Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Rabu, 03 Oktober 2012

Supersemar (1): Misteri setelah 46 tahun

Supersemar (1): Misteri setelah 46 tahun

Minggu, 11 Maret 2012 08:09:14
Reporter: Laurencius Simanjuntak

Supersemar (1): Misteri setelah 46 tahun
Naskah Supersemar palsu di ANRI. Arbi Sumandoyo/merdeka.com
Empat puluh enam tahun berlalu, misteri Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) hingga kini belum juga terpecahkan. Di mana naskah asli surat tersebut juga masih belum bisa ditemukan.

Keraguan akan keaslian naskah Supersemar yang disimpan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) muncul setelah tumbangnya Orde Baru (Orba) pada 1998. Keraguan publik soal otentisitas surat perintah dari Presiden Soekarno ke Menteri Panglima Angkatan Darat, Letjen Soeharto, kala itu semakin diperkuat oleh beberapa saksi sejarah bekas tahanan politik Orba yang akhirnya buka suara.

Sejumlah versi proses terbitnya Supersemar pun beredar. Entah siapa yang benar. Namun dari sejumlah keterangan, yang tidak bisa dibantah adalah Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu.

Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu kini ada tiga versi versi. Pertama, yakni surat  yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama ‘Sukarno’.

Sementara surat kedua berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat  ini terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama ‘Sukarno’, versi kedua tertulis nama ‘Soekarno’.

Untuk versi ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.

Kepala ANRI, M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang ‘bintang, padi dan kapas.’

“Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3).

Dari segi isi, kata Asichin, beberapa versi Supersemar tersebut relatif sama. Hanya ada perbedaan dari versi pertama dan kedua. Surat pertama terdiri dari empat poin yakni, ‘I Mengingat’, ‘II  Menimbang’, ‘III Memutuskan/Memerintahkan’ dan ‘IV Selesai.

“Bedanya, di versi kedua tidak ada ‘IV Selesai’,” ujar Asichin.

Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat.

Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti yang ada sekarang.

Jelas keterangan ini menyudutkan Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat. Sebab, dengan Supersemar berkop surat MBAD menunjukkan surat perintah itu memang diinginkan oleh Soeharto. Apalagi, muncul versi Soekarno dipaksa oleh beberapa jenderal utusan Soeharto untuk meneken Supersemar di bawah todongan senjata.

Jenderal M Jusuf, salah satu petinggi AD yang menemui Soekarno di Istana Bogor, pernah mengklaim memiliki naskah Supersemar. ANRI pernah berkali-kali meminta keterangan kepada Menteri Perindustrian Kabinet Dwikora itu. Namun, hingga akhir hayat M Jusuf pada 8 September 2004, upaya itu gagal.

Pada 31 Agustus 2005, ANRI pernah memawancarai keponakan M Jusuf, Andi Heri di Makassar. “Namun pengakuan keluarga katanya ‘kami tidak pernah menyimpan’,” ujar Asichin.

Pada 2008, pengakuan lain dibuat oleh Ubaydillah Thalib, putra Salim Thalib, staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI). Thalib mengatakan ayahnya, yang meninggal 2002 lalu, pernah bercerita kepadanya bahwa Supersemar yang ada selama ini adalah palsu.

"Teks itu tidak tersusun rapi seperti yang sekarang beredar, tapi memang diketik," ujar Ubay saat itu.

Menurut Ubay, ayahnya sempat melihat sekilas teks tersebut saat diperintahkan oleh Letkol Sudharmono untuk menyimpan di ruangannya. "Tapi sayangnya yang melihat teks Supersemar itu hanya beberapa orang," kata Ubay.
[war]

Supersemar (2): Cek kosong untuk Soeharto

Minggu, 11 Maret 2012 08:45:01
Reporter: Laurencius Simanjuntak

Supersemar (2): Cek kosong untuk Soeharto
Kategori
Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tidak hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun juga soal isinya. Tiga versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secara isi memang sama, yakni perintah untuk mengamankan negara. Namun, bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?

Seperti diketahui, Supersemar telah dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si penerima, untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15 menteri yang dianggap beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta mengawasi pemberitaan di media massa saat itu.

Melihat langkah Soeharto itu, Soekarno segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari berikutnya atau 13 Maret 1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin penting ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan kepada Soeharto.

Surat itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis. Surat semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat, pemerintah dan presiden. Kedua, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden. Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.

Surat yang tidak banyak diketahui publik ini akhirya tak digubris Soeharto. Semua tahu setahun setelah penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu.

Sejarawan Asvi Warman Adam (2009) menilai Supersemar seperti blanko cek kosong yang biasa diisi semaunya oleh Soeharto. Hal ini terlihat dalam frasa "mengambil tindakan yang dianggap perlu" dalam poin perintah pertama surat itu.

Supersemar, kata Asvi, akhirnya ditafsirkan bukan hanya sebagai perintah pengamanan, namun juga pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Brigjen Amir Machmud, salah satu orang dekat Soeharto, setelah melihat surat itu menilai surat itu bernada penyerahan kekuasaan.

Menurut Asvi, seharusnya surat kepada militer jelas batas dan jangka waktu pelaksanaannya. Poin ketiga surat lanjutan Soekarno pada 13 Maret 1966 menunjukkan sang presiden telat menyadari ketidakjelasan jangka waktu pelaksanaan Supersemar.

Namun keterangan Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, setelah lepas dari tahanan Orde Baru, menunjukkan Sang Pemimpin Besar Revolusi tak seceroboh itu. Menurutnya, Supersemar terdapat frasa "setelah keadaaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno." Ketarangan Soebandrio itu dibenarkan oleh Pangkostrad Letjen Kemal Idris.

Kontroversi isi Supersemar ini akhirnya membuat persepsi bahwa Supersemar palsu sengaja dibuat mengarahkan ke transfer of authority. Sementara yang asli jelas merupakan perintah mengamankan negara atau delegation of authority. Ini pula yang diamini Roeslan Abdul Gani, salah satu menteri Soekarno saat itu.
[war]

Supersemar (3): Siapa yang mengetik?

Minggu, 11 Maret 2012 10:27:08
Reporter: Laurencius Simanjuntak

Supersemar (3): Siapa yang mengetik?
Naskah Supersemar palsu di ANRI. Arbi Sumandoyo/merdeka.com
Kontroversi keberadaan (fisik) dan isi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) juga diikuti dengan misteri siapa yang mengetik surat sakti itu. Namun, dari sekian lama kontroversi bergulir, baru satu orang yang mengaku mengetik surat itu. Dia adalah Letkol (Purn) Ali Ebram.

Saat Supersemar terbit, Ebram adalah Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Dia mengaku mengetik Supersemar dengan didiktekan Presiden Soekarno. Ebram, yang tidak terbiasa mengetik, mengaku gemetar saat menekan tombol-tombol mesin cetak itu.

Dalam 'Kudeta Supersemar' (Wisnu: 2010) diceritakan, Ebram mengaku dipanggil oleh bosnya Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, untuk membawa mesin tik dan kertas berkop kepresidenan ke paviliun Hartini, ruang pribadi presiden di Istana Bogor. Ebram mengetik surat itu selama satu jam.

Menurut pengakuannya, di ruang lain, tiga petinggi Angkatan Darat yakni Brigjen M Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat, sudah menunggu. Keterangan Ebram klop dengan pengakuan Amirmachmud bahwa saat menunggu, ia melihat presiden masuk ke kamar dalam waktu yang cukup lama.

Namun, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo, mengatakan lain. Mangil mengatakan, sang pengetik adalah Sabur sendiri. Dengan membawa kertas dan mesin tik, kata Mangil, Sabur mengatakan sedang membuat surat perintah. Sabur, kata dia, mengetik hasil koreksi Supersemar setalah Soekarno mendiskusikan versi awal kepada tiga jenderal itu bersama dua wakil perdana menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh.

Sementara itu, Soebandrio, yang mengaku turut mengoreksi, mengaku tidak tahu siapa yang mengetik Supersemar. Dia hanya mengetahui Supersemar diketik oleh salah satu staf di Istana Bogor.

Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, mengatakan lain. Dari pengakuan seorang tentara di Istana Bogor, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Keterangan ini secara tidak langsung membantah Ebram sebagai pengetik Supersemar karena ia mengaku mengetik surat itu di atas surat berkop kepresidenan.

Namun sayang, Anderson tidak mau mengungkapkan siapa tentara pemberi informasi tersebut, berikut pangkatnya.
[has]

Supersemar (4): Pistol di dada Soekarno?

Minggu, 11 Maret 2012 12:12:07
Reporter: Putri Artika R

Supersemar (4): Pistol di dada Soekarno?
Kategori
Dada Soekarno malam itu mungkin tak sebusung waktu ia mengatakan “ini dadaku mana dadamu” kepada Malaysia. Dini hari, 11 Maret 1966 di Istana Bogor, pistol FN-46 itu ditodongkan Brigjen Basuki Rachmat ke dada sang presiden. Soekarno dipaksa untuk meneken sebuah surat di dalam map merah jambu.

Dalam ‘Mereka Menodong Soekarno’,  Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu, mengaku langsung mencabut pistolnya. Namun, Soekarno menyuruh pengawalnya itu untuk memasukkan kembali ke sarungnya.

Saat membaca isi naskah di map merah itu, kata dia, Soekarno sempat bertanya "Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!" Secara refleks, kata Sukardjo, ia  melihat naskah tersebut. Kop surat, kata dia, tidak ada lambang kepresidenan. Dia justru melihat kop Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di sisi kiri atas surat tersebut.

"Untuk mengubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah," kata Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf dan M Panggabean.

Surat yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itu akhirnya diteken oleh Soekarno. Keempat jenderal utusan Soeharto itu lantas membawa surat  dengan sumringah. Setelah kejadian itu, Soekarno langsung mewanti-wanti Sukardjo.

“Kamu harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujar Sukardjo menirukan pesan Soekarno saat itu.

Dan benar saja, tak lama setelah kejadian itu, Sukardjo dilucuti oleh pasukan Kostrad dan RPKAD untuk kemudian ditahan. Dia dipenjara oleh Orde Baru tanpa peradilan selama 14 tahun. Selama ditahan, ia menerima penyiksaan, seperti disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.

Meski banyak yang membantah cerita tersebut, setidaknya itulah kesaksian dari Sukardjo, pengawal presiden, yang kedatangan tamu empat jenderal pada pukul 01.00 WIB.  Selain soal pistol, kesaksian yang paling diragukan adalah kehadiran Brigjen M Panggabean. Dari beberapa versi cerita,  cuma Sukardjo yang mengatakan kehadiran Panggabean di Istana Bogor.

Namun, tak sedikit juga yang memperkuat kesaksian Sukardjo. Mereka yang memperkuat kesaksian Sukardjo adalah R Seoekiram, S Ponirah, Soeprapto Karto Siswoyo dan Rian Ismali. Keempatnya merupakan purnawirawan CPM dan TNI AD.

Akibat pengakuannya yang menghebohkan usai reformasi pecah pada 1998 itu, Sukardjo sempat menghadapi proses hukum atas tuduhan menyebarkan berita bohong. Namun, ia berhasil lolos dari jeratan hukum karena tuduhan itu tidak terbukti.
[has]

Supersemar (5): Amerika sebut kudeta

Minggu, 11 Maret 2012 15:03:42
Reporter: Laurencius Simanjuntak
Supersemar (5): Amerika sebut kudeta
Kategori
Tuduhan bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah puncak dari kudeta merangkak yang dilakukan Soeharto, semakin jelas dengan adanya dokumen Central Intelligence Agency (CIA). Telegram rahasia dari Kedubes AS di Jakarta kepada Departemen Luar Negeri AS, sehari pasca-Supersemar, menyatakan: Indonesia baru saja melancarkan sebuah kudeta militer (military coup).

Dalam ‘Membongkar Supersemar’, Sejarawan Baskara T Wardaya melampirkan telegram rahasia yang ia dapatkan itu. AS tidak hanya menyebut Supersemar sebagai kudeta. Tapi melihat caranya yang merangkak, negara adidaya itu menyebut Supersemar sebagai “kudeta militer yang khas negeri tersebut.”

“Setelah lama ditunggu-tunggu kini Soekarno telah mempertaruhkan nasibnya terlalu jauh. Rencana dia untuk menyingkirkan jajaran kepemimpinan militer dan memasukkan seseorang yang dikenal sebagai pro-komunis sebagai Menteri Pertahanan telah mendorong militer untuk memotong kekuasaannya,” demikian selanjutnya isi telegram tersebut.

Menteri yang dimaksud AS sebagai pro-komunis adalah Mayjen Sarbini. Dia ditunjuk oleh Presiden Soekarno menggantikan AH Nasution, yang dikenal dekat dengan AS. Saat Supersemar terjadi Nasution tidak menjabat apa-apa lagi. Dia lebih banyak menunggu di rumah sambil melihat dinamika politik yang terjadi.

Dukungan AS untuk penggulingan Soekarno semakin jelas dengan adanya memorandum dari Deputi Asisten Khusus Bidang Keamanan Nasional AS, Robert Komer, kepada Presiden Lyndon Jhonson. Dalam memo itu, Komer menyebut Supersemar sebagai “kudeta yang sukses”.

“Mendukung sukses. Tidak sulit untuk menyadari betapa pentingnya kemenangan AD atas Soekarno (meskipun Soekarno tetap dihormati sebagai simbol negara). Indonesia memiliki jumlah penduduk - dan jumlah sumber alam – melebihi yang ada di seluruh Asia Tenggara. Selama ini Indonesia telah siap menjadi negara komunis yang ekspansionis, yang siap mengancam bagian belakang posisi Barat di Asia Tenggara,” demikian memo yang dikirim sehari setelah Supersemar itu.

Dalam ‘Peristiwa G 30 S yang Saya Alami’, Soebandrio mengatakan, sangat jelas AS takut Indonesia dikuasai komunis. Wakil Perdana Menteri I di kabinet Dwi Kora itu mengatakan ada dua proyek AS di Indonesia. “Hancurkan PKI dan gulingkan Soekarno,” cetusnya.

Soebandrio dan sejumlah menteri yang berhaluan kiri memang banyak duduk di kabinet saat itu. Apalagi hubungan AS dan Soekarno terus memburuk pasca-pernyataan keras Soekarno tentang penghentian batuan negara adidaya ke Indonesia. “Go to hell with your aid,” cetus Soekarno saat itu.

Setelah Supersemar terbit, PKI mulai diberangus, Soebandrio dan 14 menteri kabinet Dwi Kora yang loyal dengan Bung Karno dan berhaluan kiri, ditangkap dan ditahan. Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa.

“Dari posisi orang nomor dua di republik ini, mendadak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati,” ratap Soebandrio di penjara Cimahi.

Namun, Seobandrio akhirnya lolos dari jerat maut berkat surat Presiden AS Lyndon Jhonson dan Ratu Inggris Elizabeth kepada Soeharto.

“Soebandrio jangan ditembak, saya tahu dia tidak terlibat dalam G 30S,” demikian surat yang akhirnya membuat Soebandrio tetap hidup dan menulis kesaksiannya setelah reformasi meletus.
[has]

Supersemar (6): Lima tahun bui untuk si penyembunyi

Minggu, 11 Maret 2012 15:21:28
Reporter: Laurencius Simanjuntak
Supersemar (6): Lima tahun bui untuk si penyembunyi
Naskah Supersemar palsu di ANRI. Arbi Sumandoyo/merdeka.com
Upaya Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk menemukan naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) belum membuahkan hasil. Terlebih, saksi sejarah peristiwa 46 tahun silam itu, satu per satu telah tiada.

Lembaga arsip negara telah berulang kali meminta penjelasan Jendral (Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan Darat yang hadir di Istana Bogor. Namun upaya itu selalu gagal sampai akhirnya Jusuf meninggal dunia pada 8 September 2004. Padahal, Jusuf pernah mengklaim memiliki naskah asli Supersemar.

Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn), Kivlan Zen, juga pernah mengeluarkan pernyataan mengejutkan perihal keberadaan naskah asli Supersemar. Dia mengatakan putra Brigjen Sutjipto SH telah menemukan naskah asli surat sakti tersebut di dalam dokumen milik ayahnya. Surat itu, kata Kivlan, kemudian diserahkan kepada Soeharto.

Sejarawan Anhar Gonggong meyakini Soeharto mengetahui naskah asli Supersemar. Dia tidak percaya kalau penguasa Orde Baru itu tidak mengetahui perihal keberadaan surat yang memberi kewenangan besar kepadanya itu. Namun dengan meninggalnya Soeharto pada  27 Januari 2008, Supersemar tetap menjadi misteri.

Pada 2008, Ubaydillah Thalib, putra Salim Thalib, staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI), mengatakan ayahnya sempat melihat sekilas teks asli Supersemar. Thalib yang meninggal pada 2002, kata Ubay, melihat naskah asli Supersemar saat diperintahkan oleh Letkol Sudharmono untuk menyimpan di ruangannya.

"Tapi sayangnya yang melihat teks Supersemar itu hanya beberapa orang," kata Ubay yang selanjutnya tidak mendapat cerita di mana surat sakti itu kini berada.

Entah di mana naskah asli Supersemar kini berada. Namun yang jelas, jika ada yang menyembunyikan, ia akan berhadapan dengan hukum. Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan menyatakan barangsiapa dengan sengaja memiliki arsip negara dengan melawan hukum, maka akan dipenjara selama-lamanya 10 (sepuluh)
tahun.

Itu artinya, jika Supersemar asli disembunyikan oleh Soeharto, sebagaimana dugaan sejumlah pihak, penguasa Orba itu sebenarnya bisa dibui atas beleid yang ditekennya sendiri. Namun apa mau dikata, Soeharto telah pergi dengan masih meninggalkan banyak misteri.

Pada revisi terakhir UU itu, yakni UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, aturan pidana soal penyimpanan arsip negara sedikit berubah. Bagi yang memiliki arsip negara secara melanggar hukum ia akan dibui maksimal lima tahun. Dan bagi yang memusnahkan arsip tidak sesuai prosedur yang diatur akan mendapat hukuman maksimal 10 tahun penjara.

Namun Kepala ANRI, M Asichin, mengatakan ancaman pidana itu mungkin tidak terlalu kaku diterapkan jika ada pihak yang muncul dengan membawa Supersemar asli. ANRI, katanya, justru menjanjikan penghargaan bagi mereka yang menyelamatkan arsip negara yang sangat penting itu. 

“Kan soal penghargaan juga diatur undang-undang,” ujarnya.

Berkaca pada kasus Supersemar, Sejarawan Asvi Marwan Adam (2010), mengatakan, penting untuk menjaga dan menyimpan arsip secara baik dan rapi. Dia juga mengingatkan, surat para pejabat harus tegas perihal apa tugas yang diberikan, sejauh mana kewenangan yang diberikan dan kapan berakhirnya masa tugas. Ini untuk mencegah agar tidak disalahgunakan atau disalahtafsirkan anak buahnya, sebagaimana telah dilakukan Soeharto terhadap Soekarno.
[ren]

Supersemar (7-tamat): ANRI terus mencari yang asli

Minggu, 11 Maret 2012 15:40:35
Reporter: Laurencius Simanjuntak
 Supersemar (7-tamat): ANRI terus mencari yang asli
Kategori
Meski pencarian sejak tahun 2000 belum membuahkan hasil, upaya Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk menemukan naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tak pernah surut. Setiap informasi soal surat sakti tersebut akan ditelusuri. Tahun ini, kata Kepala ANRI, M Asichin, pihaknya akan meminta keterangan keluarga Soekarno dan Soeharto.

“Kami akan tanya Mbak Tutut dan Ibu Mega dalam waktu dekat,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3).

Asichin menjelaskan, adalah penting untuk mencari informasi seputar Supersemar kepada keluarga Soekarno dan Soeharto, sebagai pemberi dan penerima surat. “Kita akan tanya pernah lihat tidak (naskah asli Supersemar-red), apapun jawaban beliau akan kita arsipkan,” kata Asichin.

Tidak hanya kepada keluarga pemberi dan penerima surat, ANRI juga akan mewawancarai tokoh-tokoh yang dekat dengan konteks peristiwa 1966 itu. Dia menyebut nama Akbar Tandjung dan Cosmas Batubara, pentolan gerakan mahasiswa tahun 1966. “Siapa tahu mereka tahu,” ujarnya.

Dalam rangka mencari Supersemar, ANRI juga pernah mewawancarai keluarga Jenderal (Purn) M Jusuf, salah satu petinggi Angkatan Darat (AD) yang mengantarkan Supersemar dari Soekarno kepada Soeharto. Asichin mengatakan, klaim M Jusuf memiliki naskah asli Supersemar tidak terbukti.

Kepada ANRI, Andi Heri, keponakan M Jusuf yang menjadi saat itu menjabat Wakil Wali Kota Makassar mengatakan, “Keluarga kami tidak menyimpan.” Wawancara itu dilakukan pada 31 Agustus 2005.

ANRI juga pernah mendatangi anak Jenderal (Purn) AH Nasution, namun hasilnya juga sama, nihil. “Dia juga tidak tahu,” kata Asichin.

Terakhir, kata dia, ANRI juga mewawancarai Joko Pekik dan Rewang, dua anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), partai yang dibubarkan setelah Supersemar terbit. Namun, pada wawancara Juni dan Juli 2011 itu mereka juga tidak tahu perihal surat tersebut.

“Mereka cuma mendengar saat itu soal Supersemar, soal ada tidak ada, mereka tidak tahu,” ujar Asichin.

Secara pribadi, Asichin meyakini Supersemar asli itu benar-benar ada. Soekarno sendiri pernah mengatakannya pada pidato di HUT Kemerdekaan 17 Agustus 1966.

“Pak Moerdiono juga pernah mengatakan beliau melihat dan beliau yakin ada,” kata Asichin.

Supersemar yang disimpan di etalase ANRI kini ada tiga versi versi. Pertama, yakni surat  yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama ‘Sukarno’.

Sementara surat kedua berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat  ini terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama ‘Sukarno’, versi kedua tertulis nama ‘Soekarno’.

Untuk versi ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.

Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang ‘bintang, padi dan kapas.’

“Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan seperti yang terakhir,” katanya.
[ren]

Tidak ada komentar: