Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Senin, 01 Oktober 2012

Film G30S, Potret Pertama Sosok Aidit

foto
TEMPO/Arif Fadillah
Minggu, 30 September 2012 | 05:09 WIB

Film G30S, Potret Pertama Sosok Aidit  

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa malam Jumat Pahing yang dikenal sebagai Gerakan 30 September itu direka ulang lewat film kolosal Pengkhianatan G-30-S/PKI (1982). Itulah pertama kalinya masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Dipa Nusantara Aidit.

Bagaimana gayanya berbicara, bagaimana ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya mengepulkan asap rokok. Ada saat Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak bibirnya, terutama ketika menunjukkan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran sutradara Arifin C. Noer adalah Aidit yang penuh muslihat.

Adalah Syu’bah Asa (21 Desember 1941- 24 Juli 2011), budayawan yang kala itu wartawan majalah Tempo, yang didapuk Arifin sebagai sang gembong PKI. ”Tadinya saya ingin memberikan perwatakan yang lebih utuh,” ujar mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini, seperti ditulis
majalah Tempo 7 Oktober 2007. ”Tapi Arifin bilang tak perlu karena dia hanya butuh beberapa ekspresi.”

Maka, seperti tersaji di film berdurasi 271 menit itu, pada saat Aidit muncul di layar, yang tersodor adalah fragmen-fragmen seperti mata yang mendelok-delok marah atau gaya merokok yang menderu-deru gelisah. ”Saya tidak merasa sukses memainkan peran itu,” kata Syu’bah.

Tapi ia tak kecewa karena sejak awal tahu bahwa sosok Aidit dibutuhkan hanya sebagai pengimbang, bukan tokoh utama yang menjadi alasan film itu dibuat. Belum lagi menyangkut akses untuk mempelajari karakter Aidit yang sangat terbatas. Bahan riset minim dan akses ke keluarga almarhum saat itu tak ada. ”Waktu itu tidak mungkin menghubungi keluarga Aidit. Ada jurang besar yang tak terjembatani. Tidak seperti sekarang,” ujar Syu’bah.

Maka, selain dengan penafsirannya sendiri atas skenario yang ditulis Arifin, Syu’bah mendalami tokoh yang akan diperankannya melalui diskusi intens dengan Amarzan Ismail Hamid, penyair yang mengenal Aidit secara pribadi. Sepanjang malam, mereka berdiskusi di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, Jawa Barat.

Apa saja informasi penting yang ia dapatkan? ”Amarzan bilang, dia sudah bertemu pemimpin komunis dunia, seperti Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh. Semua karismatik di mata dia. Tapi Aidit tidak,” ujar Syu’bah. ”Dari informasi itulah, saya tafsirkan ke dalam gerak wajah.” Namun, ketika besoknya syuting dilakukan, Syu’bah sempat ketiduran. ”Kecapekan,” tuturnya. Ketika film itu selesai, Syu’bah kembali mengunjungi Amarzan, menanyakan pendapatnya tentang peran yang ia mainkan. ”Buruk,” ujar sang penyair seperti diulangi Syu’bah.

Amarzan, 66 tahun, menyatakan, memang itu bukan peran yang gampang. ”Sulit untuk menggambarkan sosok seorang Aidit,” katanya. ”Apalagi itu film propaganda. Semua yang ada di dalamnya dibuat berdasarkan keinginan sang pemesan.”

Di awal proses preproduksi, sebetulnya Amarzan sempat terlibat atas ajakan Arifin dan Danarto, yang menjadi direktur artistik film. ”Saya memberikan masukan tentang setting suasana rapat-rapat PKI dan suasana pada waktu itu,” tuturnya. Belakangan, ia mengundurkan diri setelah sarannya tidak banyak didengar.

Danarto pun tak bertahan lama dalam pembuatan film yang digarap selama dua tahun dengan melibatkan lebih dari 10 ribu pemain figuran itu. ”Setelah berbulan-bulan melakukan riset, saya akhirnya juga mengundurkan diri sebagai art director karena soal honor,” Danarto menandaskan.

Bujet film ini sendiri tercatat Rp 800 juta, yang menjadikannya sebagai film termahal di awal 1980-an.

Tidak ada komentar: