Benarkah film G 30 S/PKI diangkat dari BAP 7 pelacur?
Sabtu, 29 September 2012 14:23:40
Reporter: Yacob Billi Octa
Penggalan film G 30 S/PKI. ©2012 Merdeka.com
Banyak kejanggalan terdapat pada film propaganda Pengkhianatan G 30 S/PKI. Film yang dibuat berlatar tahun 1965 tersebut, dengan sepihak menyudutkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ancaman stabilitas negara.
Menurut mantan tahanan politik yang dikorbankan pada peristiwa berdarah malam penghujung September tersebut, Sri Sulistyawati, film penghianatan G 30 S/PKI adalah bohong dan memutar balikkan fakta sejarah.
"Semua bohong, fitnah, film itu berdasarkan BAP dari tujuh orang pelacur," kata Sri kepada merdeka.com di Panti Jompo Waluyo Sejati, Jl Kramat Raya V Jakarta, Jumat (28/9).
Sri menjelaskan jika seluruh isi film janggal dan bertentangan dengan kejadian waktu itu, termasuk soal Gerakan Wanita Indonesia (gerwani).
Ingatan Sri soal gerwani masih tajam, meski rambutnya tidak lagi berwarna hitam. Sri mengatakan jika sepak terjang organisasi wanita terbesar waktu itu, tidak seperti yang digambarkan dalam film G 30 S/PKI
Dalam film, gerwani digambarkan sebagai organisasi yang memiliki hubungan erat dengan PKI, serta menjadi alat untuk menghabis lima jenderal di Lubang Buaya, serta menari telanjang.
"Pembuatan perairan itu juga membendung banjir Jakarta ya dari Jati Luhur itu, itu bikinan sukarelawan-sukarelawati, sampai Kali Malang. Jadi hasilnya bukan Lubang Buaya," kata Sri mencoba menjelaskan peran gerwani.
Menurut Sri yang juga mantan wartawan Ekonomi Nasional menuturkan, pembuatan film G 30 S/PKI sebenarnya didasarkan pada berita acara penangkapan (BAP) tujuh pekerja seks komersial di daerah Gunung Sahari, Jakarta.
Awalnya, tujuh perempuan buta huruf di bawah umur antara 14-16 tahun dari Banten, dibujuk tetangganya untuk bekerja sebagai pelayan di salah satu warung makan di Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, ternyata mereka tidak dipekerjakan di rumah makan, namun langsung dijual ke salah satu germo di Gunung Sahari.
"Mereka tidak bisa pulang, pertama tidak tahu medannya Jakarta-Banten, kedua tidak ada ongkos. Ya menyerahlah jadi pelacur," terang Sri.
Setelah beberapa bulan mereka menjajakan diri di Jembatan Merah, kemudian mereka keciduk oleh petugas keamanan dan ketertiban ibu kota.
Sesampainya di pos keamanan, para PSK tersebut dipaksa untuk membubui sidik jari di atas sebuah surat pernyataan yang salah satu isinya pembenaran jika mereka adalah anggota gerwani yang menari telanjang di Lubang Buaya.
"Waktu itu BAPnya oleh Kombes Mukhtar. Dia sudah bikin kan (surat pernyataan), mereka buta huruf, tinggal sidik jari. Apa yang ditulis di situ, mereka tidak bisa baca."
"Karena disundutin rokok dan dipopor di jidatnya, mereka ya, ya sudah. Sidik jari, ya sidik jari saja. Mereka jadi gila," lanjutnya.
Menurut Sri, kejadian tersebut merupakan bukti adanya skenario besar peristiwa pembantaian PKI. "Kalau memang itu alami, mereka pelacur tidak punya KTP, kenapa tidak dimasukkan ke (rutan) Pondok Bambu? Tapi di RTM Bukit Duri. Kenapa dimasukkan ke Tapol bersama tokoh-tokoh gerwani dan pemuda rakyat," terangnya.
Tidak hanya itu kejanggalan lain di film tersebut soal rapat PKI. Jika dalam film ditunjukkan ketika PKI rapat, selalu diidentikkan layaknya rapat para pemberontak, di ruangan sempit dengan penerangan minim, serta kepulan asap rokok yang tiada habisnya.
Namun dalam kenyataannya tidak seperti itu. Sri mengatakan PKI adalah partai yang konsisten menjunjung prinsip disiplin. PKI melarang anggotanya berpoligami dan merokok.
"Kalau anggota PKI itu tidak boleh poligami sama rokok, itu larangan keras," ujar Sri.
Kejanggalan lain adalah soal sumur Lubang Buaya. Sri memastikan jika peristiwa pembunuhan jenderal di sumur bekas tempat sampah, Lubang Buaya adalah bohong.
Sebab, Sri yang pernah satu sel bersama pemilik rumah Sari Ningsih di RTM Bukit Duri mendapat keterangan, jika peristiwa tersebut merupakan rangkaian skenario Kolonel Latief.
"Jadi tentara itu diperintah untuk bunuh lima jenderal itu, kemudian tentara yang membunuh jenderal itu dibunuh juga untuk menghilangkan bukti. Atas komando Latief," kata Sri.
Dosen Komunikasi yang juga peneliti film-film propaganda Orde Baru Budi Irawanto juga mengatakan jika film G 30 S/PKI merupakan film yang sengaja dibuat bertentangan dengan fakta sejarah.
"Film itu penggambaran hitam putih tentang PKI dan gerwani. Padahal kenyataannya, tidak ada yang sepenuhnya hitam," kata Budi.
Menurut Budi, kejanggalan lain film tersebut adalah keputusan Arifin C Noer dan Umar Kayam terlibat pada pembuatannya. Padahal, kedua seniman tersebut terkenal idealis.
"Padahal mereka seniman idealis yang sudah biasa lapar, tiba-tiba mau menggarap film itu dan jadi pemainnya. Kenapa? itu yang kita tidak tahu," pungkasnya.
Menurut mantan tahanan politik yang dikorbankan pada peristiwa berdarah malam penghujung September tersebut, Sri Sulistyawati, film penghianatan G 30 S/PKI adalah bohong dan memutar balikkan fakta sejarah.
"Semua bohong, fitnah, film itu berdasarkan BAP dari tujuh orang pelacur," kata Sri kepada merdeka.com di Panti Jompo Waluyo Sejati, Jl Kramat Raya V Jakarta, Jumat (28/9).
Sri menjelaskan jika seluruh isi film janggal dan bertentangan dengan kejadian waktu itu, termasuk soal Gerakan Wanita Indonesia (gerwani).
Ingatan Sri soal gerwani masih tajam, meski rambutnya tidak lagi berwarna hitam. Sri mengatakan jika sepak terjang organisasi wanita terbesar waktu itu, tidak seperti yang digambarkan dalam film G 30 S/PKI
Dalam film, gerwani digambarkan sebagai organisasi yang memiliki hubungan erat dengan PKI, serta menjadi alat untuk menghabis lima jenderal di Lubang Buaya, serta menari telanjang.
"Pembuatan perairan itu juga membendung banjir Jakarta ya dari Jati Luhur itu, itu bikinan sukarelawan-sukarelawati, sampai Kali Malang. Jadi hasilnya bukan Lubang Buaya," kata Sri mencoba menjelaskan peran gerwani.
Menurut Sri yang juga mantan wartawan Ekonomi Nasional menuturkan, pembuatan film G 30 S/PKI sebenarnya didasarkan pada berita acara penangkapan (BAP) tujuh pekerja seks komersial di daerah Gunung Sahari, Jakarta.
Awalnya, tujuh perempuan buta huruf di bawah umur antara 14-16 tahun dari Banten, dibujuk tetangganya untuk bekerja sebagai pelayan di salah satu warung makan di Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, ternyata mereka tidak dipekerjakan di rumah makan, namun langsung dijual ke salah satu germo di Gunung Sahari.
"Mereka tidak bisa pulang, pertama tidak tahu medannya Jakarta-Banten, kedua tidak ada ongkos. Ya menyerahlah jadi pelacur," terang Sri.
Setelah beberapa bulan mereka menjajakan diri di Jembatan Merah, kemudian mereka keciduk oleh petugas keamanan dan ketertiban ibu kota.
Sesampainya di pos keamanan, para PSK tersebut dipaksa untuk membubui sidik jari di atas sebuah surat pernyataan yang salah satu isinya pembenaran jika mereka adalah anggota gerwani yang menari telanjang di Lubang Buaya.
"Waktu itu BAPnya oleh Kombes Mukhtar. Dia sudah bikin kan (surat pernyataan), mereka buta huruf, tinggal sidik jari. Apa yang ditulis di situ, mereka tidak bisa baca."
"Karena disundutin rokok dan dipopor di jidatnya, mereka ya, ya sudah. Sidik jari, ya sidik jari saja. Mereka jadi gila," lanjutnya.
Menurut Sri, kejadian tersebut merupakan bukti adanya skenario besar peristiwa pembantaian PKI. "Kalau memang itu alami, mereka pelacur tidak punya KTP, kenapa tidak dimasukkan ke (rutan) Pondok Bambu? Tapi di RTM Bukit Duri. Kenapa dimasukkan ke Tapol bersama tokoh-tokoh gerwani dan pemuda rakyat," terangnya.
Tidak hanya itu kejanggalan lain di film tersebut soal rapat PKI. Jika dalam film ditunjukkan ketika PKI rapat, selalu diidentikkan layaknya rapat para pemberontak, di ruangan sempit dengan penerangan minim, serta kepulan asap rokok yang tiada habisnya.
Namun dalam kenyataannya tidak seperti itu. Sri mengatakan PKI adalah partai yang konsisten menjunjung prinsip disiplin. PKI melarang anggotanya berpoligami dan merokok.
"Kalau anggota PKI itu tidak boleh poligami sama rokok, itu larangan keras," ujar Sri.
Kejanggalan lain adalah soal sumur Lubang Buaya. Sri memastikan jika peristiwa pembunuhan jenderal di sumur bekas tempat sampah, Lubang Buaya adalah bohong.
Sebab, Sri yang pernah satu sel bersama pemilik rumah Sari Ningsih di RTM Bukit Duri mendapat keterangan, jika peristiwa tersebut merupakan rangkaian skenario Kolonel Latief.
"Jadi tentara itu diperintah untuk bunuh lima jenderal itu, kemudian tentara yang membunuh jenderal itu dibunuh juga untuk menghilangkan bukti. Atas komando Latief," kata Sri.
Dosen Komunikasi yang juga peneliti film-film propaganda Orde Baru Budi Irawanto juga mengatakan jika film G 30 S/PKI merupakan film yang sengaja dibuat bertentangan dengan fakta sejarah.
"Film itu penggambaran hitam putih tentang PKI dan gerwani. Padahal kenyataannya, tidak ada yang sepenuhnya hitam," kata Budi.
Menurut Budi, kejanggalan lain film tersebut adalah keputusan Arifin C Noer dan Umar Kayam terlibat pada pembuatannya. Padahal, kedua seniman tersebut terkenal idealis.
"Padahal mereka seniman idealis yang sudah biasa lapar, tiba-tiba mau menggarap film itu dan jadi pemainnya. Kenapa? itu yang kita tidak tahu," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar