Kisah Soeharto marah saat pembuatan film G 30 S/PKI
Sabtu, 29 September 2012 15:15:33
Reporter: Islahudin
soeharto. Life via thegossip-celebrity.blogspot.com
Meski film G 30 S/PKI adalah film proyek pemerintah, namun dalam penggarapannya begitu serius. Bahkan dari para pemeran yang bermain dalam film itu terdapat tokoh intelektual yang ikut serta di dalamnya.
Sebut saja Umar Kayam yang memerankan tokoh Soekarno dan Syu’bah Asa yang berperan sebagai Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia.
Penulis buku 'Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia', Budi Irawanto mengatakan, penggarapan film digarap dengan serius dengan sumber manusia terbaik di zamannya dan dengan dukungan media, bentuk-bentuk visual yang detail dan penjelasan guru-guru di sekolah kepada siswa.
"Dengan adanya dukungan semua itu, film itu semakin cepat dipahami penonton, seolah-olah itulah kejadian otentik dalam kasus 1965,' kata Budi saat dihubungi merdeka.com pada Kamis (27/9) sore kemarin.
Dari pengamatan Budi dalam karya Arifin C Noer, film Serangan Fajar (1981) dan film Penghianatan G 30 S/PKI (1984), dia menemukan dua hal yang berbeda. Menurut Budi, dalam film Serangan Fajar, yang mengisahkan perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaannya.
"Dalam film itu Arifin masih bisa bernegosiasi dengan idealismenya dengan memasukkan tokoh mitos rekaannya seperti tokoh Temon," ujar Budi lebih lanjut.
Sedangkan dalam film Penghianatan G 30 S/PKI, menurut Budi, Arifin dalam film itu mungkin di bawah tekanan. Dia memprediksi Arifin menggarap film hanya mementingkan unsur sinematografis. Meski sudah zaman reformasi, menurut Budi, banyak kalangan yang masih menilai film itu bagus secara sinematografis, terlepas dari isi yang bertolak belakang dengan sejarah.
Hal ini bisa dilihat bagaimana riset yang terkait dengan musik, latar, pakaian dalam film dilakukan dengan riset yang serius agar film itu seolah-olah nyata. Bahkan, saking seriusnya penggarapannya, Presiden Soeharto sempat marah dalam proses pembuatan film tersebut.
Kisah itu diceritakan Jajang C Noer kepada Budi Irawanto tahun lalu di Jakarta. Menurut Budi, saat penggarapan film, Jajang C Noer ikut serta untuk riset kostum yang akan digunakan pemeran Soeharto dalam film itu. Maka mau tidak mau, Jajang harus bertanya langsung kepada Soeharto.
Keinginan untuk sempurna itu membuat Jajang harus bertanya detail kepada Soeharto. Mulai dari warna semua pakaian dinas hingga jenis kain yang digunakan saat bertugas. Bahkan, aksesori lainnya juga ditanyakan sebagai masukan dalam film. Namun, hal itu membuat Soeharto marah.
"Kenapa harus menanyakan hal-hal yang detail dan tidak perlu," ujar Budi menirukan ungkapan marah Soeharto kepada Jajang.
Padahal hal-hal yang dianggap yang tidak perlu itu semuanya bermula. Hal ikhwal yang tidak terkait langsung dengan peristiwa sebenarnya, mulai dari baju, lencana, latar musik, dan perlengkapan lainnya, membuat film itu begitu meyakinkan sebagai film paling mencekam dalam sejarah Indonesia.
Budi berharap, pemerintah mestinya mendukung pembuatan film tandingan. Membalas film dengan film, bukan sebagai bentuk balas dendam. Namun film yang mengambil sudut pandang korban yang dibantai yang dituduh Partai Komunis Indonesia.
Menurutnya film-film tandingan serupa sudah banyak yang bermunculan dalam festival-festival film dokumenter di Yogyakarta. "Film tandingannya berupa film dokumenter dan beredar di kalangan tertentu, padahal dari segi kualitas dan dukungan pemerintah masih jauh dari film Penghianatan G 30 S/PKI," ujar mantan Direktur Jogja-Netpac Asian Film Festival 2011.
[hhw]
Sebut saja Umar Kayam yang memerankan tokoh Soekarno dan Syu’bah Asa yang berperan sebagai Dipa Nusantara Aidit, Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia.
Penulis buku 'Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia', Budi Irawanto mengatakan, penggarapan film digarap dengan serius dengan sumber manusia terbaik di zamannya dan dengan dukungan media, bentuk-bentuk visual yang detail dan penjelasan guru-guru di sekolah kepada siswa.
"Dengan adanya dukungan semua itu, film itu semakin cepat dipahami penonton, seolah-olah itulah kejadian otentik dalam kasus 1965,' kata Budi saat dihubungi merdeka.com pada Kamis (27/9) sore kemarin.
Dari pengamatan Budi dalam karya Arifin C Noer, film Serangan Fajar (1981) dan film Penghianatan G 30 S/PKI (1984), dia menemukan dua hal yang berbeda. Menurut Budi, dalam film Serangan Fajar, yang mengisahkan perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaannya.
"Dalam film itu Arifin masih bisa bernegosiasi dengan idealismenya dengan memasukkan tokoh mitos rekaannya seperti tokoh Temon," ujar Budi lebih lanjut.
Sedangkan dalam film Penghianatan G 30 S/PKI, menurut Budi, Arifin dalam film itu mungkin di bawah tekanan. Dia memprediksi Arifin menggarap film hanya mementingkan unsur sinematografis. Meski sudah zaman reformasi, menurut Budi, banyak kalangan yang masih menilai film itu bagus secara sinematografis, terlepas dari isi yang bertolak belakang dengan sejarah.
Hal ini bisa dilihat bagaimana riset yang terkait dengan musik, latar, pakaian dalam film dilakukan dengan riset yang serius agar film itu seolah-olah nyata. Bahkan, saking seriusnya penggarapannya, Presiden Soeharto sempat marah dalam proses pembuatan film tersebut.
Kisah itu diceritakan Jajang C Noer kepada Budi Irawanto tahun lalu di Jakarta. Menurut Budi, saat penggarapan film, Jajang C Noer ikut serta untuk riset kostum yang akan digunakan pemeran Soeharto dalam film itu. Maka mau tidak mau, Jajang harus bertanya langsung kepada Soeharto.
Keinginan untuk sempurna itu membuat Jajang harus bertanya detail kepada Soeharto. Mulai dari warna semua pakaian dinas hingga jenis kain yang digunakan saat bertugas. Bahkan, aksesori lainnya juga ditanyakan sebagai masukan dalam film. Namun, hal itu membuat Soeharto marah.
"Kenapa harus menanyakan hal-hal yang detail dan tidak perlu," ujar Budi menirukan ungkapan marah Soeharto kepada Jajang.
Padahal hal-hal yang dianggap yang tidak perlu itu semuanya bermula. Hal ikhwal yang tidak terkait langsung dengan peristiwa sebenarnya, mulai dari baju, lencana, latar musik, dan perlengkapan lainnya, membuat film itu begitu meyakinkan sebagai film paling mencekam dalam sejarah Indonesia.
Budi berharap, pemerintah mestinya mendukung pembuatan film tandingan. Membalas film dengan film, bukan sebagai bentuk balas dendam. Namun film yang mengambil sudut pandang korban yang dibantai yang dituduh Partai Komunis Indonesia.
Menurutnya film-film tandingan serupa sudah banyak yang bermunculan dalam festival-festival film dokumenter di Yogyakarta. "Film tandingannya berupa film dokumenter dan beredar di kalangan tertentu, padahal dari segi kualitas dan dukungan pemerintah masih jauh dari film Penghianatan G 30 S/PKI," ujar mantan Direktur Jogja-Netpac Asian Film Festival 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar