Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Sabtu, 29 September 2012

Film G 30 S/PKI, alat cuci otak ala Orde Baru

Film G 30 S/PKI, alat cuci otak ala Orde Baru

Sabtu, 29 September 2012 06:31:00
Reporter: Hery H Winarno

Film G 30 S/PKI, alat cuci otak ala Orde Baru
Penggalan film G 30 S/PKI. ©2012 Merdeka.com
Film ini diawali dengan munculnya logo PPFN (Pusat Produksi Film Negara) dan diiringi suara orkestra. Setelah logo PPFN, deretan huruf muncul yang diiringi suara mesin tik.

Setting lalu bergeser ke Lubang Buaya, lalu terdengar narasi. "Cita-cita perjuangan kami untuk menegakkan kemurnian Pancasila tidak mungkin dipatahkan hanya dengan mengubur kami dalam sumur ini."

Adegan kembali berganti dengan menampilkan suasana subuh di sebuah desa. Beberapa orang terlihat mengambil celurit yang diselipkan di bilik bambu. Orang itu lalu berlari menuju sebuah masjid dengan membawa celurit dan senjata tajam lainnya.

Saat itu, jemaah masjid kecil tersebut sedang melaksanakan salat subuh. Usai salam, sang imam lalu memimpin doa dan tiba-tiba diserang oleh gerombolan orang bersenjata tadi.

Sang imam salat langsung dianiaya. Para jemaahnya dianiaya dan sebagian memilih menyelamatkan diri saat masjid diserbu tanpa sebab yang jelas itu. Rak berisi kitab suci Alquran dirusak dalam aksi yang digambarkan terjadi pada 13 Januari di Desa Kanigoro, dekat kota Kediri tahun 1965.

Diceritakan juga bagaimana PKI merusak dan menginjak-injak kitab suci Alquran. Beberapa berita kekerasan yang dilakukan oleh PKI juga ditampilkan dalam film tersebut. PKI memang ingin digambarkan sebagai organisasi yang tidak beradab.

Begitulah adegan awal yang digambarkan dalam film G 30 S/PKI. Sejak awal dalam film tersebut memang sengaja dibuat untuk menimbulkan kebencian yang mendalam kepada PKI.

Sejak tahun 1985 film G 30 S/PKI menjadi film yang wajib diputar di semua stasiun TV tanah air setiap tanggal 30 September malam. Film propaganda versi pemerintah Orde Baru ini mengisahkan kebiadaban yang dituduhkan kepada PKI.

Film dibesutan Arifin C Noer itu juga dibintangi oleh beberapa artis terkenal kala itu. Sebut saja Ade Irawan, Amoroso Katamsi, Umar Kayam, dan Sofia WD. Ini film pun mampu menjadi alat cuci otak yang dahsyat saat itu.

Film yang diproduksi tahun 1984 ternyata mampu menimbulkan efek yang luar biasa bagi pemirsanya. Akibat film tersebut semua otak penontonnya berpikir bahwa PKI adalah organisasi paling kejam di republik ini.

Efek film tersebut benar-benar memberikan kesan yang mendalam bagi yang pernah menontonnya. Film berdurasi 3 setengah jam itu mampu menggambarkan suasana ketegangan di tahun 1965.

Sang sutradara juga terlihat sangat piawai untuk mengarahkan para pemerannya untuk menunjukkan ketegasan, kesedihan, kemarahan, bahkan kesadisan yang digambarkan di film tersebut.

Aksi PKI menyiksa dan mengubur 7 jenderal juga membakar amarah setiap pemirsanya. PKI digambarkan sebagai organisasi 'haram' yang ingin menguasai republik ini.

Namun ketika orde baru tumbang, film ini pun mulai dipertanyakan kebenarannya. Tak sedikit sejarawan dan saksi hidup yang menyebut film G 30 S/PKI adalah film cuci otak ala orde baru.

"Film G 30 S/PKI itu adalah fiksi dan mengandung pembohongan pada masyarakat karena berangkat dari skenario sutradara Arifin C Noer. Sedangkan monumen Lubang Buaya (monumen Pancasila Saksi) juga sama karena berdasarkan hasil visum tidak ada itu yang namanya jendral disilet-silet oleh Gerwani," ujar korban 65 dan Sastrawan Lekra di masa Orde Lama Putu Oka Sukanta di kantor Kontras, Jakarta, (25/7/2012) lalu.
[hhw]

Film G 30 S/PKI, propaganda terbaik rezim Orde Baru

Sabtu, 29 September 2012 08:57:51
Reporter: Islahudin
Film G 30 S/PKI, propaganda terbaik rezim Orde Baru
Penggalan film G 30 S/PKI. ©2012 Merdeka.com
Dalam deretan sinema Indonesia, film-film yang dianggap bersejarah oleh negara bukan hanya hiburan semata. Unsur propaganda dan doktrin penguasa sangat kuat di dalamnya. Terutama film-film yang mengangkat tema heroisme dan militerisme yang berlatar sejarah, seperti Enam Djam di Djogja (1951), Janur Kuning (1979), Serangan Fajar (1981), hingga Penghianatan G 30 S/PKI (1984).

Menurut Budi Irawanto, kandidat Doktor Kajian Asia Tenggara bidang film di National University of Singapore, film-film itu merupakan bukti hegemoni Orde Baru begitu rapi dan kuat dalam menanamkan jejaknya di masyarakat untuk melanggengkan kekuasaannya.

"Film Penghianatan G 30 S/PKI adalah salah satu film terbaik dalam menyebar propaganda dan kebencian kepada musuhnya, PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), dan itu tertanam dalam benak satu generasi," ujar Budi saat dihubungi merdeka.com pada Kamis (27/9) sore kemarin.

Kuatnya ingatan masyarakat terhadap film itu dipengaruhi banyak hal. Film itu disiarkan secara nasional sejak 1985 yang diputar setiap 30 September dan wajib ditonton pelajar saat itu.

Tayangan film itu dihentikan secara nasional sejak 1998. Kuatnya pesan film itu, menurut Budi, didukung oleh perangkat-perangkat lainnya, seperti penjelasan film yang diteruskan dalam pelajaran pendidikan moral pancasila dan pelajaran sejarah perjuangan bangsa di sekolah.

Padahal menurut Budi, isi film tidak menunjukkan sejarah yang sebenarnya. "Film itu memang tidak menggunakan berbagi sumber dalam pembuatannya, sengaja untuk memojokkan lawan politik penguasa dan itu politis," kata Budi lebih lanjut.

Namun, Budi mengakui, film itu secara sinematografis memang bagus dan meyakinkan sebagai film sejarah meski tidak memuat fakta sebenarnya.

Analisa yang lebih dalam dibahas dalam buku, 'Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia', karya Katherine E McGregor, film Penghianatan G 30 S/PKI adalah salah satu cara Orde Baru dalam menggambarkan usaha kudeta oleh PKI.

Tafsir peristiwa yang digunakan Orde Baru dalam film itu adalah salah satu upaya meyakinkan masyarakat, kudeta itu dilakukan oleh komunis dan bukan pihak militer. Peristiwa itu dijadikan alasan oleh Orde Baru untuk membenarkan tindakannya untuk berkuasa.

Sedangkan menurut Bambang Purwanto, Profesor Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam pengantar buku itu, tiap rezim di Indonesia menggunakan sejarah sebagai topeng untuk mendukung kekuasaannya.

Bila perlu dengan membuat tafsir baru atas mitos-mitos lama atau memproduksi mitos-mitos baru. "... Jika rezim sebelumnya membangun sejarah Indonesia dari benturan antara kolonialisme dan imperialisme dalam melawan nasionalisme Indonesia dengan Soekarno sebagai pusat, maka Orde Baru melihat sejarah Indonesia sebagai hasil dari perjuangan antara pendukung dan penentang Pancasila dengan menempatkan militer sebagai faktor penentu," tulis Bambang mengomentari karya Katherine E. McGregor itu.

Dalam Buku itu Katherine E. McGregor mengakui, dia ingin mengungkapkan peran Orde Baru dengan militernya dalam menggambarkan masa lalu Indonesia. Salah satunya dengan media visual, yang dukung oleh buku-buku pelajaran, monumen-monumen, film, hingga diorama yang di pajang dalam museum.

Dalam analisa Katherine, pembuatan dan pemaknaan sejarah baru oleh Orde Baru melalui media visual dan film sangat efektif. Hal itu terkait dengan jumlah penduduk Indonesia pada saat itu masih memiliki tingkat buta huruf yang tinggi, maka dengan pembuatan sejarah melalui media visual diharapkan bisa menjangkau seluruh Indonesia.

Analisa itu muncul setelah Katherine membaca dokumen dari Departemen Pertahanan dan Keamanan Pusat sejarah Angkatan Bersenjata Indonesia dalam merancang semua itu. Katherine mengutip Nugroho Notosutanto dalam dokumen itu, "Di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, di mana kebiasaan membaca pun masih sedang berkembang, kiranya historio-visualisasi masih agak efektif bagi pengungkapan identitas ABRI."

Tidak mengherankan kelanggengan Orde Baru berkuasa dijaga dengan strategi yang rapi. Pengaruh kekuasaan sudah dijaga dengan doktrin yang sudah ditanamkan dalam melalui buku pelajaran, film, museum, monumen, hingga rancangan diorama yang begitu detail. Meski begitu, tidak jarang menggunakan kekerasan.

Budi Irawanto belum mengetahui apakah dalam pembuatan film propaganda G 30 S/PKI juga menggunakan kekerasan untuk semua anggota penggarapnya. Meski film itu bermuatan politis, namun penggarapannya serius bahkan dalam produksinya mengikutsertakan sutradara kawakan Arifin C. Noer.
"Kita belum tahu apa alasan Arifin mau menerima isi pesanan film penguasa saat itu," kata Budi.
[hhw]

Film G30S/PKI, penderitaan itu pedih jenderal!

Minggu, 2 September 2012 11:33:21
Reporter: Ramadhian Fadillah
Film G30S/PKI, penderitaan itu pedih jenderal!
G30S PKI. wordpress.com
Tokoh Terkait
Adegan seram itu mengalahkan film horor Indonesia yang mana pun. Suasana di Lubang Buaya, tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Seorang wanita mengambil silet yang terselip di dinding anyaman bambu. Lalu disayatkannya silet itu pada wajah seorang jenderal yang duduk terikat.

"Penderitaan itu pedih jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Pedih. Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat," ujar wanita itu dengan dingin.

Adegan selanjutnya tidak kalah sadis. Para jenderal dipukuli dan disiksa hingga tewas. Sementara penyiksanya tertawa-tawa bengis sambil menyanyikan lagu genjer-genjer. "Teken jenderal, teken!" teriak para tentara pro-komunis dan para aktivis pemuda rakyat dan Gerwani itu.

Setiap orang yang pernah menyaksikan Film Pengkhianatan G30S/PKI, pasti hapal adegan itu. Dulu di era Orde Baru, Film ini wajib ditayangkan setiap tanggal 30 September malam. Bukan hanya di TVRI, tetapi juga di semua stasiun swasta.

Film G30S/PKI dibuat tahun 1982 dan disutradarai Arifin C Noer. Film ini merupakan film kolosal serta menyedot biaya besar. Alur cerita dalam Film G30S/PKI adalah rekonstruksi peristiwa malam 30 September hingga 1 Oktober 1965 versi pemerintah
Soeharto. Secara gamblang dan tanpa sensor, kekejaman sangat ditonjolkan dalam film tersebut.

Pemeran utama Film ini adalah Amoroso Katamsi (Mayjen
Soeharto), Syu’bah Asa (DN Aidit), Umar Kayam (Soekarno) dan Bram Adrianto (Letkol Untung).

Situs
filmindonesia.or.id mencatat film G30S/PKI merupakan film terlaris di Jakarta tahun 1984, dengan 699.282 penonton, menurut data Perfin. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri, yang belum terpecahkan hingga 1995.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengkritik film ini. Menurut Asvi, film tersebut sarat dengan kontroversi. Lagi-lagi peran
Soeharto sangat ditonjolkan dalam film itu. Sementara darah dan kekejaman diobral untuk menunjukkan kekejaman PKI. "Jelas film ini tidak layak untuk ditonton anak-anak," kata Asvi.

Pada masa Orde Baru, justru anak-anak sekolah yang diwajibkan menonton film ini. Anwar, seorang santri di pesantren di Banyuwangi, Jawa Timur masih mengingat film ini di tahun 1990an awal. Dulu televisi diletakkan di masjid, santri-santri nonton bareng film tersebut. "Banyak yang takut menonton film ini," aku Anwar.

Setelah reformasi, akhirnya pemerintah tidak menayangkan film yang dinilai kontroversi ini. Asvi Warman Adam mengungkapkan adalah Persatuan Purnawiran TNI Angkatan Udara yang menghubungi Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. PPAU meminta tayangan itu dihentikan karena dianggap menyudutkan TNI AU (dahulu AURI).

"Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal Saleh Basarah yang menelepon menteri penerangan dan menteri pendidikan. Itulah akhirnya kenapa film itu tidak ditayangkan lagi per 1 Oktober 1998," beber Asvi.

Dalam film tersebut seolah-olah Lubang Buaya yang menjadi tempat penyiksaan jenderal berada di dalam komplek Halim Perdanakusuma. Faktanya, Lubang Buaya berada di luar markas TNI AU. Masih ada beberapa keganjilan lain.

Maka kini, tak ada lagi film horor tersebut setiap malam 30 September. Sayangnya belum ada film pengganti yang meluruskan secara obyektif peristiwa yang terjadi 47 tahun lalu itu.
[arr]

Ketika para tahanan politik menyaksikan film G 30 S/PKI

Sabtu, 29 September 2012 10:45:00
Reporter: Yacob Billi Octa
Ketika para tahanan politik menyaksikan film G 30 S/PKI
G30S PKI. wordpress.com
Kategori
Saat Soeharto berkuasa sebagai presiden, film Pengkhianatan G 30 S/PKI menjadi film wajib diputar antara tahun 1985 sampai 1998. Waktu itu, TVRI yang menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia, diperintahkan untuk memutar pada tanggal 30 September malam setiap tahunnya.

Film propaganda pemerintahan orde baru tersebut menceritakan terjadinya pergolakan politik di Indonesia di Tahun 1965, yang kemudian berujung pada pergantian tampuk pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto.

Dalam film garapan Arifin C Noer itu, dikisahkan Soeharto dengan sepihak menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai biang keladi goyangnya stabilitas politik pemerintah, hingga berujung pada pertumpahan darah.

Namun apakah kebenaran peristiwa 1965 seperti dalam film tersebut? Mantan tahanan politik yang dikorbankan pada peristiwa G30S/PKI tersebut, Marzuki dengan tegasnya membantah kebenaran peristiwa dalam film itu.

"Itulah pembohongan, fitnah," kata Marzuki kepada merdeka.com di Panti Jompo Abdi Waluyo Jl Kramat V, Jakarta, Jumat (28/9).

Meski usianya tidak lagi muda, namun semangat Marzuki masih membara. Raut di wajahnya seakan menjadi saksi ketidakadilan Orde Baru, saat dirinya tanpa alasan jelas, divonis sebagai tahanan politik.

"Sebenarnya saya tidak mengerti apa-apa. Awalnya saya pegawai negeri di Semarang, tahu-tahu diambil. 14 tahun di tahan," cerita Marzuki.

Marzuki mengaku tidak kaget waktu menyaksikan film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Sebab, dirinya memang mengetahui dan merasakan gejolak waktu itu.

Bukan hanya dia, teman-teman Marzuki yang juga 'dikorbankan pada peristiwa 65' juga bersikap sama, mereka umumnya hanya diam dan menganggap film tersebut sebagai hal yang biasa.

Bukan tanpa alasan dia bersikap demikian, ketakutan terhadap kekuatan dominasi Orba, menjadi pertimbangan utamanya.

"Namun prinsipnya karena takut, ya dibuat biasa saja," lanjutnya.

Marzuki menjelaskan jika penggambaran PKI dalam film tersebut, merupakan kesalahan besar. Menurutnya, tidak benar PKI memiliki perawakan garang, dan identik dengan kekerasan atau peperangan.

"Ketika rapat PKI, minum, atau rokok, itu tidak boleh. Jadi memang disiplin," kata Marzuki.

Hal ini kontras dengan apa yang digambarkan dalam film G 30 S/PKI. Setiap kali rapat PKI selalu diwarnai kepulan asap rokok yang membumbung.
[hhw]

Mengapa PKI dibenci?

Sabtu, 29 September 2012 08:37:00
Reporter: Hery H Winarno
Mengapa PKI dibenci?
G30S PKI. wordpress.com
Bagi sebagian rakyat Indonesia, mendengar kata Partai Komunis Indonesia (PKI) seolah mendengar sebuah hantu yang sangat menakutkan. Bahkan sebagian menganggap PKI adalah bahaya laten (terpendam) bagi republik ini.

Kebencian terhadap PKI tentu bukan tanpa alasan. Ketika Orde baru berkuasa, PKI seolah menjadi organisasi 'haram' di republik ini. Kampanye anti PKI pun dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan film.

Film G 30 S/PKI menjadi salah satu alat propaganda efektif pemerintah orde baru untuk menyematkan label pemberontak kepada PKI. Melalui film tersebut rakyat Indonesia 'dipaksa' untuk mengamini bahwa PKI adalah sebuah partai yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah dengan cara keji.

Salah satu adegan yang paling keji dari film besutan Arifin C Noer adalah penculikan 7 jenderal. Mereka dibawa ke Lubang Buaya lalu disiksa dan mayatnya dimasukan ke dalam sumur tua.

"Penderitaan itu pedih jenderal. Sekarang rasakan sayatan silet ini. Pedih!. Tapi tidak sepedih penderitaan rakyat," ujar seorang wanita dengan dingin.

Adegan selanjutnya tak kalah sadis. Para jenderal dipukuli dan disiksa hingga tewas. Sementara para penyiksanya tertawa-tawa bengis sambil menyanyikan lagu 'Genjer-genjer'.

"Teken jenderal, teken!" bentak para tentara pro-komunis dan para aktivis pemuda rakyat dan Gerwani itu.

Kisah di atas merupakan penggalan dari adegan film G30S/PKI. Saking menyeramkannya, film G 30 S/PKI konon mengalahkan film horor Indonesia mana pun. Musik latarnya yang pelan dan menyayat, yang digubah oleh Embi C Noor, terasa mencekam dan berbanding lurus dengan narasi film tersebut yang sangat kaku dan dingin.

Tak heran banyak generasi yang ketika film ini diputar akhirnya menjadi membenci PKI. PKI bak hantu yang menakutkan dan wajib dimusnahkan dari bumi pertiwi.

Generasi yang sempat menonton film tersebut telah berhasil dicuci otaknya lewat film yang selalu di putar pada 30 September malam. PKI dibenci dan dimaki, bukan karena ajaran atau faham yang diajarkan tetapi karena film.

Benarkah PKI sekejam apa yang digambarkan dalam film berdurasi 3 setengah jam itu?

Setelah rezim Soeharto tumbang, film tersebut kemudian dilarang diputar. Tumbangnya rezim Soeharto juga membuat alat propaganda itu berhenti mencuci otak.

Tak hanya sekedar berhenti, pelurusan tentang sejarah kelam tragedi 1965 juga perlu dikaji untuk diluruskan. Bahkan tidak sedikit yang meminta agar dibuat film baru sebagai kontra atas film tersebut.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengusulkan agar film Pengkhianatan G 30 S/PKI diluruskan dan diperbaiki. Pelurusan itu dinilai penting dilakukan agar tidak lagi menimbulkan kontroversi.

"Boleh saja diperbaiki kalau tujuannya lebih menggambarkan sejarah yang sesungguhnya," kata Priyo di Gedung DPR Jakarta, Jumat (28/9).

Menurut Priyo, jika ada pandangan untuk menyempurnakan film G 30 S/PKI perlu diberi ruang. Apalagi ada temuan sejarah baru yang dilakukan oleh ahlinya. "Harus dihargai sebagai kesaksian sejarah," ujar politisi Golkar ini.

Lalu perlukah dibuat film tandingan atas film G 30 S/PKI?
[hhw]

Masih hidupkah paham komunis di Indonesia?

Kamis, 27 September 2012 15:18:34
Reporter: Moch. Andriansyah
Masih hidupkah paham komunis di Indonesia?
G30S PKI. wordpress.com
Kategori
Masih adakah komunis di Indonesia? Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah anak zaman yang sejak akhir abad XIX, melahirkan dan membawa perubahan besar dalam kehidupan ekonomi dan sosial di tanah air.

Dalam seminar bertajuk: "Mewaspadai Gaya Baru dan Bahaya Laten Komunis di Indonesia" yang digelar di Universitas Muhammadiyah (UM), Surabaya, Kamis (27/9) siang, Prof dr Zainuddin Maliki mengatakan, komunis tidak akan pernah mati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Entah itu dalam bentuk pemikiran maupun dalam kehidupan nyata.

Komunis di Indonesia, dengan bendera PKI-nya, mampu membawa perubahan besar. Tokoh-tokoh besar seperti Amir Syarifuddin, Tan Malaka dan beberapa tokoh lainnya, yang menginginkan Indonesia merdeka 100 persen, mampu menciptakan konsep-konsep kenegaraan yang begitu luar biasa.

"Tapi, konsep-konsep ini tidak sesuai dengan Pancasila, karena tidak dilandasi oleh pemikiran agama," kata Zainuddin.

Komunis menjadi kenyataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejak terjadi revolusi Oktober 1917, lanjut dia, yang kemudian diikuti negara-negara Eropa Timur pasca Perang Dunia (PD) kedua.

"Akibat globalisasi, negara-negara komunis kemudian tak mampu bertahan. Medio 1991, negara faham komunis, Uni Sovyet bubar. "RRC, negara komunis yang dibangun Mao Ze Dong, meski tak ikut rontok, secara ekonomis RRC telah mengikuti dan memasuki sistem kapitalisme," terang Rektor UM tersebut.

Saat ini, faham komunis masih terus hidup. Perilaku komunis secara real, adalah para koruptor. "Sebab, apa yang diambilnya, adalah hak materi yang harus dikuasai tanpa memikirkan halal haram. Inilah yang kemudian menjadi bahaya laten yang patut diwaspadai. Karena sesungguhnya, komunis itu lahir bukan atas dasar konsep agama," tegas Zainuddin.

Dengan adanya globalisasi yang dijiwai demokratisasi dan hak azasi manusia (HAM) apa masih ada kenerasi yang bersedia menyebarkan atau bahkan dan berkorban demi komunisme? "Budaya tawuran, prilaku-prilaku menyimpang dari organisasi negara, seperti budaya korupsi, tindakan-tindakan anarkis, dan pemikiran pemikiran radikal tokoh-tokoh politik, adalah kondisi real yang sadar atau tidak, sudah mengarah pada perilaku komunis," sahut Prof Aminudin Kasdi, sejarawan asal Unesa Surabaya.

Dengan demikian, pengaruh komunis akan terus hidup, meski sekadar pemikiran. "Dalam pandangan-pandangan sosialis, sistem kapitalisme merasuk ke dalam masyarakat Indonesia, yang mendorong lahirnya kelas-kelas baru dalam masyarakat Indonesia, yaitu klas proletar, intelektual dan borjuasi Indonesia."

Lahirnya kelas proletar, menurut Aminudin, mendorong berdirinya organisasi serikat buruh. Di banyak tempat di Indonesia berdiri serikat buruh, seperti serikat buruh pelabuhan, serikat buruh kereta-api, serikat buruh percetakan dan serikat buruh di pabrik-pabrik lainnya.

Percepatan pembangunan dengan konsep-konsep politik, seperti konsep biaya sekolah gratis, kesehatan gratis, penguasaan sumber-sumber alam dan sebagainya itu, menurut Aminudin, sekali-kali bukanlah untuk memajukan Indonesia, melainkan untuk mengintensifkan penghisapan atau penguasaan terhadap rakyat Indonesia.

"Saya bukan antek-antek Orde Baru, tapi saya setuju ketika Pemerintah Orde Baru mengharamkan faham komunis di Indonesia. Karena faham ini, sesungguhnya tidak mendasarkan diri pada konsep-konsep keagamaan," tegas Aminudin.
[ian]

Kejagung akui kesulitan ungkap tragedi 1965

Sabtu, 29 September 2012 00:08:00
Reporter: Dedi Rahmadi
Kejagung akui kesulitan ungkap tragedi 1965
Gedung Kejaksaan Agung. Merdeka.com/Imam Buhori
Kejaksaan Agung telah menunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Andhi Nirwanto sebagai ketua tim penyelesaian kasus tragedi HAM 1965. Namun hingga kini belum ada kemajuan berarti.

"Itu kasus kan sudah lama sekali. Mungkin Anda saja belum lahir itu di tahun 1965-1966. Jadi tidak segampang itu. Berkasnya saja dua kardus, memang makan waktu tapi kita tidak dibatasi waktu untuk meneliti itu," kata Andhi di Kejaksaan Agung, Jumat (28/9).

Menurut Andhi, pihaknya masih melakukan penelitian terhadap hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. "Sampai sekarang masih kami teliti secara intensif, nanti akan disimpulkan apakah nanti akan dikembalikan lagi ke Komnas HAM apabila masih ditemukan kekurangan," ujar Andhi.

Beberapa waktu lalu, Presiden SBY memerintahkan Jaksa Agung, Basrief Arief untuk menyelesaikan kasus tragedi pelanggaran HAM.

Seperti diketahui pada tahun 1965-1966 telah terjadi serangkaian operasi militer yang dipimpin oleh Soeharto terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) serta simpatisannya. Dalam operasi ini, banyak korban berjatuhan dari di Indonesia. Korban yang masih hidup pun diasingkan ke Pulau Buru.
[ren]
http://www.merdeka.com/peristiwa/kejagung-akui-kesulitan-ungkap-tragedi-1965.html
KOMENTAR:Bilang saja tidak berani membuktikan kebenaran sejarah

Tidak ada komentar: