Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Jumat, 21 September 2012

Ditangkap, Dedengkot kera Bukit Menoreh berubah jadi manusia

Ditangkap, Dedengkot kera Bukit Menoreh berubah jadi manusia

Jumat, 21 September 2012 10:42:15
Reporter: Parwito

Ditangkap, Dedengkot kera Bukit Menoreh berubah jadi manusia
monyet. ©2012 Merdeka.com/Slamet Nusa
Percaya tidak percaya namun kenyataannya fenomena mistis ini terjadi dan membuktikan kera-kera di Kawasan Bukit Menoreh bukan kera biasa. Sekitar awal tahun 2009 warga, aparat desa dan Perhutani secara massal berupaya untuk membasmi kera dengan mendatangkan beberapa orang suku Badui untuk memburu kera di Bukit Menoreh.

Namun sang Kepala Suku Badui yang memburu kera-kera tersebut langsung angkat tangan dan mengundurkan diri begitu berhasil menangkap sang 'kepala suku' atau 'dedengkot' kawanan kera dengan cara dijaring. Pasalnya dedengkot kera tersebut berubah menjadi manusia yang menyerupai bapak sang kepala suku yang saat itu sedang ada di rumah.

Berdasarkan penelusuran merdeka.com, kejadian mistis yang menggegerkan warga sekitar Bukit Menoreh dan Candi Borobudur itu berlangsung pada tahun 2009, berawal upaya pemusnahan yang dilakukan warga, perangkat desa dan Perhutani yang resah akan keberadaan kawanan kera yang meresahkan.

"Secara khusus, pihak Perhutani yang kami kirimi proposal bantuan penanggulangan gangguan kera. Mereka kemudian secara khusus juga mengundang suku Badui yang terkenal dengan ketrampilan dan keahliannya sebagai pawang kera. Sebanyak 9 orang datang. Naik ke kawasan bukit Menoreh dan berkemah di sana," ungkap Dalil Kepala Dusun (Kadus) Kemalangan, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng Jumat (21/9).

Sembilan orang suku Badui ini, setelah membangun tenda dan berkemah mengawali perburuan ratusan kera di kawasan Bukit Menoreh dengan ritual yang dipimpin oleh sang kepala suku Badui. Sebanyak tiga tenda mereka dirikan tiga titik yang dikenal warga sebagai sarang dan tempat beranaknya sang kera beranak pinak. Ketiga titik sarang yang menjadi sasaran itu adalah di lereng Bukit Menoreh yang dikenal warga sebagai Kawasan Watu Putih, di lereng Menoreh di Desa Ngargogondo dan lereng Bukit Menoreh di Desa Majak singi.

"Ritual mereka cukup unik. Sambil memanjatkan doa-doa dan pujian, kepala suku dan delapan para anggota suku badui meminum kelapa muda dicampur dengan lombok digunakan untuk membasuh muka mereka. Kemudian perburuan kera-kera pun dimulai," jelasnya.

Awalnya, warga merasa lega karena setiap harinya kesembilan orang dari suku Badui itu berhasil menangkap paling tidak sebanyak kurang lebih antara 60 sampai 75 ekor kera. Kera-kera mulai dari yang masih bayi, dewasa hingga tua serta baik yang berjenis kelamin jantan maupun betina berhasil ditangkap dengan alat jaring dimasukan ke dalam kotak besi kecil.

Ratusan kera yang ada di dalam kotak besi kecil itu kemudian ditata lalu dimasukan ke truk dan dikirim ke hutan tempat suku Badui tinggal. Kegiatan itu berlangsung selama satu bulan dan awalnya tidak menemui satu kendala apapun.

"Bahkan warga yang ingin memelihara kera-kera kecil atau dari bayi diberi oleh suku Badui yang berhasil menangkapnya," ungkapnya.

Selain itu, beberapa kera yang dinilai bisa dijinakan dibagikan ke beberapa hotel, homestay serta losmen yang ada di sekitar obyek wisata Taman Wisata Candi Borobudur Magelang yang merupakan peninggalan sejarah dunia atau World Herritage. Harapanya, ada suasana dan pemandangan serta ciri khas bahwa selain candi di Borobudur tepatnya di Bukit Menoreh terdapat habitat kera yang ada di obyek wisata itu.

"Namun yang boleh dipelihara, dibagikan kepada warga untuk dirawat hanya kera-kera yang berjenis kelamin jantan. Jumlahnya mencapai puluhan yang dibagikan. Untuk yang jenis kelamin betina mereka pindahkan dengan cara diangkut truk besar ke hutan suku Badui tinggal," tegasnya.

Sampai akhirnya menjelang sebulan terakhir, ada kejadian mistis aneh yang menggegerkan warga. Kejadian aneh muncul ketika sang kepala suku Badui berhasil menangkap seekor kera yang diyakini sebagai dedengkot atau kepala suku dari kawanan kera yang ada di Bukit Menoreh itu. Saat berhasil dijaring, kera yang memiliki jenggot panjang itu wajahnya tiba-tiba berubah menjadi wajah manusia.

"Wajahnya berubah jadi manusia yang menangis. Yang mengherankan wajah manusianya adalah wajah ayah dari sang pawang kepala suku Badui itu. Merasa teringat ayahnya yang di rumah, sang kepala suku langsung ikut menangis dan melepaskan kera yang dianggap para warga sebagai Mbah Jenggot itu," jelasnya.

Usai kejadian itu, warga merasa was-was dan di selimuti rasa ketakutan yang berkepanjangan. Hingga akhirnya kesembilan orang, termasuk kepala suku Badui memutuskan diri untuk pulang ke tempat asalnya. Warga, pihak pengelola hotel, homestay dan losmenpun karena takut akhirnya melepas kera-kera yang sempat mereka pelihara dan mengembalikan kera ke Kawasan Bukit Menoreh, Kabupaten Magelang, Jateng.
[hhw]

Kemarau, kera Bukit Menoreh jarah tanaman warga Borobudur

Jumat, 21 September 2012 05:00:00
Reporter: Parwito

Kemarau, kera Bukit Menoreh jarah tanaman warga Borobudur
monyet. ©2012 Merdeka.com/Slamet Nusa
Diduga kehabisan stok makanan dan minum di musim kemarau, kawanan kera ekor panjang di Kawasan Bukit Menoreh di perbatasan di Kabupaten Magelang, Jateng dan Kabupaten Kulonprogo, DIY turun gunung. Mereka turun pun menjarah hasil perkebunan, ladang dan sawah sekitar Kawasan Candi Borobudur, Magelang.

Kawanan kera yang jumlahnya mencapai ratusan mulai dari kera ekor panjang anak-anak hingga dewasa ini turun bukit untuk merusak dan menjarah berbagai macam jenis tanaman di empat desa sekitar candi Borobudur yang berada di kaki Bukit Menoreh.

Keempat desa yang sering didatangi oleh kera-kera ekor panjang itu adalah Desa Ngargogondo, Desa Candirejo, Desa Giri Tengah dan Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur. Keempat desa itu rata-rata jaraknya dari Kawasan Wisata Candi Borobudur Magelang sekitar 500 meter sampai 2 kilometer.

Hal itu disampaikan oleh Kepala Dusun (Kadus) Kuncen, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur Suyono Jumat (21/9) saat ditemui merdeka.com di Kantor Desa Ngargogondo yang jaraknya sekitar 1 km dari Kawasan Watu Putih, Bukit Menoreh, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng.

Suyono menyatakan akibat kemarau panjang yang terjadi, saat ini mengakibatkan makanan para kera habis. Akibatnya kera-kera itu terpaksa turun bukit dan merusak beberapa tanaman sayur-mayur, tanaman buah-buahan dan tanaman palawija.

Beberapa tanaman yang biasa dirusak, dijarah dan dibawa lari ke atas Bukit Menoreh itu adalah tanaman pisang, pepaya, ketela, jahe dan kunyit. Luasan tanaman di empat desa yang dirusak dan dijarah itu mencapai ratusan hektar yang rusak dan terancam gagal panen.

"Selain sayur-mayur, buah-buahan mereka (kawanan kera) mengambil dan memakan pucuk daun muda (pupus) jahe dan kunir. Mereka datang pada saat-saat tidak pasti. Kadang pagi, siang atau menjelang sewaktu-waktu," ungkapnya.

Kejadian itu sering terjadi setiap tahun jika musim kemarau tiba. Bahkan beberapa menyatakan penjarahan, perusakan dan pencurian beberapa hasil tanaman para petani yang dilakukan oleh ratusan kera-kera ekor panjang ini sudah menjadi kebiasaan.

Selain stok makanan yang habis akibat kekeringan, di sekitar Watu Putih Kawasan Bukit Menoreh ini juga sudah menjadi langganan krisis mata air atau dilanda kekeringan. Akibatnya, selain merusak dan menjarah tanaman milik warga sekitar untuk dimakan, kera-kera ini juga mencari mata air di bawah Bukit Menoreh untuk bertahan hidup.

Warga yang menjadi korban pengerusakan dan penjarahan tanamannya baik di kebun, sawah maupun ladang hanya bisa menghalau dan mengusir kera ekor panjang ini dengan cara tradisional. Mereka menghalau kawanan kera ini dengan alat ketapel.

Hingga saat ini, belum ada upaya baik dari pihak pemerintah Pemkab Magelang dan warga sekitar untuk melakukan upaya menghilangkan atau menghalau kera-kera ekor panjang yang sudah mulai masuk ke halaman beberapa warga sekitar Kawasan Candi Borobudur Magelang, Jateng.

Pihak Perhutani yang mendapatkan keluhan soal gangguan kawanan kera Bukit Menoreh dari tahun ke tahun ini sempat memberikan solusi supaya para warga yang mayoritas petani menanam jambu mede. Tetapi, saran tinggal saran, sang petani tidak diberikan program dan bantuan bibit benih jambu mede.

"Tapi yang menjadi catatan kami satu tanaman yang aman dari pengerusakan dan jarahan sang kera yaitu tanaman lombok. Namun, jika di musim kemarau kami di sini juga kesulitan air untuk memelihara lomboknya," pungkasnya.
[hhw]

Kera Bukit Menoreh diyakini wongso Subali, Sugriwa & Hanoman

Jumat, 21 September 2012 10:20:07
Reporter: Parwito
Kera Bukit Menoreh diyakini wongso Subali, Sugriwa & Hanoman
monyet. ©2012 Merdeka.com/Slamet Nusa
Keberadaan kawanan kera di Bukit Menoreh ternyata menyimpan rahasia dan unsur mistis yang sampai saat ini menjadi mitos. Warga setempat percaya bahwa kera-kera di sekitar Kawasan Wisata Candi Borobudur itu merupakan siluman.

Bukan siluman 'kera sakti' yang merupakan tokoh dalam film namun kawanan kera di Kawasan Bukit Menoreh ini diyakini sebagai pengikut tokoh pewayangan manusia berwujud kera Sugriwo dan Subali.

Menurut cerita nenek moyang warga di sekitar Bukit Menoreh, kedua tokoh pewayangan tersebut terkait dengan pusaka adidaya Cupu Manik Astagina ini menguasai sebuah goa bernama Goa Kiskendo di Samigaluh, Kulonprogo, Propinsi DIY yang ada di sebelah barat Watu Putih, Kawasan Bukit Menoreh.

Grombolan kera pengikut Sugriwo, Subali dan Hanoman itu lalu melakukan ekspansi ke Bukit Menoreh. Sebab, Goa Kiskendo yang saat ini menjadi obyek wisata kondisinya sudah ramai oleh pengunjung obyek wisata sehingga ketenangan ratusan kera itu terusik dan meninggalkan markasnya menuju ke daerah hutan dan lereng terjal Bukit Menoreh. Apalagi, Goa Kiskendo sering digunakan manusia untuk menyepi dan bertapa, menggelar ritual mencari wangsit secara beramai-ramai maupun secara pribadi sendiri.

"Sulitnya membasmi dan menyingkirkan kera-kera menoreh yang selalu merusak dan menjarah tanaman, warga meyakini jika kera itu memiliki kesaktian. Bahkan mitos warga kera itu pengikut atau bekas pasukan Sugriwo-Subali serta tokoh Hanoman dalam pewayangan. Sebab, beberapa warga yang memiliki kelebihan sering menyepi di goa itu ditemui salah satu tiga tokoh pewayangan itu," ungkap Suryono, Kepala Dusun (Kadus) Kuncen, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng saat ditemui merdeka.com Jumat(21/9) di kantor desa setempat.

Selain ditemui oleh penampakan sosok Sugriwo, Subali dan Hanoman, seorang warga yang tidak ingin disebutkan namanya yang kini menjabat sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) Ngargogondo juga diberi sebuah keris. Keris itu dikenal sebagai keris 'Mbah Brojol'.

Kegunaan keris itu, jika ada warga sekitar perempuan sedang hamil dan menghadapi kesulitan saat melahirkan dengan pertolongan keris luk 13 itu bisa langsung melahirkan sang bayi.

"Saat itu istri saya sedang hamil. Ternyata saat melahirkan dia kesulitan kemudian saya panggil pak sekdes untuk menolong. Sambil membawa keris Mbah Brojol, dicelupkan air di dalam gelas dan dibacakan doa-doa lalu air kum-kuman (rendaman) keris itu diminumnya, beberapa menit kemudian langsung melahirkan anak saya," terang Suryono.

Namun, saat ini keberadaan keris itu sudah tidak lagi di tangan sang Sekdes Ngargogondo karena dijual. Alasan penjualannya itu sebab saat ini jika ada orang hamil yang kesulitan melahirkan maka disarankan saja untuk dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan operasi cesar saja.

Selain mendapatkan keris, sang Sekdes itu juga diberi pesan jika ingin aman desanya dari serangan dan amukan sang kera, sawah dan ladang harus dipasangi bendera. Jangan justru berupaya untuk membasmi dengan cara diracuni, dijaring atau bahkan dibunuh kera-kera itu dengan cara ditembaki.

"Pesan itu yang sering disampaikan Pak Carik (sekdes). Pasang bendera warna apapun dan jangan menyakiti kera-kera pengikut Sugriwo, Subali dan Hanoman. Kera-kera itu tidak akan punah dan habis malahan jika dibasmi akan selalu muncul dan beranak pinak semakin banyak," ungkapnya.
[hhw]

Pawang hingga TNI pun tak berkutik dengan kera Bukit Menoreh

Jumat, 21 September 2012 08:31:00
Reporter: Parwito

Pawang hingga TNI pun tak berkutik dengan kera Bukit Menoreh
monyet. ©2012 Merdeka.com/Slamet Nusa
Pengerusakan dan penjarahan tanaman hasil bumi milik warga sekitar Kawasan Candi Borobudur oleh ratusan kera yang turun dari Bukit Menoreh sampai saat ini tidak bisa teratasi. Berbagai upaya sudah dilakukan setiap tahunnya oleh perangkat desa namun berbagai upaya itu mengalami kegagalan. Akibatnya, warga hanya bisa pasrah.

Upaya-upaya yang dilakukan warga dari tahun ke tahun sebetulnya sudah sering dilakukan. Mulai dari meminta bantuan aparat TNI-Polri. Meminta bantuan kepada petugas dan lembaga Perhutani setempat. Bahkan sampai-sampai mendatangkan pawang kera dari berbagai wilayah baik di sekitar Kawasan Bukit Menoreh maupun dari luar daerah.

"Mau bagaimana lagi? Kita hanya bisa pasrah saja mas. Jadi sampai sekarang jika musim kemarau datang pasti kita langganan kebun, sawah dan ladang kami pasti akan dirusak dan dijarah kawanan kera," ungkap Kepala Urusan Kesejahteraan (Kaur Kesra) Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jateng Jumat (21/9) Darmin saat ditemui merdeka.com di Kantor Desa setempat.

Upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh warga dan perangkat desa sendiri di antaranya mendatangkan aparat TNI dari Markas Arhanut di Kota Magelang. Puluhan aparat pernah melakukan perburuan terhadap kera-kera yang bersarang di Bukit Menoreh.

Bahkan, beberapa prajurit mengangkat senjata untuk menembaki kera-kera. Namun, sampai sekarang keberadaan kera-kera itu masih ada. Upaya tentara untuk membasmi kawanan kera dengan menembakan peluru tajam kera tidak membuahkan hasil.

"Memang saat itu sekitar tahun 2000 an, ada seorang komandannya yang mempunyai kelebihan, istilah orang jawa 'orang pinter'. Dia berhasil menembak dua ekor kera. Sebelum menembak pelurunya dikasih tinja kerbau milik warga kemudian diberi doa-doa dan berhasil menembak mati dua ekor kera. Tapi sampai sekarang kera-kera itu masih tetap muncul," ungkapnya.

Sementara, Suyanto Kepala Dusun (Kadus) Ngargosari, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur menceritakan warga pada tahun 2001 juga sempat mengundang seorang pawang kera dari Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang yang menggunakan dua ekornya anjing pelacak untuk memburu kera-kera. Yang terjadi dua ekor anjing jenis helder itupun tewas setelah dicabik-cabik oleh ratusan kera.

"Awalnya sang pawang sombong dan sesumbar jika perburuanya untuk menangkapi kera-kera dengan dua anjing pelacak andalannya itu maka kera-kera akan tertangkap. Katanya wong tangkap celeng (babi hutan) saja bisa. Apalagi tangkap kera, gampang katanya. Tetapi dua anjing itu terlepas dari sang pawang saat kejar kera-kera. Setelah dicari-cari kedua anjing yang saat itu seharga 1,5 juta itu tewas tercabik-cabik oleh kera," tegasnya.

Sang pawangpun dengan perasaan kecewa menyatakan gagal untuk membasmi komunitas dan habitat kera yang sudah meresahkan warga Borobudur. Akhirnya sang pawang menyatakan dan mengakui angkat tangan karena tidak berhasil membasmi kawanan kera.

Kera-kera ini tersebar dan bersarang di tiga titik sarang yaitu di Kawasan Watu Putih, lereng Bukit Menoreh Desa Ngargogondo dan lereng Bukit Menoreh Desa Majak Singi. Ketiganya masih berada di wilayah Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang.

Tidak hanya itu, saking jengkelnya dengan keberadaan kera yang mengganggu, warga lalu berupaya untuk meracuni kera-kera dengan cara membubuhkan racun pada beberapa tanaman dan buah-buahan. Cara itupun tidak membuahkan hasil walau dengan menggunakan racun yang paling ampuh.

Akibatnya, saat ini ratusan warga di empat desa yaitu Desa Ngargogondo, Desa Candirejo, Desa Giri Tengah dan Desa Sambeng di Kecamatan Borobudur itu hanya bisa pasrah. Mereka selalu bermain petak umpet untuk menghalau kera-kera yang nakal dan menjengkelkan itu. Mereka rela setiap harinya hanya bisa menghalau dengan menembaki kera dengan ketapel jika tanaman dirusak dan dijarah.

Namun, anehnya dari pengakuan beberapa warga di empat desa itu kera-kera ini tidak bisa bersahabat dengan kaum laki-laki. Tetapi dengan perempuan mereka bisa diajak bercanda dan mendekat dengan kaum wanita di desa-desa yang tersebar di beberapa titik di Kawasan Bukit Menoreh itu.

Selain itu, ada kejadian yang aneh juga menimpa Zarkoni warga Dusun Malangan, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur saat berupaya mengejar-ngejar kera dari Bukit Menoreh yang sering merusak dan menjarah tanamannya. Saking jengkelnya, dia nekat meracuni kera-kera yang juga sempat memakan buah mentimun yang dibubuhi racun.

Kera-kera tidak mati, malah Zarkoni malam harinya bermimpi dan dalam kondisi setengah sadar ditemui oleh seekor kera yang kemudian berubah menjadi manusia tua dengan ciri-ciri mengenakan jubah hitam, berambut putih panjang dan berjenggot putih. Usai mendengar cerita itu, para wargapun memberikan nama kepada 'kepala suku' kera-kera itu dengan sebutan Mbah Jenggot. Jika kawanan kera datang mengganggu warga langsung menyebut nama Mbah Jenggot itu dan sang kera-kera itu langsung menyingkir.

"Dalam mimpinya itu, laki-laki yang ditemuinya itu berkata; "Nek kok teruske anak putumu tak sapu lebho (Kalau kamu teruskan niatmu untuk membasmi kera-kera itu saya tumpas kamu, keluargamu dan anak cucumu sampai habis)," ungkapnya.

Akhirnya dengan rasa penasaran dan takut, Zarkoni mengurungkan niat dan berhenti berupaya untuk membunuh kera-kera itu dengan cara meracuni dengan menggunakan buah mentimun. Sampai saat ini, jika kera-kera berdatangan, Zarkoni hanya menghalau sang kera dengan alat tradisional berupa ketapel atau dalam bahasa Jawa nya belandring.
[hhw]

Kawanan kera di Banyumas mengganas, isi dapur ludes disikat

Selasa, 18 September 2012 10:12:17
Reporter: Ramadhian Fadillah
Kawanan kera di Banyumas mengganas, isi dapur ludes disikat
monyet. ©2012 Merdeka.com/Slamet Nusa
Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, berupaya mengantisipasi meluasnya serangan kawanan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) ke permukiman warga di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon. Hal ini menyusul kekhawatiran warga karena perilaku kera yang mencuri makanan makin mengganas.

"Hingga saat ini masih terkendali dan warga sudah biasa dengan kedatangan kawanan kera tersebut pada musim kemarau," kata Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan (Dinbunhut) Banyumas Widarso di Purwokerto, Selasa.

Menurut dia, Pemkab Banyumas telah memberikan bantuan berupa makanan untuk kera seperti kacang-kacangan dan umbi-umbian agar kera tidak masuk ke rumah-rumah warga.

Selain itu, kata dia, upaya penanaman pohon buah-buahan belum bisa maksimal karena saat mulai tumbuh, tanaman tersebut dibongkar dan dimakan oleh kera.

"Sampai hari ini keberhasilannya belum maksimal. Tetapi kita akan upayakan terus menanam tanaman yang disukai oleh kera, harapannya dalam dua-tiga tahun bisa berbuah sehingga bisa dimakan oleh kera," katanya, Senin (18/9). Demikian dikutip antara.

Lebih lanjut, dia mengatakan, warga Cikakak sebenarnya sudah terbiasa dengan kawanan kera yang keluar dari hutan di dekat desa itu.

Akan tetapi yang dikhawatirkan, kata dia, kawanan kera tersebut memasuki permukiman warga desa lain.

"Kami terus memantaunya karena kalau kawanan kera tersebut masuk ke desa lain, biasanya akan menjadi masalah. Namun sejauh ini kawanan kera tersebut masih berada di sekitar Desa Cikakak, belum masuk ke Desa Wlahar," katanya.

Kendati demikian, dia mengatakan, pihaknya khawatir jika kawanan kera tersebut menyerang warga.

"Namun sampai hari ini belum ada laporan tentang serangan kera terhadap warga. Kawanan kera di sana takut dengan warga setempat, tapi kalau dengan pendatang pasti mendekat karena kera-kera itu mengira para pendatang bawa makanan," kata Widarso.

Disinggung mengenai jumlah kera yang masuk ke permukiman warga, dia mengatakan, berdasarkan pantauan jumlahnya masih ratusan ekor.

"Kami memang tidak bisa menghitung secara pasti. Namun dari pantauan sekitar 300-an ekor, belum mencapai ribuan," katanya.

Sementara itu, warga Desa Cikakak mulai resah dengan kedatangan kawanan kera yang mengganggu aktivitas mereka "Kera-kera di hutan itu memang sering masuk ke permukiman. Namun kalau musim kemarau, jumlahnya sangat banyak dan selalu merepotkan warga karena kawanan kera itu merusak atap rumah untuk mencuri makanan," kata seorang warga, Bambang (45).

Menurut dia, warga setempat sudah bingung menghadapi kawanan kera yang diduga kelaparan akibat kemarau panjang.

"Saya juga harus bekerja ekstra saat menjaga warung. Kalau lengah, dagangan saya habis dicuri kera-kera itu," katanya.

Dia mengharapkan Pemerintah Kabupaten Banyumas segera turun tangan untuk mengatasi serangan kawanan kera ini karena warga telah banyak dirugikan.

Warga lainnya, Kasmiyah (50) mengatakan, kawanan kera itu biasanya hanya mencari makan di sekitar Masjid Saka Tunggal "Baitussalam" Desa Cikakak.

"Kera-kera itu biasanya memunguti kacang yang dilempar wisatawan yang berkunjung di Masjid Saka Tunggal dan Taman Kera ini. Biasanya hanya sedikit yang turun ke permukiman, tapi sekarang jumlahnya sangat banyak," katanya.

Dia mengaku sering kali harus kehilangan makanan yang tersaji di meja makan karena dicuri kera yang masuk rumah dengan cara merusak atap.

"Kadang kera-kera itu masuk rumah lewat pintu yang terbuka. Bahkan, kawanan kera itu tidak hanya mengambil makanan, tetapi juga bumbu dapur maupun minum air bersih yang akan digunakan untuk memasak," katanya.

Kepala Desa Cikakak Suyitno mengatakan, warga telah berupaya mengusir kawanan kera tersebut dari permukiman.

Akan tetapi, kata dia, upaya tersebut belum membuahkan hasil maksimal karena kemungkinan kera-kera itu kelaparan akibat musim kemarau.

Menurut dia, bantuan pakan kera dari Pemerintah Kabupaten Banyumas tidak bisa diandalkan sehingga warga yang menjadi korban.

[ian]

1 komentar:

Maryanto Raharjo mengatakan...

kayak di film ramayana saja.
artikelnya bagus gan
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
salam semangat
ttd