Friday, November 09, 2012
10 November 1945: Terjadi Karena Belanda Tak Mau Akui Proklamasi 17 Agustus 1945
Oleh Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pendahuluan
Pada 10 November 1945 tentara Inggris memulai gempuran dari darat, laut dan udara yang sangat dahsyat selama sekitar tiga minggu terhadap kota Surabaya. Pada waktu itu Inggris mengerahkan lebih dari 30.000 tentara yang diperlengkapi dengan persenjataan yang paling muthakir yang dimiliki oleh Inggris. Itu merupakan pengerahan pasukan terbesar yang dilakukan oleh Inggris seusai Perang Dunia II.
Diperkirakan lebih dari 20.000 rakyat Indonesia di Surabaya, sebagian terbesar adalah penduduk sipil termasuk wanita dan anak-anak, tewas akibat pemboman yang membabibuta, lebih dari 150.000 penduduk dipaksa mengungsi ke luar kota dan Surabaya bagian selatan hancur. Demikianlah gambaran mengenai situasi kota Surabaya, setelah digempur selama tiga minggu oleh Divisi V di bawah komando Mayjen. R.C. Mansergh.
Kini, setiap tahun bangsa Indonesia memperingati awal pemboman tentara Inggris tersebut sebagai Hari Pahlawan.
Tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa hal ini terjadi? Apa yang menyebabkan Inggris mengerahkan pasukan terbesarnya setelah Perang Dunia II usai? Pada umumnya, yang diketahui adalah, panglima tentara Inggris memberi ultimatum kepada rakyat Surabaya untuk menyerah, dan menyerahkan pembunuh Brigjen AWS Mallaby. Namun ternyata itu bukan alasan yang sebenarnya. Apa alasan yang sesungguhnya?
Hingga kini, sebagian terbesar bangsa Indonesia tidak mengetahui, mengapa peristiwa tersebut harus terjadi. Apa yang menjadi akar permasalahan. Demikian juga mengenai akibat serta pengaruh dari peristiwa tersebut.
Selain itu, ternyata Surabaya bukan satu-satunya kota atau wilayah yang diserang oleh tentara Inggris. Upaya untuk menghancurkan kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia -BKR (Badan Keamanan Rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan berbagai laskar- juga dilakukan oleh tiga divisi tentara Inggris di Sumatera dan di seluruh Jawa. Kini juga terungkap, bahwa dua divisi tentara Australia juga melancarkan operasi militer di wilayah Indonesia bagian timur dengan tujuan yang sama, yaitu melumpuhkan kekuatan bersenjata pendukung Republik yang baru diproklamirkan pada 17.8.1945. Pada waktu itu belum ada Tentara Nasional Indonesia – TNI.
Ternyata tujuan operasi militer Inggris dan Australia ini adalah untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, sebagaimana tertera dalam surat perintah yang diberikan oleh Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara (Supreme Commander South East Asia Command), Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Hal ini juga diakui secara terus terang oleh Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia, Sir Richard Gozney, dalam seminar Internasional yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI pada 27 Oktober 2000.
(lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/12/pernyataan-duta-besar-kerajaan-inggris.html)
Latar Belakang Sejarah
Sejarah mencatat, bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun, terutama Jakarta, yang –setelah dikuasai tahun 1619- oleh Belanda dinamakan Batavia. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara dan Bali kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang. Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai penjajahan, atau kolonialisme.
Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberikan legitimasi kepada suatu bangsa atau negara untuk menguasai bahkan merampok negara lain. Yang ada hanyalah berdasarkan atas kekuatan bersenjata seperti halnya hukum rimba, yaitu siapa yang kuat memangsa yang lemah.
Pada abad 15, dua negara katolik, Portugal dan Spanyol saling memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk perdagangan atau untuk dijadikan jajahan. Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara katolik tersebut, Paus Alexander VI memfasilitasi perundingan antara kedua negara tersebut dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol ditandatangani kesepakatan yang dinamakan Traktat Tordesillas (Tordesillas Treaty). Isinya adalah membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu satu bagian untuk Spanyol dan satu bagian untuk Portugal. Namun ketika Belanda, Inggris dan Perancis memasuki kawasan-kawasan tersebut, ketiga Negara ini tidak merasa terikat dengan Traktat Tordesillas. Sering terjadi pertempuran baik di laut maupun di darat di antara kelima Negara tersebut memperebutkan hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa, terutama di Asia selatan/tenggara, memperebutkan wilayah yang kaya akan rempah-rempah, yang pada waktu itu sangat mahal di Eropa.
Inggris dan Belanda beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Kemudian Belanda dan Portugal sepakat untuk membagi dua Pulau Timor. Juga antara Belanda dengan Inggris pernah terjadi “tukar guling” jajahan di Asia Tenggara, yaitu Bengkulu yang sebelumnya adalah jajahan Inggiris, ditukar dengan Singapura, waktu itu di bawah kekuasaan Belanda.
Kalau melihat perilaku para penjajah yang membagi-bagi wilayah kekuasaan, maka akan terlihat, ini adalah perilaku kelompok gangster/Mafia yang membagi-bagi wilayah kekuasaan, apakah itu kota, wilayah di dalam suatu kota, bahkan lahan parkir!.
Dalam perebutan wilayah di Asia Tenggara yang berlangsung selama dua abad, akhirnya Belanda berhasil mengungguli Inggris, Spanyol dan Portugal, dengan menguasai wilayah, yang kemudian oleh Belanda dinamakan Nederlands Indië (India Belanda). Inggris berkuasa di Malaya (Malaysia) dan Irian Timur, Spanyol di Filipina dan untuk Portugal hanya tersisa Timor Timur (Timor Leste) dan Macau. Perancis “memperoleh” Indochina, yang kemudian setelah merdeka, menjadi tiga negara: Vietnam, Laos dan Kamboja.
Pada 20 Maret 1642, para pengusaha Belanda mendirikan kongsi dagang Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), dan mendapat kekuasaan seperti layaknya sautu negara, yaitu mempunyai mata uang sendiri, memiliki tentara dan menyatakan perang terhadap suatu negara. VOC dibubarkan pada 31 Desember 1779 karena merugi akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Semua wilayah yang dikuasai oleh VOC diambil alih oleh pemerintahan, yang dibentuk oleh Belanda.
VOC meninggalkan utang kepada pemerintah Belanda sebesar 279 juga gulden, yang apabila dikonversi ke index tahun 2012, dapat mencapai 100 milyar US $. Utang ini diakumulasikan dengan utang pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) kepada pemerintah Belanda sampai tahun 1942. Kemudian ditambahkan pengeluaran Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1950. Jumlah utang ini ditagihkan kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) November 1949, sebesar 4 ½ milyar gulden, waktu tiu setara dengan 1,1 milyar US $.
Belanda Kehilangan Hak Sejarah Atas Jajahannya
Perang dunia kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia pada 3 September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman, dan hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan Ratu Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi.
Di Asia timur/tenggara, agresi militer Jepang dimulai dengan melancarkan serangan terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Jepang melancarkan agresinya dengan menyerang negara-negara di Asia tenggara, yang waktu itu –kecuali Thailand- berada di bawah penjajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Satu persatu negara-negara jajahan Eropa/Amerika itu jatuh ke tangan Jepang.
Amerika, Inggris, Belanda dan Australia membentuk komando gabungan yang dinamakan ACDACOM – American, British, Dutch, Australian Command, di bawah pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell. Admiral Karel Doorman dari Belanda ditunjuk sebagai Tactical Commander untuk memimpin armada sekutu.
Dalam pertempuran sengit di laut Jawa pada 27 Februari 1942, yang dikenal sebagai ‘The Battle of Java Sea” armada sekutu dimusnahkan oleh Jepang dalam waktu satu hari. Admiral Karel Doorman tewas bersama kapal perang utama armada sekutu (Flagship), De Ruyter, yang tenggelam dalam pertempuran tersebut.
Setelah menghancurkan pertahanan laut sekutu, pada 1 Maret 1942 Jepang mendaratkan tentaranya di Pulau Jawa. Pendaratan dilakukan serentak di tiga titik, yaitu di Banten (Jawa Barat), Eretan Wetan dan Kranggan (Jawa Tengah).
Hanya dalam waktu satu minggu, tentara sekutu di Jawa disapu bersih oleh balatentara Dai Nippon. Pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima Tentara 16 Jepang memberikan ultimatum kepada tentara sekutu untuk segera menyerah, dan kalau tidak mau menyerah, maka tentara sekutu akan dimusnahkan oleh tentara Jepang.
Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda.
Jepang mengganti semua nama-nama jalan, gedung, hotel menjadi nama-nama Jepang. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta, yang kelihatannya diambil dari kata Jayakarta, nama sebelum diganti Belanda menjadi Batavia.
Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas bekas jajahannya, dipaparkan oleh Lambertus Nicodemus Palar (telah diusulkan untuk menjadi Pahlawan Nasional), Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:
“ …Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya…
…Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris…
…Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa Indonesia mempergunakan zaman pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan baginya untuk menentukan nasibnya sendiri kemudian hari, termasuk pula persiapan terhadap kemungkinan mereka harus menentang kekuasaan militer Jepang nanti.
Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan...
... Selama tiga tahun itu Republik telah mengadakan hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan dengan Dewan Keamanan serta telah mendapat sahabat di antara negara-negara itu.
Republik telah memerintahkan daerahnya dan telah beroleh sifat-sifat dan mempunyai syarat-syarat seperti yang dimiliki setiap negara merdeka dan berdaulat: bendera kebangsaan, tentara dan polisi kebangsaan, keuangan, perpajakan dan hubungan luar negeri sendiri...”
Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB. (Teks lengkap dalam bahasa Indonesia dapat dibaca dalam buku tulisan Batara R. Hutagalung: ‘Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia’, Penerbit LKiS, 2010. 742 halaman.)
Jepang Menyerah. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Setelah berhasil mengalahkan tentara sekutu di Pulau Jawa, tentara Jepang telah menguasai seluruh negara-negara di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Selama perang masih berkecamuk di Eropa dan Afrika, kekuatan tentara sekutu terpecah, sehingga tidak bisa mengerahkan kekuatan penuh untuk menghadapi Jepang di Asia. Namun setelah Jerman ditundukkan pada bulan Mei 1945, sekutu dapat mengalihkan kekuatannya ke Asia untuk mengalahkan Jepang.
Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan pada 9 Agustus menjatuhkan bom atom di Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak menyerah, maka bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo, Ibukota Jepang. Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat kepada sekutu ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di Negara-negara yang diduduki oleh Jepang, termasuk Indonesia.
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus Ir.Sukarno diangkat sebagai Presiden dan M. hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.
Belanda Ingin Menjajah Kembali. Meminta Bantuan Inggris
Pemerintah Belanda tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, dan masih tetap menganggap, bahwa wilayah Republik Indonesia adalah wilayah jajahannya yang bernama Nederlands Indië (India Belanda).
Karena tidak memiliki angkatan perang yang kuat setelah tentaranya di Belanda dihancurkan oleh tentara Jerman tahun 1940, dan tentaranya di India Belanda dihancurkan oleh tentara Jepang pada bulan Februari - Maret 1942, maka Belanda meminta bantuan Inggris. Pada 24 Agustus 1945 di Chequers, dekat London, dicapai kesepakatan yang dinamakan Civil Affairs Agreement (CAA), di mana Inggris bersedia membantu dengan kekuatan militer, agar Belanda memperoleh kembali Indonesia sebagai jajahannya. Wilayah yang telah “dibersihkan”, kemudian akan diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Kesepakatan ini ternyata kemudian menjadi bencana yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu tewasnya sekitar satu juta (!) rakyat Indonesia, jutaan manusia harus mengungsi dan hancurnya banyak sarana serta prasarana infrastruktur, yang sangat memukul perekonomian negara yang baru berdiri. Upaya Belanda menjajah kembali ternyata juga didukung oleh banyak orang Indonesia sendiri, yang selama masa penjajahan Belanda menjadi pembantu Belanda dan ikut menikmati penjajahan tersebut.
Untuk tentara Inggris dan Belanda, agresi militer ini juga menelan korban jiwa yang tidak kecil. Korban tewas di pihak tentara Inggris diperkirakan mencapai 1.500 orang, dan tentara Belanda yang mati selama agresi miliiternya mencapai 6.000 jiwa. Di pihak Belanda, tidak semua tewas dalam petempuran. Sebagian meninggal karena penyakit atau bunuh diri, seperti kabarnya yang dilakukan oleh Panglima tertinggi tentara Belanda, Letjen Simon H. Spoor, yang bunuh diri karena kecewa disetujuinya perundingan KMB. Belum ditemukan data mengenai korban yang diderita oleh tentara Australia selama operasinya di wilayah timur Indonesia.
Panglima Tertinggi Komando Asia Tenggara (Supreme Commander South East Asia Command) Vice Admiral Lord Louis Mountbatten diperintahkan untuk melaksanakan tugas ini. Dia memperkirakan, diperlukan enam divisi untuk menguasai seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang ditinggalkan oleh Jepang, namun dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris, yaitu British Indian Divisions, yang sebagian besar anggota pasukannya berasal dari India (sekarang menjadi India, Pakistan dan Bangladesh) dan Nepal (Gurkha). Oleh karena itu, dua divisi tentara Australia diperbantukan untuk melaksanakan kesepakatan Chequers tersebut.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese.”
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten dalam pertemuan di Kandy, Sri Lanka (Ceylon) salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
“Pembersihan” Kekuatan Bersenjata RI oleh Inggris dan Australia
Tentara Australia, yang sebelumnya berada dalam Komando Pasifik Barat Daya (South West Pacific Area Command) yang dipimpin oleh Letjen Douglas McArthur, memang telah menguasai sebagian besar wilayah Indonesia bagian timur, termasuk Maluku dan Irian Barat. Bahkan McArthur menggunakan Morotai, Maluku Utara, sebagai basis penyerbuan tentara Sekutu ke Jepang. Oleh karena itu, tentara Australia dapat dengan cepat “menyelesaikan tugasnya” tanpa mengalami kesulitan besar.
Ketika Jepang menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada Allied Forces (Tentara Sekutu) di Tokyo Bay pada 2 September 1945, dan kemudian pada 12 September 1945 di Singapura, Lord Louis Mountbatten menerima penyerahan wilayah Asia tenggara dari tentara Jepang, seluruh Jawa dan Sumatera masih dikuasai oleh tentara Jepang. Namun di beberapa pulau di wilayah Indonesia bagian timur, tentara Australia sudah merebut wilayah tersebut dari Jepang. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris untuk melaksanakan perjanjian Chequers. Pendaratan tentara Australia,
- di Kupang tanggal 11 September,
- di Banjarmasin tanggal 17 September,
- di Makasar tanggal 21 September,
- di Ambon tanggal 22 September,
- di Manado tanggal 2 Oktober,
- di Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda.
Sementara itu, sebelum penandatanganan pernyataan menyerah tanpa syarat oleh Jepang, Belanda telah mengirim pasukan perintisnya ke Sumatera Utara. Tanggal 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin 11 orang yang diterjunkan di Pangkalanbrandan. Brondgeest merekrut kembali semua orang mantan tentara KNIL yang berada di kota Medan dan sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan ratusan orang dan mereka direkrut menjadi polisi yang membantu Brondgeest.
Pada 14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul Pierre Westerling dengan pesawat udara mendarat di Medan. Dia dalam rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris KaptenTurkhaud dan Prajurit Sariwating. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest. Westerling membawa seragam dan persenjataan untuk 175 orang.
Tentara Inggris sendiri sangat lambat mengirim pasukannya ke Indonesia. Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 44 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Sebenarnya secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces (Tentara Sekutu) kepada Vice Admiral Mountbatten adalah:
1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Inggris, yaitu melaksanakan hidden agenda, yaitu kesepakatan Inggris dengan Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahan Belanda, sebagaimana tertuang dalam surat perintah Mountbatten tertanggal 2 September 1945, kepada komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Perintah tersebut berbunyi:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.”
dan kalimat berikutnya:
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Brigjen AWS Mallaby bersama Brigade 49 yang dijuluki sebagai “The Fighting Cock” baru tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945\, 69 (!) hari setelah proklamasi kemerdekaan RI. Ketika pasukan Inggris mendarat di Surabaya, seluruh persenjataan tentara Jepang telah jatuh ke tangan rakyat Surabaya dan sekitarnya. Senjata yang direbut dari tentara Jepang sangat banyak, sehingga dapat mengirim empat gerbong senjata ke Jakarta dan satu gerbong ke Yogyakarta.
Setelah itu, tentara Inggris memulai “pembersihan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia. Namun perlawanan dari rakyat Indonesia di berbagai daerah sangat dahsyat, terutama di Jawa dan Sumatera Utara, di mana terdapat konsentrasi pasukan bersenjata RI yang sangat kuat. Dalam pertempuran di Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober, Brigade 49 terancam punah, kalau tidak diselamatkan oleh Presiden Sukarno. (Rincian mengenai pertempuran 28/29 Oktober 1945 dan latar belakang pemboman atas Surabaya, lihat: http://10november1945.blogspot.com)
Tentara Australia “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda (NICA) pada 15 Juli 1946. Pada 16 Juli van Mook langsung menggelar Konferensi Malino, di Sulawesi Selatan, di mana dibahas pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) yang kemudian direalisasikan dalam Konferensi Denpasar bulan Desember 1946.
Inggris sendiri baru “menyerahkan” seluruh kewenangannya kepada Belanda bulan November 1946. Inggris juga meninggalkan seluruh persenjataan beratnya kepada tentara Belanda. Dalam kurun waktu satu tahun, Belanda berhasil menggantikan seluruh pasukan Australia dan Inggris. Selain merekrut sekitar 60.000 pribumi menjadi tentara KNIL (prajurit asal Ambon hanya 5.000), pemerintah Belanda juga mengirim lebih dari 150.000 tentara wajib militer dari Belanda. Sebelum meninggalkan Indonesia, Inggris masih memfasilitasi perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda di Linggajati, yang kemudian dikenal sebagai Persetujuan Linggajati.
(Catatan: Pada 10 November 1999, Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 melakukan unjukrasa ke Kedutaan Besar Kerajaan Inggris di Jakarta, menuntut pemerintah Inggris meminta maaf dan bertanggungjawab atas pemboman Surabaya November 1945. Selengkapnya baca:
http://10november1945.blogspot.com/2012/05/menuntut-pemerintah-inggris-atas.html)
Setelah Inggris dan Australia “menyerahkan” wilayah-wilayah yang mereka kuasai kepada Belanda, maka agresi militer Belanda berlanjut hingga Agustus 1949. Dalam upaya Belanda menjajah Indonesia dengan kekuatan militer, terjadi sejumlah besar pelanggaran HAM berat, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia, seperti pembantaian lebih dari 700 penduduk desa di Sulawesi Barat pada 1 Februari 1947 yang dilakukan di desa Galung Lombokm pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, dll.
Setelah berperang selama lebih dari empat tahun, pada bulan Agustus sampai November 1949 dilakukan perundingan di Belanda yang dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB) yang difasilitasi oleh PBB. Sebagai hasil kesepakatan KMB, dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian, di mana Republik Indonesia adalah salahsatunya.
Sukarno diangkat menjadi Presiden RIS, dan jabatan Presiden Republik Indonesia dipegang oleh Assaad Datuk Mudo, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat – KNIP, yang sekarang setara dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Beberapa hasil KMB antara lain:
1.Pembentukan Uni Indonesia – Belanda, di mana kepala Uni tersebut adalah Ratu Belanda. Salahsatu butir perjanjian ini adalah, apabila pemerintah RIS akan mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain harus dengan izin dari pemerintah Belanda.
2.RIS yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintah Nederlands Indië (India – Belanda), diharuskan membayar utang pemerintah India - Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden. Di dalamnya termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah India – Belanda untuk membiayai agresi militer I, 21 Juli 1947 dan agresi militer II, 19 Desember 1948. Utang tersebut dicicil dan telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum dihentikan oleh pemerintah Republik Indonesia tahun 1956.
3.Mantan tentara KNIL yang ingin masuk TNI harus diterima dengan pangkat satu tingkat lebih tinggi. Di tahun 70-an, beberapa dari mereka mencapai pangkat jenderal dan berada di pucuk pimpinan TNI.
4.Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga ketika penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Irian barat tidak termasuk di dalamnya. Dengan demikian untuk pemerintah Belanda, secara yuridis Irian (Papua) Barat bukan bagian dari NKRI. Tahun 2000 pemerintah Belanda menugaskan dan membiayai pakar sejarah Prof. Dr. Pieter Drooglever untuk melakukan penelitian kembali mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Irian Barat.
Setelah melakukan penelitian selama 5 tahun dan dengan biaya yang sangat besar, pada bulan November 2005, Drooglever menerbitkan hasil penelitiannya dalam buku setebal 740 halaman yang berjudul “Act of Free Choice.” Secara singkat, Drooglever menilai, bahwa PEPERA adalah suatu kecurangan besar.
Yang patut dipertanyakan di sini adalah, mengapa setelah 30 tahun, di tengah-tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat, pemerintah Belanda mengangkat kembali peristiwa ini.
Pada tahun 1956 pemerintah RI secara sepihak membatalkan Perjanjian KMB. Selain itu, pemerintah RI juga memutuskan untuk menghentikan pembayaran sisa cicilan utang yang harus dibayar sebesar sekitar 500 juta gulden. Pada saat itu, dari jumlah 4 ½ milyar gulden, telah dibayar sebesar 4 milyar.
Demikianlah latar belakang yang sesungguhnya mengapa sampai terjadi persitiwa pemboman oleh tentara Inggris di Surabaya bulan November 1945. Demikian juga pembantaian terhadap ratusan ribu penduduk sipil Indonesia sampai tahun 1950. Kalau berpegang pada kaidah hukum ‘sebab-akibat’ (bahaasa jerman: Ursache – Wirkung), maka akar permasalahan dari pembantaian rakyat Indonesia, kehancuran infrastruktur dan perekonomian Republik yang baru berdiri adalah karena pemerintah Belanda –sampai detik ini- tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945!
Keabsahan Proklamasi 17.8.1945
Sebagaimana telah disebut di atas, bahwa di masa vacuum of power, yaitu antara pernyataan menyerahnya Jepang pada 15 Agustus 1945, sampai penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat di atas kapal perang AS Missouri pada 2 September 1945, para pemimpin bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mendirika Republik Indonesia.
Pada 18 Agustus, Ir. Sukarno diangkat menjadi Presiden, dan Drs. M. Hatta menjadi Wakil Presiden.. Kemudian dibentuk kabinet pemerintah Republik Indonesia. Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo, yaitu:
1. adanya wilayah terntentu,
2. adanya penduduk yang permanen,
3. adanya pemerintahan,
Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara dari seluruh Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l.:
ARTICLE 1
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.
Ayat tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa keabsahan tersebut tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.
ARTICLE 3
The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.
Pada tahun 1946, Liga Arab memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi. Namun pada waktu itu, Belanda menyatakan, bahwa yang mereka lakukan adalah “aksi polisional”, yaitu untuk membasmi para pengacau keamanan, perampok dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
Yang dinyatakan oleh pemerintah Belanda sebagai “aksi polisional 1” (21 Juli 1947, yang merupakan pelanggaran terhadap persetujuan Linggajati) dan “aksi polisional 2” (19 Desember 1948, yang merupakan pelanggaran terhadap persetujuan Renville), jelas adalah agresi militer terhadap suatu Negara merdeka dan berdaulat. Dalam sambutannya di Jakarta pada 16 Agustus 2005, Ben Bot mengakui bahwa:
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality …”
Ben Bot di sini menyebut “military forces”, dan bukan “police forces.” Jadi apabila disimak kalimat ini, maka Ben Bot secara langsung mengatakan aksi tersebut adalah pengerahan militer secara besar-besaran (large scale deployment of military forces) dan bukan aksi polisi. (Teks lengkap pidato Ben Bot lihat:
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/speech-by-minister-bot-on-60th.html)
Landasan Moral, Politis dan HAM
Political will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, hal ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut:
“ A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.”
Pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut di kabinet Wilson. Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945.
Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan seruan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan:
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”
Butir tiga ini dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of peoples …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).
Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”
Bahkan Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato radio yang disampaikan di London pada 7 Desember 1942 -setelah Belanda diduduki oleh Jerman, dan India-Belanda direbut oleh Jepang- mengatakan:
A political unity which rests on this foundation moves far towards a realization of the purpose for which the United Nations are fighting, as it has been embodied, for instance, in the Atlantic Charter, and with which we could instantly agree, because it contains our own conception of freedom and justice for which we have sacrified blood and possessions in the course of our history. I visualize, without anticipating the recommendations of the future conference, that they will be directed towards a commonwealth in which the Netherlands. Indonesia, Surinam and Curacao will participate, with complete self-reliance and freedom of conduct for each part regarding its internal affairs, but with the readiness to render mutual assistance.
Di sini Ratu Belanda pertama kali menyebut kata INDONESIA, dan bukan Netherlands-Indie! Namun ternyata setelah Jerman dan Jepang ditaklukkan, Belanda justru berusaha dengan kekuatan militer, dibantu oleh Inggris dan Australia, menjajah kembali bangsa Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya. Di Belanda, setelah melihat kehancuran negerinya dan kuatir hilangnya pemasukan dari bekas jajahannya, timbul slogan: “Indië verloren, rampspoed geboren”, yang artinya, “India (sebutan untuk India-Belanda) lepas/hilang, timbul bencana.”
Sampai tahun 1870, 90% keuntungan Belanda di India-Belanda ditransfer ke Belanda. Sampai tahun 1938, sebelum pecah Perang Dunia II, keuntungan yang dibawa dari India Belanda menyumbang hampir 10% produk domestik Belanda. Inilah alasan mengapa kemudian Belanda mengerahkan kekuatan militer untuk menjajah kembali Indonesia yang sudah merdeka.
Dengan demikian jelas adanya, bahwa dipandang dari segi apapun, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah sah, baik dari segi hukum internasional, maupun dari segi politis, moral dan HAM.
Demikian juga apabila ditinjau dari segi pembentukan dan pembubaran Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil Konferensi meja Bundar (KMB). Republik Indonesia adalah satu dari 16 negara bagian dalam RIS. Setelah RIS berdiri, satu-persatu negara-negara bagian yang lain dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran RIS, dan pada 17.8.1945 Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945. Dengan dibubarkannya RIS, maka negara yang diakui oleh Belanda sebagai hasil KMB sudah tidak ada lagi, dan Belanda kini berhubungan dengan NKRI.
Hubungan Yang Janggal Republik Indonesia – Belanda
Pada 17 Agustus 2012, bangsa Indonesia memperingati proklamasi kemerdekaan yang ke 67, namun sampai hari ini pemerintah Belanda, yang pernah menjajah Indonesia, tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “pelimpahan kedaulatan” (soevereinetietsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Apabila dua Negara akan menjalin hubungan diplomatik, sudah seharusnya keduanya saling mengakui secara yuridis. Apabila negara yang satu tidak mengakui de jure kemerdekaan negara yang akan menjadi mitra diplomatiknya, tentu akan menjadi suatu hubungan diplomatik yang sangat aneh. Demikianlah yang terjadi antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, di mana Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945, dan tetap bertahan pada versi Belanda, yaitu de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949.
Pada 24 April 2005, Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) menyampaikan petisi-online, (lihat:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/rawagede-perjuangan-knpmbi-dan-kukb.html)
dan pada 20 Mei 2005, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), yang didirikan oleh para aktifis KNPMBI pada 5 Mei 2005, menyampaikan petisi kepada Perdana Menteri Belanda Balkenende dan menuntut pemerintah Belanda untuk:
1.Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
2.Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,
Sampai tanggal 17 Agustus 2005, para Duta Besar Belanda tidak pernah menghadiri acara peringatan 17 Agustus di Istana Merdeka. Pertamakalinya seorang Menteri Luar Negeri Belanda dan Duta Besar belanda hadir pada peringatan 17 Agustus 2005. Namun setelah itu mereka absen lagi.
Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa pemerintah Belanda kini menerima proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 secara moral dan politis, serta menyampaikan rasa penyesalan atas jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak.
Dalam suatu wawancara di satu stasiun TV di Jakarta pada 17 Agustus 2005 Ben Bot menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan secara yuridis telah diberikan pada akhir tahun 1949. Berarti yang dia maksud adalah pada waktu pelimpahan kewenangan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya dapat diberikan satu kali. Dia juga mengatakan, bahwa kompensasi telah diberikan oleh pemerintah Belanda melalui berbagai bantuan yang telah diberikan kepada Indonesia.
Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag sebelum berangkat ke Jakarta, dalam acara peringatan hari pembebasan para interniran Belanda dari kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia, dia menyatakan bahwa kini pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17.8.1945.
Pernyataan ini seharusnya sangat mengejutkan, karena berarti sampai tanggal 16.8.2005, untuk pemerintah Belanda, Republik Indonesia tidak eksis samasekali dan baru pada 16.8.2005 diterima eksistensinya, namun tetap tidak diakui secara yuridis. Ini juga berarti Republik Indonesia disamakan dengan ANAK HARAM, yang hanya diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya.
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/11/belanda-masih-perlakukan-indonesia.html
Memang untuk pemerintah Belanda sangat dilematis, sebab apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, maka akan membawa konsekwensi yang sangat berat bagi Belanda, yaitu:
1. Dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, yang mereka namakan “aksi polisional I dan II” yang dilancarkan pada 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948, tidak lain adalah agresi militer terhadap suatu negara yang merdeka dan berdaulat,
2. Pemerintah Indonesia berhak menuntut pampasan perang (War Reparation) dari Belanda, seperti yang dilakukan oleh negara-negara korban agresi militer Jepang terhadap pemerintah Jepang,
3. Para veteran Belanda menjadi penjahat perang.
Namun di lain pihak, apabila Indonesia tetap membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka bangsa Indonesia tetap membiarkan pandangan, bahwa para pejuang kemerdekaan Indonesia yang berada di berbagai Taman makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Alasan Belanda waktu itu untuk melancarkan “aksi polisional” adalah untuk memulihkan kembali “law and order” serta membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
Beberapa pakar hukum internasional menyatakan, bahwa itu adalah hak satu negara -dalam hal ini Pemerintah Belanda- untuk mengakui atau tidak mengakui de jure kemerdekaan negara lain. Namun di lain pihak, apabila Pemerintah Indonesia mengetahui hal ini, maka penolakan ini seharusnya berlaku timbal-balik, yaitu Pemerintah Repubik Indonesia juga menyatakan tidak mengakui Pemerintah Belanda, dan memutuskan hubungan diplomatik yang janggal ini.
Menurut Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), masalah pengakuan de jure adalah masalah martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. KUKB mempermasalahkan hubungan diplomasi RI-Belanda yang sangat aneh, dan sebenarnya sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pilar utama bangsa Indonesia. Seandainya pilar utama ini tidak ada, maka empat pilar kebangsaan lainnya: NKRI, UUD ’45, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, juga tidak akan ada. Oleh karena itu, KUKB mendesak semua pihak yang berwenang, untuk meninjau kembali hubungan “diplomatik” yang janggal antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda.
Dengan beberapa negara, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik, seperti dengan Taiwan dan Israel. Namun tidak ada masalah atau kesulitan dalam hubungan perdagangan, investasi, pariwisata dll. Taiwan termasuk 10 besar investor luar negeri di Indonesia. Bahkan dengan Israel, negara yang sangat ditentang eksistensinya oleh banyak kalangan di Indonesia, pada tahun 1980 Pemerintah Indonesia membeli 36 pesawat tempur jenis Sky Hawk dari Israel!
Apakah ada kerugian bangsa dan negara Indonesia apabila tidak ada hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda?
*******
Bagi yang ingin mengetahui lebih rinci mengenai latar belakang, akibat dan pengaruh pertempuran Surabaya Oktober/November1945, silakan kunjungi weblog:
http://10november1945.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar