Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Jumat, 07 September 2012

"Satrio Boyong Pambukaning Aib"

Wayang Durangpo Episode 156 "Satrio Boyong Pambukaning Aib"


Ditulis Oleh Sujiwo Tejo

Minggu, 12 Agustus 2012

Rambutnya gondrong. Persis Gus Maksum alias KH Maksum Djauhari dari Kediri zaman almarhum masih sugeng. Bukan cuma sama dengan rambut panjangnya yang lurus. Slederangannya termasuk kumis tipisnya plus gayanya kalau bicara wah jan persis tenan dengan cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Abdul Karim itu.



Sang pemuda bertanya tentang sastra kuno berbentuk kakawin. Dalam kakawin Arjunawiwaha siapakah yang dimaksud "Dia" yang ambek sang paramarta pandita yaitu orang yang sungguh-sungguh bijak? Dalam kakawin Bharatayuda siapakah yang dimaksud Sang Sura?



Ponokawan Gareng ndak njawab langsung pemuda mirip Gus Maksum itu. Gareng cuma bilang, Arjuna Wiwaha dan Bharatayuda karya sastra berbentuk kakawin paling kuno di Jawa Timur. Dan menurut sastrawan di masa itu, Mpu Panuluh, seluruh karya sastra pada masa dia berkisah tentang sang raja. Bukan tentang rakyat.



"Kowe ngomong waton njeplak? " celoteh Bagong, adik Gareng.





"Buktinya ada kok Gong," Petruk menengahi. "Mpu Panuluh terang-terangan dawuh dalam kitabnya, Hariwangsa, bahwa karya-karya sastra nduk masa itu dipersembahkan kepada raja ..."



"Hmmm...kalau menghitung era penciptaannya," kesimpulan si pemuda, "mungkin Dia dalam Arjunawiwaha itu Prabu Airlangga. Sang Sura dalam Bharatayuda itu Prabu Jayabaya?"



Gareng manggut-manggut. Hening. Ia lantas mengajak semuanya beranjak dari pintu Pasujudan di Makam Sunan Gunung Jati. Pintu Pasujudan alias Sela Matangkep adalah pintu ketiga pada petilasan di kaki Gunung Sembung itu, setelah pintu Gapura dan pintu Krapyak.



Dari pintu ketiga mereka bergerak menuju pintu keempat Ratnakomala, selanjutnya pintu Jinem, pintu Rararoga, pintu Kaca, pintu Bacem sampai terakhir pintu kesembilan Teratai. Biasanya para pengunjung hanya diperbolehkan sampai Sela Matangkep, nama yang juga dipakai untuk gerbang kahyangan Batara Guru.



Kok boleh sampai gerbang kesembilan? Ya, mungkin karena yang menjadi pemandu mereka adalah Gareng alias Cakrawangsa. Cakrawangsa yang berarti pengikat tali persaudaraan adalah orang biasa tetapi sesungguhnya tak benar-benar orang biasa.



***



Menjelang pintu Teratai petilasan di kawasan Cirebon itu sang pemuda kembali bertanya, mengapa jumlah gerbang makam Sunan Gunung Jati ada sembilan.



"Ya ndak tahu," jawab Gareng. "Tapi angka itu sama dengan jumlah ponokawan di Cirebon. Sembilan orang, tidak empat orang seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur."



"Apakah dalam ramalan Jayabaya juga ada sembilan tahap agar Nusantara kembali mempunyai raja sekualitas Prabu Airlangga?" tanya si pemuda.



"Ramalan Raja Kediri Jayabaya tentang pemimpin saya juga tak tahu banyak, Kisanak," jelas Gareng. "Tapi kalau penerusnya, tokoh dengan spirit sama dengan Jayabaya, yaitu Ronggowarsito, saya sedikit tahu."



Sastrawan dari abad ke-18 itu, demikian Gareng, meramalkan adanya tujuh jenis satrio piningit yang akan memimpin Nusantara. Sekarang pemimpinnya jenis keenam, yaitu Satrio Boyong Pambukaning Gapuro.



"Artinya satrio inilah yang akan membuka jalan bagi munculnya pemimpin baru, satrio piningit ketujuh, yaitu Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu," Bagong nyeletuk.



Tapi pemuda mirip Gus Maksum itu berkernyit. Di pintu Teratai makam Sunan Gunung Jati itu seakan dia tersentak oleh sesuatu sehingga tak mempercayai keterangan Bagong. Baginya, tiba-tiba, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro tidak bermakna pemimpin yang membuka gerbang bagi kedatangan pemimpin baru.



"Bagiku maksud Satrio Boyong Pambukaning Gapuro itu justru satrio yang membuka gapura untuk terungkapnya aib seluruh bangsa. Coba sekarang pikir, aib apa saja yang tidak mulai terkuak pada bangsa ini," pikir sang pemuda.



***



Di makam Sunan Gunung Jati yang berada satu cungkup dengan makam beberapa tokoh lain seperti Fatahillah, Syarifah Muda'im, Nyi Gedeng Sembung dan lain-lain itu si pemuda mirip Gus Maksum jadi teringat Sisupala, Raja Cedi.



Dialah Satrio Boyong Pambukaing Gapuro yaitu yang membuka gapura aib semua orang sampai akhirnya aib sendiripun terkuak. Dalam lakon Sesaji Rajasuya Sisupala membuka aib bahwa Pandawa adalah anak-anak tidak sah Pandudewanata. Mereka semua lahir dari kekasih gelap Kunti, istri Pandu. Dari Dewa Darma lahirlah Yudistira. Dari Dewa Bayu lahirlah Bima. Dari Dewa Indra lahirlah Arjuna.



Sisupala pula yang membongkar aib Bisma, pepunden kaum Pandawa dan Kurawa. Menurutnya Bisma alias Dewabrata tak layak dihormati oleh karena lahir dari perempuan yang dikutuk pastu oleh dewata, yaitu Dewi Gangga. Dan seluruh bayi yang keluar dari rahim Gangga bukanlah anak Prabu Santanu, suaminya. Semuanya adalah arwah-arwah kutukan dewa yang mencari pembebasan melalui jalan keluar gua garba Gangga.



"Kalau Kresna?" tanya ribuan khalayak yang hadir pada upacara Sesaji Raja Suya itu.



"Apalagi Kresna," lanjut Sisupala. "Ia sebenarnya tidak berdarah biru. Ia adalah anak Basudewa dan Basudewa tak lain sesungguhnya adalah budak Prabu Ugrasena!!!!"



Sudah tentu itu belum seluruh aib. Aib-aib yang terlalu teknis seperti korupsi dan lain-lain masih banyak yang diungkapkan oleh Sisupala tapi mungkin kurang pas untuk bacaan di hari Minggu.



***



Akhirnya aib Sisupala terkuak sendiri di khalayak ramai. Ternyata ibunya, Dewi Sruta, permaisuri Prabu Darmagosa, Raja Cedi, kerjaannya ngintip orang mandi. Pas seorang resi mandi dia merasa ada yang mengintip. Spontan muncul kutukan resi itu, Resi Hudaya, "Siapapun yang mengintip aku, kelak akan punya anak yang tak sempurna!"



Lahirlah Sisupala yang bermata banyak. Bayi ini akhirnya bermata normal sepasang ketika pada selamatan selapan atau 35 hari dipangku oleh Kresna.



Gerimis dan malam kemudian turun di makam Sunan Gunung Jati. Cakrawangsa melihat sorban pemuda mirip Gus Maksum itu pun basah ...

Wayang Durangpo Episode 157 "Halal bil Halal ala Prabu Kresna"


Ditulis Oleh Sujiwo Tejo

Minggu, 19 Agustus 2012

Anaknya Cangik, yaitu Limbuk, perawan tua yang tak tamat SD, selalu punya masalah ambek pergaulan. Bahan baku keluhan Cangik setiap ketemu ponokawan Gareng mesti iku-iku wae, yaitu perkoro Limbuk yang koncoannya selalu ndak tepak.



"Sudah ta' larang dia itu gaul ambek gengnya Rahwana, Kang Gareng, eh masih saja Limbuk itu ngintil ke mana-mana," keluh Cangkik si ponokawan perempuan bertubuh kerempeng.



"Lha apa salahnya anak Sampeyan lebur dengan kaumnya Rahwana? Mbok hidup itu jangan membeda-bedakan manusia. Jangan SARA ah."



"Sebenulnya eh sebetulnya bukan lantaran si Paijo itu gerombolannya Rahwana. Tapi lantaran Paijo itu orang partai. Aku ndak sukak wong Partai pulitik...Gayane iku suka hek-metekeh..." Cangik sambil menepuk-nepuk keningnya.



Gareng mulai menghibur Cangik. Dibilangnya bahwa ndak semua orang partai begitu. Juga dibilangnya bahwa pengalaman Cangik bukan satu-satunya. Banyak sekali yang oleh orang dekatnya dinilai salah gaul. Padahal yang sedang melakukan ndak merasa salah kekancan. Cocok-cocok saja.



"Ndak usah jauh-jauh. Istriku sendiri, Dewi Sariwati, sebenernya jembek kalau lihat saya tiap hari ngobrol mbarek Mbilung," Gareng mulai curhat.





"Mbilung?"



"Halah itu lho, Bu Cangik, ponokawan dari kampung sebelah. Asistennya Pak De Togog..."



"O iya, iya. Kang Gareng, inget aku sekarang ...Mbilung...hmmm... hehehe...Maklum saya ini sudah iwak peyek. Lha wong saya ini sudah jadi anggota Paskibraka sejak zaman Belanda belum masuk sini ... Hehehe... Iya. Saya inget Mbilung. Orangnya kecil-kecil. Kalau ngomong kayak Azis Gagap. Dan kalau punya utang selalu bernafsu untuk lupa..."



"Ya, itu. Bu Cangik. Ancene sering ngemplang, tapi Mbilung itu baik. Cuma istriku selalu ngomel-ngomel kalau saya deket-deket dia: Kang, Kang, sama anak istri saja ndak pernah gitaran nyanyi-nyanyi, giliran ada Mbilung gitaran di gardu sampai pagi...Sana kawin saja sama Mbilung..."



"Lha terus Sampeyan njawab opo, Kang Gareng?"



"Ta' bales, lha situ sendiri juga kelet sama orang yang wajahnya kayak Julia Perez. Kalau sudah ngobrol di rumah...wah anak nangis minta mandi ya nggak dimandiin. Sampai akhirnya saya sendiri yang mandiin anak. Tahu sendiri kan sampai sekarang belum ditemukan mesin cuci anak?"



"Waduh, waduh ...Opo se Kang Gareng, yang Kang Mbok Sariwati dan si 'Julia Perez' itu obrolkan kok sampek lengket begitu?"



"Ya, embuh. Lha terus yang diobrolkan Limbuk anak Sampeyan dengan si orang Partai Pulitik itu apa kok ya bisa nempel kayak cicak-cicak di dinding gitu?"



"Lha yo embuh. Tapi kelihatannya cocok banget mereka itu. Lha kalau Sampeyan ngobrol apa saja kok cocok sekali dengan Mbilung?"



Gareng garuk-garuk kepala.



***



Sebenarnya semua itu sama saja dengan kedekatan Kresna dan Arjuna. Pasti ada misinya. Disadari atau tidak. Raja Dwarawati dan penengah Pandawa itu demikian runtang-runtungnya. Tapi sebetulnya tak ada yang tahu alasannya kenapa. Dewi Subadra, istri Arjuna, yang kebetulan adik Kresna saja kadang-kadang cemburu. Lha wong suaminya lebih dekat ke kakak iparnya.



"Salah satu keunggulan Subadra dibanding perempuan lain,'' kata ponokawan Petruk, "adalah kesabarannya merelakan Arjuna sang suami lebih dekat kepada orang lain walau itu kakaknya sendiri."



Demikianlah Dewi Roro Ireng, nama lain Subadra, hanya pernah mendengar bahwa jika cincin maka Arjuna dan Kresna ibarat mustika dan embanannya. Permatanya Arjuna. Cangkoknya Kresna. Dewi Roro Ireng hanya pernah mendengar bahwa secara badan halus suaminya dan kakaknya mempunyai nama yang mirip. Badan halus Arjuna disebut Sukma Langgeng. Badan halus kakaknya disebut Sukma Wicara. Ini jelas sekali dalam lakon Kresna Gugah.



Selebihnya, misalnya tentang mengapa Kresna dan Arjuna tak boleh dipisah-pisahkan, apa tujuannya mereka manunggal...Nah Dewi Roro Irang tidak tahu.



Brotojoyo, ya nama alias si Roro Ireng itu, berserah saja pada mengalirnya waktu.



***



Sebenarnya Brotojoyo tahu apa tujuan Kresna dan Arjuna lengket andai dia ada di TKP pada lakon Rebutan Kikis Tunggorono antara Gatutkaca dan Boma Naraksura. Raja Pringgandani dan Raja Trajutrisna itu saling mengklaim tapal batas (Kikis) yang bernama Tunggorono.



Saking saktinya si anak Kresna dari Dewi Pertiwi itu, Gatutkaca walau sakti akhirnya kalah. Melihat anak Bima itu menjelang kalah maka pamannya, Arjuna, ikut membela Gatutkaca. Boma Narakasura nglepasno panahnya nang Arjuna. Jan-jane tak kena. Cuma terkena ujung kainnya. Tapi Arjuna itu kan agak-agak angkuh gimana gitu. Cuma kena ujung kainnya saja dia malu ke dunia. Lari dia sembunyi di Gua Mintaraga.



Datanglah Kresna. "Anakku, Boma," tandasnya. "Sejak kemarin-kemarin aku biarkan kamu dan sepupumu Gatutkaca berperang. Matipun JGatutkaca mati, aku juga ndak popo. Tapi kan aku sudah pesan sejak sebelum kasus Century dulu jangan sekali-kali berani ke keng paman, Arjuna...



"Haduh, Romo saya mohon maaf lahir dan batin..."



"Halal bihalal ada batasnya. Salah ke manusia harus minta maaf ke manusia. Kalau korupsi, minta maafnya itu mengembalikan duit negara agar berguna buat sesama manusia yang berhak. Tapi sekarang salahmu bukan kepadaku. Bukan ke manusia. Kamu bersalah kepada Yang Memberi Tugas padaku...Sekarang kamu sudah membuat Arjuna malu..."



Belum selesai kata-kata Kresna senjata pamungkasnya Cakra sudah melesat membunuh Boma, anaknya sendiri.



"Hmmm...Bagaimana aku bisa melaksanakan tugasku sebagai titisan Wisnu untuk memayu hayuning bawono, menjaga harmoni semesta, jika aku tak punya tangan yaitu Arjuna," gumam Kresna di depan jenazah Boma.



Tapi tak ada Subadra di senja yang berjenazah itu. Sayang sekali.


Wayang Durangpo Episode 155 "Bambang Sagara Ari-arimu ... "


Ditulis Oleh Sujiwo Tejo

Minggu, 05 Agustus 2012

Nduk alam ndonya ini tak satu pun peristiwa terjadi lantaran sebab tunggal. Mesti ae ada gara-gara lain yang disadari tetapi wadi dikemukakan.



Wuiiiih...Sudah kayak ceramah saja ya...Heuheuheu...



Tapi ceramah ini ada dongengnya lho. Lihat saja apa Abimanyu mati karena kutuk pastu calon isteri yang sekaligus eyangnya, Dewi Utari? Atau putra kesayangan Arjuna itu gugur lantaran para Kurawa dendam ke bapaknya? Saking kesumatnya dendam itu sampai mereka di kancah Baratayuda membabi-buta? Mereka sibuk sekali nancapin ribuan anak-anak panah ke Ksatria Palangkawati itu hingga tubuhnya tatu arang kranjang laksana landak?



Dua-duanya betul, tetapi orang sering melupakan sebab-sebab lain umpamanya peran Kyai Glinggang. Ini gada andalan milik Raden Jayadrata. Setelah tubuh Abimanyu ndak mati-mati meski telah dleweran getih, Jayadrata menghantamkan gada pemberian Resi Sapwani itu ke kepalanya. Remuk. Abimanyu, suami Dewi Siti Sundari dan Dewi Utari, gugur sudah di Kuru Setra.



Betul Dewi Utari dulu pernah bersumpah ketika Abimanyu yang diem-diem sudah menihahi Siti Sundari ini datang melamar. Sumpahe, nek sampek Abimanyu konangan wis nikah, wooo... kata si eyang yang awet muda bagai Titiek Puspa itu, semoga kelak dalam Baratayuda Abimanyu mati tatu arang kranjang.





Oke. Tapi tanpa dendam yang luar biasa kepada Pandawa khususnya Arjuna, tak mungkin bala Kurawa mau repot-repot menancapkan ribuan panah. Cukup satu anak panah Adipati Karna, Abimanyu tentu wis modyar. Dan tanpa pusaka yang berasal dari negeri Sindukalangan, Kiyai Glinggang, Abimanyu mungkin cuma kejet-kejet sekarat tak kunjung ajal.



Bener lho...



"Ah, itu kan cocotmu dewe, Kang," ponokawan Bagong njeplak ke kakaknya, Gareng.



"Lha yo kuwi, Gong," Gareng akhirnya meragukan pendapatnya sendiri dan mulai ketawa-ketiwi.



Petruk melu-melu. "Ya cocot orang kan bhinneka," ujarnya. "Apalagi di tanah Nuswantoro ini ndak cuma soal awal Ramadhan lho yang bedo-bedo. Sekarang, itu, coba, kasus korupsi Simulator SIM di tubuh Polri, Polri dan KPK juga beda-beda kok dalam melihat 'Hilal' hayo..."



***



Ndak usah kaget kalau serial KPK versus Polri alias Cicak vs Buaya kini bersambung lagi. Biar di dunia tidak ada lagi monopoli. Biar tak sinetron Tersanjung dan Dendam Nyi Pelet saja yang monopoli sambung menyambung menjadi satu itulah Indone....



Okelah kini tak boleh lagi mobil para PNS di Jawa-Bali pakai bensin premium, tapi jangan tak boleh lagi kita menyambung-nyambung kisah basi. Kisah Jayadrata sendiri kan sesungguhnya sambungan dari episode dendam ke episoder dendam lainnya.



Ketika jauh hari sebelum Baratayuda Kurawa ingin melampiaskan dendamnya pada Pandawa, di tengah jalan mereka kepergok pemuda tampan mirip Bima. Pemuda tersebut, Jayadrata alias Arya Tirtanata, sebenarnya sedang berkelana mengindahkan pesan sang guru, penasihat kerajaan Sindukalangan, Resi Saptani, nama alias Resi Sempani ya Sapwani. Sang Resi menyuruhnya berguru pada Pandu Dewanata, ayah Pandawa.



Eh, cita-cita bermenggok. Jayadrata berbelok menjadi jago para Kurawa. Jayadrata yang mahir menunggang gajah hampir saja mengalahkan Pandawa sebelum pertempuran itu ada yang melerai. Prabu Duryudana pemimpin Kurawa menghadiahkan kerajaan taklukannya, Mbanakeling, kepada Arya Tirtanata.



Kisah Arya Tirtanata sebagai alat pelampiasan dendam Kurawa kepada Pandawa itu tak pernah selesai. Jangan lupa, setelah itu, setelah Pandawa kalah judi dengan Kurawa dan diharuskan bersembunyi di hutan tanpa ketahuan selama 12 tahun, sesungguhnya mereka ketahuan oleh Jayadrata.



Ketika itu Jayadrata menyamar teratai di telaga yang biasa dikunjungi Dewi Drupadi, istri para Pandawa. Hampir saja malihan teratai yang kampul-kampul di telaga itu mati oleh Bima andai tak diampuni oleh kakak Bima, Yudistira. Jayadrata pun tahu diri. Sebagai balas jasa, ia tak melaporkan keberadaan Pandawa.



***



Sebenarnya Jayadrata orang sabar. Dia tidak marah pas Prabu Duryudana mengimbau rakyat agar tidak berobat ke luar negeri, walau ibu negara sendiri, Banuwati, berobatnya ke Amerika. "Karena Amerika bukan luar negeri, tapi tanah air kedua," begitu Jayadrata menghibur diri sendiri.



Jayadrata juga tidak marah ketika istrinya, Dursilawati yang adik Prabu Duryudana, dimaki-maki oleh penjual duku. Pasalnya, waktu itu Dursilawati lupa pergi ke pasar masih pakai baju PNS. Duku seharga Rp 15 ribu ditawarnya Rp 1.500.



Kontan pedagangnya berdiri sambil nuding-nuding, "Situ kan PNS, kan bisa korupsi, kok masih nawar-nawar duku, nawarnya ndak kira-kira..."



Mendengar laporan istrinya, Jayadrata cuma senyum-senyum. Prinsip hidup Jayadrata, janganlah kita mengaku sudah tahan menderita sebelum mendengar bagaimana para perempuan menawar harga ...



"Tapi kan tidak semua PNS itu korupsi?" Bagong tidak terima mendengar cerita Gareng. "Ya, namanya pedagang itu lagi emosional, Gong," Gareng mempuk-puk Bagong.



Lakon soal Jayadrata berlanjut. Walau sabar, Jayadrata tidak bisa mengalah pada Arjuna yang ngamuk setelah Abimanyu, anaknya, gugur. Harusnya dia mengalah. Karena seperti kata para leluhur ngalah kuwi duwur wekasane. Mengalah adalah laku utama.



Para Kurawa sudah menungkung Jayadrata dengan kurungan baja agar tak tersentuh oleh Arjuna. Eh, masih juga Jayadrata bernafsu membuat lubang untuk pergi melawan Arjuna. Pikirnya toh mengalah tidak lagi duwur wekasane. Buktine ganda putri bulutangkis Indonesia mengalah. Agung kan? Tapi huh lihatlah mereka malah didiskualifikasi oleh panitia Olimpiade. Maka ketika tampak kepala Jayadrata muncul dari lubang kurungan baja, Arjuna mengarahkan panah pamungkasnya Pasupati.



Bambang Sagara, nama lain Jayadrata, tokoh yang berasal dari ari-ari (plasenta) Bima sendiri, gugur bersama dendam-dendam kita kepada para sedulur.

Wayang Durangpo Episode 154 "Isuk Dele Sore Tempe ..."


Ditulis Oleh Sujiwo Tejo

Minggu, 29 Juli 2012

Rekan kerja yang tundone jadi seperti anak sendiri ya Mbilung bagi Togog. Semula keduanya sejawat ponokawan bagi tokoh-tokoh hitam. Mereka bahu-membahu mengingatkan juragan-juragan majenun agar kembali ke jalan yang benar, yang nggak nggronjal-nggronjal. Eh, sayap burung suwi-suwi Togog seakan menjadi bapaknya sendiri. Saban lebaran Mbilung diajaknya anjangsana ke sedulur-sedulur Togog seperti Semar alias Badranaya.



Waktu zaman Pak Harto dulu sih seneng buanget Mbilung diajak riyayan ke tempat Badranaya ke Klampis Ireng naik bus AKAP Tahu-Tempe Abadi. Tape ketan. Lontong balap. Madumongso. Gayeng.



Namun lama-lama Mbilung bosen. Ndak cuma bosen, malah cenderung ... apa itu ... ah traumatik. Ya Mbilung cenderung traumatik.



"Father Togog," curhat Mbilung ke bapaknya tadi malam. "Sorry to say lebaran tahun ini ane tidak mau ikut ..."



"Lho, what happen, Mbilung?"



"Pokoknya ane nggak mau serta turut antum."



"Iya, Mbilung, oke, kamu nggak ikut. Tapi, aduh. Why? Why?"





Togog yang mulutnya lebar bermata belok berpikir mungkin saja Mbilung malu punya tampang kurang beres. Lambenya memang mungil, tapi ndomble. Sudah pecicilan, eh bicaranya juga sedikit gagap. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti Prabu Niwatakawaca, Prabu Baka dan lain-lain sudah maklum situasi permukaan alias rai Mbilung.



Tapi di mata sedulur-sedulur Togog, permukaan Mbilung memang kurang afdol. Malulah Mbilung. Sama halnya Raden Gunadewa yang tak pernah keluar dari pertapaan Gadamada. Anak Prabu Kresna dari Dewi Jembawati itu memang tampan. Tapi ia berekor seperti monyet. Maklum, kakeknya, Resi Jembawan, memang pendekar di dunia permonyetan dari epos Ramayana.



Lha tapi kalau Togog yang sama buruk rupanya dibanding Mbilung saja tidak pernah minder ketemu para kerabat, laopo Mbilung jadi repot?



"Pokoknya ane nggak mau ikut. Karena pertanyaan saudara-saudara Father di sana semua nyebelin. Nyebahi. Njelehi. Selalu itu. Selalu itu. Dan itu lagi, Father."



"Mereka tanya apa, Lung? Apa mereka tanya kapan korupsi di negeri ini tuntas dilibas? Ya, selama korupsi isih ada, mereka akan terus bertanya begitu. Wajar. Lumrah. Mbilung, anakku, selama orang tidak malu korupsi, walau malu punya anak jelek seperti Gunadewa, korupsi akan tetep ajek. Sedulur-sedulurmu akan tidak berubah pertanyaannya. Karena kita memang ditakdirkan menjadi pamong alias ponokawan para koruptor!"



"Ane nggak ada urusan dengan korupsi. Biar itu urusan Gusti Allah saja. Ane bosen sedulur-sedulur Father dari tahun Dal sampai sekarang nanyanya sama semua dan sama terus, Kapan kamu nikah le..Kapan ..."



Ow, ow... itu to sumbernya...



Togok terkekeh-kekeh apalagi melihat Mbilung memonyongkan bibirnya yang njedir. "Kehhh kehhh kehhh...Mbilung, lha masa' lebaran tahun ini mereka harus ganti pertanyaan kapan kamu ngganteng?"



***



Memang cukup mengherankan.



Banyak orang malu punya jerawat. Tak sedikit orang malu punya mobil buruk sehingga kalau pas ada reuni dibela-belain sampai sewa mobil Alphard segala. Begitu pun tak jarang ada anak buruk rupa sehingga nek gak anak itu sendiri yang malu keluar rumah ya orangtuanya yang isin. Bangsa ini bangsa pemalu. Anehnya, orang tidak malu melakukan korupsi.



Apakah Raden Gunadewa yang tampan tapi berekor monyet itu memang malu dengan sendirinya turun gunung dari pertapaan Gadamadana, atau Prabu Kresna, raja Dwarawati, yang malu?



"Jelek-jelek begini aku mungkin masih lebih baik dibanding Prabu Kresna, Mbilung. Tokoh dari dunia putih yang sering disembah-sembah khalayak itu sebenarnya malu mengakui bahwa Raden Gunadewa itu putra sahnya. Aku lain. Orang boleh mengatakan bahwa kami dari dunia hitam, tapi kami lebih mulia. Aku tidak malu punya anak buruk seperti dirimu. Sedulur-sedulurmu bertanya kapan kamu nikah itu kan berarti bertanya kapan kamu ngganteng supaya banyak perawan desa melirikmu. Iya toh? Father blas tidak malu. Father malah bangga padamu, Lung." Togog memeluk Mbilung.



Mbilung tak kuasa menahan airmatanya jatuh.



"Hayo. Hapus luhmu. Jangan menolak ajakan Father-mu ini. Bodo nanti kamu harus mau ikut Father...Siapa tahu nanti pertanyaan mereka ganti kapan harga kedelai dan tahu-tempe berubah..."



"Hmmm ... Walau pertanyaan mereka baru, soal tahu-tempe , tampang mereka tetap lama...Ane sudah bosen melihat mereka ..."



Togog kembali terkekeh-kekeh. "Lho apa kamu minta supaya aku ini nikah lagi, supaya sedulur-sedulurmu berubah dari jalur silsilah Mbok Enom? Aneh-aneh saja you ini Luuuuuung...Lung..."



***



Togog tetap bersikeras agar nanti Mbilung turut berlebaran ke saudara-saudaranya. Togog meyakinkan bahwa seburuk-buruk para sedulur, mereka tidak akan sampai berlebihan menggojlok, memlonco atau membully Mbilung seperti baru saja kejadian di suatu sekolah di Yogya. Mbilung mulai terbawa.



"Tapi, Father, terus bagaimana nanti kalau mereka betul-betul tanya soal harga kedelai dan tahu-tempe ...Ane musti bilang apa?"



"Hehehe, ya bilang saja kita ndak usah mengeluh. Kita ndak usah kecanduan tempe dari kedelai. Kedelai itu yang banyak di Negeri Pak Lek Sam. Tempe kita dulu aslinya tidak dari kedelai tapi dari kacang koro. Nah kacang koro itu sesungguhnya banyak tersebar di Probolinggo dan Jember..."



Jadi, menurut Togog, pada lebaran tahun depan nanti tempe menjes dan mendoannya sudah terbuat dari kacang koro juga. Begitu pula gembus, tempe menjes versi Yogyakarta dan Jawa Tengah.



"Hayo, Mbilung, tidak usah malu makan tempe koro. Yang malu itu berbuat korupsi apalagi kalau sebelumnya sudah sumpah-sumpah preeet nggak bakal korupsi. Itu namanya isuk dele sore tempe ..." tandas Togog.



Wayang Durangpo Episode 153 "Rahwana tak Pernah Ingkar Janji"


Ditulis Oleh Sujiwo Tejo

Minggu, 22 Juli 2012

Lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya.



Di dukuh ponokawan Gareng, Bluluktibo, spanduk "Hormatilah orang yang berpuasa" dibikin dan dipasang dewe oleh kaum yang nglakoni ibadah puasa. Sebenarnya agak aneh. Lha wong ngibadah kok njaluk disanjung-sanjung.



Di dukuh Bagong, Pucang Sewu, spanduk-spanduk kayak gitu malah disemarakkan oleh orang-orang yang justru ndak poso. Namanya toleransi. Mbesuk-mbesuk kaum yang berpuasa Ramadhan gantian majang spanduk selamat Natal, Waisak, Nyepi dan sebagainya.



Gareng yang serbacacat bukannya goblok. "Lha nek nunggu umat ndak puasa masang spanduk "hormatilah orang yang sedang berpuasa" ... yang punya kesadaran masang ya cuma siji loro ... " alasan Gareng alias si Cakrawangsa.



Kesadaran orang-orang Pucang Sewu tempat Bagong alias Bawor berada memang agak lain. Secara polos, sepolos Bawor yang kerap lholak-lholok, antarumat beragama di situ memang sudah punya kebiasaan untuk berlomba-lomba saling menghormati umat lain.



Beda lagi dukuh Kembang Sore tempat Petruk sehari-hari cengengesan hidup pamer hidung yang sepanjang Tugu Pahlawan itu. Di ruang-ruang publik spanduk "hormatilah orang yang sedang berpuasa" selalu jejeran mesra dengan spanduk "hormatilah orang yang sedang tidak berpuasa". Semaraknya tak kalah ramai dengan toko-toko online yang mengumbar diskon selama bulan penuh berkah ini.



Tapi perbedaan-perbedaan tadi seakan sudah lumrah, selumrah warna-warni penetapan awal Ramadhan. Maka ketika ponokawan bertemu di suatu gubuk antara Nganjuk-Saradan, ketiganya sudah ndak nggagas lagi soal itu. Mereka malah ngomongin Rudrasara, panah andalan Rahwana yang mampu bikin Dewa Indra kalang-kabut.



***



Saat itu, ketika Rahwana dari kerajaan Alengka ngobrak-abrik Indraloka, ia bidikkan panah Rudrasara ke sisi kanan kereta andalan Dewa Indra. Sarawati, nama kereka itu, kontan berkeping-keping. Kedelapan kuda penariknya terbakar. Matali, saisnya, terpental. Dewa Indra tungang-langgang.



Begitulah Gareng, Petruk dan Bagong termemori saat-saat dewa tak terkalahkan itu akhirnya pontang-panting juga minta tolong dewa lain.



Ketiganya lantas berpindah ke warung kopi kecil di Wilangan, antara Ngajuk-Madiun sambil melanjutkan pembicaraan tentang polah Rahwana alias Dasamuka.



"Kamu tahu Rudrasara itu anugerah dari siapa?" pancing Gareng ke Petruk.



"Halah," Petruk sembari mesem. "Pertanyaanmu itu lebih sepele ketimbang pertanyaan apakah buron Djoko Tjandra bisa dipulangkan dari Papua Nugini..."



Petruk ingat, bagaimana Rahwana ditaklukkan oleh Raja Mahespati Prabu Arjuna Sasrabahu. Kereta perang Rahwana, Puspaka, yang terkenal sakti dan ditarik oleh delapan singabarong pun akhirnya hancur lebur oleh panah Rudrasara dari Prabu Arjuna Sasrabahu.



Petruk ingat, ketika itu Rahwana pun hancur lebur meski tak mati-mati berkat aji Rawarontek dari Dewa Brahma dan Pancasonya dari Resi Subali. Tubuhnya berantakan sampai disambung-sambung dan didandani oleh Resi Pulastya. Penasihat Prabu Arjuna Sasrabahu itu tak tega melihat musuhnya berkeping-keping, seperti kaum perempuan tak pernah tega melihat barang-barang berlabel diskon.



***



"Tapi pitakon Kang Gareng tadi belum kamu jawab, Truk," sela Bawor di tempat lain di Jawa Timur, provinsi yang diperkirakan bakal dimudiki oleh 11 jutaan menungso pada Lebaran tahun ini. "Panah Rudrasara si Rahwana itu dianugerahi siapa?"



"Yang sabar, to," ujar Petruk masih sareh. "Puasa kan juga menggembleng kesabaran."



Petruk menyindir Bagong, "Kamu kira cuma kamu Gong yang nglakoni puasa? Orang-orang lain juga menjalani itu dengan cara dan tirakatnya sendiri-sendiri. Waktu itu Rahwana lantas pergi ke Gunung Kailoso. Ia melakukan puasa Pradaksina. Artinya gunung yang gedenya sak hoha itu ia kitari tujuh kali. Tujuh kali, Gong!!!"



Itulah, sambung Gareng memperjelas Petruk, tirakat yang dilakoni Dasamuka. Bahkan dengan itu pun Sang Hyang Rudra tak kunjung menampakkan diri dari pucuk Gunung Kailoso. Lantas Rahwana melakukan puasa Ngebleng seperti biasa dimulai dari Selasa Kliwon. Berhari-hari ia tak kena sinar termasuk cahaya dari api di malam hari.



"Terus muncullah si Rudra?" tukas Bagong.



"Belum," Petruk dan Gareng kompak menjawab. "Rahwana melanjutkannya dengan puasa Nglowong, thenguk-thenguk di atas kain mori putih di lubang kuburan yang digalinya sendiri...Tetap juga Sang Hyang Rudra tak kunjung mak pecungul."



"Waduh kuat banget dan macem-macem puasanya si Rahwana ya Kang Petruk?"



"Ho'o, Gong. Makanya kamu ndak usah sombong lantaran sudah berpuasa. Puasa sudah dilakukan orang dari dulu dan dengan berbagai cara...Nah akhirnya di ujung puasa Nglowongnya Dasamuka memenggal-menggal kepalanya yang jumlahnya dasa alias sepuluh itu...Ketika kepalanya tinggal satu...muncullah Sang Hyang Rudra dari singgasananya di Widyanata. Beliau anugerahkan panah Rudrasara seperti milik Arjuna Sasrabahu, yang kalau dihargai lebih mahal dari Rp 72 trilyun, angka minimal untuk bikin pabrik iPad di Indonesia!"



***



Tapi Bagong merasa lebih baik ketimbang Rahwana. Puasanya tidak diniatkan untuk memperoleh kekuasaan.



Petruk dan Gareng setuju. Namun keduanya menyarankan Bagong agar tidak hitam-putih menilai manusia. "Sejahat-jahatnya Rahwana, beliau itu pemegang janji yang teguh," kata mereka.



Betul sekali. Ketika dibebaskan oleh Prabu Arjuna Sasrahabu dan Resi Pulastya, Rahwana berinisiatif berjanji sendiri tak akan membuat onar dunia selama Arjuna Sasrabahu masih hidup. Panah Rudrasara-nya jauh lebih sakti ketimbang milik Arjuna Sasrabahu. Tapi lihatlah Rahwana tak gampang ingkar janji, tak sebagaimana para pemimpin terhadap janji-janji kampanenya.



Kok akhirnya Rahwana menyerbu Indraloka setelah ia bikin lumpuh kerajaan-kerajaan di bawah Indraloka seperti Kimpurusawarsa, Ayodya dan Badrawaswawarsa?



Rahwana tepat janji. Ingat! Penyerbuan itu dilakukannya setelah Arjuna Sasrabahu tewas di tangan Rama Bargawa.



"Bisakah puasamu itu juga puasa untuk menahan diri dari nafsu mengingkari janji, Gong?" tanya Petruk
















Tidak ada komentar: