Selasa, 11 September 2012 12:07:37
Jejak Buncit Kartosoewirjo (1)
Dua Pulau Ubi tenggelam sebelum eksekusi
Eksekusi Kartosoewirjo. ©2012 Merdeka.com
Nama Pulau Ubi di Kepulauan Seribu mencuat setelah peluncuran buku Hari Terakhir Kartosoewirjo oleh Fadli Zon Library di Galeri Cipta II, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Buku memuat 81 foto detik-detik terakhir pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) itu menginformasikan lokasi eksekusi matinya di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada 5 September 1962.
Namun, menurut Lurah Pulau Untung Jawa Agung Maulana Saleh, ada dua nama pulau itu, yakni Ubi Besar dan Ubi Kecil. “Dalam catatan kelurahan ada Pulau Ubi Kecil dan Pulau Ubi besar,” katanya saat ditemui merdeka.com kemarin dalam acara Lebaran Betawi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Berdasarkan dokumen laporan warga di kantornya, Agung memastikan dua pulau itu sudah tenggelam. Data itu merupakan catatan turun-temurun Kelurahan Pulau untung Jawa. Pihaknya memantau pulau-pulau terdekat berdasarkan laporan warga yang berlayar atau mencari ikan. “Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956,” ujar Agung.
Mulanya, Pulau Ubi Besar berpenghuni, namun karena mulai terkikis oleh ombak warga terpaksa pindah. Pilihannya adalah lokasi terdekat, yakni Pulau Untung Jawa. Bedol desa itu juga diketahui dan disetujui oleh pemerintah saat itu.
Catatan perpindahan penduduk itu ditandai dengan sebuah tugu. Di sana tercatat perpindahan berlangsung pada 13 Februari 1954. Lokasi tugu di tengah Pulau Untung Jawa. Informasi itu juga dimasukkan dalam brosur perjalanan wisata oleh Mitra Karya Club, agen yang berkantor di Pulau Untung Jawa.
“Sekitar dua tahun setelah kepindahan penduduk, Pulau Ubi Besar sudah hilang,” Kata Agung. Sedangkan hasil orolannya dengan sejumlah sesepuh di Pulau Untung Jawa, mereka tidak pernah mendengar Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi. Bahkan, menurut dia, hampir sebagian besar penduduk di kelurahannya hanya mengetahui makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust.
Sebelum munculnya buku itu, banyak kalangan meyakini makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust, juga bagian dari Kepulauan Seribu. “Saya baru tahu tempat eksekusi itu di Pulau Ubi setelah dihubungi Fadli Zon sebelum peluncuran buku,” ujar Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, kepada merdeka.com, Sabtu siang pekan lalu di Garut, Jawa Barat.
Tenggelamnya pulau Ubi Besar dan Ubi Kecil ini diperkuat oleh keterangan Sobirin, buruh bongkar muat di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, dia tidak tahu kapan kedua pulau itu lenyap.
Selain karena abrasi, Sobirin memperkirakan Ubi Besar dan Ubi Kecil tenggelam lantaran penggalian pasir besar-besaran buat membangun Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten. “Seingat saya, pasir dari Pulau Ubi dulu banyak disedot untuk membangun Bandara Soekarno-Hatta,” ujar Sobirin ditemui di lokasinya bekerja, Ahad sore lalu.
Situs Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, www.bakorsurtanal.go.id masih mencantumkan nama dan koordinat Pulau Ubi Besar. Namun berdasarkan foto satelit, pulau itu sudah tidak ada. Sedangkan situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, hanya menulis nama Pulau Ubi Kecil, bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Pulau Untung Jawa.
Fadli Zon yakin lokasi eksekusi sekaligus pusara Kartosoewirjo di Pulau Ubi. itu berdasarkan foto dan keterangan foto yang diperoleh melalui hasil lelang. "Foto itu milik seorang kolektor," katanya saat dihubungi merdeka.com kemarin. Tapi dia menolak mengungkap identitas kolektor itu.
Dia mengakui Pulau Ubi sudah tenggelam. Dia mengaku mendengar soal itu sekitar 1990-an hingga 2000-an. Dia menambahkan stafnya sudah tiga kali ke lokasi, yakni tahun lalu, tiga bulan lalu, dan Ahad pekan lalu. "Menurut cerita Pak Sardjono, sekitar 1963-1964, ada utusan dari Bung Karno menyampaikan eksekusi dilaksanakan di Pulau Ubi," ujar Fadli.
Namun, menurut Lurah Pulau Untung Jawa Agung Maulana Saleh, ada dua nama pulau itu, yakni Ubi Besar dan Ubi Kecil. “Dalam catatan kelurahan ada Pulau Ubi Kecil dan Pulau Ubi besar,” katanya saat ditemui merdeka.com kemarin dalam acara Lebaran Betawi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Berdasarkan dokumen laporan warga di kantornya, Agung memastikan dua pulau itu sudah tenggelam. Data itu merupakan catatan turun-temurun Kelurahan Pulau untung Jawa. Pihaknya memantau pulau-pulau terdekat berdasarkan laporan warga yang berlayar atau mencari ikan. “Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956,” ujar Agung.
Mulanya, Pulau Ubi Besar berpenghuni, namun karena mulai terkikis oleh ombak warga terpaksa pindah. Pilihannya adalah lokasi terdekat, yakni Pulau Untung Jawa. Bedol desa itu juga diketahui dan disetujui oleh pemerintah saat itu.
Catatan perpindahan penduduk itu ditandai dengan sebuah tugu. Di sana tercatat perpindahan berlangsung pada 13 Februari 1954. Lokasi tugu di tengah Pulau Untung Jawa. Informasi itu juga dimasukkan dalam brosur perjalanan wisata oleh Mitra Karya Club, agen yang berkantor di Pulau Untung Jawa.
“Sekitar dua tahun setelah kepindahan penduduk, Pulau Ubi Besar sudah hilang,” Kata Agung. Sedangkan hasil orolannya dengan sejumlah sesepuh di Pulau Untung Jawa, mereka tidak pernah mendengar Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi. Bahkan, menurut dia, hampir sebagian besar penduduk di kelurahannya hanya mengetahui makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust.
Sebelum munculnya buku itu, banyak kalangan meyakini makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust, juga bagian dari Kepulauan Seribu. “Saya baru tahu tempat eksekusi itu di Pulau Ubi setelah dihubungi Fadli Zon sebelum peluncuran buku,” ujar Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, kepada merdeka.com, Sabtu siang pekan lalu di Garut, Jawa Barat.
Tenggelamnya pulau Ubi Besar dan Ubi Kecil ini diperkuat oleh keterangan Sobirin, buruh bongkar muat di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, dia tidak tahu kapan kedua pulau itu lenyap.
Selain karena abrasi, Sobirin memperkirakan Ubi Besar dan Ubi Kecil tenggelam lantaran penggalian pasir besar-besaran buat membangun Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten. “Seingat saya, pasir dari Pulau Ubi dulu banyak disedot untuk membangun Bandara Soekarno-Hatta,” ujar Sobirin ditemui di lokasinya bekerja, Ahad sore lalu.
Situs Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, www.bakorsurtanal.go.id masih mencantumkan nama dan koordinat Pulau Ubi Besar. Namun berdasarkan foto satelit, pulau itu sudah tidak ada. Sedangkan situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, hanya menulis nama Pulau Ubi Kecil, bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Pulau Untung Jawa.
Fadli Zon yakin lokasi eksekusi sekaligus pusara Kartosoewirjo di Pulau Ubi. itu berdasarkan foto dan keterangan foto yang diperoleh melalui hasil lelang. "Foto itu milik seorang kolektor," katanya saat dihubungi merdeka.com kemarin. Tapi dia menolak mengungkap identitas kolektor itu.
Dia mengakui Pulau Ubi sudah tenggelam. Dia mengaku mendengar soal itu sekitar 1990-an hingga 2000-an. Dia menambahkan stafnya sudah tiga kali ke lokasi, yakni tahun lalu, tiga bulan lalu, dan Ahad pekan lalu. "Menurut cerita Pak Sardjono, sekitar 1963-1964, ada utusan dari Bung Karno menyampaikan eksekusi dilaksanakan di Pulau Ubi," ujar Fadli.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 12:12:31
Jejak Buncit Kartosoewirjo (2)
Kartosoewirjo, tegas dalam soal ibadah
kartosoewirjo. blogspot.com
Sejak munculnya buku kumpulan foto Hari Terakhir Kartosoewirjo diterbitkan oleh Fadli Zon Library, Rabu pekan lalu, muncul informasi baru. Sejak Tentara Nasional Indonesia (TNI) menangkap deklarator Negara Islam Indonesia itu pada 4 Juni 1962, kabar mengenai Kartosoewirjo begitu misterius hingga kini. Bahkan, lokasi kuburannya tidak pasti.
Alhasil, sosok Kartosoewirjo menjelma menjadi mitos. Dia diyakini bisa meramal sebuah peristiwa. Belum lagi dengan dua pusaka, keris Ki Dongkol dan Pedang Ki Rompang, dianggap bertuah dan banyak membantu dalam persembunyiannya.
Menurut Asvi Marwan Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), munculnya kumpulan foto hari-hari terakhir Kartosoewirjo seperti bertutur dengan kronologis. Foto itu sudah menunjukkan bagaimana negara memperlakukan hukuman mati kepada orang dianggap pemberontak. Meski begitu, negara memberikan hak Kartosoewiryo bertemu keluarganya sebelum dieksekusi.
Namun, Asvi masih meragukan keaslian kumpulan foto itu, termasuk keterangan di dalamnya. Ini bukan soal bagaimana menafsir sebuah sumber sejarah, namun bagaimana sumber itu perlu diuji keabsahannya.
Sedangkan Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, meyakini foto-foto diperoleh Fadli Zon lewat lelang. Dia membenarkan lima kakaknya: Muhamad Darda, Tahmid Basuki, Danti, Kartika, dan Komalasari, hadir dalam pertemuan terakhir itu. “Dulu, saya sempat punya acara khusus makan bersama keluarga untuk mengenang peristiwa itu, seperti perjamuan terakhir dilakukan Nabi Isa dan murid-muridnya” ujar Sardjono.
Ketika ayahnya ditangkap, Sardjono masih berumur sekitar lima tahun. Namun, ia mengaku masih ingat saat dia bersama keluarga dan pasukan ayahnya kerap berpindah-pindah menghindari kejaran tentara. Dari Gunung Galunggung hingga Gunung Bataraguru di Garut, Jawa Barat.
Sardjono mengenang ayahnya sangat tegas menjalankan ibadah meski saat bergerilya. Kartosoewirjo tidak segan menghukum anak-anaknya yang meninggalkan salat. “Kadang hukumannya membaca istighfar tiga ribu kali dan diawasi Bapak atau salah satu anggota pasukan."
Dia belum lupa Kartosoewirjo saban malam mengikuti perkembangan berita melalui radio di gubuknya. Ukurannya cukup besar dengan tenaga dari 40 baterai. Saking beranta, radio itu harus diangkut beberapa orang. Pasukan ayahnya juga suka mencuri dengar dari luar seraya mengendap.
Buat mengusir jenuh, Kartosoewirjo meminta anak buahnya bermain reog atau monolog lucu diiringi gendang kecil. “Semoga dengan foto-foto eksekusi ini, mitos Bapak bisa hilang. Ia manusia biasa seperti yang lain,” kata Sardjono.
Merdeka.com Sabtu pekan lalu berupaya menyusuri jejak terakhir Kartosoewirjo, mulai dari lokasi penangkapannya di Gunung Galunggung hingga Hunung Geber, Majalaya, Garut. Sayangnya, Sarjono kerap lupa soal tempat-tempat pernah dijejaki ayahnya itu. Maklum saja, saat itu dia masih digendong.
Alhasil, sosok Kartosoewirjo menjelma menjadi mitos. Dia diyakini bisa meramal sebuah peristiwa. Belum lagi dengan dua pusaka, keris Ki Dongkol dan Pedang Ki Rompang, dianggap bertuah dan banyak membantu dalam persembunyiannya.
Menurut Asvi Marwan Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), munculnya kumpulan foto hari-hari terakhir Kartosoewirjo seperti bertutur dengan kronologis. Foto itu sudah menunjukkan bagaimana negara memperlakukan hukuman mati kepada orang dianggap pemberontak. Meski begitu, negara memberikan hak Kartosoewiryo bertemu keluarganya sebelum dieksekusi.
Namun, Asvi masih meragukan keaslian kumpulan foto itu, termasuk keterangan di dalamnya. Ini bukan soal bagaimana menafsir sebuah sumber sejarah, namun bagaimana sumber itu perlu diuji keabsahannya.
Sedangkan Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, meyakini foto-foto diperoleh Fadli Zon lewat lelang. Dia membenarkan lima kakaknya: Muhamad Darda, Tahmid Basuki, Danti, Kartika, dan Komalasari, hadir dalam pertemuan terakhir itu. “Dulu, saya sempat punya acara khusus makan bersama keluarga untuk mengenang peristiwa itu, seperti perjamuan terakhir dilakukan Nabi Isa dan murid-muridnya” ujar Sardjono.
Ketika ayahnya ditangkap, Sardjono masih berumur sekitar lima tahun. Namun, ia mengaku masih ingat saat dia bersama keluarga dan pasukan ayahnya kerap berpindah-pindah menghindari kejaran tentara. Dari Gunung Galunggung hingga Gunung Bataraguru di Garut, Jawa Barat.
Sardjono mengenang ayahnya sangat tegas menjalankan ibadah meski saat bergerilya. Kartosoewirjo tidak segan menghukum anak-anaknya yang meninggalkan salat. “Kadang hukumannya membaca istighfar tiga ribu kali dan diawasi Bapak atau salah satu anggota pasukan."
Dia belum lupa Kartosoewirjo saban malam mengikuti perkembangan berita melalui radio di gubuknya. Ukurannya cukup besar dengan tenaga dari 40 baterai. Saking beranta, radio itu harus diangkut beberapa orang. Pasukan ayahnya juga suka mencuri dengar dari luar seraya mengendap.
Buat mengusir jenuh, Kartosoewirjo meminta anak buahnya bermain reog atau monolog lucu diiringi gendang kecil. “Semoga dengan foto-foto eksekusi ini, mitos Bapak bisa hilang. Ia manusia biasa seperti yang lain,” kata Sardjono.
Merdeka.com Sabtu pekan lalu berupaya menyusuri jejak terakhir Kartosoewirjo, mulai dari lokasi penangkapannya di Gunung Galunggung hingga Hunung Geber, Majalaya, Garut. Sayangnya, Sarjono kerap lupa soal tempat-tempat pernah dijejaki ayahnya itu. Maklum saja, saat itu dia masih digendong.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 12:50:33
Jejak Buncit Kartosoewirjo (3)
Mencari pusara Kartosoewirjo
Kartosoewirjo. Handout/Hari Terahir Kartosoewirjo/Fadli Zon
Bagi Sardjono, foto-foto itu sudah menjawab pertanyaan tentang eksekusi mati Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Imam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Kisah hari-hari terakhir menjelang ajal, hingga lokasi terakhir pemakaman bapaknya kian benderang. Namun bungsu dari lima saudara ini lebih memilih berdamai dengan nasib. Tidak dendam, juga tidak hendak menggugat pemerintah.
Namun sebagai anak, dia menyesalkan eksekusi mati kepada bapaknya. “Apa harus dieksekusi mati, sudah tua seperti itu, dipenjara juga nanti pasti mati,” kata dia kepada merdeka.com sambil menikmati makan siang di rumah makan Padang di Garut, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.
Kartosoewirjo ditembak mati pada 5 September 1962. Hari-hari terakhir sang imam menjelang hukuman tembak direkam jelas dalam 81 esai foto lama karya anonim, lengkap dengan keterangan gambar. Jepretan foto-foto itu dicetak dalam buku berjudul Hari Terakhir Kartosoewirdjo karya politikus Partai Gerindera, Fadli Zon. Buku diluncurkan Rabu pekan lalu.
Hingga kini siapa pemotret eksekusi tersebut belum jelas. Fadli Zon mengaku mendapatkan foto dari seorang kolektor. Dia bertemu dalam sebuah acara lelang benda-benda filateli dan numismatik bertajuk Java Auction di Hotel Redtop, Agustus 2010. Dia meyakinkan kolektor itu, foto lebih aman bila disimpan di perpustakaanya, Fadli Zon Library.
Buku setebal 91 halaman itu dianggap telah mematahkan buku-buku sejarah ihwal lokasi eksekusi dan makam sang Imam. Sardjono dan keluarga misalnya, sebelumnya menganggap bapaknya dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Sebelum terbitnya buku itu, dia beberapa kali berziarah ke sana. Tapi kini dia harus berpikir ulang.
“Sekarang mana yang benar. Di Onrust atau di Pulau Ubi? Katanya selama ini di Onrust, saya selalu ke sana,” kata dia. Dalam keterangan foto, lokasi eksekusi mati dan pemakaman Kartosoewirjo memang ditulis di Pulau Ubi.
Dalam buku diceritakan perjalanan Kartosoewirjo menjelang eksekusi. Foto pertama bercerita tentang pertemuan keluarga, kemudian menampilkan perjalanan di dalam kapal, hingga proses eksekusi di Pulau Ubi. Juru foto mengabadikan lengkap detik-detik menjelang hukuman tembak itu. Begitu pula dengan pemakaman jenazah.
Bila dokumen foto dan keterangan-keterangan itu benar, Sardjono berharap ada penelusuran makam. Tujuannya buat mencari kebenaran lokasi makam. Menurut dia, keluarga mempunyai hak mengetahui lokasi persis pusara bapaknya. ”Tapi kami ini mau mengadu ke mana. Saya berharap ada yang mau memfasilitasi, dilakukan uji forensik, menggali makam buat mencari kebenaran,” ujarnya.
Lalu bagaimana perasaannya setelah melihat foto? ”Foto itu telah menceritakan semuanya. Masyarakat pasti bisa menyimpulkan bagaimana keadaan saat itu. Kesimpulan saya serahkan kepada masyarakat, silakan mau komentar apa,” ujarnya.
Hanya satu permintaannya, di mana sesungguhnya kubur bapaknya itu.
Namun sebagai anak, dia menyesalkan eksekusi mati kepada bapaknya. “Apa harus dieksekusi mati, sudah tua seperti itu, dipenjara juga nanti pasti mati,” kata dia kepada merdeka.com sambil menikmati makan siang di rumah makan Padang di Garut, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.
Kartosoewirjo ditembak mati pada 5 September 1962. Hari-hari terakhir sang imam menjelang hukuman tembak direkam jelas dalam 81 esai foto lama karya anonim, lengkap dengan keterangan gambar. Jepretan foto-foto itu dicetak dalam buku berjudul Hari Terakhir Kartosoewirdjo karya politikus Partai Gerindera, Fadli Zon. Buku diluncurkan Rabu pekan lalu.
Hingga kini siapa pemotret eksekusi tersebut belum jelas. Fadli Zon mengaku mendapatkan foto dari seorang kolektor. Dia bertemu dalam sebuah acara lelang benda-benda filateli dan numismatik bertajuk Java Auction di Hotel Redtop, Agustus 2010. Dia meyakinkan kolektor itu, foto lebih aman bila disimpan di perpustakaanya, Fadli Zon Library.
Buku setebal 91 halaman itu dianggap telah mematahkan buku-buku sejarah ihwal lokasi eksekusi dan makam sang Imam. Sardjono dan keluarga misalnya, sebelumnya menganggap bapaknya dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Sebelum terbitnya buku itu, dia beberapa kali berziarah ke sana. Tapi kini dia harus berpikir ulang.
“Sekarang mana yang benar. Di Onrust atau di Pulau Ubi? Katanya selama ini di Onrust, saya selalu ke sana,” kata dia. Dalam keterangan foto, lokasi eksekusi mati dan pemakaman Kartosoewirjo memang ditulis di Pulau Ubi.
Dalam buku diceritakan perjalanan Kartosoewirjo menjelang eksekusi. Foto pertama bercerita tentang pertemuan keluarga, kemudian menampilkan perjalanan di dalam kapal, hingga proses eksekusi di Pulau Ubi. Juru foto mengabadikan lengkap detik-detik menjelang hukuman tembak itu. Begitu pula dengan pemakaman jenazah.
Bila dokumen foto dan keterangan-keterangan itu benar, Sardjono berharap ada penelusuran makam. Tujuannya buat mencari kebenaran lokasi makam. Menurut dia, keluarga mempunyai hak mengetahui lokasi persis pusara bapaknya. ”Tapi kami ini mau mengadu ke mana. Saya berharap ada yang mau memfasilitasi, dilakukan uji forensik, menggali makam buat mencari kebenaran,” ujarnya.
Lalu bagaimana perasaannya setelah melihat foto? ”Foto itu telah menceritakan semuanya. Masyarakat pasti bisa menyimpulkan bagaimana keadaan saat itu. Kesimpulan saya serahkan kepada masyarakat, silakan mau komentar apa,” ujarnya.
Hanya satu permintaannya, di mana sesungguhnya kubur bapaknya itu.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 13:09:36
Takluk di Batara Guru, mati di Pulau Ubi
Kartosoewirjo. Handout/Hari Terahir Kartosoewirjo/Fadli Zon
KategoriKhas
3
Reporter: Mohamad Taufik
Mata Sardjono menerawang jauh ke arah punggung pengunungan Batara Guru, Garut Jawa Barat. Konon di sanalah perlawanan terakhir bapaknya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dan pasukanya. Setelah memberontak 12 tahun, bergerilya melawan Tentara Nasional Indonesia dari gunung ke gunung sejak 1949, Imam Negara Islam Indonesia (NII) itu takluk pada 4 Juni 1962.
Sang imam ditangkap pada usia 57 tahun dalam keadaan sakit. Tubuhnya kurus akibat kurang makan, kurang darah, dan mengalami pembengkakan lambung. Sebab itu, dia tampak lebih tua dari usianya. ”Makanan kurang, obat seadanya. Dokter tidak ada, cuma mantri kesehatan merawat bapak,” kata dia, Sabtu pekan lalu.
Hari itu Sardjono menemani merdeka.com mengunjungi lokasi terakhir Kartosoewirjo bermukim bareng 500 anggota pasukan di sekitar kawah Kamojang, Gunung Guntur, salah satu gugusan gunung Batara Guru di perbatasan Garut dan Bandung. Butuh dua jam perjalanan bermobil dari Kota Garut. Setelah melewati jalan perkampungan, merayapi kelokan tajam, naik-turun perbukitan, akhirnya sampai di lokasi itu.
“Seingat saya ini dulu jalan rintisan, biasa dilewati mobil-mobil tentara. Jalannya belum berubah, masih sama berbatu. Tapi sekarang tambah luas dibanding dulu,” tuturnya. Kala itu, Sardjono masih digendong para pembantu. Dia masih berumur lima tahun sehingga tidak lagi ingat potret perjalanan bapak dan pasukannya dengan rinci.
Sekarang kawah Kamojang menjadi obyek wisata pegunungan. Namun Sardjono masih merekam sisa-sisa kenangan tempat itu. Dia ingat pasukan NII berjaga-jaga di punggung gunung, memantau musuh datang. Dia menyaksikan bapaknya berpatroli. Bahkan ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) datang, mengepung lokasi pemukiman, hingga akhirnya berpisah dengan bapaknya.
”Kami di sini sudah lemah. TNI turun dari punggung gunung mengepung kami, lalu saya berpisah dengan bapak, dilarikan laskar. Katanya setelah itu bapak ditangkap di dalam tenda,” kata dia. Berdasarkan cerita keluarga, bapaknya tertangkap di sekitar lokasi itu bersama pasukanya pukul sepuluh pagi.
Lalu menjelang zuhur Kartosoewiryo dibawa turun. Begitu juga Sardjono dan ibunya. Sardjono petama kali dibawa ke pos batalion di Cicalengka. Setelah itu dikembalikan ke Garut di Wisma Korem (Komando Resor Militer) Cipanas. Di sana dia bertemu bapaknya dengan rambut acak-acakan, pakai piyama, sekitar Juni 1962. Berikutnya seluruh keluarga dipindah ke Ciumbuleuit, Bandung. Di sana dia berpisah dengan bapaknya.
Menurut Pinardi dalam bukunya berjudul Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964, setelah tertangkap, Kartosoewirjo disidang tiga hari berturut-turut, mulai 14 hingga 16 Agustus 1962, di Mahkamah Militer Angkatan Darat. Sidang dipimpin Hakim Ketua Letnan Kolonel CKH Sukarna didampingi Hakim Anggota Mayor Infantri Rauf Efendi dan Mayor Udara Lokal Muhammad.
Dia dinyatakan bersalah dan divonis mati. Soekarno, kawan lama Kartosoewirjo, menolak memberikan grasi. Sebulan kemudian, 12 September 1962, sang imam ditembak mati di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu. Beberapa buku sejarah mencatat Kartosoewirjo dieksekusi mati di Pulau Ubi dan dimakamkan di Pulau Onrust.
Namun belakangan muncul buku berisi 81 foto esai hari-hari terakhir menjelang eksekusi mati Kartosoewirjo karya Fadli Zon, politikus Partai Gerindera berjudul Hari Terakhir Kartosoewirjo. Buku ini membantah jenazah sang Imam dimakamkan di Pulau Onrust. Keterangan foto dengan sumber anonim itu mencatat setelah dieksekusi Kartosoewirjo dikubur di Pulau Ubi.
[fas]
Sang imam ditangkap pada usia 57 tahun dalam keadaan sakit. Tubuhnya kurus akibat kurang makan, kurang darah, dan mengalami pembengkakan lambung. Sebab itu, dia tampak lebih tua dari usianya. ”Makanan kurang, obat seadanya. Dokter tidak ada, cuma mantri kesehatan merawat bapak,” kata dia, Sabtu pekan lalu.
Hari itu Sardjono menemani merdeka.com mengunjungi lokasi terakhir Kartosoewirjo bermukim bareng 500 anggota pasukan di sekitar kawah Kamojang, Gunung Guntur, salah satu gugusan gunung Batara Guru di perbatasan Garut dan Bandung. Butuh dua jam perjalanan bermobil dari Kota Garut. Setelah melewati jalan perkampungan, merayapi kelokan tajam, naik-turun perbukitan, akhirnya sampai di lokasi itu.
“Seingat saya ini dulu jalan rintisan, biasa dilewati mobil-mobil tentara. Jalannya belum berubah, masih sama berbatu. Tapi sekarang tambah luas dibanding dulu,” tuturnya. Kala itu, Sardjono masih digendong para pembantu. Dia masih berumur lima tahun sehingga tidak lagi ingat potret perjalanan bapak dan pasukannya dengan rinci.
Sekarang kawah Kamojang menjadi obyek wisata pegunungan. Namun Sardjono masih merekam sisa-sisa kenangan tempat itu. Dia ingat pasukan NII berjaga-jaga di punggung gunung, memantau musuh datang. Dia menyaksikan bapaknya berpatroli. Bahkan ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) datang, mengepung lokasi pemukiman, hingga akhirnya berpisah dengan bapaknya.
”Kami di sini sudah lemah. TNI turun dari punggung gunung mengepung kami, lalu saya berpisah dengan bapak, dilarikan laskar. Katanya setelah itu bapak ditangkap di dalam tenda,” kata dia. Berdasarkan cerita keluarga, bapaknya tertangkap di sekitar lokasi itu bersama pasukanya pukul sepuluh pagi.
Lalu menjelang zuhur Kartosoewiryo dibawa turun. Begitu juga Sardjono dan ibunya. Sardjono petama kali dibawa ke pos batalion di Cicalengka. Setelah itu dikembalikan ke Garut di Wisma Korem (Komando Resor Militer) Cipanas. Di sana dia bertemu bapaknya dengan rambut acak-acakan, pakai piyama, sekitar Juni 1962. Berikutnya seluruh keluarga dipindah ke Ciumbuleuit, Bandung. Di sana dia berpisah dengan bapaknya.
Menurut Pinardi dalam bukunya berjudul Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964, setelah tertangkap, Kartosoewirjo disidang tiga hari berturut-turut, mulai 14 hingga 16 Agustus 1962, di Mahkamah Militer Angkatan Darat. Sidang dipimpin Hakim Ketua Letnan Kolonel CKH Sukarna didampingi Hakim Anggota Mayor Infantri Rauf Efendi dan Mayor Udara Lokal Muhammad.
Dia dinyatakan bersalah dan divonis mati. Soekarno, kawan lama Kartosoewirjo, menolak memberikan grasi. Sebulan kemudian, 12 September 1962, sang imam ditembak mati di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu. Beberapa buku sejarah mencatat Kartosoewirjo dieksekusi mati di Pulau Ubi dan dimakamkan di Pulau Onrust.
Namun belakangan muncul buku berisi 81 foto esai hari-hari terakhir menjelang eksekusi mati Kartosoewirjo karya Fadli Zon, politikus Partai Gerindera berjudul Hari Terakhir Kartosoewirjo. Buku ini membantah jenazah sang Imam dimakamkan di Pulau Onrust. Keterangan foto dengan sumber anonim itu mencatat setelah dieksekusi Kartosoewirjo dikubur di Pulau Ubi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar