Jangan Sekalipun Melupakan Sejarahfree counters
Click for Kota Samarinda, Indonesia Forecast

Senin, 24 September 2012

Dilema Gerwani hadapi poligami Soekarno

Dilema Gerwani hadapi poligami Soekarno

Senin, 24 September 2012 07:05:00
Reporter: Ramadhian Fadillah

Dilema Gerwani hadapi poligami Soekarno
soekarno dewi. ©2012 Merdeka.com/istimewa
Sejak awal berdiri Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) memperjuangkan undang-undang perkawinan yang melarang poligami. Bahkan sejak Gerwani masih bernama Gerwis atau Gerakan Wanita Sadar Sedar tahun 1950, mereka sudah memperjuangkan wanita agar tak mau dimadu.

Saat itu Gerwani berang melihat wanita yang terus jadi korban dalam perkawinan. Banyak wanita yang menjadi korban suami yang hobi kawin cerai. Gerwani pun mengeluarkan aturan tegas. Anggota Gerwani yang mau dipoligami harus dikeluarkan dari organisasi.

Tapi tahun 1960an, saat demokrasi terpimpin, dan Soekarno berada di puncak kekuasaannya, Gerwani menghadapi dilema. Saat itu Soekarno melakukan poligami. Dia menikahi Hartini, Ratna Sari Dewi dan Yurike Singer.

Masalahnya saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk Gerwani sedang mesra-mesranya dengan Soekarno. Jargon Nasionalis Agama dan Komunis (Nasakom) yang diusung Soekarno benar-benar menguntungkan PKI kala itu. PKI lebih leluasa menjalankan program-program dan propaganda. Maka mengkritik Soekarno hanya akan membuka perseteruan dengan pemimpin besar revolusi tersebut. PKI menilai hal itu tak ada gunanya. Karena itu juga Gerwani kemudian mengesampingkan masalah poligami.

Garis perjuangan Gerwani kemudian banyak mengikuti PKI. Arah gerakannya pun lebih pada garis massa dan politik. Perjuangan feminisme menjadi perkara nomor sekian.

Ketua Gerwani Umi Sardjono pernah berpidato tahun 1960 saat ultah ke-10 Gerwani. Pidato itu dimuat dalam Harian Rakyat. Intinya perjuangan Gerwani menjadi lebih luas.

"Perjuangan untuk emansipasi pada saat ini harus sejalan dengan jalannya sejarah. Sekarang bukan lagi saatnya untuk feminisme sempit, khususnya untuk menjadi gerakan jahit menjahit, sulam menyulam dan soal-soal rumahtangga belaka, jika tidak ingin melihat nasib berjuta-juta kaum wanita yang menderita," demikian Umi Sardjono.

Seorang pengurus Gerwani Jawa Timur, Lestari (82), mengenang saat itu memang tidak ada kebijakan PKI atau Gerwani untuk mengkritisi poligami Soekarno. Terkesan Gerwani melunak.

"Tidak ada-ada. Dikembalikan masing-masing saja. Hanya memang kenapa wanita mau dipoligami. Kan yang rugi wanita," kata Lestari saat ditemui merdeka.com di Panti Waluya Sejati Abadi, Jakarta, pekan lalu.

Maka periode 1960an isu-isu seperti ganyang neo kolonialisme, lawan kapitalis dan anti-imperialis menjadi lebih sering terdengar dari isu perkawinan dan poligami. Apalagi saat itu Soekarno sedang menggelorakan Trikora untuk merebut Irian Barat dan Dwikora saat konfrontasi dengan Malaysia. Sejumlah anggota Gerwani pun ikut latihan perang. Hubungan Gerwani dan PKI makin erat.

Hingga akhirnya tragedi Oktober 1965 menceraiberaikan organisasi wanita yang beranggotakan lebih dari 1,5 juta orang itu. Mengantarkan para aktivisnya ke penjara atau kubur. Tragis.
[ian]

Kisah pelarian tiga Gerwani dari penjara Bukit Duri

Senin, 24 September 2012 07:31:00
Reporter: Ramadhian Fadillah
Kisah pelarian tiga Gerwani dari penjara Bukit Duri
ilustrasi penjara. sxc.hu
Truk dan motor lalu lalang di Komplek Ruko Bukit Duri Plaza, Jakarta Selatan. Jejeran ruko yang tampak kuno berdiri berderet. Beberapa kuli membongkar barang-barang untuk dimasukkan ke gudang. Sama sekali tak ada bekas-bekas sebuah penjara besar pernah berdiri di sana.

Sejak tahun 1984, Penjara Wanita Bukit Duri sudah dibongkar. Penjara ini dulu pernah sesak dengan tahanan politik tahun 1968 hingga 1979. Para anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan tokoh-tokoh PKI pernah dipenjara di sini.

Lokasi di dekat Kampung Melayu dulu merupakan benteng pertahanan kolonial Belanda tahun 1600an. Pagar berduri dibangun di sepanjang tepi sungai Ciliwung. Letak benteng itu memang agak tinggi sehingga menyerupai sebuah bukit kecil jika dilihat dari seberang sungai. Inilah asal nama Bukit Duri.

Kini, bangunan penjara sudah berganti dengan Ruko Bukit Duri Plaza. Sementara bengkel senjata di sampingnya menjadi Komplek Bukit Duri Permai. Wartawan merdeka.com, Ramadhian Fadillah dan Islahudin mendatangi lokasi ini pekan lalu.

"Dulu di sini seram. Rumah saya dekat sekali dengan penjara itu. Sering ada teriakan-teriakan. Kata orang tua saya itu penjaga lagi menyiksa tahanan," cerita Indra (57), seorang warga yang kini menjadi sekuriti di Komplek Ruko Bukit Duri Plaza.

Warga lain, Jayadi (55) menceritakan peristiwa yang tidak pernah akan dilupakannya. Sekitar tahun 1975, Jayadi bekerja sebagai tukang becak. Pada suatu hari, menjelang siang. Tiba-tiba orang-orang dikejutkan tiga tahanan wanita yang mencoba melarikan diri dengan menyeberangi Sungai Ciliwung. Teriakan-teriakan penjaga yang mengejar terdengar keras. Rupanya ada tiga orang Gerwani yang melarikan diri.

"Saya ingat mereka cuma pakai pakaian dalam. Lari menyeberang sungai, tapi dikejar dan tertangkap. Saya lihat mereka dipukuli penjaga. Warga hanya diam saja, tak ada yang berani (membela). Kasihan mereka," kata dia.

Sri Sulistyawati (71), adalah seorang wartawati Warta Buana yang sebelas tahun dipenjara di Bukit Duri. Sri menjadi tahanan politik karena dianggap pembela Soekarno. Alasan lain, Sri pernah membantu mendirikan Gerwani cabang Jakarta. Selain itu suami Sri adalah Ketua Pemuda Rakyat Sukatno yang menjadi underbouw PKI. Tanpa pengadilan Sri dijebloskan ke penjara.

"Di sana saya makan dengan pinset karena nasinya dicampur dengan beling dan pasir. Mereka (Pemerintah Soeharto) ingin kita mati pelan-pelan," jelas Sri kepada merdeka.com.

Sri menjelaskan umumnya tahanan tidak disiksa di Penjara Bukit Duri. Tapi dibawa ke tempat lain. Istilahnya dibon, atau dipinjam. Nasib tahanan pun bergantung ke tempat mana dia dibon.

"Banyak yang tidak kembali lagi ke tahanan. Mungkin dieksekusi," kata Sri yang mengalami siksaan di lokasi Gang Buntu, Kebayoran Lama.

Ketika napi wanita lain dikirim ke Plantungan, Sri tetap ditahan di Bukit Duri. Oleh pemerintah Orde Baru dia memang dikategorikan tahanan politik kelas A bersama para tokoh PKI yang lari ke Blitar Selatan. Kelas A adalah kategori tapol yang dianggap paling berbahaya.

Penjara Bukit Duri kini sudah runtuh. Tapi sejarah kelam mereka yang ditahan tanpa pengadilan tak akan pernah dilupakan warga dan mantan tahanan penjara wanita Bukit Duri.
[ian]

Tidak ada komentar: