setelah lulus ELS di Bojonegoro, Kartosoewirjo kuliah di NIAS. Dia kuliah mulai 1923 dan mengikuti tingkat persiapan selama tiga tahun. Yang menarik, dia sempat dikeluarkan dari NIAS pada 1926. Alasannya karena memiliki buku-buku sosialis dan komunis.
Buku-buku itu diperoleh dari pamannya Mas Marco Kartodikromo, wartawan dan sastrawan yang sangat terkenal. Mas Marco juga dekat dengan wartawan pertama di Indonesia pejuang pergerakan Tirto Adhie Soerjo. Setelah dipecat dia kembali ke Bojonegoro menjadi guru partikelir.
Dalam perjalanan pendidikannya, Kartosoewirjo juga ikut aktif dalam berbagai aktivitas kepemudaan. Sebut saja, Jong Java, Jong Islamieten Bond hingga ikut 'menempel' pada tokoh legendaris Sarekat Islam, Tjokroaminoto. Dari Bojonegoro, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya menjadi asisten pribadi Tjokroaminoto.
Kegiatan kepemudaan ini terus menyuburkan darah-darah reformis dalam tubuh Kartosoewirjo. Dalam perjalanan hidupnya kemudian, pengetahuan Islam dan kedekatannya dengan para ulama, impian akan Negara Islam Indonesia yang juga dikenal dengan Darul Islam mulai muncul. Bak gayung bersambut, kondisi carut marutnya pemerintahan Indonesia akibat perjanjian Renville seakan memberi jalan bagi ideologi Islam versi Kartosoewirjo dapat terealisasi hingga berhasil diproklamirkan di tahun 1949.
"Kartosoewirjo banyak bersentuhan dengan tokoh kalangan Islam mulai dari Islamieten Bond. Di situ saya kira gagasan Islam mulai diterima apalagi dengan dengan menjadi sekretaris Tjokroaminoto padahal tadinya dikeluarkan dari NIAS karena dianggap komunis,” jelas sejarawan dan juga pemilik 81 foto eksekusi mati Kartosoewirjo, Fadli Zon dalam percakapannya kepada merdeka.com, Jakarta, Rabu (5/9).
Singkat cerita, gerakan sang Imam dapat dipadamkan di tahun 1962 oleh TNI dengan sistem perang semesta. Dituduh berseberangan, bapak beranak lima ini mati di tiang penembakan dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
[tts]Bagaimanakah perjalanan hidupnya hingga saat ini dia dikenal sebagai salah satu noda dalam sejarah Indonesia.
Dari buku 'hari terakhir Kartosoewirjo', disebutkan anak dari seorang mantri perusahaan candu dan bangsawan ini telah menempuh pendidikan yang lebih dari rakyat kebanyakan kala itu. Mulai dari sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) lalu HIS (Hollandsch Inlandsche School) kemudian ELS (Europeesche Lagere School) hingga sekolah kedokteran NIAS (Nederlands Indische Artsen School).
Setelah lulus ELS di Bojonegoro, Kartosoewirjo kuliah di NIAS. Dia kuliah mulai 1923 dan mengikuti tingkat persiapan selama tiga tahun. Yang menarik, dia sempat dikeluarkan dari NIAS pada 1926. Alasannya karena memiliki buku-buku sosialis dan komunis.
Buku-buku itu diperoleh dari pamannya Mas Marco Kartodikromo, wartawan dan sastrawan yang sangat terkenal. Mas Marco juga dekat dengan wartawan pertama di Indonesia pejuang pergerakan Tirto Adhie Soerjo. Setelah dipecat dia kembali ke Bojonegoro menjadi guru partikelir.
Dalam perjalanan pendidikannya, Kartosoewirjo juga ikut aktif dalam berbagai aktivitas kepemudaan. Sebut saja, Jong Java, Jong Islamieten Bond hingga ikut 'menempel' pada tokoh legendaris Sarekat Islam, Tjokroaminoto. Dari Bojonegoro, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya menjadi asisten pribadi Tjokroaminoto.
Kegiatan kepemudaan ini terus menyuburkan darah-darah reformis dalam tubuh Kartosoewirjo. Dalam perjalanan hidupnya kemudian, pengetahuan Islam dan kedekatannya dengan para ulama, impian akan Negara Islam Indonesia yang juga dikenal dengan Darul Islam mulai muncul. Bak gayung bersambut, kondisi carut marutnya pemerintahan Indonesia akibat perjanjian Renville seakan memberi jalan bagi ideologi Islam versi Kartosoewirjo dapat terealisasi hingga berhasil diproklamirkan di tahun 1949.
"Kartosoewirjo banyak bersentuhan dengan tokoh kalangan Islam mulai dari Islamieten Bond. Di situ saya kira gagasan Islam mulai diterima apalagi dengan dengan menjadi sekretaris Tjokroaminoto padahal tadinya dikeluarkan dari NIAS karena dianggap komunis,” jelas sejarawan dan juga pemilik 81 foto eksekusi mati Kartosoewirjo, Fadli Zon dalam percakapannya kepada merdeka.com, Jakarta, Rabu (5/9).
Singkat cerita, gerakan sang Imam dapat dipadamkan di tahun 1962 oleh TNI dengan sistem perang semesta. Dituduh berseberangan, bapak beranak lima ini mati di tiang penembakan dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Jumat, 07/09/2012 09:06 WIB
Menguak Kematian Kartosoewirjo
Kisah Keris Ki Dongkol & Pedang Ki Rompang Milik Kartosoewirjo
Foto: Buku Fadli Zon
Jakarta Kisah mistis tak lepas dari sosok Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang juga imam DI/TII. Bahkan ada pengikutnya yang meyakini sosok Kartosoewirjo sebagai satria piningit. Apalagi, Kartosoewirjo memang dikenal memiliki sejumlah senjata yang banyak disebut orang bertuah."Orang-orang yang bilang bapak terkait mistik, itu pemahaman keliru," sanggah putra Kartosoewirjo, Sardjono Kartosoewirjo saat berbincang dengan detikcom, Kamis (6/9/2012).
Sardjono menegaskan ayahnya manusia biasa. Tak terkait mistik ataupun hal yang berbau takhyul.
Namun, dia menuturkan ayahnya itu memang memiliki keris yang dikenal dengan nama Ki Dongkol dan pedang yang diberi nama Ki Rompang. Walau orang banyak menyebut senjata itu sebagai ajimat, Sartono tetap yakin benda-benda itu semata hanya senjata biasa, dan merupakan pemberian orang.
"Keris itu sudah disita tanggal 6 Juni 1962. Benda itu perkakas perang saja, keris itu pemberian. Dulu dapatnya dari tukar menukar cinderamata. Saya enggak tahu siapa yang ngasih, tapi Bapak enggak pernah ngoleksi benda-benda," jelas Sardjono memberi penegasan.
Soal pedang yang disebut sebagai Ki Rompang, yang dia tahu benda itu juga pemberian. Pedang itu sebagai senjata untuk perang dan diberi seseorang sebagai hadiah. Bukan terkait jimat atau mistik.
"Pedang itu juga disita, dulu ada di musium Siliwangi Bandung, tapi enggak tahu apa itu asli atau duplikasi," tutur Sardjono.
Soal keris dan pedang, memang sempat menjadi cerita di masyarakat kala itu. Kartosoewirjo dianggap kebal dan terlindungi dari kejaran tentara. Sartono kembali menegaskan lewat foto-foto yang dipublikasikan di buku Fadli Zon 'Hari Terakhir Kartosoewirjo' terpapar bukti ayahnya manusia biasa.
"Dengan foto-foto kemarin dibuktikan, mistik itu enggak ada. Kepercayaan itu sesuatu yang sesat. Karena bapak juga tidak kebal saat ditembak," jelas Sardjono.
(ndr/vta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar