5 Cerita tragis akhir hidup tokoh PKI
Kamis, 4 Oktober 2012 07:30:04
Reporter: Ramadhian Fadillah
Njoto. wikipedia.org
Mereka dikenal sebagai petinggi atau tokoh Partai Komunis Indonesia. Sejarah mencatat nama mereka dengan tinta hitam karena berbeda ideologi dengan pemerintah yang sah.
Dua kali pemberontakan komunis berakhir dengan kegagalan. Tahun 1948 di Madiun pemberontakan komunis langsung dihancurkan pasukan gabungan tentara Soekarno. Percobaan pemberontakan tahun 1965 pun kembali menemui kegagalan. Kali ini bahkan lebih tragis, jutaan kader dan anggota PKI ditumpas habis Jenderal Soeharto.
Maka nasib para petinggi partai merah ini pun hampir selalu bernasib tragis. Semuanya meregang nyawa ditembus peluru. Beberapa tak diketahui kuburnya.
Tak ada penghormatan untuk jenazah mereka, karena dieksekusi sebagai pemberontak. Pemerintah yang menang menembak mereka sebagai orang taklukan yang kalah.
Dua kali pemberontakan komunis berakhir dengan kegagalan. Tahun 1948 di Madiun pemberontakan komunis langsung dihancurkan pasukan gabungan tentara Soekarno. Percobaan pemberontakan tahun 1965 pun kembali menemui kegagalan. Kali ini bahkan lebih tragis, jutaan kader dan anggota PKI ditumpas habis Jenderal Soeharto.
Maka nasib para petinggi partai merah ini pun hampir selalu bernasib tragis. Semuanya meregang nyawa ditembus peluru. Beberapa tak diketahui kuburnya.
Tak ada penghormatan untuk jenazah mereka, karena dieksekusi sebagai pemberontak. Pemerintah yang menang menembak mereka sebagai orang taklukan yang kalah.
Muso. wikipedia.org
Negara Republik Soviet Indonesia yang diproklamirkan tokoh komunis Muso di Madiun tak berumur panjang. Negara yang didirikan tanggal 18 September 1948 itu langsung dihancurkan pasukan TNI yang menyerang dari Timur dan Barat. Dalam waktu dua minggu, kekuatan bersenjata tentara Muso dihancurkan pasukan TNI.
Muso, Amir Syarifuddin dan pimpinan PKI Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat. Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.
Tanggal 31 Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso di Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi di sebuah kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.
Beberapa sumber menyebutkan jenazah Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.
2. Amir Syarifuddin
Muso, Amir Syarifuddin dan pimpinan PKI Madiun melarikan diri. Di tengah jalan, Amir dan Muso berbeda pendapat. Muso melanjutkan perjalanan hanya ditemani beberapa pengawal.
Tanggal 31 Oktober, pasukan TNI di bawah pimpinan Kapten Sumadi memergoki Muso di Purworejo. Muso menolak menyerah dan melarikan diri. Dia bersembunyi di sebuah kamar mandi. Di sana dia terlibat baku tembak hingga tewas.
Beberapa sumber menyebutkan jenazah Muso kemudian dibawa ke alun-alun dan dibakar.
Amir Sjarifuddin. wi
Amir Syarifuddin pernah menempati sejumlah posisi penting saat Indonesia baru merdeka. Dia pernah menjadi Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, bahkan Perdama Menteri Republik Indonesia. Tapi hasil perjanjian Renville memutar nasib Amir 180 derajat.
Saat itu Amir menjadi negosiator utama RI dalam perjanjian itu. Isi perjanjian Renville memang tak menguntungkan RI. Belanda hanya mengakui Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera. Maka Amir dikecam kiri-kanan. Kabinetnya jatuh. Dia kemudian bergabung dengan Muso dalam Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun tanggal 19 September 1948.
Saat pemberontakan Madiun dihancurkan TNI, Amir melarikan diri. Dia akhirnya ditangkap TNI di hutan kawasan Purwodadi. Tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan Agresri Militer II, Amir ditembak mati bersama para pemberontak Madiun yang tertangkap. Eksekusi dilakukan dengan buru-buru.
Sebelum meninggal Amir menyanyikan lagu internationale, yang merupakan lagu komunis. Amir juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Peluru seorang polisi militer mengakhiri hidupnya
3. Dipa Nusantara Aidit
Saat itu Amir menjadi negosiator utama RI dalam perjanjian itu. Isi perjanjian Renville memang tak menguntungkan RI. Belanda hanya mengakui Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera. Maka Amir dikecam kiri-kanan. Kabinetnya jatuh. Dia kemudian bergabung dengan Muso dalam Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun tanggal 19 September 1948.
Saat pemberontakan Madiun dihancurkan TNI, Amir melarikan diri. Dia akhirnya ditangkap TNI di hutan kawasan Purwodadi. Tanggal 19 Desember 1948, bersamaan dengan Agresri Militer II, Amir ditembak mati bersama para pemberontak Madiun yang tertangkap. Eksekusi dilakukan dengan buru-buru.
Sebelum meninggal Amir menyanyikan lagu internationale, yang merupakan lagu komunis. Amir juga sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Peluru seorang polisi militer mengakhiri hidupnya
Aidit. wordpress.com
Dipa Nusantara (DN) Aidit langsung melarikan diri dari Jakarta saat Gerakan 30 September 1965 gagal. Aidit lari ke daerah basis PKI di Yogyakarta. Aidit lalu berkeliling ke Semarang dan Solo. Dia masih sempat menemui beberapa pengurus PKI di daerah untuk melakukan koordinasi.
Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutup lemari.
Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan pada Soekarno.
Tapi keinginan Aidit tak pernah terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu. Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.
4. MH Lukman
Tanggal 22 November 1965, Aidit ditangkap pasukan Brigade Infantri IV Kostrad di kampung dekat Stasiun Solo Balapan. Aidit bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutup lemari.
Kepada Komandan Brigif IV, Kolonel Jasir Hadibroto, Aidit minta dipertemukan dengan Soekarno. Aidit mengaku sudah membuat pengakuan tertulis soal G30S. Dokumen itu rencananya akan diberikan pada Soekarno.
Tapi keinginan Aidit tak pernah terpenuhi. Keesokan harinya, Jasir dan pasukannya membawa Aidit ke sebuah sumur tua di belakang markas TNI di Boyolali. Aidit berpidato berapi-api sebelum ditembak. Berondongan AK-47 mengakhiri hidup Ketua Comite Central PKI itu. Kuburan pasti Aidit tak diketahui hingga kini.
MH Lukman. wikipedia
Muhammad Hatta Lukman, orang kedua di Partai Komunis Indonesia setelah Aidit. Bersama Njoto dan Aidit, ketiganya dikenal sebagai triumvirat, atau tiga pemimpin PKI. MH Lukman mengikuti ayahnya yang dibuang ke Digoel, Papua. Sejak kecil dia terbiasa hidup di tengah pergerakan. Nama Muhammad Hatta diberikan karena Lukman sempat menjadi kesayangan Mohammad Hatta, proklamator RI.
Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.
Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.
Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai 'jalan mati'. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati
Tapi seperti beberapa tokoh pemuda Menteng 31 pada tahun 1945, Lukman memilih komunis sebagai jalan hidup. Setelah pemberontakan Madiun 1948, triumvirat ini langsung melejit, mengambil alih kepemimpinan PKI dari para komunis tua. Di pemerintahan, Lukman sempat menjabat wakil ketua DPR-GR.
Tak banyak data mengenai kematian Lukman. Saat itu beberapa hari setelah Gerakan 30 September gagal, Lukman diculik dan ditembak mati tentara. Mayat maupun kuburannya tak diketahui.
Tokoh Politbiro Comite Central PKI Sudisman di pengadilan menyebut tragedi pembunuhan Aidit, Lukman dan Njoto, sebagai 'jalan mati'. Karena ketiganya tak diadili dan langsung ditembak mati
Njoto. wikipedia.org
5. Njoto
Njoto merupakan Wakil Ketua II Comite Central PKI. Orang ketiga saat PKI menggapai masa jayanya periode 1955 hingga 1965. Njoto juga kesayangan Soekarno. Aidit sempat menganggap Njoto lebih Sukarnois daripada Komunis.
Njoto menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI. Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk menulis pidato kenegaraan yang akan dibacakan Soekarno. Njoto seniman, pemusik, dan politikus yang cerdas.
Menjelang tahun 1965, isu berhembus. Njoto diisukan berselingkuh dengan wanita Rusia. Ini yang membuat Aidit memutuskan akan memecat Njoto. Menjelang G30S, Njoto sudah tak lagi diajak rapat pimpinan tinggi PKI.
Kematian Njoto pun simpang siur. Kabarnya tanggal 16 Desember 1965, Njoto pulang mengikuti sidang kabinet di Istana Negara. Di sekitar Menteng, mobilnya dicegat. Njoto dipukul kemudian dibawa pergi tentara. Diduga dia langsung ditembak mati.
Sama dengan kedua sahabatnya, Aidit dan Lukman, kubur Njoto pun tak diketahui.
http://www.merdeka.com/peristiwa/5-cerita-tragis-akhir-hidup-tokoh-pki/njoto.html
KOMENTAR:Mereka juga anak bangsa seperti kita,yang berhak mendapat perlindungan keadilan dari negara
Njoto menjadi menteri kabinet Dwikora, mewakili PKI. Dia salah satu orang yang dipercaya Soekarno untuk menulis pidato kenegaraan yang akan dibacakan Soekarno. Njoto seniman, pemusik, dan politikus yang cerdas.
Menjelang tahun 1965, isu berhembus. Njoto diisukan berselingkuh dengan wanita Rusia. Ini yang membuat Aidit memutuskan akan memecat Njoto. Menjelang G30S, Njoto sudah tak lagi diajak rapat pimpinan tinggi PKI.
Kematian Njoto pun simpang siur. Kabarnya tanggal 16 Desember 1965, Njoto pulang mengikuti sidang kabinet di Istana Negara. Di sekitar Menteng, mobilnya dicegat. Njoto dipukul kemudian dibawa pergi tentara. Diduga dia langsung ditembak mati.
Sama dengan kedua sahabatnya, Aidit dan Lukman, kubur Njoto pun tak diketahui.
http://www.merdeka.com/peristiwa/5-cerita-tragis-akhir-hidup-tokoh-pki/njoto.html
KOMENTAR:Mereka juga anak bangsa seperti kita,yang berhak mendapat perlindungan keadilan dari negara
Cerita dibalik jeruji seorang eks tahanan politik jaman PKI
Reporter : Henny Rachma Sari
Minggu, 14 Oktober 2012 14:11:35
Sugiri Jatiraharjo. ©2012 Merdeka.com
Sugiri Jatiraharjo merupakan satu dari sekian banyak remaja yang ditahan di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Kini, Sugiri sudah tak lagi sekuat dulu, rambutnya sudah memutih, kulitnya keriput dan bicara terbata-bata. Namun, di balik perubahan fisik yang dia alami, semangat perjuangan masih tetap membara di dalam hatinya hingga kini.
Sugiri sangat bersemangat saat diminta untuk menceritakan pengalaman menyakitkan yang harus ia terima pada masa-masa G30S/PKI dulu. Sugiri ditangkap saat berada di dalam kantor yang berlokasi di Kota, Jakarta Barat atas tuduhan terlibat gerakan kepemudaan yang menentang Soeharto.
"Awalnya saya ditangkap oleh sekitar 10 personel tentara lengkap dengan senjata api sewaktu saya sedang di kantor. Saya ditangkap alasannya ndak jelas. Pokoke saya hanya dituduh ngeberontak," ujar Sugiri kepada merdeka.com di Panti Jompo Abdi Waluyo Sejati, Jl Kramat V No 1C, Jakarta Pusat, Minggu (14/10).
Pria lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakultas Pedagoki, Yogyakarta ini menyebut Soeharto diktator terkejam melebihi Hitler. Pasalnya, presiden kedua ini melakukan penangkapan tanpa dasar hukum dan hanya berlandaskan sentimen terhadap tertuduh.
"Soeharto itu diktator terkejam, lebih lebih dari Hitler. Dia menangkap orang tanpa dasar hukum, hanya berdasar sentimen, ndak seneng," tutur Sugiri dengan menggebu-gebu.
Sugiri bercerita, dia menjadi tahanan politik mulai tahun 1962 hingga 1979, selama di dalam tahanan ia bersama pemuda lainnya kerap mendapat penyiksaan fisik maupun batin. Bogem mentah dari sejumlah tentara menjadi menu makanannya sehari-hari.
"Wow bukan main setiap hari saya disiksa. Dipukul, dibanting, ditendang sudah ndak aneh lagi," ujarnya.
Selain bogem mentah tentara, para tahanan termasuk Sugiri diperlakukan seperti halnya hewan peliharaan. Kondisi ini terjadi ketika, dia dan sejumlah pemuda disuguhi makanan sebanyak lima sendok nasi ditambah lauk berupa 70 butir jagung mentah dicampur kerikil, pasir dan tanah.
"Jadi kita harus mencampur makanan itu sama air, biar kerikil, pasir sama tanahnya itu terpisah. Banyak juga yang mati karena kelaparan, dikasih makannya dua kali sehari, itu pagi dan sore," imbuh Sugiri dengan mata menerawang.
Tidak cukup penyiksaan yang dirasakannya, beberapa bulan setelah ditangkap, dia turut diasingkan ke pulau Nusakambangan, penjara yang biasa digunakan untuk menahan penjahat paling berbahaya.
"Disiksa juga kalau di sana (Nusakambangan). Malah kita dibantingin satu-satu," cerita Sugiri.
Pria yang melanjutkan pendidikan di Fakultas Teknik salah satu universitas di Jakarta ini melanjutkan, saat itu para tahanan berdiri berbaris di sebuah ruangan pengap dan diperintahkan duduk di atas lantai beralas semen.
Selanjutnya, sejumlah tentara memanggil nama mereka satu per satu. Pemanggilan itu bukan untuk memberi makanan atau pakaian, melainkan dibanting layaknya pemain judo yang sedang berlatih menjatuhkan lawannya.
"Saya dibanting tiga kali, yang banting tentara. Bayangin aja postur tubuh tentara gimana. Tapi saya sedikit tahu teknik judo, bagaimana posisi yang harus diambil setelah dibanting," tandas Sugiri.
Selain menjalani penyiksaan, dirinya bersama sejumlah orang lainnya dipindahkan dari Nusakambangan ke pulau Buruh, Maluku untuk menjalani kerja paksa. Dia mengungkapkan, tidak hanya pemuda, tapi juga ada sekelompok orang yang memiliki latar belakang lain turut menjalani kerja paksa.
"Di sana kita kerja paksa, namanya kerja paksa ya begitu, sama aja perlakuannya, ndak manusiawi. Tapi karena kebanyakan tahanan yang ditangkap itu orang-orang yang pintar dan punya berbagai macam keahlian jadi kita bisa buat macam-macam di sana," cerita Sugiri.
Setelah menjalani pelbagai penyiksaan dari satu tempat ke tempat lain, Sugiri baru dibebaskan pada 1979 atau 17 tahun sejak ditangkap. Selama dalam penahanan aparat, dia tidak pernah berkomunikasi atau berjumpa kembali dengan kedua orang tuanya.
"Waktu ditangkap itu umur saya 25. Ya sudah, sejak itu ndak pernah ketemu orang tua sampai bebas tahun 1979. Untung keduanya (orang tua) masih hidup waktu itu," pungkas Sugiri.
Kebebasan itu tidak lepas dari peran seorang tokoh melepaskan dia bersama para tahanan lainnya serta membawanya ke Jakarta. Ada satu alasan yang membuatnya mampu bertahan dari pelbagai siksaan yang ia alami, yakni semangat perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur kala itu.
Semangat inilah yang harus dicontoh generasi muda saat ini. Terlebih, banyak pemuda yang justru terlibat tawuran antar kalangannya sendiri.
Sugiri sangat bersemangat saat diminta untuk menceritakan pengalaman menyakitkan yang harus ia terima pada masa-masa G30S/PKI dulu. Sugiri ditangkap saat berada di dalam kantor yang berlokasi di Kota, Jakarta Barat atas tuduhan terlibat gerakan kepemudaan yang menentang Soeharto.
"Awalnya saya ditangkap oleh sekitar 10 personel tentara lengkap dengan senjata api sewaktu saya sedang di kantor. Saya ditangkap alasannya ndak jelas. Pokoke saya hanya dituduh ngeberontak," ujar Sugiri kepada merdeka.com di Panti Jompo Abdi Waluyo Sejati, Jl Kramat V No 1C, Jakarta Pusat, Minggu (14/10).
Pria lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Fakultas Pedagoki, Yogyakarta ini menyebut Soeharto diktator terkejam melebihi Hitler. Pasalnya, presiden kedua ini melakukan penangkapan tanpa dasar hukum dan hanya berlandaskan sentimen terhadap tertuduh.
"Soeharto itu diktator terkejam, lebih lebih dari Hitler. Dia menangkap orang tanpa dasar hukum, hanya berdasar sentimen, ndak seneng," tutur Sugiri dengan menggebu-gebu.
Sugiri bercerita, dia menjadi tahanan politik mulai tahun 1962 hingga 1979, selama di dalam tahanan ia bersama pemuda lainnya kerap mendapat penyiksaan fisik maupun batin. Bogem mentah dari sejumlah tentara menjadi menu makanannya sehari-hari.
"Wow bukan main setiap hari saya disiksa. Dipukul, dibanting, ditendang sudah ndak aneh lagi," ujarnya.
Selain bogem mentah tentara, para tahanan termasuk Sugiri diperlakukan seperti halnya hewan peliharaan. Kondisi ini terjadi ketika, dia dan sejumlah pemuda disuguhi makanan sebanyak lima sendok nasi ditambah lauk berupa 70 butir jagung mentah dicampur kerikil, pasir dan tanah.
"Jadi kita harus mencampur makanan itu sama air, biar kerikil, pasir sama tanahnya itu terpisah. Banyak juga yang mati karena kelaparan, dikasih makannya dua kali sehari, itu pagi dan sore," imbuh Sugiri dengan mata menerawang.
Tidak cukup penyiksaan yang dirasakannya, beberapa bulan setelah ditangkap, dia turut diasingkan ke pulau Nusakambangan, penjara yang biasa digunakan untuk menahan penjahat paling berbahaya.
"Disiksa juga kalau di sana (Nusakambangan). Malah kita dibantingin satu-satu," cerita Sugiri.
Pria yang melanjutkan pendidikan di Fakultas Teknik salah satu universitas di Jakarta ini melanjutkan, saat itu para tahanan berdiri berbaris di sebuah ruangan pengap dan diperintahkan duduk di atas lantai beralas semen.
Selanjutnya, sejumlah tentara memanggil nama mereka satu per satu. Pemanggilan itu bukan untuk memberi makanan atau pakaian, melainkan dibanting layaknya pemain judo yang sedang berlatih menjatuhkan lawannya.
"Saya dibanting tiga kali, yang banting tentara. Bayangin aja postur tubuh tentara gimana. Tapi saya sedikit tahu teknik judo, bagaimana posisi yang harus diambil setelah dibanting," tandas Sugiri.
Selain menjalani penyiksaan, dirinya bersama sejumlah orang lainnya dipindahkan dari Nusakambangan ke pulau Buruh, Maluku untuk menjalani kerja paksa. Dia mengungkapkan, tidak hanya pemuda, tapi juga ada sekelompok orang yang memiliki latar belakang lain turut menjalani kerja paksa.
"Di sana kita kerja paksa, namanya kerja paksa ya begitu, sama aja perlakuannya, ndak manusiawi. Tapi karena kebanyakan tahanan yang ditangkap itu orang-orang yang pintar dan punya berbagai macam keahlian jadi kita bisa buat macam-macam di sana," cerita Sugiri.
Setelah menjalani pelbagai penyiksaan dari satu tempat ke tempat lain, Sugiri baru dibebaskan pada 1979 atau 17 tahun sejak ditangkap. Selama dalam penahanan aparat, dia tidak pernah berkomunikasi atau berjumpa kembali dengan kedua orang tuanya.
"Waktu ditangkap itu umur saya 25. Ya sudah, sejak itu ndak pernah ketemu orang tua sampai bebas tahun 1979. Untung keduanya (orang tua) masih hidup waktu itu," pungkas Sugiri.
Kebebasan itu tidak lepas dari peran seorang tokoh melepaskan dia bersama para tahanan lainnya serta membawanya ke Jakarta. Ada satu alasan yang membuatnya mampu bertahan dari pelbagai siksaan yang ia alami, yakni semangat perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur kala itu.
Semangat inilah yang harus dicontoh generasi muda saat ini. Terlebih, banyak pemuda yang justru terlibat tawuran antar kalangannya sendiri.
[dan]
1 komentar:
Bravo, Pak Sugiri patut dicontoh kalangan muda, mampu bertahan dalam kondisi yang tidak mungkin atau lebih tepatnya kematian....
Posting Komentar