Kisah Tan Malaka (1)
Rasa penasaran itu berujung ketika harus melangkah menuju wilayah Selopanggung yang berada di kaki Gunung Wilis tempat di mana Tan Melaka harus meregang nyawa. Keputusasaan sempat berkecamuk ketika gagal mendapatkan informasi seperti apa yang disampaikan Harry A Poeze, yang yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) tentang Tan Malaka di Desa Selopanggung.
Namun berkat kesabaran akhirnya merdeka.com bertemu dengan Syamsuri (45) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998).
Atas jasa Syamsuri itulah, merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu yang sudah agak berkurang pendengarannya itu, kaget ketika penulis datang bertanya tentang rumah kakeknya yang dijadikan tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.
Dan lebih kaget lagi ketika disebutkan nama Tan Malaka. Tolu terdiam sejenak untuk mengambil napas, kemudian dia menghisap rokok klobot (rokok ricikan sendiri) dan dinikmati dengan pelan dan kemudian dari mulutnya keluar perintah kepada anak perempuannya. "Nduk gawekno wedang kopi, iki lho enek tamu," katanya singkat. (Anak perempuanku tolong buatkan kopi untuk tamu).
Setelah kopi dihidangkan, kemudian ia bercerita. "Kala itu saya masih berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir namanya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang melarikan diri dari kejaran Belanda," katanya sambil menikmati rokoknya.
Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat nama-nama pentolannya. "Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus, berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik. Mereka antara lain Letkol Surahmat, Letnan Dua Sukotjo, Soengkono, Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda," imbuhnya.
Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerahmat,dan juga Soengkono saya pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze yang menyatakan Tan Malakaditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade S atas perintah Letnan Dua Sukotjo . Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat.
Hal ini juga diperkuat dalam buku Otobiografi Letkol Soerahmat (Komandan Brigade S, tinggal di Kediri) yang ditulis salah satu putranya Ir Suyudi memang menyebutkan bahwa Brigade Sikatan atau yang lebih dikenal dengan Brigade S adalah yang menembak mati Tan Malaka di Kediri pada 21 Februari 1949.
Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Brigade S atas perintah Petinggi militer di Jawa Timur. Militer menilai seruan Tan Malaka membahayakan stabilitas. SeruanTan Malaka itu terkait penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta pernyataan enggannya elite militer bergerilya.
Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri. Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya merdeka.com mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka.
Dari situlah kemudian dia kembali teringat. "Orang ini adalah orang yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun 1949," jelasnya.
Mengenai di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.
"Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh menandai dengan tulisan "Di sinilah Tempat Hilangnya Datuk Ibrahim/Tan Malaka," katanya.
Sedikit mengingatkan Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan perjuangan yang gigih dia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Di usianya yang masih 16 tahun tepatnya tahun 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 dia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, dia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Januari 1922 dia ditangkap dan dibuang ke Kupang. Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskow dan Belanda.
Tan Malaka, ditawan sebelum meninggal di tangan bangsa sendiri
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 18 Februari 2013 05:02:00
Rasa penasaran itu masih saja berkecamuk. Rasa yang sama mungkin juga dimiliki sejarawan Belanda Harry A Poeze yang menyebutkan Tan Malaka dibunuh di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letnan Dua Sukotjo.
Rasa penasaran itu berujung ketika harus melangkah menuju wilayah Selopanggung yang berada di kaki Gunung Wilis tempat di mana Tan Melaka harus meregang nyawa. Keputusasaan sempat berkecamuk ketika gagal mendapatkan informasi seperti apa yang disampaikan Harry A Poeze, yang yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) tentang Tan Malaka di Desa Selopanggung.
Namun berkat kesabaran akhirnya merdeka.com bertemu dengan Syamsuri (45) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998).
Atas jasa Syamsuri itulah, merdeka.com diajak bertemu dengan Tolu (87) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu yang sudah agak berkurang pendengarannya itu, kaget ketika penulis datang bertanya tentang rumah kakeknya yang dijadikan tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.
Dan lebih kaget lagi ketika disebutkan nama Tan Malaka. Tolu terdiam sejenak untuk mengambil napas, kemudian dia menghisap rokok klobot (rokok ricikan sendiri) dan dinikmati dengan pelan dan kemudian dari mulutnya keluar perintah kepada anak perempuannya. "Nduk gawekno wedang kopi, iki lho enek tamu," katanya singkat. (Anak perempuanku tolong buatkan kopi untuk tamu).
Setelah kopi dihidangkan, kemudian ia bercerita. "Kala itu saya masih berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir namanya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang melarikan diri dari kejaran Belanda," katanya sambil menikmati rokoknya.
Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat nama-nama pentolannya. "Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus, berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik. Mereka antara lain Letkol Surahmat, Letnan Dua Sukotjo, Soengkono, Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda," imbuhnya.
Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerahmat,dan juga Soengkono saya pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze yang menyatakan Tan Malakaditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade S atas perintah Letnan Dua Sukotjo . Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat.
Hal ini juga diperkuat dalam buku Otobiografi Letkol Soerahmat (Komandan Brigade S, tinggal di Kediri) yang ditulis salah satu putranya Ir Suyudi memang menyebutkan bahwa Brigade Sikatan atau yang lebih dikenal dengan Brigade S adalah yang menembak mati Tan Malaka di Kediri pada 21 Februari 1949.
Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Brigade S atas perintah Petinggi militer di Jawa Timur. Militer menilai seruan Tan Malaka membahayakan stabilitas. SeruanTan Malaka itu terkait penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta pernyataan enggannya elite militer bergerilya.
Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri. Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya merdeka.com mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka.
Dari situlah kemudian dia kembali teringat. "Orang ini adalah orang yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun 1949," jelasnya.
Mengenai di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.
"Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh menandai dengan tulisan "Di sinilah Tempat Hilangnya Datuk Ibrahim/Tan Malaka," katanya.
Sedikit mengingatkan Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Dengan perjuangan yang gigih dia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Di usianya yang masih 16 tahun tepatnya tahun 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 dia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.
Tahun 1921, dia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Januari 1922 dia ditangkap dan dibuang ke Kupang. Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskow dan Belanda.
[tts]
Kisah Tan Malaka (2)
Tan Malaka dikubur dua kali, dekat makam Mbah Selopanggung
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 18 Februari 2013 06:07:00
Prof Mohammad Yamin, dalam karyanya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" menulis: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Filipina sebelum revolusi Filipina pecah…."
Inilah bukti bahwa Tan Malaka bukan sosok sembarangan. Dia diakui keberadaannya baik di Indonesia maupun di luar negeri. Berjuang tanpa pamrih bagi kemerdekaan Merah Putih, meski akhirnya harus tewas di tangan bangsanya sendiri.
Tolu (84) lelaki yang menjadi saksi kunci tentang misteri kematian Tan Malaka warga Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri kembali bercerita. Meski agak bersusah payah untuk sekadar mengingat kejadian 64 tahun silam, Tolu tergolong lelaki cerdas. Dengan bantuan nama-nama yang dibawa penulis yakni tentang Brigade S dan foto-foto pasukan Brigade S, Tolu kembali teringat tentang Sutan Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan Tan Malaka lelaki kelahiran Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatra Barat, 2 Juni 1897 itu
"Setelah Pak Dayat menyembunyikan tawanannya yang akhirnya tewas, yang saya duga adalah Sutan Ibrahim. Kemudian pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung setelah setahun bersembunyi. Sebelum meninggalkan desa kami pasukan membakar berkas yang dibawa. Seingat saya ada ratusan buku yang dibakar saat itu. Bahkan saking banyaknya buku itu tidak habis terbakar selama satu minggu," kata Tolu.
Lalu ke mana tawanan Dayat yang kemudian mati itu dikubur setelah pasukan TRI meninggalkan desa? "Saya tidak tahu itu sebab saat itu kami orang desa hanyalah orang suruhan dan hanya bisa membantu yang bisa kami bantu. Misal mengantarkan surat, membuat makanan dan menjaga kerahasiaan keberadaan para anggota TRI ini dari musuh," tambahnya.
Menurut Tolu tawanan yang tewas terbunuh itu tentunya tidak akan dikubur jauh dari desanya. Kemudian dia teringat akan kuburan Mbah Selopanggung orang yang dipercaya kali pertama membabat hutan dan menghuni Desa Selopanggung dan memberikan nama Selopanggung yang berada di dekat batu besar yang tepat berada di belakang rumahnya.
"Kira-kira 50 meter dari lokasi batu besar yang oleh warga setempat diyakini sebagai tempat wingit atau angker ada makam Mbah Selopanggung. Ada dua pohon kamboja tua satu diyakini warga merupakan nisan makam Mbah Selopanggung. Dan ada satu lagi yang usianya di bawah pohon kamboja yang ada di makam Mbah Selopanggung, mungkin itulah makamnya," ungkapnya.
Karena usianya yang lanjut dan kesulitan jalan, akhirnya Tolu meminta tolong kepada Syamsuri mantan Kepala Desa Selopanggung dan Solikin tokoh pemuda setempat untuk mengantarkan penulis ke makam yang dimaksud. Setelah melakukan perjalanan melalui jalan batu terjal yang turun naik di kaki Gunung Wilis kurang lebih 500 meter, akhirnya sampailah di makam yang dimaksud.
Dari kejauhan penulis melihat ada makam dalam sebuah lembah yang terlihat angker. Akhirnya kami turun dengan dipandu Syamsuri. Penulis mengamati satu per satu makam tua yang ada tempat tersebut, memang benar apa yang diceritakan Tolu ada dua pohon kamboja tua di tempat tersebut.
"Itu pohonya yang paling tua adalah makam Mbah Selopanggung orang yang pertama kali membuka daerah ini. Dan ini adalah makam misteri yang yang dimaksudkan Pak Tolu itu," kata Syamsuri menunjukkan makam yang dimaksud yang hanya berjarak tiga meter dari makam Mbah Selopanggung.
Dalam hati kecil saya berkata, sangat dimungkinkan makam tersebut adalah makam Tan Malaka. Sebab jika ditarik garis lurus dengan tempat tinggal Mbah Yasir yang digunakan tempat tinggal pasukan Brigade S, lokasi makam tersebut pas sekali. Dan di situlah patut diduga makam Tan Malaka setelah ditembak mati oleh Letnan Dua Sukotjo yang juga mantan Walikota Surabaya itu.
"Zaman dulu kan belum ada nisan seperti sekarang ini, orang dulu hanya mengingat lokasinya dan biasanya ditandai dengan pohon kamboja," kata Syamsuri.
Keberadaan makam misteri tersebut juga dibenarkan Sukoto (90) warga Selopanggung seangkatan Tolu yang pernah menjadi kurir Brigade Sikatan. "Makam tua hanya satu yakni makam Mbah Selopanggung, seingat saya makam kedua itu muncul setelah pasukan TRI meninggalkan desa kami," kata Sukoto yang ditemui penulis usai mendatangi makam misteri di lembah atau yang lebih dikenal di Selopanggung dengan nama makam ledokan itu.
Penulis sendiri pernah mendampingi Poeze bersama dua keluarga Tan Malaka yakni Zulfikar Kamarudin dan HM Ibarsyah Ishak, SH yang juga Government Relation Pusat Tamadun Melayu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
"Meskipun agak berbau mistis ada dugaan kuat sebelum dikuburkan ke pemakaman yang berada di Ledokan berdekatan dengan makam Mbah Selopanggung yang membuka desa ini,Tan Malaka dikuburkan di lokasi ini, dugaan kami ini kuat, sebab ini juga dalam rangka untuk menghilangkan jejak oleh Pasukan Brigade S," ujar Poeze.
Lokasi yang dimaksudkan Poeze tersebut tepat di timur lokasi di mana berkas-berkas yang dibawa pasukan Brigade S dibakar selama satu minggu tidak habis sebelum akhirnya pasukan Brigade S meninggalkan Desa Selopanggung.
Disinggung tentang lokasi Tan Malaka yang meninggal dan dibunuh di pinggir Sungai Brantas, Desa Petok, Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri, Poeze mambantah keras. "Yang tewas dan dimakamkan di sana itu bukan Tan Malaka tetapi anak buahnya yang berjumlah tiga orang. Dugaan kuat kami Tan Malaka berada di Desa Selopanggung," katanya.
Hingga sekarang pun, di mana makam Tan Malaka pun terus menjadi misteri. Tan Malakamemang menghilang namun namanya tetap dikenang.
tts]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar