foto
Umar Kayam. TEMPO/Rully Kesuma
Sabtu, 29 September 2012 | 12:30 WIB

Alasan Umar Kayam Mau Jadi Soekarno  

TEMPO.CO, Jakarta - Meski berseberangan dengan Soekarno, almarhum budayawan Umar Kayam bersedia memerankan tokoh Presiden RI pertama itu di film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Kayam memiliki alasan untuk menerima peran itu.

Menurut artikel majalah Tempo edisi 5 Mei 2002 bertajuk Sang Dirjen, di Belakang dan di Muka Layar, Kayam menerima peran itu karena sutradara film itu, Arifin C. Noer, adalah kawan dekatnya.

Film Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta (dan Yogyakarta). Peristiwa itu berbuntut pada tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.

Saat syuting film itu, Kayam bisa tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan naik jipnya. ”Edannya, para pelayan di Istana Bogor sungguh menganggap saya Bung Karno,” ujar Kayam dalam suatu wawancara dengan Tempo.

Kayam, banyak teman yang memanggilnya Uka, sebenarnya bukan bintang film. Dosen sosiologi sastra Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada ini lebih dikenal sebagai seniman. Orang sering mendapatinya sedang bersepeda di kampus atau bergurau seru di warung kopi.

Kayam memiliki pandangan yang berseberangan dengan Soekarno soal film. Ketika menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan 1966-1969, Kayam membolehkan kembali film barat masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Soekarno sempat melarang film barat masuk ke Indonesia.

Selain dikenal sebagai sastrawan, Kayam juga menulis skenario film. Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978, adalah buah penanya. Kolumnis ini juga rajin menulis di berbagai media massa. Tulisannya berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak berpikir berat.

Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Ia mengembuskan napas terakhir pada 16 Maret 2002.

KODRAT

Pengorbanan Umar Kayam Perankan Soekarno  

TEMPO.CO, Jakarta - Untuk memerankan Presiden Soekarno pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI, Umar Kayam rela dibotaki. Kayam digunduli agar terlihat mirip dengan Soekarno.

Kendati demikian, ia tidak jera untuk melakonkan tokoh yang sama. "Asal diberi waktu mempersiapkan diri," ujar Kayam dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.

Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta. Peristiwa itu berbuntut tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.

Saat syuting film itu, Kayam bisa tidur di ranjang Soekarno di Istana Bogor dan naik jipnya. ”Edannya, para pelayan di Istana Bogor sungguh menganggap saya Bung Karno,” ujar Kayam dalam suatu wawancara dengan Tempo.

Kayam, banyak teman yang memanggilnya Uka, sebenarnya bukan bintang film. Dosen sosiologi sastra Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada ini lebih dikenal sebagai seniman. Orang sering mendapatinya sedang bersepeda di kampus atau bergurau seru di warung kopi.

Kayam memiliki pandangan yang berseberangan dengan Soekarno soal film. Ketika menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969), Kayam membolehkan kembali film Barat masuk ke Indonesia. Sebelumnya, Soekarno sempat melarang film Barat masuk ke Indonesia.

Selain dikenal sebagai sastrawan, Kayam juga menulis skenario film. Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978, adalah buah penanya. Kolumnis ini rajin menulis di berbagai media massa. Tulisannya berbau renungan, tetapi tidak hendak mengajak berpikir berat.

Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada 30 April 1932. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada 16 Maret 2002.


KODRAT

Proses Arifin C. Noer Bikin Pengkhianatan G30S/PKI

TEMPO.CO, Jakarta - Film Pengkhianatan G30S/PKI dibuat dalam waktu dua tahun. Di samping tokoh Bung Karno dan Mayor Jenderal Soeharto, sutradara Arifin C. Noer juga melibatkan 120 tokoh lain dan 10 ribu figuran di film ini.

Meski ini bukanlah film kolosal karya Arifin yang pertama, mengurus dan menata casting begitu besar memang jauh dari gampang. "Benar-benar gila. Edan!" kata Arifin dalam artikel bertajuk Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah di majalah Tempo edisi 7 April 1984.

Untuk membuat film itu, Arifin membaca sebanyak mungkin, mewawancarai saksi sejarah, dan mencari properti asli. Arifin pun mencita-citakan Pengkhianatan G30S/PKI sebagai film pendidikan dan renungan tanpa “menawarkan kebencian”.

Film ini cukup kaya dengan detail. Latarnya berpindah-pindah dari Istana Bogor ke rapat-rapat gelap PKI (Partai Komunis Indonesia). Kemudian, ke rumah pahlawan revolusi lalu ke Lubang Buaya. Tapi, di samping beberapa fakta yang sudah amat kita kenal itu, film ini juga menampilkan sketsa kerawanan ekonomi masa itu lewat antre dan kemiskinan.

Sedangkan kerawanan politik dilukiskan melalui serangan PKI ke sebuah masjid di Jawa Timur, guntingan koran, berita radio, dan komentar-komentar tajam. Poster Bung Karno tak terkecuali menyeruak di sana-sini dan tulisan Manipol Usdek (Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945) bertebaran di tembok dan atap rumah.

Inti cerita ini diketahui orang banyak dan plotnya sederhana. "Persis diorama di Lubang Buaya," kata Arifin.

Pengkhianatan G30S/PKI merupakan film propaganda yang dirilis pada 1984. Film ini merupakan versi rezim Orde Baru terhadap peristiwa 30 September 1965 dan 1 Oktober 1965 di Jakarta. Peristiwa itu berbuntut pada tumbangnya Soekarno yang digantikan rezim Soeharto.

Sutradara film itu, Arifin, dikenal sebagai seniman multitalenta. Sejak SMP, pria bernama lengkap Arifin Chairin Noer ini menggeluti teater dan puisi. Ia mulai menyentuh kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu pada 1976. Film perdananya, Suci Sang Primadona (1977), melahirkan pendatang baru: Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai Aktris Terbaik Festival Film Indonesia 1978. Arifin meninggal pada 28 Mei 1995 di usia 54 tahun.

KODRAT
foto
Keke Tumbuan pemeran tokoh Ade Irma Suryani di Film G30sPKI saat ditemui TEMPO di Ruang Rupa galeri, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (26/09). TEMPO/Dhemas Reviyanto

Mirip, Keke Tumbuan Didapuk Jadi Ade Irma Suryani  

TEMPO.CO, Jakarta - Usia Keke Tumbuan masih 5 tahun ketika berperan sebagai Ade Irma Suryani Nasution di film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang diproduksi pada 1984. Tapi, ketika bertemu di Ruang Rupa, Tebet, Rabu, 26 September 2012, anak pasangan aktor Frans Tumbuan dan Rima Melati ini masih mengingat betul bagaimana situasi dan kondisi di lokasi syuting film arahan almarhum sutradara Arifin C. Noer itu. Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Keke:

Bagaimana proses bisa mendapatkan peran sebagai Ade Irma Suryani?
Waktu itu Om Arifin (sutradara Arifin C. Noer) sedang dalam tahap pre-production film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Dia lagi mencari anak kecil untuk memerankan Ade Irma. Dia kenal ibuku (artis Rima Melati) sudah lama dan pernah melihat aku. Kata Om Arifin, aku mirip dan bisa memerankan Ade.

Langsung mau?
Lumayan lama untuk meyakinkanku untuk mau menerima peran itu. Waktu itu, mama cerita soal Ade Irma, bahwa dia pahlawan, dia matinya seperti ini, aku langsung enggak mau. Karena takut di tembak beneran.

Bagaimana akhirnya sampai mau menerima peran ini?
Lama-lama aku ngerti juga, aku mengamati dan akhirnya aku mau.

Selama syuting menemukan kesulitan?
Enggak. Gampang-gampang aja kok.

Bagaimana di lokasi syuting?
Aku diantar mama cuma hari pertama. Jadi aku lebih kenal dan dekat sama pemain lain. Mama waktu itu ikutan sibuk meski enggak ikut di set (lokasi syuting).

Berapa lama syutingnya?
Produksinya lama banget. Waktu aku sendiri aja dari rambut pendek sampai rambut lumayan panjang. Waktu adegan Ade Irma di rumah sakit, rambut aku itu sudah panjang.

Apakah karakter Ade Irma terus melekat selama proses syuting?
Enggak sih. Dulu kalau mau syuting, aku datang ke lokasi sudah pakai baju kayak Ade Irma. Tapi pas sudah cut, aku pulang, enggak aku bawa Ade Irma (karakter). Jadi, pas di lokasi saja.

ALIA FATHIYAH

Film Pengkhianatan G30S/PKI di Mata Para Pemeran

TEMPO.CO, Jakarta - Siapa yang tak kenal dengan sutradara besar Arifin C Noer. Film-filmnya kebanyakan laris dan meraih penghargaan. Karyanya yang paling kontroversial adalah film Pengkhianatan G30S/PKI yang mulai ditayangkan pada 1984 hingga 1997 di TVRI.

Keke Tumbuan yang berperan sebagai Ade Irma Suryani Nasution mengakui kedahsyatan film yang dijuluki super infra box office itu. Karena film ini, Arifin di ganjar penghargaan Piala Citra untuk Penulis Skenario Terbaik pada 1985.

“Film ini kontroversial, dilihat base on true story, padahal enggak juga. Kayak pelajaran PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa),” kata Keke tertawa.

Keke mengakui dalam hal sinematografi, ketegangan, dan kualitas, semua dimiliki di dalam film tersebut. Proses produksi yang dijalankan selama dua tahun dan membutuhkan sekitar 100 figuran, sudah terlihat bagaimana film pesanan Orde Baru ini dibuat sedemikian detail.

“Ini karya Om Arifin yang sangat bagus, dahsyat. Dari sinematografi, ketegangan, dia dapat semua. Sayang, dia mengerjakan semuanya hanya untuk histori. Yang aku bisa lihat, waktu itu orang-orang mengerjakannya dengan stres, mungkin karena tekanan,” kata Keke.

Keke sangat menyayangkan film tersebut tidak tayang lagi sejak 1998. Padahal, menurut dia, banyak efek positif yang bisa diambil, terutama proses kreatif serta hasil kualitas film itu.

“Dalam hal seni, film ini bagus, bisa menceritakan kejadian dengan detail. Para seniman film supaya bisa melihat bagaimana sebuah film dibuat dengan serius. Enggak kayak sekarang, semuanya serba instan. Mana bisa membuat film bagus kalau syutingnya cuma seminggu,” ujar Keke yang pernah membuat film pendek bertajuk The Big Day.

Pemeran Soeharto muda dalam film tentang pembunuhan para jenderal ini, Amoroso Katamsi, menilai film menjadi cara yang ampuh untuk menyebarluaskan dan memasukkan ide, gagasan, dan ideologi. Sebab, pemerintah merasakan bagaimana sulitnya menumpas gerakan komunis ketika terjadi pemberontakan pertama pada 1948 di Madiun.

“PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah berkhianat,“ ujar dokter yang juga tentara ini. Maka, wajar pemerintahan Orde Baru berusaha menumpas paham komunisme dengan segala cara dan biaya yang besar, termasuk lewat film berdana Rp 800 juta: Pengkianatan G30S/PKI.

ALIA FATHIYAH