Kisah wayang mistis, jika berulah saat menonton bisa kualat
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 11 Februari 2013 02:05:00Nama Wayang Gandrung bagi sebagian orang di Kediri dan sekitarnya dianggap wayang mistis. Selain hanya ditampilkan di Bulan Suro (Muharram) dan bagi mereka yang punya ujar (nadzar), wayang kayu ini terlahir dari sebuah bongkahan kayu yang terdampar di sungai pada saat terjadi banjir di daerah Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri sekitar abad 17 lalu.Bahkan tentang keunikan wayang ini, Jero Wacik saat masih menjabat menteri Kebudayaan dan Pariwisata memberikan penghargaan khusus kepada Mbah Kandar sang dalang, sebagai maestro seni tradisi.
"Hati-hati lho saat menyaksikan Wayang Gandrung, sampeyan bisa kualat jika macem-macem saat wayang digelar, lebih baik diam saja. Banyak yang sudah kejadian kuwalat akibat menyepelekannya," pesan Lamidi (60) ahli waris Wayang Gandrung pada salah seorang penonton yang menyaksikan tanggapan Wayang Gandrung oleh orang Kalimantan yang digelar di rumah sang pemilik.
Mungkin itulah gambaran mistis yang selalu disampaikan oleh orang yang menjadi pemerhati Wayang Gandrung kepada siapa saja yang baru kali pertama menyaksikan. Selain mistis, Wayang Gandrung ini juga unik.
Beberapa keunikan berhasil ditelusuri berdasarkan penuturan ahli warisnya. Antara lain, wayang ini terlahir dari bongkahan kayu jati yang hanyut saat terjadi banjir, seperti dituturkan secara turun temurun oleh Lamidi (60) sang pewaris ketujuh Wayang Gandrung dari kakek buyutnya Ki Demang Proyosono. Kayu jati yang terdampar itu dibelah oleh orang misterius setelah penduduk Pagung, gagal membelahnya.
"Wayang ini adalah peninggalan kakek buyut saya yakni Demang Proyosono, tokoh spritual dari Surakarta yang sedang melakukan topo (bertapa) di Gunung Wilis. Wayang ini hanya boleh dibuka saat pementasan saja selain itu tidak boleh," tutur Lamidi.
Jika ingin pentas di lokasi yang susah dijangkau, semua peralatan mulai wayang, gong, rebab, kendang, gender, harus dipikul atau diangkut dengan jalan kaki. Pilihan dengan jalan kaki ini lantaran pernah pada suatu ketika peralatan pentas pagelaran wayang diangkut dengan gerobak, gerobaknya tidak bisa jalan. Demikian pula ketika diangkut mobil, mobil itupun mogok.
Gambaran proses mistis tidak hanya berhenti di situ, saat prosesi mungel (pementasan) diawali dengan dengan ritual slametan di awal dan akhir pertunjukan serta tindakan-tindakan magis terhadap Wayang Mbah (sebutan lain Wayang Gandrung) dengan kelengkapan mistiknya.
Setelah proses dilalui, dilanjutkan dengan persiapan artistik yakni meliputi penataan fisik peralatan pentas meliputi gawangan, gamelan, blencong dan wayang. Gawangan merupakan peralatan untuk menyimping wayang (menata). Sedangkan kelengkapannya adalah instrumen gamelan dalam bentuk sederhana yakni meliputi kendhang, gambang, rebab, kethuk, kenong dan kempul (gong suwukan) yang ditempatkan melingkar di antara dalang dan kotak wayang.
Jika diperhatikan dengan seksama instrumen yang mengiringi pagelaran Wayang Gandrung tampak tua, unik dan bentuknya menimbulkan kesan magis. Bahkan ketika proses penataan instrumen para pengrawit tampak berhati-hati tanpa suara berisik sehingga menimbulkan suasana khusuk dan wingit. Penonton terbius oleh situasi emosional tersebut, belum lagi ditambah aroma dupa yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan.
[tts]
Wayang Gandrung (2)
Saat penentuan alur cerita dalam pagelaran wayang, sang dalang seperti Mbah Kandar tidak memiliki otoritas menentukan lakon. Semua hanya berdasarkan wangsit yang diterima Lamidi (60), pewaris ketujuh Wayang Gandrung dari kakek buyutnya Ki Demang Proyosono. Wangsit datang ke Lamidi setelah dirinya melakukan laku ritual.
Peran kuat Lamidi dalam pengaturan proses 'mungel' (proses pementasan) merambah ke seluruh aspek aktualisasi Wayang Gandrung, baik fisik maupun psikis.
Laku ini sekaligus membangun kerangka mistik yang terstruktur bagi menguatnya mitos masyarakat terhadap Wayang Gandrung.
Selain sang dalang tidak memiliki otoritas, penunjukan sebagai dalang juga hanya berdasarkan wangsit. Cerita ini dialami oleh Mbah Kandar, sang maestro seni tradisi yang sejak tahun 1982 menjadi dalang Wayang Gandrung.
Sebelum menjadi penerus dalang Wayang Gandrung, dirinya adalah petani biasa yang tidak memiliki keahlian atau kepintaran khusus dalan seni pewayangan, seperti yang dia lakoni sekarang ini.
"Kulo ujug-ujug saged dalang sak wangsule angsal wangsit ken dados dalang Wayang Mbah Gandrung (Saya tiba-tiba bisa mendalang setelah mendapat wangsit supaya menjadi dalang Wayang Mbah Gandrung," kata Mbah Kandar yang selalu ceria.
Adegan berikutnya adalah berdasarkan wangsit sang pewaris dalam setiap pertunjukan yang akan dilakoni oleh Mbah Kandar, sang dalang Wayang Gandrung. Dalam setiap pementasan lakon selalu berubah-ubah sesuai wangsit. Beberapa lakon tersebut antara lain Barong Skeder, Bagawan Mintuno, Kuda Sembrani, Naga dan lain sebagainya.
Merdeka.com sudah beberapa kali menyaksikan pegelaran Wayang Gandrung dan dua kali menyaksikan keanehan. Setiap kali mengambil gambar di atas tungku dupa yang sedang dipenuhi asap dan api, tampak beberapa kali penampakan. Antara lain, kepala naga, srigala yang menginjak kepala manusia.
Sulit jika dipikir dengan nalar, keanehan terjadi dan mengharuskan diam untuk mengikuti kekhusyukan Lamidi ketika mengeluarkan wayang dari kotak penyimpanan, wayang dikeluarkan satu persatu, dihunus dari kantung/sarung kain secara khidmat dan keempat wayang yang merupakan cikal bakal diasapi dengan dupa dan kemudian diserahkan kepada sang dalang.
Sekadar diketahui Wayang Gandrung kali pertama ditemukan di dalam kayu ada empat yakni Wayang Mbah Gandrung Kakung (Panji Asmorobangun), Wayang Mbah Gandrung Putri(Galuh Candrakirono), Wayang Joko Luwar dan Wayang Raden Sedono Popo, namun setelah disimpan dalam kotak keempat wayang tersebut membawa teman-temanya kurang lebih 40 buah.
Wayang mistis, cerita bukan dari dalang, tetapi dari wangsit
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 11 Februari 2013 03:03:00Saat penentuan alur cerita dalam pagelaran wayang, sang dalang seperti Mbah Kandar tidak memiliki otoritas menentukan lakon. Semua hanya berdasarkan wangsit yang diterima Lamidi (60), pewaris ketujuh Wayang Gandrung dari kakek buyutnya Ki Demang Proyosono. Wangsit datang ke Lamidi setelah dirinya melakukan laku ritual.
Peran kuat Lamidi dalam pengaturan proses 'mungel' (proses pementasan) merambah ke seluruh aspek aktualisasi Wayang Gandrung, baik fisik maupun psikis.
Laku ini sekaligus membangun kerangka mistik yang terstruktur bagi menguatnya mitos masyarakat terhadap Wayang Gandrung.
Selain sang dalang tidak memiliki otoritas, penunjukan sebagai dalang juga hanya berdasarkan wangsit. Cerita ini dialami oleh Mbah Kandar, sang maestro seni tradisi yang sejak tahun 1982 menjadi dalang Wayang Gandrung.
Sebelum menjadi penerus dalang Wayang Gandrung, dirinya adalah petani biasa yang tidak memiliki keahlian atau kepintaran khusus dalan seni pewayangan, seperti yang dia lakoni sekarang ini.
"Kulo ujug-ujug saged dalang sak wangsule angsal wangsit ken dados dalang Wayang Mbah Gandrung (Saya tiba-tiba bisa mendalang setelah mendapat wangsit supaya menjadi dalang Wayang Mbah Gandrung," kata Mbah Kandar yang selalu ceria.
Adegan berikutnya adalah berdasarkan wangsit sang pewaris dalam setiap pertunjukan yang akan dilakoni oleh Mbah Kandar, sang dalang Wayang Gandrung. Dalam setiap pementasan lakon selalu berubah-ubah sesuai wangsit. Beberapa lakon tersebut antara lain Barong Skeder, Bagawan Mintuno, Kuda Sembrani, Naga dan lain sebagainya.
Merdeka.com sudah beberapa kali menyaksikan pegelaran Wayang Gandrung dan dua kali menyaksikan keanehan. Setiap kali mengambil gambar di atas tungku dupa yang sedang dipenuhi asap dan api, tampak beberapa kali penampakan. Antara lain, kepala naga, srigala yang menginjak kepala manusia.
Sulit jika dipikir dengan nalar, keanehan terjadi dan mengharuskan diam untuk mengikuti kekhusyukan Lamidi ketika mengeluarkan wayang dari kotak penyimpanan, wayang dikeluarkan satu persatu, dihunus dari kantung/sarung kain secara khidmat dan keempat wayang yang merupakan cikal bakal diasapi dengan dupa dan kemudian diserahkan kepada sang dalang.
Sekadar diketahui Wayang Gandrung kali pertama ditemukan di dalam kayu ada empat yakni Wayang Mbah Gandrung Kakung (Panji Asmorobangun), Wayang Mbah Gandrung Putri(Galuh Candrakirono), Wayang Joko Luwar dan Wayang Raden Sedono Popo, namun setelah disimpan dalam kotak keempat wayang tersebut membawa teman-temanya kurang lebih 40 buah.
[tts]
Wayang Gandrung (3)
Wayang mistis bertahan turun-temurun selama 300 tahun
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 11 Februari 2013 04:09:00
Dalang Mbah Kandar memainkan gunungan dengan menggerakkan ke kiri dan ke kanan kemudian ke tengah, gunungan ditancapkan persis di tengah gawangan.
Kemudian dikeluarkan sosok wayang bercat hitam, profil tubuh dan wajahnya mirip tokoh Semar, gerakan yang dilakukan dalam memainkan tokoh ini berakar pada pola gerakan ulat-ulat dan tancepan dalam sabet wayang kulit. Tokoh ini hanya dimainkan sebentar kemudian dimasukkan kembali ke dalam sarung. Cerita akan berubah-ubah sesuai wangsit.
Pagelaran seni Wayang Gandrung, sebenarnya mengajarkan manusia untuk memiliki rasa seni estetika dan etika serta mengandung ajaran moral. Dalam Wayang Gandrung tentunya banyak mengandung ajaran moral yang bisa diterapkan dalam kehidupan normal biasa.
Ajaran moral Wayang Gandrung bisa dikupas secara sederhana dari kata gandrung itu sendiri.Gandrung dalam bahasa Jawa berarti senang, cinta atau suka. Orang yang mengalami gandrung bisa saja seperti orang yang lupa akan hal lain kecuali satu hal yakni yang dicintainya. Hal yang dicintai itu bisa seseorang, sesuatu ataupun perilaku kehidupan yang baik di dunia ini.
Menurut Lamidi, ahli waris Wayang Gandrung, dalam perkembanganya untuk memberikan ajaran kepada anak cucunya, maka Ki Demang Raden Proyosono pertama memberikan sebutan "Gandrung" berarti suka atau cinta untuk berbuat kebaikan dan suka menolong sesama umat manusia atau sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Ungkapan senada juga disampaikan Mbah Kandar, menurutnya sesuai pemberian nama oleh Ki Demang Raden Proyosono, kata gandrung disini berarti suka akan menolong orang lain yang mengalami musibah atau segala permasalahan yang mereka hadapi. Sehingga Wayang Mbah Gandrung ini ada sebagai sarana untuk mengatasi segala kesulitan hidup.
Keberadaan Wayang Mbah Gandrung menjadi simbol atau ikon "Wayang Pangayoman", karena wayang tersebut memiliki kekuatan magis yang dapat memberikan pemecahan dalam kehidupan warga Desa Pagung dan sekitarnya. Sehingga Wayang Gandrung bisa bertahan secara turun temurun hingga lebih dari 300 tahun sampai saat ini.
Ajaran moral Mbah Gandrung ini sebagai bentuk penjabaran dalam kehidupan masyarakat dari ajaran agama yang dianut oleh penduduk Pagung dan sekitarnya, yakni agama Islam.
[tts]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar