Thomas Critchley selaku perwakilan Australia di Komisi Jasa Baik PBB bertemu Presiden Soekarno di Yogyakarta, 7 Desember 1948. (Photo: National Library of Australia)
Sabtu, 29 September 2012 | 18:14 WIB
G30S, Soekarno Bersembunyi di Halim dan Bogor
TEMPO.CO, Jakarta - Selama pergolakan Gerakan 30 September 1965, Presiden Soekarno sempat berpindah tempat persembunyian beberapa kali. Dari Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Bung Karno mengumpet di Grogol, di rumah istrinya, Harjati. Kemudian ia hijrah ke Landasan Udara Halim Perdanakusuma. (Baca selengkapnya: Saat G30S, Bung Karno Teradang Kepungan Tentara)
Belum sampai landasan, mobil yang ditumpangi Bung Karno berbalik arah. Sebab, di depan Markas Angkatan Udara Halim, berdiri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan deputinya, Leo Wattimena. Mereka pun mencari tempat peristirahatan sementara bagi Bung Karno.
“Akhirnya kami ke rumah Komodor Susanto,” kata Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo di majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984. Di masa terjadinya gerakan 30 September 1965, Mangil berlaku sebagai Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa. Sedangkan Komodor Susanto adalah pilot pesawat yang biasa dipakai Bung Karno bila keliling Indonesia.
Di rumah itu, datang Brigadir Jenderal Supardjo, Mayor Subambang, Mayor Sutrisno, dan Brigadir Jenderal Sabur. Menjelang tengah hari, datang Jaksa Agung Jenderal Sutardhio dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Lalu muncul Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata, Pangak Jenderal Sutjipta Judodihardjo, serta Menteri Koordinator Kabinet Dwikora I Dr Johannes Leimena.
Sekitar pukul 17.00, anak-anak Bung Karno hadir. Mereka adalah Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Tapi keempatnya tidak lama di sana. Mereka langsung diterbangkan ke Bandung dengan helikopter. Pukul 18.00, Komodor Susanto melaporkan adanya konvoi militer menuju Halim. “Tapi iringan dihentikan di depan pos PGT (Pasukan Gerak Tjepat) TNI-AU,” kata Mangil.
Malamnya, pukul 20.00, istri kelima Bung Karno, Ratna Sari Dewi Soekarno, datang ke Halim. Tapi tidak lama juga. Usai berdiskusi dengan Bung Karno, ia kembali ke Wisma Yaso. Sedangkan Kolonel Saelan mengatur persiapan buat meninggalkan Halim.
Kata Mangil, pelarian itu berjalan bertahap. Bung Karno menumpang mobil Prins biru, berplat B 3739 R. Bersama dia ada Leimena, Bambang Wijanarko Sudarso sebagai ajudan Bung Karno, dan Suparto. Semua pengawal, kecuali seorang yang berseragam Cakrabirawa, memakai baju preman. Selain itu tiap orang membawa revolver. Tujuannya agar tidak mencolok tentara yang patroli.
“Total ada delapan mobil pada rombongan. Di dalam jip terdapat 18 senjata Thomson. Dan jelang tengah malam, kami sampai di Istana Bogor,” kata Mangil.
PDAT | CORNILA DESYANA
Belum sampai landasan, mobil yang ditumpangi Bung Karno berbalik arah. Sebab, di depan Markas Angkatan Udara Halim, berdiri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan deputinya, Leo Wattimena. Mereka pun mencari tempat peristirahatan sementara bagi Bung Karno.
“Akhirnya kami ke rumah Komodor Susanto,” kata Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo di majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984. Di masa terjadinya gerakan 30 September 1965, Mangil berlaku sebagai Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa. Sedangkan Komodor Susanto adalah pilot pesawat yang biasa dipakai Bung Karno bila keliling Indonesia.
Di rumah itu, datang Brigadir Jenderal Supardjo, Mayor Subambang, Mayor Sutrisno, dan Brigadir Jenderal Sabur. Menjelang tengah hari, datang Jaksa Agung Jenderal Sutardhio dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Lalu muncul Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata, Pangak Jenderal Sutjipta Judodihardjo, serta Menteri Koordinator Kabinet Dwikora I Dr Johannes Leimena.
Sekitar pukul 17.00, anak-anak Bung Karno hadir. Mereka adalah Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Tapi keempatnya tidak lama di sana. Mereka langsung diterbangkan ke Bandung dengan helikopter. Pukul 18.00, Komodor Susanto melaporkan adanya konvoi militer menuju Halim. “Tapi iringan dihentikan di depan pos PGT (Pasukan Gerak Tjepat) TNI-AU,” kata Mangil.
Malamnya, pukul 20.00, istri kelima Bung Karno, Ratna Sari Dewi Soekarno, datang ke Halim. Tapi tidak lama juga. Usai berdiskusi dengan Bung Karno, ia kembali ke Wisma Yaso. Sedangkan Kolonel Saelan mengatur persiapan buat meninggalkan Halim.
Kata Mangil, pelarian itu berjalan bertahap. Bung Karno menumpang mobil Prins biru, berplat B 3739 R. Bersama dia ada Leimena, Bambang Wijanarko Sudarso sebagai ajudan Bung Karno, dan Suparto. Semua pengawal, kecuali seorang yang berseragam Cakrabirawa, memakai baju preman. Selain itu tiap orang membawa revolver. Tujuannya agar tidak mencolok tentara yang patroli.
“Total ada delapan mobil pada rombongan. Di dalam jip terdapat 18 senjata Thomson. Dan jelang tengah malam, kami sampai di Istana Bogor,” kata Mangil.
PDAT | CORNILA DESYANA
Sabtu, 29 September 2012 | 17:19 WIB
Saat G30S, Bung Karno Teradang Kepungan Tentara
TEMPO.CO, Jakarta - Kabar penembakan di rumah Jenderal Abdul Haris Nasution pada 30 September 1965 membuat kaget Presiden Seokarno. Atas saran Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa kala itu, Bung Karno meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. (Baca lengkap: Kegiatan Bung Karno Kala G30S/PKI Versi Pengawal)
Waktu konvoi sampai Jembatan Dukuh Atas, ada kabar lewat pemancar radio bahwa Istana dikepung tentara. Dengan handie talkie, Mangil mencoba menghubungi mobil Chrysler hitam berplat B 4747, yang ditumpangi Bung Karno. Tapi gagal. Sebab, alat komunikasi itu tidak berfungsi baik.
“Dengan kecepatan 40 kilometer per jam, mobil Chrysler semakin mendekati Istana,” kata Mangil dalam artikel Kisah-kisah Oktober 1965 pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984.
Masih berusaha mengubah rute kendaraan, Mangil berteriak ke konvoi agar belok kiri, menuju Jalan Kebon Sirih. Tapi usahanya sia-sia. Ajudan Bung Karno, Suparto, tidak mendengar perintah Mangil. Mobil Bung Karno tak berbelok, sedangkan dari kejauhan terlihat tentara yang mengepung Istana. Mangil kembali berteriak. Kali ini lebih keras, sampai akhirnya iringan mobil berbelok ke Jalan Budi Kemuliaan.
Karena lalu lintas macet, rombongan sempat terhenti. Kemudian muncul panggilan radio dari ajudan Kolonel Saelan. Mereka diminta menuju ke Grogol, ke tempat Harjati. “Dia adalah istri Bapak (Bung Karno) yang lain,” kata Mangil.
Konvoi tiba di rumah Harjati sekitar pukul 08.00. Satu jam kemudian, datang Ajudan Komisaris Besar Sumirat dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Mereka pun berunding soal tempat yang aman buat Bung Karno. Sejumlah usul keluar. Misalnya ke rumah kosong milik Sie Bien Ho di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tapi ide ini ditolak. Kolonel Saelan menginstruksikan Bung Karno dibawa ke Halim Perdanakusuma.
Kata Mangil, instruksi ini sesuai dengan pedoman bila presiden dalam bahaya. Beberapa pilihan menurut pedoman itu yakni dilarikan ke asrama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI, atau menuju ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di mana tersedia pesawat Jetstar yang siap terbang, langkah lainnya ke Tanjung Priok di mana ada dua kapal ALRI Varuna I dan Varuna II, atau Istana Bogor di mana terdapat helikopter.
“Berganti ke VW kodok biru, Bapak, Brigjen Sunaryo, dan Ajudan Sudarso menuju Halim pukul 09.30. Mobil dikendarai Suparto,” ujar Mangil.
PDAT | CORNILA DESYANA
Waktu konvoi sampai Jembatan Dukuh Atas, ada kabar lewat pemancar radio bahwa Istana dikepung tentara. Dengan handie talkie, Mangil mencoba menghubungi mobil Chrysler hitam berplat B 4747, yang ditumpangi Bung Karno. Tapi gagal. Sebab, alat komunikasi itu tidak berfungsi baik.
“Dengan kecepatan 40 kilometer per jam, mobil Chrysler semakin mendekati Istana,” kata Mangil dalam artikel Kisah-kisah Oktober 1965 pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984.
Masih berusaha mengubah rute kendaraan, Mangil berteriak ke konvoi agar belok kiri, menuju Jalan Kebon Sirih. Tapi usahanya sia-sia. Ajudan Bung Karno, Suparto, tidak mendengar perintah Mangil. Mobil Bung Karno tak berbelok, sedangkan dari kejauhan terlihat tentara yang mengepung Istana. Mangil kembali berteriak. Kali ini lebih keras, sampai akhirnya iringan mobil berbelok ke Jalan Budi Kemuliaan.
Karena lalu lintas macet, rombongan sempat terhenti. Kemudian muncul panggilan radio dari ajudan Kolonel Saelan. Mereka diminta menuju ke Grogol, ke tempat Harjati. “Dia adalah istri Bapak (Bung Karno) yang lain,” kata Mangil.
Konvoi tiba di rumah Harjati sekitar pukul 08.00. Satu jam kemudian, datang Ajudan Komisaris Besar Sumirat dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Mereka pun berunding soal tempat yang aman buat Bung Karno. Sejumlah usul keluar. Misalnya ke rumah kosong milik Sie Bien Ho di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tapi ide ini ditolak. Kolonel Saelan menginstruksikan Bung Karno dibawa ke Halim Perdanakusuma.
Kata Mangil, instruksi ini sesuai dengan pedoman bila presiden dalam bahaya. Beberapa pilihan menurut pedoman itu yakni dilarikan ke asrama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI, atau menuju ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di mana tersedia pesawat Jetstar yang siap terbang, langkah lainnya ke Tanjung Priok di mana ada dua kapal ALRI Varuna I dan Varuna II, atau Istana Bogor di mana terdapat helikopter.
“Berganti ke VW kodok biru, Bapak, Brigjen Sunaryo, dan Ajudan Sudarso menuju Halim pukul 09.30. Mobil dikendarai Suparto,” ujar Mangil.
PDAT | CORNILA DESYANA
Sabtu, 29 September 2012 | 17:19 WIB
Saat G30S, Bung Karno Teradang Kepungan Tentara
TEMPO.CO, Jakarta - Kabar penembakan di rumah Jenderal Abdul Haris Nasution pada 30 September 1965 membuat kaget Presiden Seokarno. Atas saran Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa kala itu, Bung Karno meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. (Baca lengkap: Kegiatan Bung Karno Kala G30S/PKI Versi Pengawal)
Waktu konvoi sampai Jembatan Dukuh Atas, ada kabar lewat pemancar radio bahwa Istana dikepung tentara. Dengan handie talkie, Mangil mencoba menghubungi mobil Chrysler hitam berplat B 4747, yang ditumpangi Bung Karno. Tapi gagal. Sebab, alat komunikasi itu tidak berfungsi baik.
“Dengan kecepatan 40 kilometer per jam, mobil Chrysler semakin mendekati Istana,” kata Mangil dalam artikel Kisah-kisah Oktober 1965 pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984.
Masih berusaha mengubah rute kendaraan, Mangil berteriak ke konvoi agar belok kiri, menuju Jalan Kebon Sirih. Tapi usahanya sia-sia. Ajudan Bung Karno, Suparto, tidak mendengar perintah Mangil. Mobil Bung Karno tak berbelok, sedangkan dari kejauhan terlihat tentara yang mengepung Istana. Mangil kembali berteriak. Kali ini lebih keras, sampai akhirnya iringan mobil berbelok ke Jalan Budi Kemuliaan.
Karena lalu lintas macet, rombongan sempat terhenti. Kemudian muncul panggilan radio dari ajudan Kolonel Saelan. Mereka diminta menuju ke Grogol, ke tempat Harjati. “Dia adalah istri Bapak (Bung Karno) yang lain,” kata Mangil.
Konvoi tiba di rumah Harjati sekitar pukul 08.00. Satu jam kemudian, datang Ajudan Komisaris Besar Sumirat dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Mereka pun berunding soal tempat yang aman buat Bung Karno. Sejumlah usul keluar. Misalnya ke rumah kosong milik Sie Bien Ho di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tapi ide ini ditolak. Kolonel Saelan menginstruksikan Bung Karno dibawa ke Halim Perdanakusuma.
Kata Mangil, instruksi ini sesuai dengan pedoman bila presiden dalam bahaya. Beberapa pilihan menurut pedoman itu yakni dilarikan ke asrama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI, atau menuju ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di mana tersedia pesawat Jetstar yang siap terbang, langkah lainnya ke Tanjung Priok di mana ada dua kapal ALRI Varuna I dan Varuna II, atau Istana Bogor di mana terdapat helikopter.
“Berganti ke VW kodok biru, Bapak, Brigjen Sunaryo, dan Ajudan Sudarso menuju Halim pukul 09.30. Mobil dikendarai Suparto,” ujar Mangil.
PDAT | CORNILA DESYANA
Waktu konvoi sampai Jembatan Dukuh Atas, ada kabar lewat pemancar radio bahwa Istana dikepung tentara. Dengan handie talkie, Mangil mencoba menghubungi mobil Chrysler hitam berplat B 4747, yang ditumpangi Bung Karno. Tapi gagal. Sebab, alat komunikasi itu tidak berfungsi baik.
“Dengan kecepatan 40 kilometer per jam, mobil Chrysler semakin mendekati Istana,” kata Mangil dalam artikel Kisah-kisah Oktober 1965 pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984.
Masih berusaha mengubah rute kendaraan, Mangil berteriak ke konvoi agar belok kiri, menuju Jalan Kebon Sirih. Tapi usahanya sia-sia. Ajudan Bung Karno, Suparto, tidak mendengar perintah Mangil. Mobil Bung Karno tak berbelok, sedangkan dari kejauhan terlihat tentara yang mengepung Istana. Mangil kembali berteriak. Kali ini lebih keras, sampai akhirnya iringan mobil berbelok ke Jalan Budi Kemuliaan.
Karena lalu lintas macet, rombongan sempat terhenti. Kemudian muncul panggilan radio dari ajudan Kolonel Saelan. Mereka diminta menuju ke Grogol, ke tempat Harjati. “Dia adalah istri Bapak (Bung Karno) yang lain,” kata Mangil.
Konvoi tiba di rumah Harjati sekitar pukul 08.00. Satu jam kemudian, datang Ajudan Komisaris Besar Sumirat dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Mereka pun berunding soal tempat yang aman buat Bung Karno. Sejumlah usul keluar. Misalnya ke rumah kosong milik Sie Bien Ho di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tapi ide ini ditolak. Kolonel Saelan menginstruksikan Bung Karno dibawa ke Halim Perdanakusuma.
Kata Mangil, instruksi ini sesuai dengan pedoman bila presiden dalam bahaya. Beberapa pilihan menurut pedoman itu yakni dilarikan ke asrama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI, atau menuju ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di mana tersedia pesawat Jetstar yang siap terbang, langkah lainnya ke Tanjung Priok di mana ada dua kapal ALRI Varuna I dan Varuna II, atau Istana Bogor di mana terdapat helikopter.
“Berganti ke VW kodok biru, Bapak, Brigjen Sunaryo, dan Ajudan Sudarso menuju Halim pukul 09.30. Mobil dikendarai Suparto,” ujar Mangil.
PDAT | CORNILA DESYANA
Sabtu, 29 September 2012 | 15:45 WIB
Kegiatan Bung Karno Kala G30S/PKI Versi Pengawal
TEMPO.CO, Jakarta- Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo merupakan eks Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa. Kala kejadian penculikan serta pembunuhan tujuh jenderal revolusi, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965, Mangil tengah bertugas mengawal Presiden Soekarno. Dalam majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, berjudul Kisah-kisah Oktober 1965, Mangil membuka lagi ingatannya akan hari berdarah itu.
Pada 30 September 1965 malam, kata Mangil, Presiden Soekarno atau Bung Karno beragenda memberikan sambutan pertemuan Persatuan Insinyur Indonesia, di Senayan. Biasanya, di acara serupa banyak pejabat yang datang serta duduk dibangku penting atau very important person (VIP). Tapi tidak begitu dengan Kamis malam itu. Tidak sedikit kursi VIP melompong. ”Bapak (Soekarno) kelihatan agak kecewa melihat itu,” kata Mangil.
Sekitar pukul 23.00, Bung Karno kembali ke Istana Merdeka. Dia mengganti baju kepresidenan dengan kemeja lengan pendek putih, celana abu-abu, tanpa kopiah. Tak lama waktu yang ia perlukan. Hanya 20 menit, kemudian Bung Karno keluar Istana. Menggunakan mobil Chrysler hitam, berplat B 4747, Bung Karno melaju ke Hotel Indonesia. Di sana, ia menjemput istrinya, Ratna Sari Dewi Soekarno.
“Bapak tetap di mobil. Ajudannya, Suparto, yang menjemput menjemput Ibu Dewi,” kata Mangil. Dari Hotel Indonesia, mobil berjalan ke Wisma Yaso, kini Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Hari berganti. Pada 1 Oktober 1965, sekitar pukul 05.15, Mangil menerima telepon dari satu anggota Detasemen Kawal Pribadi yang bertugas di Wisma Yaso. Laporan si petugas, “Hubungan telepon keluar Istana diputus Telkom atas perintah militer.”
Mendapat kabar itu, Mangil bergegas pergi ke Wisma Yaso. Dalam waktu setengah jam ia sudah tiba di sana. Dan sekira jam 06.00, Mangil mendapat berita rumah Jenderal Abdul Haris Nasution dan Leimena ditembaki. 30 menit berlalu, Bung Karno keluar dari kamar. Ia masih mengenakan baju lengan pendek dan tanpa kopiah. “Bapak rupanya sudah dilapori soal penembakan itu,” ujar Mangil.
Kepada Mangil, Bung Karno meminta detail peristiwanya. Tapi yang ditanya tidak bisa menjawab. Pernyataan itu membuat Soekarno berang. Kemudian dia meminta saran apa yang harus dilakukannya. "Menurut kamu sebaiknya bagaimana?" kata Mangil menirukan pertanyaan Bung Karno. Mangil memberi saran Soekarno tetap tinggal di Wisma Yaso, “Atau pindah ke Istana." Atas saran Mangil, Soekarno pun beranjak ke Istana. Mereka berangkat dengan konvoi dan pengamanan ketat.
PDAT | CORNILA DESYANA
Pada 30 September 1965 malam, kata Mangil, Presiden Soekarno atau Bung Karno beragenda memberikan sambutan pertemuan Persatuan Insinyur Indonesia, di Senayan. Biasanya, di acara serupa banyak pejabat yang datang serta duduk dibangku penting atau very important person (VIP). Tapi tidak begitu dengan Kamis malam itu. Tidak sedikit kursi VIP melompong. ”Bapak (Soekarno) kelihatan agak kecewa melihat itu,” kata Mangil.
Sekitar pukul 23.00, Bung Karno kembali ke Istana Merdeka. Dia mengganti baju kepresidenan dengan kemeja lengan pendek putih, celana abu-abu, tanpa kopiah. Tak lama waktu yang ia perlukan. Hanya 20 menit, kemudian Bung Karno keluar Istana. Menggunakan mobil Chrysler hitam, berplat B 4747, Bung Karno melaju ke Hotel Indonesia. Di sana, ia menjemput istrinya, Ratna Sari Dewi Soekarno.
“Bapak tetap di mobil. Ajudannya, Suparto, yang menjemput menjemput Ibu Dewi,” kata Mangil. Dari Hotel Indonesia, mobil berjalan ke Wisma Yaso, kini Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Hari berganti. Pada 1 Oktober 1965, sekitar pukul 05.15, Mangil menerima telepon dari satu anggota Detasemen Kawal Pribadi yang bertugas di Wisma Yaso. Laporan si petugas, “Hubungan telepon keluar Istana diputus Telkom atas perintah militer.”
Mendapat kabar itu, Mangil bergegas pergi ke Wisma Yaso. Dalam waktu setengah jam ia sudah tiba di sana. Dan sekira jam 06.00, Mangil mendapat berita rumah Jenderal Abdul Haris Nasution dan Leimena ditembaki. 30 menit berlalu, Bung Karno keluar dari kamar. Ia masih mengenakan baju lengan pendek dan tanpa kopiah. “Bapak rupanya sudah dilapori soal penembakan itu,” ujar Mangil.
Kepada Mangil, Bung Karno meminta detail peristiwanya. Tapi yang ditanya tidak bisa menjawab. Pernyataan itu membuat Soekarno berang. Kemudian dia meminta saran apa yang harus dilakukannya. "Menurut kamu sebaiknya bagaimana?" kata Mangil menirukan pertanyaan Bung Karno. Mangil memberi saran Soekarno tetap tinggal di Wisma Yaso, “Atau pindah ke Istana." Atas saran Mangil, Soekarno pun beranjak ke Istana. Mereka berangkat dengan konvoi dan pengamanan ketat.
PDAT | CORNILA DESYANA
Sabtu, 29 September 2012 | 18:14 WIB
G30S, Soekarno Bersembunyi di Halim dan Bogor
TEMPO.CO, Jakarta - Selama pergolakan Gerakan 30 September 1965, Presiden Soekarno sempat berpindah tempat persembunyian beberapa kali. Dari Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Bung Karno mengumpet di Grogol, di rumah istrinya, Harjati. Kemudian ia hijrah ke Landasan Udara Halim Perdanakusuma. (Baca selengkapnya: Saat G30S, Bung Karno Teradang Kepungan Tentara)
Belum sampai landasan, mobil yang ditumpangi Bung Karno berbalik arah. Sebab, di depan Markas Angkatan Udara Halim, berdiri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan deputinya, Leo Wattimena. Mereka pun mencari tempat peristirahatan sementara bagi Bung Karno.
“Akhirnya kami ke rumah Komodor Susanto,” kata Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo di majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984. Di masa terjadinya gerakan 30 September 1965, Mangil berlaku sebagai Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa. Sedangkan Komodor Susanto adalah pilot pesawat yang biasa dipakai Bung Karno bila keliling Indonesia.
Di rumah itu, datang Brigadir Jenderal Supardjo, Mayor Subambang, Mayor Sutrisno, dan Brigadir Jenderal Sabur. Menjelang tengah hari, datang Jaksa Agung Jenderal Sutardhio dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Lalu muncul Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata, Pangak Jenderal Sutjipta Judodihardjo, serta Menteri Koordinator Kabinet Dwikora I Dr Johannes Leimena.
Sekitar pukul 17.00, anak-anak Bung Karno hadir. Mereka adalah Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Tapi keempatnya tidak lama di sana. Mereka langsung diterbangkan ke Bandung dengan helikopter. Pukul 18.00, Komodor Susanto melaporkan adanya konvoi militer menuju Halim. “Tapi iringan dihentikan di depan pos PGT (Pasukan Gerak Tjepat) TNI-AU,” kata Mangil.
Malamnya, pukul 20.00, istri kelima Bung Karno, Ratna Sari Dewi Soekarno, datang ke Halim. Tapi tidak lama juga. Usai berdiskusi dengan Bung Karno, ia kembali ke Wisma Yaso. Sedangkan Kolonel Saelan mengatur persiapan buat meninggalkan Halim.
Kata Mangil, pelarian itu berjalan bertahap. Bung Karno menumpang mobil Prins biru, berplat B 3739 R. Bersama dia ada Leimena, Bambang Wijanarko Sudarso sebagai ajudan Bung Karno, dan Suparto. Semua pengawal, kecuali seorang yang berseragam Cakrabirawa, memakai baju preman. Selain itu tiap orang membawa revolver. Tujuannya agar tidak mencolok tentara yang patroli.
“Total ada delapan mobil pada rombongan. Di dalam jip terdapat 18 senjata Thomson. Dan jelang tengah malam, kami sampai di Istana Bogor,” kata Mangil.
Belum sampai landasan, mobil yang ditumpangi Bung Karno berbalik arah. Sebab, di depan Markas Angkatan Udara Halim, berdiri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan deputinya, Leo Wattimena. Mereka pun mencari tempat peristirahatan sementara bagi Bung Karno.
“Akhirnya kami ke rumah Komodor Susanto,” kata Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo di majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984. Di masa terjadinya gerakan 30 September 1965, Mangil berlaku sebagai Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa. Sedangkan Komodor Susanto adalah pilot pesawat yang biasa dipakai Bung Karno bila keliling Indonesia.
Di rumah itu, datang Brigadir Jenderal Supardjo, Mayor Subambang, Mayor Sutrisno, dan Brigadir Jenderal Sabur. Menjelang tengah hari, datang Jaksa Agung Jenderal Sutardhio dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Lalu muncul Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata, Pangak Jenderal Sutjipta Judodihardjo, serta Menteri Koordinator Kabinet Dwikora I Dr Johannes Leimena.
Sekitar pukul 17.00, anak-anak Bung Karno hadir. Mereka adalah Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Tapi keempatnya tidak lama di sana. Mereka langsung diterbangkan ke Bandung dengan helikopter. Pukul 18.00, Komodor Susanto melaporkan adanya konvoi militer menuju Halim. “Tapi iringan dihentikan di depan pos PGT (Pasukan Gerak Tjepat) TNI-AU,” kata Mangil.
Malamnya, pukul 20.00, istri kelima Bung Karno, Ratna Sari Dewi Soekarno, datang ke Halim. Tapi tidak lama juga. Usai berdiskusi dengan Bung Karno, ia kembali ke Wisma Yaso. Sedangkan Kolonel Saelan mengatur persiapan buat meninggalkan Halim.
Kata Mangil, pelarian itu berjalan bertahap. Bung Karno menumpang mobil Prins biru, berplat B 3739 R. Bersama dia ada Leimena, Bambang Wijanarko Sudarso sebagai ajudan Bung Karno, dan Suparto. Semua pengawal, kecuali seorang yang berseragam Cakrabirawa, memakai baju preman. Selain itu tiap orang membawa revolver. Tujuannya agar tidak mencolok tentara yang patroli.
“Total ada delapan mobil pada rombongan. Di dalam jip terdapat 18 senjata Thomson. Dan jelang tengah malam, kami sampai di Istana Bogor,” kata Mangil.
Sabtu, 29 September 2012 | 19:02 WIB
Soekarno Sempat Beraktivitas Biasa Saat G30S
TEMPO.CO, Jakarta - Seperti hari-hari sebelumnya, pada 30 September 1965 Presiden Soekarno beraktivitas biasa. Bangun pagi sebelum pukul 05.00, sembahyang, minum kopi, lalu berangkat ke Istana. Dan Kamis itu, Bung Karno tengah bersiap memberi pidato pada kongres Persatuan Insinyur Indonesia di Senayan.(Baca selengkapnya: Kegiatan Bung Karno Kala G30S/PKI versi Pengawal).
Istrinya, Ratna Sari Dewi Soekarno, juga bersiap diri untuk acara resepsi Duta Besar Italia. Kemudian, pukul 21.00, Ratna Sari pergi ke acara makan malam Duta Besar Iran di Nirwana Supper Club, Hotel Indonesia. “Hampir semua diplomat asing di Jakarta ada di sana,” kata Ratna Sari Dewi pada Majalah TEMPO dalam tulisan Kisah-Kisah Oktober 1965, edisi 6 Oktober 1984.
Sekitar pukul 23.00, seorang pria menjemput Ratna Sari Dewi. Dia adalah ajudan Bung Karno, Suparto. Kata si ajudan, Soekarno telah menanti istrinya di mobil. Mengikuti utusan sang suami, Ratna Sari Dewi meninggalkan acara, bergeser ke kediamannya di Wisma Yaso, kini Museum Satria Mandala. “Malam itu tidak ada yang berbeda. Bapak (Bung Karno) istirahat, saya menjaganya,” ujar Ratna Sari Dewi.
Kala pagi menjelang, 1 Oktober 1965, Soekarno tersadar dari tidurnya di waktu normal. Sebelum jam 05.00. Usai salat, ia langsung beranjak ke Istana. Kata Ratna Sari Dewi, tidak ada yang aneh dengan pagi itu. Tak juga ada kabar seputar Gerakan 30 September 1965.
Semuanya berjalan wajar. Bahkan menurut dia, tidak benar bila pagi itu ada telepon yang memberi tahu adanya kudeta. “Setahu saya, Bapak baru tahu soal penculikan jenderal dalam perjalanannya ke Istana,” ujr Ratna Sari Dewi.
Ia sendiri baru mengetahuinya sekitar pukul 09.00. Ketika itu sejumlah kerabat dan teman menghubunginya lewat telepon. Mereka sampaikan, rumah Dr. Johannes Leimena dan Jenderal Abdul Haris Nasution diserang tentara bersenjata lengkap. “Saya panik. Khawatir karena tidak tahu keberadaan Bapak (Bung Karno) pagi itu,” kata dia.
PDAT | CORNILA DESYANA
Istrinya, Ratna Sari Dewi Soekarno, juga bersiap diri untuk acara resepsi Duta Besar Italia. Kemudian, pukul 21.00, Ratna Sari pergi ke acara makan malam Duta Besar Iran di Nirwana Supper Club, Hotel Indonesia. “Hampir semua diplomat asing di Jakarta ada di sana,” kata Ratna Sari Dewi pada Majalah TEMPO dalam tulisan Kisah-Kisah Oktober 1965, edisi 6 Oktober 1984.
Sekitar pukul 23.00, seorang pria menjemput Ratna Sari Dewi. Dia adalah ajudan Bung Karno, Suparto. Kata si ajudan, Soekarno telah menanti istrinya di mobil. Mengikuti utusan sang suami, Ratna Sari Dewi meninggalkan acara, bergeser ke kediamannya di Wisma Yaso, kini Museum Satria Mandala. “Malam itu tidak ada yang berbeda. Bapak (Bung Karno) istirahat, saya menjaganya,” ujar Ratna Sari Dewi.
Kala pagi menjelang, 1 Oktober 1965, Soekarno tersadar dari tidurnya di waktu normal. Sebelum jam 05.00. Usai salat, ia langsung beranjak ke Istana. Kata Ratna Sari Dewi, tidak ada yang aneh dengan pagi itu. Tak juga ada kabar seputar Gerakan 30 September 1965.
Semuanya berjalan wajar. Bahkan menurut dia, tidak benar bila pagi itu ada telepon yang memberi tahu adanya kudeta. “Setahu saya, Bapak baru tahu soal penculikan jenderal dalam perjalanannya ke Istana,” ujr Ratna Sari Dewi.
Ia sendiri baru mengetahuinya sekitar pukul 09.00. Ketika itu sejumlah kerabat dan teman menghubunginya lewat telepon. Mereka sampaikan, rumah Dr. Johannes Leimena dan Jenderal Abdul Haris Nasution diserang tentara bersenjata lengkap. “Saya panik. Khawatir karena tidak tahu keberadaan Bapak (Bung Karno) pagi itu,” kata dia.
PDAT | CORNILA DESYANA
Sabtu, 29 September 2012 | 15:29 WIB
Cerita Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI
TEMPO.CO, Jakarta–Masih ingat dengan film Pengkhianatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI? Selama masa kepresidenan Soeharto, film berkisah penculikan serta pembunuhan tujuh jenderal revolusi itu selalu diputar pada 30 September oleh Televisi Republik Indonesia atau TVRI. Satu korban yang menjadi sasaran pembantaian adalah Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan atau D.I. Panjaitan. Dan putrinya, Catherine Panjaitan, menjadi saksi mata penculikan itu.
Pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, Catherine menceritakan kejadian malam berdarah itu. Ingatan itu tertuang dalam tulisan berjudul, Kisah-kisah Oktober 1965. Bagi Anda yang sempat menonton filmnya pasti melihat adegan putri D.I Panjaitan membasuhkan darah sang ayah ke mukanya. Tapi benarkah Chaterine melakukan hal itu?
“Saya melihat kepala Papi ditembak dua kali,” Catherine mengisahkan. “Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papi..., Papi...." Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada.”
Kata Catherine, penculikan terjadi sekitar pukul 04.30, pada 1 Oktober 1965. Kala itu, ia tengah tidur di kamar lantai dua. Kemudian terbangun karena teriakan dan tembakan. Catherine mengintip ke jendela. Ternyata telah banyak tentara berseragam lengkap di perkarangan rumah. “Beberapa di antaranya melompati pagar, sambil membawa senapan,” kata Catherine.
Panik, ia lari ke kamar ayahnya. Yang dicari sudah terbangun dari tidur. Mereka pun berkumpul di ruang tengah lantai atas. Kata Catherine, almarhum papinya terus mondar-mandir, dari balkon ke kamar. Dia sempat mengotak-atik senjatanya, semacam senapan pendek.
Catherine sendiri sempat bertanya pada ayahnya soal apa yang terjadi. Tapi sang jenderal bergeming. Sedangkan di lantai bawah, bunyi tembakan terus terdengar. Televisi, koleksi kristal Ibu Panjaitan, dan barang lainnya hancur. Bahkan meja ikut terjungkal. “Tiarap…tiarap,” kata Catherine menirukan ayahnya.
Sebelum menyerahkan diri ke tentara, mendiang Panjaitan sempat meminta Catherine menelepon Samosir, asisten Jenderal S. Parman. Usai itu, Catherine menghubungi Bambang, pacar sahabatnya. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel telepon diputus.
Berseragam lengkap, kemudian D.I. Panjaitan turun ke ruang tamu. Seorang berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat," Tapi Panjaitan hanya mengambil topi, mengapitnya di ketiak kiri. Tak diacuhkan begitu, si tentara memukul Panjaitan dengan gagang senapan, hingga ia tersungkur. Setelah itu, kejadian bergulir cepat. Dor! Dor! “Darah menyembur dari kepala Papi,” kata Catherine.
PDAT | CORNILA DESYANA
Pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984, Catherine menceritakan kejadian malam berdarah itu. Ingatan itu tertuang dalam tulisan berjudul, Kisah-kisah Oktober 1965. Bagi Anda yang sempat menonton filmnya pasti melihat adegan putri D.I Panjaitan membasuhkan darah sang ayah ke mukanya. Tapi benarkah Chaterine melakukan hal itu?
“Saya melihat kepala Papi ditembak dua kali,” Catherine mengisahkan. “Dengan air mata meleleh, saya berteriak, "Papi..., Papi...." Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada.”
Kata Catherine, penculikan terjadi sekitar pukul 04.30, pada 1 Oktober 1965. Kala itu, ia tengah tidur di kamar lantai dua. Kemudian terbangun karena teriakan dan tembakan. Catherine mengintip ke jendela. Ternyata telah banyak tentara berseragam lengkap di perkarangan rumah. “Beberapa di antaranya melompati pagar, sambil membawa senapan,” kata Catherine.
Panik, ia lari ke kamar ayahnya. Yang dicari sudah terbangun dari tidur. Mereka pun berkumpul di ruang tengah lantai atas. Kata Catherine, almarhum papinya terus mondar-mandir, dari balkon ke kamar. Dia sempat mengotak-atik senjatanya, semacam senapan pendek.
Catherine sendiri sempat bertanya pada ayahnya soal apa yang terjadi. Tapi sang jenderal bergeming. Sedangkan di lantai bawah, bunyi tembakan terus terdengar. Televisi, koleksi kristal Ibu Panjaitan, dan barang lainnya hancur. Bahkan meja ikut terjungkal. “Tiarap…tiarap,” kata Catherine menirukan ayahnya.
Sebelum menyerahkan diri ke tentara, mendiang Panjaitan sempat meminta Catherine menelepon Samosir, asisten Jenderal S. Parman. Usai itu, Catherine menghubungi Bambang, pacar sahabatnya. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel telepon diputus.
Berseragam lengkap, kemudian D.I. Panjaitan turun ke ruang tamu. Seorang berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat," Tapi Panjaitan hanya mengambil topi, mengapitnya di ketiak kiri. Tak diacuhkan begitu, si tentara memukul Panjaitan dengan gagang senapan, hingga ia tersungkur. Setelah itu, kejadian bergulir cepat. Dor! Dor! “Darah menyembur dari kepala Papi,” kata Catherine.
PDAT | CORNILA DESYANA
Sabtu, 29 September 2012 | 09:44 WIB
Film Pengkhianatan G30S/PKI, Propaganda Berhasilkah?
TEMPO.CO, Jakarta - Semasa Orde Baru, ada adegan horor yang tayang tiap 30 September. Horor karena di stasiun televisi nasional memutar satu film berjudul Pengkhianatan G30S/PKI. Di dalamnya banyak adegan berdarah dari penyiksaan para jenderal, tawa puas para penyiksa, hingga pengambilan mayat korban tragedi yang terjadi pada tanggal terakhir di bulan September, 47 tahun silam.
“Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Jadi, memang ada semacam muatan politik,” ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.
Amoroso yang ditemui, Rabu, 26 September 2012, menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. “Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,” pria berusia 72 tahun ini.
Sejarawan Hilmar Farid menyatakan dengan tegas bahwa film tersebut adalah propaganda Orde Baru. “Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN (Pusat Produksi Film Nasional) dengan restu Soeharto,” tulis dia dalam surat elektronik,” ujar dia. Sehingga, isi film pun mewakili pandangan Orde Baru tentang peristiwa 30 September 1965. “Dan sejumlah fantasinya.”
Film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini diproduksi pada 1984 dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film propaganda tentang pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini.
Tempo, pada September 2000 silam, membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasil indoktrinasi lewat buku sejarah dan media propaganda itu sungguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.
Menurut sebagian besar responden, komunisme itu melulu paham yang antiagama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia -dan tak laku dijual sebagai ideologi di berbagai negara- banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar.
Sebagian besar responden juga percaya adegan yang ada dalam Pengkhianatan G30S/PKI itu benar-benar terjadi. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Sulami, seorang bekas anggota Gerwani, organisasi onderbouw PKI, contohnya, menyangkal ada anggota kelompoknya yang menari-nari di Lubang Buaya sewaktu para jenderal dibawa ke sana, seperti yang digambarkan dalam film itu. Kepada Tempo, Sulami bahkan menolak disebut terlibat dalam gerakan penculikan itu.
Hilmar menguraikan, film tersebut berhasil melanggengkan kebencian terhadap PKI. “Sebab, film yang diputar tiap tahun itu menyebarkan cerita bohong tentang kejahatan di Lubang Buaya,” ujar dia. Dengan target generasi muda, menurut dia, Orde Baru berhasil menemukan cara yang efektif untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. “Yang dengan sendirinya menambah kuat legitimasi Soeharto,” kata peneliti dari Indonesian Institute of Social History ini.
Menurut data Peredaran Film Nasional yang tertulis dalam situs filmindonesia.or.id judul semula Pengkhinatan G 30 S/PKI adalah SOB (Sejarah Orde Baru). Karya berdana Rp 800 juta tersebut menjadi film terlaris pertama di Jakarta pada 1984 dengan 699.282 penonton. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri, yang belum terpecahkan hingga 1995. Tapi ketika reformasi bergulir, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film yang dibuat pada 1984 ini diputuskan tidak diputar atau diedarkan lagi. Begitu juga film-film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden.
Kini, memperingati kejadian 30 September, Tempo.co menulis sejumlah catatan tentang pembuatan film tersebut. Mulai dari kisah sutradara, pemain, dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film termahal di masanya ini.
DIANING SARI
“Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Jadi, memang ada semacam muatan politik,” ujar Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.
Amoroso yang ditemui, Rabu, 26 September 2012, menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. “Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan,” pria berusia 72 tahun ini.
Sejarawan Hilmar Farid menyatakan dengan tegas bahwa film tersebut adalah propaganda Orde Baru. “Dari segi produksi, kita lihat pembuatannya, ditangani langsung PPFN (Pusat Produksi Film Nasional) dengan restu Soeharto,” tulis dia dalam surat elektronik,” ujar dia. Sehingga, isi film pun mewakili pandangan Orde Baru tentang peristiwa 30 September 1965. “Dan sejumlah fantasinya.”
Film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini diproduksi pada 1984 dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film propaganda tentang pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini.
Tempo, pada September 2000 silam, membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasil indoktrinasi lewat buku sejarah dan media propaganda itu sungguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.
Menurut sebagian besar responden, komunisme itu melulu paham yang antiagama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia -dan tak laku dijual sebagai ideologi di berbagai negara- banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar.
Sebagian besar responden juga percaya adegan yang ada dalam Pengkhianatan G30S/PKI itu benar-benar terjadi. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Sulami, seorang bekas anggota Gerwani, organisasi onderbouw PKI, contohnya, menyangkal ada anggota kelompoknya yang menari-nari di Lubang Buaya sewaktu para jenderal dibawa ke sana, seperti yang digambarkan dalam film itu. Kepada Tempo, Sulami bahkan menolak disebut terlibat dalam gerakan penculikan itu.
Hilmar menguraikan, film tersebut berhasil melanggengkan kebencian terhadap PKI. “Sebab, film yang diputar tiap tahun itu menyebarkan cerita bohong tentang kejahatan di Lubang Buaya,” ujar dia. Dengan target generasi muda, menurut dia, Orde Baru berhasil menemukan cara yang efektif untuk menanamkan kebencian terhadap PKI. “Yang dengan sendirinya menambah kuat legitimasi Soeharto,” kata peneliti dari Indonesian Institute of Social History ini.
Menurut data Peredaran Film Nasional yang tertulis dalam situs filmindonesia.or.id judul semula Pengkhinatan G 30 S/PKI adalah SOB (Sejarah Orde Baru). Karya berdana Rp 800 juta tersebut menjadi film terlaris pertama di Jakarta pada 1984 dengan 699.282 penonton. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri, yang belum terpecahkan hingga 1995. Tapi ketika reformasi bergulir, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film yang dibuat pada 1984 ini diputuskan tidak diputar atau diedarkan lagi. Begitu juga film-film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden.
Kini, memperingati kejadian 30 September, Tempo.co menulis sejumlah catatan tentang pembuatan film tersebut. Mulai dari kisah sutradara, pemain, dan semua pihak yang terlibat dalam pembuatan film termahal di masanya ini.
DIANING SARI
Sabtu, 29 September 2012 | 10:02 WIB
Kekuatan Film Pengkhianatan G30S/PKI Luar Biasa
TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu film yang berhasil menyedot penonton terbanyak. Data Peredaran Film Nasional menyatakan karya berdana Rp 800 juta itu menjadi film terlaris pertama di Jakarta pada 1984, dengan jumlah penonton 699.282 orang.
Secara sinematografi, banyak yang mengakui karya seni arahan Arifin C. Noer ini. “Kekuatan film luar biasa, banyak orang menerima film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai representasi kenyataan,” ujar sejarahwan Hilman Farid dalam surat elektronik yang diterima Tempo, Kamis, 27 September 2012.
Menurut Hilmar, film tersebut telah berhasil membuat generasi muda mengira apa yang terjadi di masa lalu seperti yang ada di film. “Jangankan film sejarah, kadang sinetron yang ditonton itu dipercaya benar adanya,” ujar peneliti dari Indonesia Institute of Social History ini. Buktinya adalah banyak pemain sinetron yang acap dimarahi di pasar karena mereka membawakan peran antagonis. Kemarahan penikmat sinetron, ia melanjutkan, memang sungguhan karena mengira yang ditonton itu nyata.
Pada kasus film Pengkhianatan G30S/PKI, ia menguraikan, ada campur tangan kepentingan politik. Intervensi itu mengeksploitasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman untuk mendapatkan apa yang diinginkan. “Film menjadi sarana yang efektif untuk kepentingan semacam itu,” ujar Hilmar.
Pendapat Hilmar serupa dengan pemeran Soeharto dalam film tentang pembunuhan para jenderal itu, Amoroso Katamsi. “Memang tayangan audio visual itu lebih mudah untuk memasukkan gagasan, idea, atau ideologi,” ujar dokter kesehatan jiwa ini. Maka, tak ayal, dulu pemerintah Indonesia di era Orde Lama sempat melarang masuknya sejumlah film barat.
Ia mencontohkan, pengaruh film terhadap kehidupan salah satunya adalah jin, celana berbahan denim. Waktu itu, jin belum masuk ke Indonesia. Tapi, ketika film-film Amerika membanjiri Indonesia dengan membawa gaya berpakaian bahan jin, mulailah produk itu ikut mejeng di toko-toko pakaian. “Banyak hal yang bisa mempengaruhi penonton. Apalagi, kalau terus menerus dijejalkan,” ujar Amoroso.
Melalui film, dia melanjutkan, menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Sebab, pemerintah merasakan bagaimana sulitnya menumpas gerakan komunis ketika terjadi pemberontakan pertama pada 1948 di Madiun. “PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah berkhianat, “ ujar dokter yang juga tentara ini. Maka, menurutnya, wajar pemerintahan Orde Baru berusaha menumpas paham komunisme dengan segala cara dan biaya yang besar, termasuk lewat film berdana Rp 800 juta ini.
DIANING SARI
Secara sinematografi, banyak yang mengakui karya seni arahan Arifin C. Noer ini. “Kekuatan film luar biasa, banyak orang menerima film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai representasi kenyataan,” ujar sejarahwan Hilman Farid dalam surat elektronik yang diterima Tempo, Kamis, 27 September 2012.
Menurut Hilmar, film tersebut telah berhasil membuat generasi muda mengira apa yang terjadi di masa lalu seperti yang ada di film. “Jangankan film sejarah, kadang sinetron yang ditonton itu dipercaya benar adanya,” ujar peneliti dari Indonesia Institute of Social History ini. Buktinya adalah banyak pemain sinetron yang acap dimarahi di pasar karena mereka membawakan peran antagonis. Kemarahan penikmat sinetron, ia melanjutkan, memang sungguhan karena mengira yang ditonton itu nyata.
Pada kasus film Pengkhianatan G30S/PKI, ia menguraikan, ada campur tangan kepentingan politik. Intervensi itu mengeksploitasi ketidaktahuan atau kesalahpahaman untuk mendapatkan apa yang diinginkan. “Film menjadi sarana yang efektif untuk kepentingan semacam itu,” ujar Hilmar.
Pendapat Hilmar serupa dengan pemeran Soeharto dalam film tentang pembunuhan para jenderal itu, Amoroso Katamsi. “Memang tayangan audio visual itu lebih mudah untuk memasukkan gagasan, idea, atau ideologi,” ujar dokter kesehatan jiwa ini. Maka, tak ayal, dulu pemerintah Indonesia di era Orde Lama sempat melarang masuknya sejumlah film barat.
Ia mencontohkan, pengaruh film terhadap kehidupan salah satunya adalah jin, celana berbahan denim. Waktu itu, jin belum masuk ke Indonesia. Tapi, ketika film-film Amerika membanjiri Indonesia dengan membawa gaya berpakaian bahan jin, mulailah produk itu ikut mejeng di toko-toko pakaian. “Banyak hal yang bisa mempengaruhi penonton. Apalagi, kalau terus menerus dijejalkan,” ujar Amoroso.
Melalui film, dia melanjutkan, menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Sebab, pemerintah merasakan bagaimana sulitnya menumpas gerakan komunis ketika terjadi pemberontakan pertama pada 1948 di Madiun. “PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah berkhianat, “ ujar dokter yang juga tentara ini. Maka, menurutnya, wajar pemerintahan Orde Baru berusaha menumpas paham komunisme dengan segala cara dan biaya yang besar, termasuk lewat film berdana Rp 800 juta ini.
DIANING SARI
Sabtu, 29 September 2012 | 10:10 WIB
Sosok ''Dalang'' Film Pengkhianatan G30S/PKI
TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI membutuhkan waktu dua tahun untuk pembuatannya, dengan 120 tokoh lain dan 10 ribu figuran. Pembuatan film itu tak lepas dari tangan dingin sutradara Arifin C. Noer.
Seperti ditulis majalah Tempo edisi 7 April 1984 dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah, Arifin membaca sebanyak mungkin, mewawancarai saksi sejarah, mencari properti asli untuk membuat film itu. Arifin pun mencita-citakan film ini menjadi film pendidikan dan renungan tanpa “menawarkan kebencian”.
Arifin dikenal sebagai sutradara dengan latar belakang teater. Ia menyabet Piala Citra untuk film Serangan Fajar (FFI 1982) dan Taksi (1990).
Arifin anak kedua dari delapan bersaudara. Anak Mohammad Adnan, penjual sate keturunan kiai, ini menggeluti kegiatan puisi dan teater sejak di SMP. Bersekolah di Yogyakarta, ia bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra dan menjadi anggota Himpunan Sastrawan Surakarta.
Sajak pertamanya, Langgar Purwodiningratan, mengenai masjid tempat ia bertafakur. Naskahnya Lampu Neon, atau Nenek Tercinta, memenangkan sayembara Teater Muslim, 1967. Ia kemudian bergabung dengan kelompok teater tersebut.
Setahun kemudian, selesai kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, ia pindah ke Jakarta. Ia lalu mendirikan Teater Kecil dan berhasil mementaskan cerita serta dongeng yang seperti bernyanyi.
Teaternya akrab dengan publik. Ia memasukkan unsur-unsur lenong, stambul, boneka (marionette), wayang kulit maupun golek, dan melodi pesisir. ''Arifin adalah pembela kaum miskin,'' komentar penyair Taufiq Ismail setelah pementasan Interogasi, 1984. Ia sendiri santai berkata, ''Saya hidup di dunia kelam, dekat dengan kejelataan, dan musik dangdut.''
Lewat film Pemberang, ia dinobatkan sebagai penulis skenario terbaik di Festival Film Asia 1972 dan mendapat piala The Golden Harvest. Pada tahun itu, ''Peransi, pembuat film dokumenter, memperkenalkan film sebagai media ekspresi kepada saya,'' tuturnya. Arifin kembali tampil sebagai penulis skenario terbaik untuk Rio Anakku dan Melawan Badai dalam Festival Film Indonesia 1978. Ia meraih Piala Citra.
Mengaku autodidak di bidang sinematografi, ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu, 1976. ''Banyak menyutradarai teater, ternyata, merupakan dasar yang sangat perlu untuk film,'' katanya.
Arifin sempat disebut sebagai sutradara termahal. Padahal, saat itu ia masih menghuni rumah kontrakan di Jalan Rawa Raya, Pisangan, Jakarta Timur, kendaraannya Mitsubishi Lancer berwarna putih. ''Kasihan terhadap diri saya sendiri,'' ujarnya. ''Orang sering menuding saya orang kaya.''
Arifin, yang sebelumnya pernah menjalani operasi kanker di Singapura, sejak 23 Mei 1995 dirawat di Rumah Sakit Medistra Jakarta karena penyakit kanker hati. Penyakit itulah yang merenggut jiwanya pada Minggu, 28 Mei, pukul 06.25.
PDAT| KODRAT
Seperti ditulis majalah Tempo edisi 7 April 1984 dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah, Arifin membaca sebanyak mungkin, mewawancarai saksi sejarah, mencari properti asli untuk membuat film itu. Arifin pun mencita-citakan film ini menjadi film pendidikan dan renungan tanpa “menawarkan kebencian”.
Arifin dikenal sebagai sutradara dengan latar belakang teater. Ia menyabet Piala Citra untuk film Serangan Fajar (FFI 1982) dan Taksi (1990).
Arifin anak kedua dari delapan bersaudara. Anak Mohammad Adnan, penjual sate keturunan kiai, ini menggeluti kegiatan puisi dan teater sejak di SMP. Bersekolah di Yogyakarta, ia bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra dan menjadi anggota Himpunan Sastrawan Surakarta.
Sajak pertamanya, Langgar Purwodiningratan, mengenai masjid tempat ia bertafakur. Naskahnya Lampu Neon, atau Nenek Tercinta, memenangkan sayembara Teater Muslim, 1967. Ia kemudian bergabung dengan kelompok teater tersebut.
Setahun kemudian, selesai kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, ia pindah ke Jakarta. Ia lalu mendirikan Teater Kecil dan berhasil mementaskan cerita serta dongeng yang seperti bernyanyi.
Teaternya akrab dengan publik. Ia memasukkan unsur-unsur lenong, stambul, boneka (marionette), wayang kulit maupun golek, dan melodi pesisir. ''Arifin adalah pembela kaum miskin,'' komentar penyair Taufiq Ismail setelah pementasan Interogasi, 1984. Ia sendiri santai berkata, ''Saya hidup di dunia kelam, dekat dengan kejelataan, dan musik dangdut.''
Lewat film Pemberang, ia dinobatkan sebagai penulis skenario terbaik di Festival Film Asia 1972 dan mendapat piala The Golden Harvest. Pada tahun itu, ''Peransi, pembuat film dokumenter, memperkenalkan film sebagai media ekspresi kepada saya,'' tuturnya. Arifin kembali tampil sebagai penulis skenario terbaik untuk Rio Anakku dan Melawan Badai dalam Festival Film Indonesia 1978. Ia meraih Piala Citra.
Mengaku autodidak di bidang sinematografi, ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu, 1976. ''Banyak menyutradarai teater, ternyata, merupakan dasar yang sangat perlu untuk film,'' katanya.
Arifin sempat disebut sebagai sutradara termahal. Padahal, saat itu ia masih menghuni rumah kontrakan di Jalan Rawa Raya, Pisangan, Jakarta Timur, kendaraannya Mitsubishi Lancer berwarna putih. ''Kasihan terhadap diri saya sendiri,'' ujarnya. ''Orang sering menuding saya orang kaya.''
Arifin, yang sebelumnya pernah menjalani operasi kanker di Singapura, sejak 23 Mei 1995 dirawat di Rumah Sakit Medistra Jakarta karena penyakit kanker hati. Penyakit itulah yang merenggut jiwanya pada Minggu, 28 Mei, pukul 06.25.
PDAT| KODRAT
Sabtu, 29 September 2012 | 10:18 WIB
Film Pengkhianatan G30S/PKI, Dicerca dan Dipuji
TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu karya Arifin C. Noer yang paling kontroversial. Film yang dibuat pada 1984 ini menjadi sinema yang wajib diputar dan ditonton di televisi tiap 30 September, sepanjang pemerintahan Orde Baru.
Tak hanya televisi yang wajib menayangkannya, seluruh sekolah pun mengharuskan murid-muridnya menonton untuk kemudian membuat resensi film itu sebagai tugas sekolah. Pada 1998, peraturan yang mewajibkan pemutaran film ini kemudian dihapus, seiring munculnya kontroversi keabsahan sejarah Gerakan 30 September yang melibatkan bekas Presiden Soeharto.
Film ini disebut-sebut sebagai upaya pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal melalui media. Peristiwa pembunuhan para jenderal dan petinggi Angkatan Darat secara sadis dan tidak berperikemanusiaan terekam dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu juga menggambarkan detail bagaimana para jenderal disiksa, disayat-sayat, dan alat kelaminnya dipotong.
Runtuhnya pemerintahan rezim Soeharto membuat banyak pihak mempertanyakan kebenaran sejarah, termasuk yang digambarkan dalam film ini. Lantaran dianggap sebagai propaganda Orde Baru, Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan pada 1998, kemudian melarang pemutarannya.
Kebenaran adegan penyiletan dan penyiksaan lainnya terhadap para jenderal dibantah almarhum Hendro Subroto, wartawan perang. Dia adalah saksi mata sejarah tersebut. Kala menjadi wartawan TVRI, Hendro mengabadikan pengangkatan jenazah enam jenderal dan seorang kapten pahlawan revolusi dari Lubang Buaya. Tepatnya pada 4 Oktober 1965.
Puluhan tahun diam, pada Maret 2001, Hendro berani mengatakan apa yang dia lihat. Dia mengungkapkan beberapa detail yang menyimpang dari apa yang kemudian dipublikasikan dalam sekian buku sejarah dan film-film versi Orde Baru. "Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat," katanya saat diwawancara Tempo pada Maret 2001. Artikel wawancara ini dimuat dalam majalah Tempo edisi 11 Maret 2001.
"Saya sendiri belum melihat film Pengkhianatan G30S/PKI," kata Hendro. Dan almarhum adalah satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah para jenderal itu dari Lubang Buaya. "Saya merasa aneh bahwa tidak ada orang yang membawakan peran saya sebagai satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah itu dengan kamera film."
Lantaran berada di lokasi, almarhum Hendro berani mengatakan ketujuh jenazah itu tidak mengalami pembengkakan. "Seperti yang saya katakan tadi: jika orang sehat dianiaya, disundut rokok, atau disayat senjata tajam, tubuh di bagian itu akan membengkak, sebagai reaksi dari sistem kekebalan tubuh manusia," katanya.
Toh, sebagai sebuah karya seni, film Pengkhianatan G30S/PKI menuai banyak pujian, meskipun kebenaran ceritanya dipertanyakan.
Pada 1984, Arifin C. Noer meraih penghargaan Piala Citra untuk skenario terbaik di film ini. Di perhelatan yang sama, Arifin juga masuk unggulan untuk kategori penyutradaraan terbaik film ini. Sedangkan Amoroso Katamsi, yang berperan sebagai Soeharto muda, menjadi kandidat pemeran utama pria terbaik.
Yang juga kecipratan adalah Embie C. Noer yang diunggulkan dalam kategori tata musik terbaik, Hasan Basri untuk kategori tata kamera terbaik, dan Farraz Effendy yang masuk nominasi kategori tata artistik terbaik. Meski akhirnya, hanya Arifin yang pulang menggondol Piala Citra sebagai penulis skenario terbaik.
Pada 1985, masih di Festival Film Indonesia, Pengkhianatan G30S/PKI mendapat penghargaan Piala Antemas untuk kategori film unggulan terlaris 1984-1985.
Sutradara Hanung Bramantyo mengakui keunggulan film ini sebagai karya seni. "Terlepas dari film propaganda, secara sinematik film Pengkhianatan G30S/PKI rapi, detail, dan nyata," kata Hanung kepada Tempo, Kamis, 27 September 2012. "Saya sempat mengira itu bukan film, tapi real."
NIEKE INDRIETTA
Tak hanya televisi yang wajib menayangkannya, seluruh sekolah pun mengharuskan murid-muridnya menonton untuk kemudian membuat resensi film itu sebagai tugas sekolah. Pada 1998, peraturan yang mewajibkan pemutaran film ini kemudian dihapus, seiring munculnya kontroversi keabsahan sejarah Gerakan 30 September yang melibatkan bekas Presiden Soeharto.
Film ini disebut-sebut sebagai upaya pembelokan sejarah demi kekuasaan dan hegemoni massal melalui media. Peristiwa pembunuhan para jenderal dan petinggi Angkatan Darat secara sadis dan tidak berperikemanusiaan terekam dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu juga menggambarkan detail bagaimana para jenderal disiksa, disayat-sayat, dan alat kelaminnya dipotong.
Runtuhnya pemerintahan rezim Soeharto membuat banyak pihak mempertanyakan kebenaran sejarah, termasuk yang digambarkan dalam film ini. Lantaran dianggap sebagai propaganda Orde Baru, Yunus Yosfiah, Menteri Penerangan pada 1998, kemudian melarang pemutarannya.
Kebenaran adegan penyiletan dan penyiksaan lainnya terhadap para jenderal dibantah almarhum Hendro Subroto, wartawan perang. Dia adalah saksi mata sejarah tersebut. Kala menjadi wartawan TVRI, Hendro mengabadikan pengangkatan jenazah enam jenderal dan seorang kapten pahlawan revolusi dari Lubang Buaya. Tepatnya pada 4 Oktober 1965.
Puluhan tahun diam, pada Maret 2001, Hendro berani mengatakan apa yang dia lihat. Dia mengungkapkan beberapa detail yang menyimpang dari apa yang kemudian dipublikasikan dalam sekian buku sejarah dan film-film versi Orde Baru. "Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat," katanya saat diwawancara Tempo pada Maret 2001. Artikel wawancara ini dimuat dalam majalah Tempo edisi 11 Maret 2001.
"Saya sendiri belum melihat film Pengkhianatan G30S/PKI," kata Hendro. Dan almarhum adalah satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah para jenderal itu dari Lubang Buaya. "Saya merasa aneh bahwa tidak ada orang yang membawakan peran saya sebagai satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah itu dengan kamera film."
Lantaran berada di lokasi, almarhum Hendro berani mengatakan ketujuh jenazah itu tidak mengalami pembengkakan. "Seperti yang saya katakan tadi: jika orang sehat dianiaya, disundut rokok, atau disayat senjata tajam, tubuh di bagian itu akan membengkak, sebagai reaksi dari sistem kekebalan tubuh manusia," katanya.
Toh, sebagai sebuah karya seni, film Pengkhianatan G30S/PKI menuai banyak pujian, meskipun kebenaran ceritanya dipertanyakan.
Pada 1984, Arifin C. Noer meraih penghargaan Piala Citra untuk skenario terbaik di film ini. Di perhelatan yang sama, Arifin juga masuk unggulan untuk kategori penyutradaraan terbaik film ini. Sedangkan Amoroso Katamsi, yang berperan sebagai Soeharto muda, menjadi kandidat pemeran utama pria terbaik.
Yang juga kecipratan adalah Embie C. Noer yang diunggulkan dalam kategori tata musik terbaik, Hasan Basri untuk kategori tata kamera terbaik, dan Farraz Effendy yang masuk nominasi kategori tata artistik terbaik. Meski akhirnya, hanya Arifin yang pulang menggondol Piala Citra sebagai penulis skenario terbaik.
Pada 1985, masih di Festival Film Indonesia, Pengkhianatan G30S/PKI mendapat penghargaan Piala Antemas untuk kategori film unggulan terlaris 1984-1985.
Sutradara Hanung Bramantyo mengakui keunggulan film ini sebagai karya seni. "Terlepas dari film propaganda, secara sinematik film Pengkhianatan G30S/PKI rapi, detail, dan nyata," kata Hanung kepada Tempo, Kamis, 27 September 2012. "Saya sempat mengira itu bukan film, tapi real."
NIEKE INDRIETTA
Sabtu, 29 September 2012 | 11:27 WIB
3 Pemeran Sentral di Film Pengkhianatan G30S/PKI
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI, terdapat tiga tokoh sentral yang menjadi sorotan: Presiden Soekarno, Mayor Jenderal Soeharto, dan gembong PKI DN Aidit. Soekarno diperankan Umar Kayam, Soeharto dimainkan Amoroso Katamsi, dan DN Aidit dibawakan Syu’bah Asa.
Umar Kayam
Lahir: Ngawi, 30 April 1932
Meninggal: Yogyakarta, 16 Maret 2002
Kayam merupakan dosen Universitas Gadjah Mada, sosiolog, dan pengarang terkenal. Ia terpilih setelah proses seleksi gagal menemukan Soekarno di antara sekian banyak orang. Ketika didatangi sutradara Arifin C. Noer, Kayam tak bisa mengelak.
Untuk pengambilan gambar, Kayam harus berangkat ke Bogor tanpa sempat mempelajari Bung Karno secara mendalam. Ia pun tak melihat film dokumenter Soekarno atau membaca tulisan Si Penyambung Lidah Rakyat itu.
Dari para pelayan di Istana Bogor, Kayam meriset sosok Bung Karno. Cara Bung Karno berjalan dan berbicara.
Amoroso Katamsi
Lahir: Jakarta, 21 Oktober 1940
Sosok Mayor Jenderal Soeharto dimainkan Amoroso. Berbeda dengan Kayam, ayah penyanyi Dodie Katamsi dan Aning Katamsi ini memang dikenal sebagai aktor. Untuk memerankan Soeharto, Amoroso mempelajari tulisan maupun mengamatinya. Ia bangga bisa memerankan tokoh sentral di film ini. Namun, ia mengalami kesulitan.
“Gejolak emosional Pak Harto hampir-hampir tidak tampak,” ujar Amoroso dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.
Amoroso juga terganggu dengan pergumulan pertanyaan-pertanyaan di dirinya sendiri. "Apakah permainan saya sudah tepat?" Toh, pada akhirnya, Amoroso yang terimpit ragu dapat juga berkata, "Ketika berhadapan dengan kamera, saya merasa sebagai Pak Harto, bukan imitasi Pak Harto."
Syu’bah Asa bin Sanusi
Lahir : Pekalongan, 21 Desember 1941
Wafat : Pekalongan, 24 Juli 2011
Sosok Aidit yang kerap merokok dan tampak selalu terlihat tegang ini diperankan wartawan Tempo, Syu’bah Asa. Untuk memerankan Aidit, Syu’bah mengobrol semalam suntuk dengan seseorang yang dirahasiakan identitasnya.
Ia asyik menggali dan meniru kelakuan sang Ketua PKI semalaman. Kendati demikian, Syu’bah merasa aktingnya sebagai Aidit kurang meyakinkan.
KODRAT
Umar Kayam
Lahir: Ngawi, 30 April 1932
Meninggal: Yogyakarta, 16 Maret 2002
Kayam merupakan dosen Universitas Gadjah Mada, sosiolog, dan pengarang terkenal. Ia terpilih setelah proses seleksi gagal menemukan Soekarno di antara sekian banyak orang. Ketika didatangi sutradara Arifin C. Noer, Kayam tak bisa mengelak.
Untuk pengambilan gambar, Kayam harus berangkat ke Bogor tanpa sempat mempelajari Bung Karno secara mendalam. Ia pun tak melihat film dokumenter Soekarno atau membaca tulisan Si Penyambung Lidah Rakyat itu.
Dari para pelayan di Istana Bogor, Kayam meriset sosok Bung Karno. Cara Bung Karno berjalan dan berbicara.
Amoroso Katamsi
Lahir: Jakarta, 21 Oktober 1940
Sosok Mayor Jenderal Soeharto dimainkan Amoroso. Berbeda dengan Kayam, ayah penyanyi Dodie Katamsi dan Aning Katamsi ini memang dikenal sebagai aktor. Untuk memerankan Soeharto, Amoroso mempelajari tulisan maupun mengamatinya. Ia bangga bisa memerankan tokoh sentral di film ini. Namun, ia mengalami kesulitan.
“Gejolak emosional Pak Harto hampir-hampir tidak tampak,” ujar Amoroso dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.
Amoroso juga terganggu dengan pergumulan pertanyaan-pertanyaan di dirinya sendiri. "Apakah permainan saya sudah tepat?" Toh, pada akhirnya, Amoroso yang terimpit ragu dapat juga berkata, "Ketika berhadapan dengan kamera, saya merasa sebagai Pak Harto, bukan imitasi Pak Harto."
Syu’bah Asa bin Sanusi
Lahir : Pekalongan, 21 Desember 1941
Wafat : Pekalongan, 24 Juli 2011
Sosok Aidit yang kerap merokok dan tampak selalu terlihat tegang ini diperankan wartawan Tempo, Syu’bah Asa. Untuk memerankan Aidit, Syu’bah mengobrol semalam suntuk dengan seseorang yang dirahasiakan identitasnya.
Ia asyik menggali dan meniru kelakuan sang Ketua PKI semalaman. Kendati demikian, Syu’bah merasa aktingnya sebagai Aidit kurang meyakinkan.
KODRAT
Umar Kayam. TEMPO/Rully Kesuma
Alasan Umar Kayam Mau Jadi Soekarno
TEMPO.CO, Jakarta - Meski berseberangan dengan Soekarno, almarhum budayawan Umar Kayam bersedia memerankan tokoh Presiden RI pertama itu di film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Kayam memiliki alasan untuk menerima peran itu.
Menurut artikel majalah Tempo edisi 5 Mei 2002 bertajuk Sang Dirjen, di Belakang dan di Muka Layar, Kayam menerima peran itu karena sutradara film itu, Arifin C. Noer, adalah kawan dekatnya.
Film Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta (dan Yogyakarta). Peristiwa itu berbuntut pada tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Saat syuting film itu, Kayam bisa tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan naik jipnya. ”Edannya, para pelayan di Istana Bogor sungguh menganggap saya Bung Karno,” ujar Kayam dalam suatu wawancara dengan Tempo.
Kayam, banyak teman yang memanggilnya Uka, sebenarnya bukan bintang film. Dosen sosiologi sastra Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada ini lebih dikenal sebagai seniman. Orang sering mendapatinya sedang bersepeda di kampus atau bergurau seru di warung kopi.
Kayam memiliki pandangan yang berseberangan dengan Soekarno soal film. Ketika menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan 1966-1969, Kayam membolehkan kembali film barat masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Soekarno sempat melarang film barat masuk ke Indonesia.
Selain dikenal sebagai sastrawan, Kayam juga menulis skenario film. Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978, adalah buah penanya. Kolumnis ini juga rajin menulis di berbagai media massa. Tulisannya berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak berpikir berat.
Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Ia mengembuskan napas terakhir pada 16 Maret 2002.
KODRAT
Menurut artikel majalah Tempo edisi 5 Mei 2002 bertajuk Sang Dirjen, di Belakang dan di Muka Layar, Kayam menerima peran itu karena sutradara film itu, Arifin C. Noer, adalah kawan dekatnya.
Film Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta (dan Yogyakarta). Peristiwa itu berbuntut pada tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Saat syuting film itu, Kayam bisa tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan naik jipnya. ”Edannya, para pelayan di Istana Bogor sungguh menganggap saya Bung Karno,” ujar Kayam dalam suatu wawancara dengan Tempo.
Kayam, banyak teman yang memanggilnya Uka, sebenarnya bukan bintang film. Dosen sosiologi sastra Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada ini lebih dikenal sebagai seniman. Orang sering mendapatinya sedang bersepeda di kampus atau bergurau seru di warung kopi.
Kayam memiliki pandangan yang berseberangan dengan Soekarno soal film. Ketika menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan 1966-1969, Kayam membolehkan kembali film barat masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Soekarno sempat melarang film barat masuk ke Indonesia.
Selain dikenal sebagai sastrawan, Kayam juga menulis skenario film. Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978, adalah buah penanya. Kolumnis ini juga rajin menulis di berbagai media massa. Tulisannya berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak berpikir berat.
Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Ia mengembuskan napas terakhir pada 16 Maret 2002.
KODRAT
Sabtu, 29 September 2012 | 10:36 WIB
Pengorbanan Umar Kayam Perankan Soekarno
TEMPO.CO, Jakarta - Untuk memerankan Presiden Soekarno pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI, Umar Kayam rela dibotaki. Kayam digunduli agar terlihat mirip dengan Soekarno.
Kendati demikian, ia tidak jera untuk melakonkan tokoh yang sama. "Asal diberi waktu mempersiapkan diri," ujar Kayam dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.
Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta. Peristiwa itu berbuntut tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Saat syuting film itu, Kayam bisa tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan naik jipnya. ”Edannya, para pelayan di Istana Bogor sungguh menganggap saya Bung Karno,” ujar Kayam dalam suatu wawancara dengan Tempo.
Kayam, banyak teman yang memanggilnya Uka, sebenarnya bukan bintang film. Dosen sosiologi sastra Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada ini lebih dikenal sebagai seniman. Orang sering mendapatinya sedang bersepeda di kampus atau bergurau seru di warung kopi.
Kayam memiliki pandangan yang berseberangan dengan Soekarno soal film. Ketika menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969), Kayam membolehkan kembali film Barat masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Soekarno sempat melarang film Barat masuk ke Indonesia.
Selain dikenal sebagai sastrawan, Kayam juga menulis skenario film. Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978, adalah buah penanya. Kolumnis ini rajin menulis di berbagai media massa. Tulisannya berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak berpikir berat.
Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada 16 Maret 2002.
KODRAT
Kendati demikian, ia tidak jera untuk melakonkan tokoh yang sama. "Asal diberi waktu mempersiapkan diri," ujar Kayam dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.
Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta. Peristiwa itu berbuntut tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Saat syuting film itu, Kayam bisa tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan naik jipnya. ”Edannya, para pelayan di Istana Bogor sungguh menganggap saya Bung Karno,” ujar Kayam dalam suatu wawancara dengan Tempo.
Kayam, banyak teman yang memanggilnya Uka, sebenarnya bukan bintang film. Dosen sosiologi sastra Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada ini lebih dikenal sebagai seniman. Orang sering mendapatinya sedang bersepeda di kampus atau bergurau seru di warung kopi.
Kayam memiliki pandangan yang berseberangan dengan Soekarno soal film. Ketika menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969), Kayam membolehkan kembali film Barat masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Soekarno sempat melarang film Barat masuk ke Indonesia.
Selain dikenal sebagai sastrawan, Kayam juga menulis skenario film. Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978, adalah buah penanya. Kolumnis ini rajin menulis di berbagai media massa. Tulisannya berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak berpikir berat.
Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada 16 Maret 2002.
KODRAT
Sabtu, 29 September 2012 | 11:41 WIB
Proses Arifin C. Noer Bikin Pengkhianatan G30S/PKI
TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI dibuat dalam waktu dua tahun. Di samping tokoh Bung Karno dan Mayor Jenderal Soeharto, sutradara Arifin C. Noer juga melibatkan 120 tokoh lain dan 10 ribu figuran di film ini.
Meski ini bukanlah film kolosal karya Arifin yang pertama, mengurus dan menata casting begitu besar memang jauh dari gampang. "Benar-benar gila. Edan!" kata Arifin dalam artikel bertajuk Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.
Untuk membuat film itu, Arifin membaca sebanyak mungkin, mewawancarai saksi sejarah, dan mencari properti asli. Arifin pun mencita-citakan Pengkhianatan G30S/PKI sebagai film pendidikan dan renungan tanpa “menawarkan kebencian”.
Film ini cukup kaya dengan detail. Latarnya berpindah-pindah dari Istana Bogor ke rapat-rapat gelap PKI (Partai Komunis Indonesia). Kemudian, ke rumah pahlawan revolusi lalu ke Lubang Buaya. Tapi, di samping beberapa fakta yang sudah amat kita kenal itu, film ini juga menampilkan sketsa kerawanan ekonomi masa itu lewat antre dan kemiskinan.
Sedangkan kerawanan politik dilukiskan melalui serangan PKI ke sebuah masjid di Jawa Timur, guntingan koran, berita radio, dan komentar-komentar tajam. Poster Bung Karno tak terkecuali menyeruak di sana-sini dan tulisan Manipol Usdek (Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945) bertebaran di tembok dan atap rumah.
Inti cerita ini diketahui orang banyak dan plotnya sederhana. "Persis diorama di Lubang Buaya," kata Arifin.
Pengkhianatan G30S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta. Peristiwa itu berbuntut pada tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Sutradara film itu, Arifin, dikenal sebagai seniman multitalenta. Sejak SMP, pria bernama lengkap Arifin Chairin Noer ini menggeluti teater dan puisi. Ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu pada 1976. Film perdananya, Suci Sang Primadona (1977), melahirkan pendatang baru: Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1978. Arifin meninggal pada 28 Mei 1995 di usia 54 tahun.
KODRAT
Meski ini bukanlah film kolosal karya Arifin yang pertama, mengurus dan menata casting begitu besar memang jauh dari gampang. "Benar-benar gila. Edan!" kata Arifin dalam artikel bertajuk Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.
Untuk membuat film itu, Arifin membaca sebanyak mungkin, mewawancarai saksi sejarah, dan mencari properti asli. Arifin pun mencita-citakan Pengkhianatan G30S/PKI sebagai film pendidikan dan renungan tanpa “menawarkan kebencian”.
Film ini cukup kaya dengan detail. Latarnya berpindah-pindah dari Istana Bogor ke rapat-rapat gelap PKI (Partai Komunis Indonesia). Kemudian, ke rumah pahlawan revolusi lalu ke Lubang Buaya. Tapi, di samping beberapa fakta yang sudah amat kita kenal itu, film ini juga menampilkan sketsa kerawanan ekonomi masa itu lewat antre dan kemiskinan.
Sedangkan kerawanan politik dilukiskan melalui serangan PKI ke sebuah masjid di Jawa Timur, guntingan koran, berita radio, dan komentar-komentar tajam. Poster Bung Karno tak terkecuali menyeruak di sana-sini dan tulisan Manipol Usdek (Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945) bertebaran di tembok dan atap rumah.
Inti cerita ini diketahui orang banyak dan plotnya sederhana. "Persis diorama di Lubang Buaya," kata Arifin.
Pengkhianatan G30S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta. Peristiwa itu berbuntut pada tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Sutradara film itu, Arifin, dikenal sebagai seniman multitalenta. Sejak SMP, pria bernama lengkap Arifin Chairin Noer ini menggeluti teater dan puisi. Ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu pada 1976. Film perdananya, Suci Sang Primadona (1977), melahirkan pendatang baru: Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1978. Arifin meninggal pada 28 Mei 1995 di usia 54 tahun.
KODRAT
Keke Tumbuan pemeran tokoh Ade Irma Suryani di Film G30sPKI saat ditemui TEMPO di Ruang Rupa galeri, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (26/09). TEMPO/Dhemas Reviyanto
Sabtu, 29 September 2012 | 12:52 WIB
Mirip, Keke Tumbuan Didapuk Jadi Ade Irma Suryani
TEMPO.CO, Jakarta - Usia Keke Tumbuan masih 5 tahun ketika berperan sebagai Ade Irma Suryani Nasution di film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang diproduksi pada 1984. Tapi, ketika bertemu di Ruang Rupa, Tebet, Rabu, 26 September 2012, anak pasangan aktor Frans Tumbuan dan Rima Melati ini masih mengingat betul bagaimana situasi dan kondisi di lokasi syuting film arahan almarhum sutradara Arifin C. Noer itu. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Keke:
Bagaimana proses bisa mendapatkan peran sebagai Ade Irma Suryani?
Waktu itu Om Arifin (sutradara Arifin C. Noer) sedang dalam tahap pre-production film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Dia lagi mencari anak kecil untuk memerankan Ade Irma. Dia kenal ibuku (artis Rima Melati) sudah lama dan pernah melihat aku. Kata Om Arifin, aku mirip dan bisa memerankan Ade.
Langsung mau?
Lumayan lama untuk meyakinkanku untuk mau menerima peran itu. Waktu itu, mama cerita soal Ade Irma, bahwa dia pahlawan, dia matinya seperti ini, aku langsung enggak mau. Karena takut di tembak beneran.
Bagaimana akhirnya sampai mau menerima peran ini?
Lama-lama aku ngerti juga, aku mengamati dan akhirnya aku mau.
Selama syuting menemukan kesulitan?
Enggak. Gampang-gampang aja kok.
Bagaimana di lokasi syuting?
Aku diantar mama cuma hari pertama. Jadi aku lebih kenal dan dekat sama pemain lain. Mama waktu itu ikutan sibuk meski enggak ikut di set (lokasi syuting).
Berapa lama syutingnya?
Produksinya lama banget. Waktu aku sendiri aja dari rambut pendek sampai rambut lumayan panjang. Waktu adegan Ade Irma di rumah sakit, rambut aku itu sudah panjang.
Apakah karakter Ade Irma terus melekat selama proses syuting?
Enggak sih. Dulu kalau mau syuting, aku datang ke lokasi sudah pakai baju kayak Ade Irma. Tapi pas sudah cut, aku pulang, enggak aku bawa Ade Irma (karakter). Jadi, pas di lokasi saja.
ALIA FATHIYAH
Bagaimana proses bisa mendapatkan peran sebagai Ade Irma Suryani?
Waktu itu Om Arifin (sutradara Arifin C. Noer) sedang dalam tahap pre-production film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Dia lagi mencari anak kecil untuk memerankan Ade Irma. Dia kenal ibuku (artis Rima Melati) sudah lama dan pernah melihat aku. Kata Om Arifin, aku mirip dan bisa memerankan Ade.
Langsung mau?
Lumayan lama untuk meyakinkanku untuk mau menerima peran itu. Waktu itu, mama cerita soal Ade Irma, bahwa dia pahlawan, dia matinya seperti ini, aku langsung enggak mau. Karena takut di tembak beneran.
Bagaimana akhirnya sampai mau menerima peran ini?
Lama-lama aku ngerti juga, aku mengamati dan akhirnya aku mau.
Selama syuting menemukan kesulitan?
Enggak. Gampang-gampang aja kok.
Bagaimana di lokasi syuting?
Aku diantar mama cuma hari pertama. Jadi aku lebih kenal dan dekat sama pemain lain. Mama waktu itu ikutan sibuk meski enggak ikut di set (lokasi syuting).
Berapa lama syutingnya?
Produksinya lama banget. Waktu aku sendiri aja dari rambut pendek sampai rambut lumayan panjang. Waktu adegan Ade Irma di rumah sakit, rambut aku itu sudah panjang.
Apakah karakter Ade Irma terus melekat selama proses syuting?
Enggak sih. Dulu kalau mau syuting, aku datang ke lokasi sudah pakai baju kayak Ade Irma. Tapi pas sudah cut, aku pulang, enggak aku bawa Ade Irma (karakter). Jadi, pas di lokasi saja.
ALIA FATHIYAH
Sabtu, 29 September 2012 | 10:53 WIB
Film Pengkhianatan G30S/PKI di Mata Para Pemeran
TEMPO.CO, Jakarta - Siapa yang tak kenal dengan sutradara besar Arifin C Noer. Film-filmnya kebanyakan laris dan meraih penghargaan. Karyanya yang paling kontroversial adalah film Pengkhianatan G30S/PKI yang mulai ditayangkan pada 1984 hingga 1997 di TVRI.
Keke Tumbuan yang berperan sebagai Ade Irma Suryani Nasution mengakui kedahsyatan film yang dijuluki super infra box office itu. Karena film ini, Arifin di ganjar penghargaan Piala Citra untuk Penulis Skenario Terbaik pada 1985.
“Film ini kontroversial, dilihat base on true story, padahal enggak juga. Kayak pelajaran PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa),” kata Keke tertawa.
Keke mengakui dalam hal sinematografi, ketegangan, dan kualitas, semua dimiliki di dalam film tersebut. Proses produksi yang dijalankan selama dua tahun dan membutuhkan sekitar 100 figuran, sudah terlihat bagaimana film pesanan Orde Baru ini dibuat sedemikian detail.
“Ini karya Om Arifin yang sangat bagus, dahsyat. Dari sinematografi, ketegangan, dia dapat semua. Sayang, dia mengerjakan semuanya hanya untuk histori. Yang aku bisa lihat, waktu itu orang-orang mengerjakannya dengan stres, mungkin karena tekanan,” kata Keke.
Keke sangat menyayangkan film tersebut tidak tayang lagi sejak 1998. Padahal, menurut dia, banyak efek positif yang bisa diambil, terutama proses kreatif serta hasil kualitas film itu.
“Dalam hal seni, film ini bagus, bisa menceritakan kejadian dengan detail. Para seniman film supaya bisa melihat bagaimana sebuah film dibuat dengan serius. Enggak kayak sekarang, semuanya serba instan. Mana bisa membuat film bagus kalau syutingnya cuma seminggu,” ujar Keke yang pernah membuat film pendek bertajuk The Big Day.
Pemeran Soeharto muda dalam film tentang pembunuhan para jenderal ini, Amoroso Katamsi, menilai film menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Sebab, pemerintah merasakan bagaimana sulitnya menumpas gerakan komunis ketika terjadi pemberontakan pertama pada 1948 di Madiun.
“PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah berkhianat,“ ujar dokter yang juga tentara ini. Maka, wajar pemerintahan Orde Baru berusaha menumpas paham komunisme dengan segala cara dan biaya yang besar, termasuk lewat film berdana Rp 800 juta: Pengkianatan G30S/PKI.
ALIA FATHIYAH
Keke Tumbuan yang berperan sebagai Ade Irma Suryani Nasution mengakui kedahsyatan film yang dijuluki super infra box office itu. Karena film ini, Arifin di ganjar penghargaan Piala Citra untuk Penulis Skenario Terbaik pada 1985.
“Film ini kontroversial, dilihat base on true story, padahal enggak juga. Kayak pelajaran PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa),” kata Keke tertawa.
Keke mengakui dalam hal sinematografi, ketegangan, dan kualitas, semua dimiliki di dalam film tersebut. Proses produksi yang dijalankan selama dua tahun dan membutuhkan sekitar 100 figuran, sudah terlihat bagaimana film pesanan Orde Baru ini dibuat sedemikian detail.
“Ini karya Om Arifin yang sangat bagus, dahsyat. Dari sinematografi, ketegangan, dia dapat semua. Sayang, dia mengerjakan semuanya hanya untuk histori. Yang aku bisa lihat, waktu itu orang-orang mengerjakannya dengan stres, mungkin karena tekanan,” kata Keke.
Keke sangat menyayangkan film tersebut tidak tayang lagi sejak 1998. Padahal, menurut dia, banyak efek positif yang bisa diambil, terutama proses kreatif serta hasil kualitas film itu.
“Dalam hal seni, film ini bagus, bisa menceritakan kejadian dengan detail. Para seniman film supaya bisa melihat bagaimana sebuah film dibuat dengan serius. Enggak kayak sekarang, semuanya serba instan. Mana bisa membuat film bagus kalau syutingnya cuma seminggu,” ujar Keke yang pernah membuat film pendek bertajuk The Big Day.
Pemeran Soeharto muda dalam film tentang pembunuhan para jenderal ini, Amoroso Katamsi, menilai film menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Sebab, pemerintah merasakan bagaimana sulitnya menumpas gerakan komunis ketika terjadi pemberontakan pertama pada 1948 di Madiun.
“PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah berkhianat,“ ujar dokter yang juga tentara ini. Maka, wajar pemerintahan Orde Baru berusaha menumpas paham komunisme dengan segala cara dan biaya yang besar, termasuk lewat film berdana Rp 800 juta: Pengkianatan G30S/PKI.
ALIA FATHIYAH
Adegan film Penghianatan G30S/PKI. indonesianfilmcenter.com
Komentar Soeharto Usai Lihat Film Pengkhianatan G30S/PKI
TEMPO.CO, Jakarta -– Film Pengkhianatan G30S/PKI sering dianggap sebagai versi rezim Orde Baru terkait gerakan pada 30 September 1965. Presiden Soeharto mengomentari film itu usai menyaksikannya pada Januari 1984.
“Banyak yang belum diceritakan,” ujar Soeharto dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984. “Karena itu, akan dibuat satu film lagi kelak."
Film Pengkhianatan G30S/PKI disutradarai Arifin C. Noer. Film ini dianggap sebagai propaganda rezim Orde Baru terkait gerakan pada 30 September 1965. Peristiwa itu berbuntut tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Film ini membatasi periode sejarah hanya pada enam hari genting dalam sejarah Rl, 30 September sampai dengan 5 Oktober 1965. Pengkhianatan G30S/PKI dianggap cukup kaya dengan detail. Apalagi latarnya berpindah-pindah dari Istana Bogor ke rapat-rapat gelap PKI, kemudian ke rumah Pahlawan Revolusi lalu ke Lubang Buaya.
Namun inti cerita diketahui orang banyak dan plotnya sederhana. "Persis diorama di Lubang Buaya," kata sutradara Arifin C. Noer.
Dalam Pengkhianatan G30S/PKI, terdapat tiga tokoh sentral yang menjadi sorotan: Presiden Soekarno, Mayor Jenderal Soeharto, dan gembong PKI DN Aidit. Soekarno diperankan Umar Kayam, Soeharto dimainkan Amoroso Katamsi, dan DN Aidit dibawakan Syu’bah Asa.
KODRAT
“Banyak yang belum diceritakan,” ujar Soeharto dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984. “Karena itu, akan dibuat satu film lagi kelak."
Film Pengkhianatan G30S/PKI disutradarai Arifin C. Noer. Film ini dianggap sebagai propaganda rezim Orde Baru terkait gerakan pada 30 September 1965. Peristiwa itu berbuntut tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.
Film ini membatasi periode sejarah hanya pada enam hari genting dalam sejarah Rl, 30 September sampai dengan 5 Oktober 1965. Pengkhianatan G30S/PKI dianggap cukup kaya dengan detail. Apalagi latarnya berpindah-pindah dari Istana Bogor ke rapat-rapat gelap PKI, kemudian ke rumah Pahlawan Revolusi lalu ke Lubang Buaya.
Namun inti cerita diketahui orang banyak dan plotnya sederhana. "Persis diorama di Lubang Buaya," kata sutradara Arifin C. Noer.
Dalam Pengkhianatan G30S/PKI, terdapat tiga tokoh sentral yang menjadi sorotan: Presiden Soekarno, Mayor Jenderal Soeharto, dan gembong PKI DN Aidit. Soekarno diperankan Umar Kayam, Soeharto dimainkan Amoroso Katamsi, dan DN Aidit dibawakan Syu’bah Asa.
KODRAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar