Freeport Bikin Sewot (1)
Ekspedisi Wilson berkah Freeport
Reporter : Islahudin
Senin, 18 Februari 2013 07:00:00
Tidak ada yang menyangka buku laporan pendakian puncak Jaya Wijaya, Papua, ditulis oleh Jean Jaques Dozy pada 1936 adalah muasal pertambangan Freeport di Indonesia. Laporan itu menceritakan ketakjubannya melihat keindahan alam Papua. Selain itu, dia terperanjat melihat kandungan logam dan hamparan luas bijih tembaga hingga permukaan. Pemandangan itu sangat tidak lazim untuk wilayah ketinggiaan sampai dia menyebut gunung tembaga (Erstberg) dalam laporan itu.
Sayangnya, laporan bernilai itu terbengkalai di perpustakaan Belanda hingga berdebu. Tidak ada yang menindaklanjuti. Maklum saat terbit, kondisi dunia tidak mendukung, menjelang berkecamuknya Perang Dunia Kedua melibatkan banyak negara, termasuk Belanda.
Pertengahan 1959, revolusi mengatasnamakan rakyat berlangsung di Kuba dipimpin oleh Fidel Castro. Fidel Castro berhasil merebut Kota Havana hingga memaksa rezim diktator Batista hengkang. Kebijakan berubah. Castro segera menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing beroperasi di Kuba, termasuk Freeport Sulphur kala itu siap mengapalkan biji nikel produksi perdana.
Pada Agustus 1959, berlangsung pertemuan antara Forbes Wilson, direktur dan pakar ahli pertambangan Freeport dengan Jan van Fruisen, Direktur Pelaksana East Borneo Company. Dalam rapat itu, Jan van Fruisen bercerita kepada Wilson isi buku Dozy ditemukan dalam kondisi berdebu. Wilson kemudian tertarik dengan laporan Dozy soal gunung tembaga itu.
Wilson dan rombongannya pada februari 1960 mengunjungi lokasi seperti ditulis Dozy. Rombongan ekspedisi ini dibantu oleh suku setempat untuk menjelajahi wilayah pegunungan itu. Hasil penelusuran itu dituangkan dalam buku Conquest of Copper Mountain. Persis Dozy, Wilson menuliskan kekagumannya akan hamparan mineral tidak pernah dia lihat sebelumnya. Dia juga menulis kesannya mengenai Mozes Kilangin, pemuda dari suku Amungme yang menemani dia dalam ekspedisi itu.
Saat mencapai gunung tembaga disebut kawasan Erstberg, dia terperanjat dengan hamparan bijih tembaga di atas permukaan tanah. Dalam bukunya itu, Wilson menyebut wilayah itu sebagai tempat terjadinya mineralisasi tidak lazim di atas ketinggian dua ribu meter dari permukaan laut. Dia memperkirakan kandungan logamnya mencapai 40-50 persen bijih besi, tiga persen tembaga, dan masih terdapat emas dan perak di dalamnya.
Dia melaporkan lewat kabel temuan itu kepada Presiden Freeport Bob Hills di New York, Amerika Serikat. Dia menyebut dari areal 14 hektar, hanya satu hektar tanpa bijih tembaga. Sedangkan kedalaman baru mencapai seratus meter.
Setelah menganalisis laporan Wilson, konsultan tambang Freeport memperkirakan akan mendapat 13 juta ton di atas permukaan dan 14 ton di bawah tanah dengan kedalaman seratus meter. Perlu sekitar USD 60 juta dolar untuk mengeksplorasi kawasan itu. Ongkos produksi saat itu USD 16 sen per pon dan harga jual USD 35 sen saban pon. Dengan begitu, Freeport menduga modal investasi akan balik dalam tiga tahun.
Itulah sebagian dari isi artikel Lisa Pease berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeportdimuat majalah Probe edisi Maret-April 1996. Laporan ini kini tersimpan di National Archieve, Washington DC, Amerika Serikat. National Archieve adalah lembaga independen menyimpan dokumen catatan sejarah dan dokumen. Lembaga ini bertanggung jawab memelihara dan menerbitkan salinan hukum asli dan otoritatif dikeluarkan oleh kongres, pernyataan presiden dan perintah eksekutif, serta federal.
Pimpinan Freeport begitu gembira dengan kemungkinan keuntungan bakal diperoleh. Namun, saat proyek tambang akan dimulai, hubungan Belanda dan Indonesia kian memanas memperebutkan Irian Barat. Akhir 1961, Presiden Soekarno memerintahkan pendaratan pasukan di wilayah itu.
Pihak Freeport semakin jengkel dengan sikap Presiden John Fitgerald Kennedy karena lebih memihak Indonesia. Belum lagi dengan sikap Amerika menghentikan bantuan pemulihan ekonomi Eropa setelah Perang Dunia Kedua (rencana Marshal) untuk Belanda. Freeport sebenarnya lebih cemas kepada Soekarno yang gencar dengan prinsip nasionalisme dan antikolonialisme.
Perserikatan Bangsa-Bangsa lalu turun tangan dan akhirnya memutuskan membentuk pemerintahan transisi di Irian Barat. Kemudian diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, untuk memutuskan apakah rakyat Papua akan memilih bergabung dengan Indonesia atau Belanda.
Dalam laporan Lisa, dua tahun sebelum Pepera, Freeport sudah mendapat Kontrak Karya Pertama pada 50 April 1967. Perjanjian bisnis ini berlaku 30 tahun dan bisa diperpanjang. Lisa juga menemukan Freeport melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan izin dan perpanjangan kontrak karyanya.
Adriana Elisabeth, peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan masalah Freeport sampai saat ini masih gelap dan belum lengkap. "Adanya izin tambang Freeport di Papua itu mengikutsertakan politik tingkat tinggi, maka perlu konfirmasi semua pihak. Kadang orang membicarakan masalah Freeport dengan campur aduk, mulai dari efek Kontrak Karya Pertama hingga masalah pemberdayaan masyarakat. Itu dua masalah panjang dan berbeda," katanya kepada merdeka.com, Rabu pekan lalu.
Pertengahan 1959, revolusi mengatasnamakan rakyat berlangsung di Kuba dipimpin oleh Fidel Castro. Fidel Castro berhasil merebut Kota Havana hingga memaksa rezim diktator Batista hengkang. Kebijakan berubah. Castro segera menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing beroperasi di Kuba, termasuk Freeport Sulphur kala itu siap mengapalkan biji nikel produksi perdana.
Pada Agustus 1959, berlangsung pertemuan antara Forbes Wilson, direktur dan pakar ahli pertambangan Freeport dengan Jan van Fruisen, Direktur Pelaksana East Borneo Company. Dalam rapat itu, Jan van Fruisen bercerita kepada Wilson isi buku Dozy ditemukan dalam kondisi berdebu. Wilson kemudian tertarik dengan laporan Dozy soal gunung tembaga itu.
Wilson dan rombongannya pada februari 1960 mengunjungi lokasi seperti ditulis Dozy. Rombongan ekspedisi ini dibantu oleh suku setempat untuk menjelajahi wilayah pegunungan itu. Hasil penelusuran itu dituangkan dalam buku Conquest of Copper Mountain. Persis Dozy, Wilson menuliskan kekagumannya akan hamparan mineral tidak pernah dia lihat sebelumnya. Dia juga menulis kesannya mengenai Mozes Kilangin, pemuda dari suku Amungme yang menemani dia dalam ekspedisi itu.
Saat mencapai gunung tembaga disebut kawasan Erstberg, dia terperanjat dengan hamparan bijih tembaga di atas permukaan tanah. Dalam bukunya itu, Wilson menyebut wilayah itu sebagai tempat terjadinya mineralisasi tidak lazim di atas ketinggian dua ribu meter dari permukaan laut. Dia memperkirakan kandungan logamnya mencapai 40-50 persen bijih besi, tiga persen tembaga, dan masih terdapat emas dan perak di dalamnya.
Dia melaporkan lewat kabel temuan itu kepada Presiden Freeport Bob Hills di New York, Amerika Serikat. Dia menyebut dari areal 14 hektar, hanya satu hektar tanpa bijih tembaga. Sedangkan kedalaman baru mencapai seratus meter.
Setelah menganalisis laporan Wilson, konsultan tambang Freeport memperkirakan akan mendapat 13 juta ton di atas permukaan dan 14 ton di bawah tanah dengan kedalaman seratus meter. Perlu sekitar USD 60 juta dolar untuk mengeksplorasi kawasan itu. Ongkos produksi saat itu USD 16 sen per pon dan harga jual USD 35 sen saban pon. Dengan begitu, Freeport menduga modal investasi akan balik dalam tiga tahun.
Itulah sebagian dari isi artikel Lisa Pease berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeportdimuat majalah Probe edisi Maret-April 1996. Laporan ini kini tersimpan di National Archieve, Washington DC, Amerika Serikat. National Archieve adalah lembaga independen menyimpan dokumen catatan sejarah dan dokumen. Lembaga ini bertanggung jawab memelihara dan menerbitkan salinan hukum asli dan otoritatif dikeluarkan oleh kongres, pernyataan presiden dan perintah eksekutif, serta federal.
Pimpinan Freeport begitu gembira dengan kemungkinan keuntungan bakal diperoleh. Namun, saat proyek tambang akan dimulai, hubungan Belanda dan Indonesia kian memanas memperebutkan Irian Barat. Akhir 1961, Presiden Soekarno memerintahkan pendaratan pasukan di wilayah itu.
Pihak Freeport semakin jengkel dengan sikap Presiden John Fitgerald Kennedy karena lebih memihak Indonesia. Belum lagi dengan sikap Amerika menghentikan bantuan pemulihan ekonomi Eropa setelah Perang Dunia Kedua (rencana Marshal) untuk Belanda. Freeport sebenarnya lebih cemas kepada Soekarno yang gencar dengan prinsip nasionalisme dan antikolonialisme.
Perserikatan Bangsa-Bangsa lalu turun tangan dan akhirnya memutuskan membentuk pemerintahan transisi di Irian Barat. Kemudian diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, untuk memutuskan apakah rakyat Papua akan memilih bergabung dengan Indonesia atau Belanda.
Dalam laporan Lisa, dua tahun sebelum Pepera, Freeport sudah mendapat Kontrak Karya Pertama pada 50 April 1967. Perjanjian bisnis ini berlaku 30 tahun dan bisa diperpanjang. Lisa juga menemukan Freeport melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan izin dan perpanjangan kontrak karyanya.
Adriana Elisabeth, peneliti Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan masalah Freeport sampai saat ini masih gelap dan belum lengkap. "Adanya izin tambang Freeport di Papua itu mengikutsertakan politik tingkat tinggi, maka perlu konfirmasi semua pihak. Kadang orang membicarakan masalah Freeport dengan campur aduk, mulai dari efek Kontrak Karya Pertama hingga masalah pemberdayaan masyarakat. Itu dua masalah panjang dan berbeda," katanya kepada merdeka.com, Rabu pekan lalu.
[fas]
Freeport Bikin Sewot (2)
Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Asvi menuturkan sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Soeharto yang propemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu. "Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu," kata Asvi saat dihubungi merdeka.com, Kamis malam pekan lalu.
Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus. "Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya," ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.
Soekarno berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.
Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Namun, Asvi menjelaskan usaha pihak luar ingin mendongkel kekuasaan Soekarno tidak kalah kuat.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport dterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis pada awal November 1965, Langbourne Williams, ketua dewan direktur Freeport, menghubungi direktur Freeport, Forbes Wilson. Williams menanyakan apakah Freeport sudah siap melakukan eksploitasi di Papua. Wilson hampir tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa.
Setahun sebelumnya, seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di Eropa. Dalam surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan dalam waktu dekat Indonesia akan beralih ke Barat.
Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai komunis. Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia, setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan.
Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan BBangsa.Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua. Sedangkan dalam telegram berkode Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, menyatakan ada pertemuan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana darurat bila Presiden Soekarno meninggal.
Kelompok dipimpin Jenderal Soeharto bergerak lebih jauh dari rencana itu. Soeharto mendesak Angkatan Darat segera mengambil alih kekuasaan tanpa perlu menunggu Presiden Soekarno berhalangan.
Setelah peristiwa 30 September 1965, keadaan negara berubah total. Usaha Freeport masuk ke Indonesia semakin mudah. Sebagai bukti adalah pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan Indonesia menjadi sangat tergantung terhadap Amerika. "Saya melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu menghancurkan komunis yang konon bantuannya itu dengan senjata," tutur Asvi.
Mendongkel kekuasaan Soekarno
Reporter : Islahudin
Senin, 18 Februari 2013 07:25:00
Pada 1961-an, Presiden Soekarno gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak oleh asing di Indonesia. Sebanyak 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak asing menjadi jatah pemerintah. Kebanyakan gerah dengan peraturan itu.
Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Asvi menuturkan sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Soeharto yang propemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu. "Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu," kata Asvi saat dihubungi merdeka.com, Kamis malam pekan lalu.
Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari Amerika Serikat menemui Soekarno. Pengusaha itu menyatakan keinginannya berinvestasi di Papua. Namun Soekarno menolak secara halus. "Saya sepakat dan itu tawaran menarik. Tapi tidak untuk saat ini, coba tawarkan kepada generasi setelah saya," ujar Asvi menirukan jawaban Soekarno.
Soekarno berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.
Soekarno boleh saja membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Namun, Asvi menjelaskan usaha pihak luar ingin mendongkel kekuasaan Soekarno tidak kalah kuat.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport dterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis pada awal November 1965, Langbourne Williams, ketua dewan direktur Freeport, menghubungi direktur Freeport, Forbes Wilson. Williams menanyakan apakah Freeport sudah siap melakukan eksploitasi di Papua. Wilson hampir tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa.
Setahun sebelumnya, seorang peneliti diberi akses untuk membuka dokumen penting Departemen Luar Negeri Pakistan dan menemukan surat dari duta besar Pakistan di Eropa. Dalam surat per Desember 1964, diplomat itu menyampaikan informasi rahasia dari intel Belanda yang mengatakan dalam waktu dekat Indonesia akan beralih ke Barat.
Lisa menjelaskan maksud dari informasi itu adalah akan terjadi kudeta di Indonesia oleh partai komunis. Sebab itu, angkatan darat memiliki alasan kuat untuk menamatkan Partai Komunis Indonesia, setelah itu membuat Soekarno menjadi tahanan.
Telegram rahasia dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat ke Perserikatan BBangsa.Bangsa pada April 1965 menyebut Freeport Sulphur sudah sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan puncak Erstberg di Papua. Sedangkan dalam telegram berkode Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, menyatakan ada pertemuan pejabat Angkatan Darat Indonesia membahas rencana darurat bila Presiden Soekarno meninggal.
Kelompok dipimpin Jenderal Soeharto bergerak lebih jauh dari rencana itu. Soeharto mendesak Angkatan Darat segera mengambil alih kekuasaan tanpa perlu menunggu Presiden Soekarno berhalangan.
Setelah peristiwa 30 September 1965, keadaan negara berubah total. Usaha Freeport masuk ke Indonesia semakin mudah. Sebagai bukti adalah pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Bukan saja menjadi lembek, bahkan Indonesia menjadi sangat tergantung terhadap Amerika. "Saya melihat seperti balas budi Indonesia ke Amerika Serikat karena telah membantu menghancurkan komunis yang konon bantuannya itu dengan senjata," tutur Asvi.
[fas]
Freeport Bikin Sewot (3)
Tak berdaya hadapi Freeport
Reporter : Wisnoe Moerti
Senin, 18 Februari 2013 07:55:00
Bicara mengenai PT Freeport Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari tiga hal. Pertama, kinerja perusahaan tambang selama ini mengeruk sumber daya alam Indonesia. Kedua, kewajibannya terhadap Indonesia melalui royalti perusahaan kepada negara, dan sikap pemerintah terhadap anak perusahaan Freeport McMoran itu.
Keberadaan dan operasional Freeport Indonesia sejak 1967 hingga kini tak ubahnya mesin pencetak uang bagi perusahaan induknya, yakni Freeport McMoran di Amerika Serikat. Untuk melihat pundi-pundi keuntungan Freeport tidak perlu melihat jauh ke belakang. Tengok saja kinerja perusahaan sepanjang tahun lalu. Freeport Indonesia telah menjual 915.000 ons atau setara 28,6 ton emas dan 716 juta pon (358 ribu ton) tembaga dari tambang Grasberg di Papua. Hasil penjualan emas itu menyumbang 91 persen penjualan emas perusahaan induknya.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport McMoran, total penjualan emas Freeport sebanyak 1,01 juta ons (31,6 ton) emas dan 3,6 miliar pon ( 1,8 juta ton) tembaga. Penjualan tembaga asal Indonesia menyumbang seperlima penjualan komoditas sejenis bagi perusahaan induknya.
Harga komoditas pertambangan memang turun belakangan ini lantaran rendahnya permintaan di pasar dunia. Namun, kondisi ini tidak terlalu berpengaruh terhadap keuntungan perusahaan. Buktinya, laba Freeport naik sekitar 16 persen pada kuartal keempat tahun lalu menjadi USD 743 juta (Rp 7,2 triliun). Total pendapatan juga meningkat menjadi USD 4,51 miliar dari USD 4,16 miliar pada periode sama tahun sebelumnya.
Berangkat dari kinclongnya kinerja Freeport, bagaimana andilnya terhadap Indonesia, negara yang kekayaan alamnya sudah dikeruk hampir setengah abad? Kewajiban Freeport terhadap Indonesia bisa dilihat dari royalti dan dividen. Freeport hanya memberikan royalti satu persen dari hasil penjualan emas dan 3,75 persen masing-masing untuk tembaga dan perak. Kewajiban terbilang sangat rendah dibanding keuntungan diperoleh Freeport.
Kontrak Karya Freeport Indonesia di tambang Garsberg akan habis pada 2021. Freeport mendapat kesempatan memperpanjang kontrak dua kali 10 tahun setelah durasi kontrak pertama, 30 tahun, berakhir. Freeport mendapatkan hak kelola tambang di Mimika pada 1991. Renegosiasi kontrak karya pun mulai diembuskan pemerintah pertengahan tahun lalu. Salah satu poin akan dibahas adalah besaran royalti Freeport.
Sejak pertengahan 2011, wacana renegosiasi kontrak karya Freeport terus bergulir. Saat itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa paling ngotot mendesak Freeport ke meja perundingan. Pemerintah menginginkan royalti Freeport sepuluh persen. Dari ujung timur Indonesia, Freeport menyatakan siap berunding, namun belum sepakat mengenai besaran royalti. "Secara umum telah ada pembahasan keenam pokok renegosiasi. Sudah ada saling pengertian tapi belum sampai pada kesepakatan angka detailnya," kata Direktur Utama Freeport Rozik Soetjipto beberapa waktu lalu.
Kabar dari meja perundingan akhir tahun lalu, kedua pihak disebut-sebut menyepakati besaran royalti emas empat persen. Freeport dikabarkan setuju dengan angka itu, tapi pemerintah ternyata masih pikir-pikir. Renegosiasi pun kembali dilakukan. Setelah hampir satu tahun, hasilnya sudah bisa ditebak. "Renegosiasi sampai saat ini masih tetap berjalan," ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo kepadamerdeka.com, Kamis pekan lalu.
Susilo mengakui alotnya perundingan untuk renegosiasi kontrak karya. Namun dia menegaskan segera menyelesaikan masalah itu. "Karena yang dinegosiasikan banyak. Ada enam poin. Kita harapkan secepatnya bisa diselesaikan. Target pemerintah tahun ini."
Tidak hanya soal royalti, keluhan juga datang terkait dividen buat pemerintah sebagai salah satu pemegang saham Freeport. Pemerintah memiliki 9,36 persen saham Freeport Indonesia. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan telah menyentil Freeport lantaran tidak menepati janji melunasi kekurangan setoran dividen tahun lalu sebesar Rp 350 miliar dari total Rp 1,5 triliun. Nilai dividen 2012 turun 14,77 persen dibanding tahun sebelumnya mencapai Rp 1,76 triliun. Freeport memang pernah membayarkan dividen lebih besar kepada negara, yakni Rp 2,09 triliun pada 2009. Namun sejak 2010 setorannya perlahan mulai turun.
Pemerintah berambisi menguasai saham mayoritas atau melakukan divestasi 51 persen saham Freeport. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengaku kepincut membeli saham Freeport jika perusahaan itu menjual saham mereka. Dia meyakini pembelian saham Freeport akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Pembelian dilakukan sepanjang pemerintah memiliki keuangan mencukupi.
Yang tidak kalah menarik dari keberadaan Freeport di Indonesia adalah sikap pemerintah terhadap perusahaan sudah beroperasi di Indonesia lebih tiga dekade ini. Ketegasan pemerintah seolah setengah hati. Di satu sisi, pemerintah tegas mengejar royalti dan dividen dari Freeport. Namun, di sisi lain, tidak ada ketegasan terkait masa depan kontrak karya Freeport sudah berjalan hampir dua tahun ini.
Beda pejabat, beda pemikiran dan sikap. Rudi Rubiandini, mantan wakil menteri energi kini menjabat Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), pernah mengancam akan mengusir Freeport dari Indonesia jika perundingan kontrak karya tidak menghasilkan kesepakatan menguntungkan Indonesia. "Kalau renegosiasi buntu, pasti putus kontrak," ujar Rudi kepada merdeka.com, Oktober tahun lalu.
Tapi penggantinya, Susilo Siwoutomo, lebih lembek. Dia mengatakan pemerintah tidak berniat memutus kontrak karya Freeport. Terlebih, perusahaan tambang ini sudah lama menjalankan kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. "Tidak (putus kontrak), itu kontrak sudah lama. Namanya renegosiasi selalu alot, tetapi kita masih akan usahakan berbicara terus dengan pihak sana. Semoga saja selesai secepatnya," kata Susilo belum lama ini.
Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro juga tidak yakin pemerintah berani mengusir Freeport. "Untuk memutus jika tidak ada hal dilanggar tentu akan sulit bagi pemerintah," ucapnya.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport McMoran, total penjualan emas Freeport sebanyak 1,01 juta ons (31,6 ton) emas dan 3,6 miliar pon ( 1,8 juta ton) tembaga. Penjualan tembaga asal Indonesia menyumbang seperlima penjualan komoditas sejenis bagi perusahaan induknya.
Harga komoditas pertambangan memang turun belakangan ini lantaran rendahnya permintaan di pasar dunia. Namun, kondisi ini tidak terlalu berpengaruh terhadap keuntungan perusahaan. Buktinya, laba Freeport naik sekitar 16 persen pada kuartal keempat tahun lalu menjadi USD 743 juta (Rp 7,2 triliun). Total pendapatan juga meningkat menjadi USD 4,51 miliar dari USD 4,16 miliar pada periode sama tahun sebelumnya.
Berangkat dari kinclongnya kinerja Freeport, bagaimana andilnya terhadap Indonesia, negara yang kekayaan alamnya sudah dikeruk hampir setengah abad? Kewajiban Freeport terhadap Indonesia bisa dilihat dari royalti dan dividen. Freeport hanya memberikan royalti satu persen dari hasil penjualan emas dan 3,75 persen masing-masing untuk tembaga dan perak. Kewajiban terbilang sangat rendah dibanding keuntungan diperoleh Freeport.
Kontrak Karya Freeport Indonesia di tambang Garsberg akan habis pada 2021. Freeport mendapat kesempatan memperpanjang kontrak dua kali 10 tahun setelah durasi kontrak pertama, 30 tahun, berakhir. Freeport mendapatkan hak kelola tambang di Mimika pada 1991. Renegosiasi kontrak karya pun mulai diembuskan pemerintah pertengahan tahun lalu. Salah satu poin akan dibahas adalah besaran royalti Freeport.
Sejak pertengahan 2011, wacana renegosiasi kontrak karya Freeport terus bergulir. Saat itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa paling ngotot mendesak Freeport ke meja perundingan. Pemerintah menginginkan royalti Freeport sepuluh persen. Dari ujung timur Indonesia, Freeport menyatakan siap berunding, namun belum sepakat mengenai besaran royalti. "Secara umum telah ada pembahasan keenam pokok renegosiasi. Sudah ada saling pengertian tapi belum sampai pada kesepakatan angka detailnya," kata Direktur Utama Freeport Rozik Soetjipto beberapa waktu lalu.
Kabar dari meja perundingan akhir tahun lalu, kedua pihak disebut-sebut menyepakati besaran royalti emas empat persen. Freeport dikabarkan setuju dengan angka itu, tapi pemerintah ternyata masih pikir-pikir. Renegosiasi pun kembali dilakukan. Setelah hampir satu tahun, hasilnya sudah bisa ditebak. "Renegosiasi sampai saat ini masih tetap berjalan," ujar Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo kepadamerdeka.com, Kamis pekan lalu.
Susilo mengakui alotnya perundingan untuk renegosiasi kontrak karya. Namun dia menegaskan segera menyelesaikan masalah itu. "Karena yang dinegosiasikan banyak. Ada enam poin. Kita harapkan secepatnya bisa diselesaikan. Target pemerintah tahun ini."
Tidak hanya soal royalti, keluhan juga datang terkait dividen buat pemerintah sebagai salah satu pemegang saham Freeport. Pemerintah memiliki 9,36 persen saham Freeport Indonesia. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan telah menyentil Freeport lantaran tidak menepati janji melunasi kekurangan setoran dividen tahun lalu sebesar Rp 350 miliar dari total Rp 1,5 triliun. Nilai dividen 2012 turun 14,77 persen dibanding tahun sebelumnya mencapai Rp 1,76 triliun. Freeport memang pernah membayarkan dividen lebih besar kepada negara, yakni Rp 2,09 triliun pada 2009. Namun sejak 2010 setorannya perlahan mulai turun.
Pemerintah berambisi menguasai saham mayoritas atau melakukan divestasi 51 persen saham Freeport. Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengaku kepincut membeli saham Freeport jika perusahaan itu menjual saham mereka. Dia meyakini pembelian saham Freeport akan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Pembelian dilakukan sepanjang pemerintah memiliki keuangan mencukupi.
Yang tidak kalah menarik dari keberadaan Freeport di Indonesia adalah sikap pemerintah terhadap perusahaan sudah beroperasi di Indonesia lebih tiga dekade ini. Ketegasan pemerintah seolah setengah hati. Di satu sisi, pemerintah tegas mengejar royalti dan dividen dari Freeport. Namun, di sisi lain, tidak ada ketegasan terkait masa depan kontrak karya Freeport sudah berjalan hampir dua tahun ini.
Beda pejabat, beda pemikiran dan sikap. Rudi Rubiandini, mantan wakil menteri energi kini menjabat Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), pernah mengancam akan mengusir Freeport dari Indonesia jika perundingan kontrak karya tidak menghasilkan kesepakatan menguntungkan Indonesia. "Kalau renegosiasi buntu, pasti putus kontrak," ujar Rudi kepada merdeka.com, Oktober tahun lalu.
Tapi penggantinya, Susilo Siwoutomo, lebih lembek. Dia mengatakan pemerintah tidak berniat memutus kontrak karya Freeport. Terlebih, perusahaan tambang ini sudah lama menjalankan kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. "Tidak (putus kontrak), itu kontrak sudah lama. Namanya renegosiasi selalu alot, tetapi kita masih akan usahakan berbicara terus dengan pihak sana. Semoga saja selesai secepatnya," kata Susilo belum lama ini.
Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro juga tidak yakin pemerintah berani mengusir Freeport. "Untuk memutus jika tidak ada hal dilanggar tentu akan sulit bagi pemerintah," ucapnya.
[fas]
Freeport Bikin Sewot (4)
Bikin sewot masyarakat adat
Reporter : Mohamad Taufik
Senin, 18 Februari 2013 08:28:00
Konflik antara PT Freeport Indonesia dengan masyarakat adat setempat meletup tujuh tahun setelah penambangan dimulai. Masyarakat empat wilayah adat Suku Amungme (Waa/Banti, Tsinga, Arwanop dan Kwamki), Lemasa, Lemasko, merasa terganggu karena lahan ulayat mereka digarap oleh perusahaan asal Amerika Serikat itu
.
.
Pada 1974, akhirnya warga empat wilayah adat itu menuntut ganti rugi atas pembabatan hutan di atas lahan ulayat mereka. Di tahun sama, dibuatlah perjanjian disebut January Agreement 1974. Sayang, sejak perjanjian dibuat hingga 2000-an, konflik rupanya belum reda. Gangguan keamanan masih terjadi.
Ketua Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara Marwan Batubara dalam buku berjudulMenggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat menyebut pada Februari 1978 terjadi penembakan terhadap seorang polisi. "Insiden ini disebabkan tak dipenuhinya seluruh janji Freeport tertuang dalam January Agreement."
Berikutnya pada Agustus 2002, terjadi penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan Freeport di Timika, Tembagapura, di jalur Mil 62-63. Peristiwa ini menewaskan dua warga Amerika, Ted Bargon dan Ricky Saipar, serta satu warga Indonesia bernama S.S. Bambang Riwanto.
Tahun itu juga Freeport akhirnya berunding dengan warga empat wilayah adat ditengahi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Warga tetap menuntut ganti rugi atas pembukaan hutan di atas lahan ulayat. Konflik antara warga dan Freeport hingga kini belum selesai.
Ketua Koordinasi Nasional Papua Solidarity (NAPAS) Martaen Goo, beberapa waktu lalu mengatakan akar konflik Papua adalah kehadiran PT Freeport. Aparat keamanan diduga memanfaatkan Freeport untuk menarik uang keamanan, sedangkan warga Papua tidak mendapat kesejahteraan apa-apa. "Freeport juga membuat tanah Papua kotor. Alam rusak," kata dia.
Hubungan antara Freeport dengan pemerintah Indonesia juga meriang. Pemerintah menuntut renegosiasi kontrak karya penambangan. Namun Freeport McMoran sempat menolak renegosiasi. Bahkan mereka sempat mengancam membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional.
Belakangan, perusahaan tambang terbesar di dunia itu melunak. Freeport mengaku siap melakukan renegosiasi dengan pemerintah. Namun mereka masih mencari formula cocok agar tercipta kesepakatan yang baik. "Perusahaan juga memahami itu dan mendukung," kata Direktur Utama Freeport Rozik Soetjipto.
Komisaris Independen PT Freeport Indonesia Marzuki Darusman mengatakan renegosiasi berjalan baik. Freeport juga masih mempelajari tuntutan pemerintah soal royalti sepuluh persen. "Pajak badan yang diwajibkan, ini semua dalam proses perundingan. Angka beredar harus dirundingkan, enggak ada target spesifik."
Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini, besaran itu berdasarkan permintaan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Dia mengakui angka itu terlalu tinggi. "Namanya juga usaha. tawar menawar. Tetapi tidak hanya untuk Freeport, ini berlaku buat semua," ujarnya.
Ketua Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara Marwan Batubara dalam buku berjudulMenggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat menyebut pada Februari 1978 terjadi penembakan terhadap seorang polisi. "Insiden ini disebabkan tak dipenuhinya seluruh janji Freeport tertuang dalam January Agreement."
Berikutnya pada Agustus 2002, terjadi penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan Freeport di Timika, Tembagapura, di jalur Mil 62-63. Peristiwa ini menewaskan dua warga Amerika, Ted Bargon dan Ricky Saipar, serta satu warga Indonesia bernama S.S. Bambang Riwanto.
Tahun itu juga Freeport akhirnya berunding dengan warga empat wilayah adat ditengahi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Warga tetap menuntut ganti rugi atas pembukaan hutan di atas lahan ulayat. Konflik antara warga dan Freeport hingga kini belum selesai.
Ketua Koordinasi Nasional Papua Solidarity (NAPAS) Martaen Goo, beberapa waktu lalu mengatakan akar konflik Papua adalah kehadiran PT Freeport. Aparat keamanan diduga memanfaatkan Freeport untuk menarik uang keamanan, sedangkan warga Papua tidak mendapat kesejahteraan apa-apa. "Freeport juga membuat tanah Papua kotor. Alam rusak," kata dia.
Hubungan antara Freeport dengan pemerintah Indonesia juga meriang. Pemerintah menuntut renegosiasi kontrak karya penambangan. Namun Freeport McMoran sempat menolak renegosiasi. Bahkan mereka sempat mengancam membawa kasus ini ke Pengadilan Arbitrase Internasional.
Belakangan, perusahaan tambang terbesar di dunia itu melunak. Freeport mengaku siap melakukan renegosiasi dengan pemerintah. Namun mereka masih mencari formula cocok agar tercipta kesepakatan yang baik. "Perusahaan juga memahami itu dan mendukung," kata Direktur Utama Freeport Rozik Soetjipto.
Komisaris Independen PT Freeport Indonesia Marzuki Darusman mengatakan renegosiasi berjalan baik. Freeport juga masih mempelajari tuntutan pemerintah soal royalti sepuluh persen. "Pajak badan yang diwajibkan, ini semua dalam proses perundingan. Angka beredar harus dirundingkan, enggak ada target spesifik."
Menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini, besaran itu berdasarkan permintaan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Dia mengakui angka itu terlalu tinggi. "Namanya juga usaha. tawar menawar. Tetapi tidak hanya untuk Freeport, ini berlaku buat semua," ujarnya.
[fas]
Freeport Bikin Sewot (5)
Talak buat Freeport congkak
Reporter : Mohamad Taufik
Senin, 18 Februari 2013 08:54:00
Sejak 1967 hingga kini PT Freeport Indonesia (PTFI) masih menggangsir bumi Papua, menambang emas, perak, dan tembaga. Selama hampir setengah abad itu telah muncul pelbagai masalah, terutama menyangkut jatah penerimaan negara karena kurang optimal. Masalah lain ihwal minimnya peran negara, terutama Badan Usaha Milik Negara, untuk ikut mengelola tambang dikuasai Freeport McMoran di daerah Mimika, Papua, itu.
Rupa-rupa persoalan itu mengakibatkan desakan terhadap pemerintah melakukan renegosiasi kontrak karya agar lebih menguntungkan negara dan rakyat Papua. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara, Freeport merasa dirinya digdaya karena di bawah bendera Amerika Serikat. "Karena merasa adidaya tidak mau mengubah kontrak," kata Marwan ketika dihubungi merdeka.com lewat telepon seluler, Kamis pekan lalu.
Dia menjelaskan setelah Freeport McMoran menikmati keuntungan besar, mereka seperti emoh membagi keuntungan lebih banyak dengan pemerintah. Kontrak karya itu pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pertambangan. Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali diteken dan berlaku 30 tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun.
Pemerintah meminta renegosiasi kontrak karya itu. Sebab beleid baru tentang pertambangan sudah lahir, yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentan Minerba. Namun Freeport tidak mau mengubah kontrak sesuai akta itu. "Mereka mengancam bakal memperkarakan ke pengadilan arbitrase internasional. Jadi persoalannya lebih pada arogansi kekuasaan. Di sisi lain, pemimpin kita pengecut," Marwan menegaskan.
Padahal dampak penambangan terhadap lingkungan juga signifikan. Misal, rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah mengubah bentang alam seluas 166 kilometer persegi di daerah aliran sungai Ajkwa. Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui sungai itu. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura.
Marwan pernah melaporkan kerusakan lingkungan ini semasa dia menjabat Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara. Laporan itu dibukukan dan diberi judul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat. Menurut dia, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, didalamnya termasuk 50 persen cadangan emas di kepulauan Indonesia.
Namun, dari hasil eksploitasi itu, hanya sebagian kecil pendapatan masuk ke kas negara dibanding keuntungan diperoleh perusahaan. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Apalagi sejak 1967 hingga 1994 Freeport hanya melapor sebagai penambang tembaga. Baru pada 1995 mereka mengaku menambang emas di Papua.
Celakanya, volume emas ditambang selama 21 tahun itu tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR Komisi VII bidang Pertambangan sempat mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Dewan curiga jumlah emas diperkirakan 2,16-2,5 miliar ton.
DPR juga tidak percaya data kandungan konsentrat diinformasikan sepihak oleh Freeport. Dewan berkesimpulan negara telah dirugikan lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan serius. Lalu bagaimana sekarang? "Pemerintah didukung DPR mestinya punya sikap tegas, berani memberikan sanksi. Misalnya, kalau Freport tidak mau renegosiasi, sanksinya mohon maaf, anda (Freeport) silakan pergi dulu."
Dampak sanksi pengusiran terhadap Freeport pasti akan besar. Misalnya, akan ada ratusan bahkan ribuan orang kehilangan pekerjaan, kemudian pendapatan negara berkurang. Tetapi tidak apa-apa kalau memang negara mau berdaulat. Sebagai pilihan terakhir, sanksi tegas memang harus diberikan. Namun sebelum memberikan sanksi pemerintah harus membuat langkah antisipatif lebih dulu.
"Sebelum sanksi pengusiran, masih ada negosiasi intensif. Masalahnya sekarang yang didorong hanya dirjen, kenapa tidak menteri atau presiden. Soalnya Freeport ini Amerika, butuh presiden langsung bernegosiasi, kita butuh pemimpin tegas," kata Marwan, yang juga mantan Anggota DPR periode 2004-2009.
Rupa-rupa persoalan itu mengakibatkan desakan terhadap pemerintah melakukan renegosiasi kontrak karya agar lebih menguntungkan negara dan rakyat Papua. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara, Freeport merasa dirinya digdaya karena di bawah bendera Amerika Serikat. "Karena merasa adidaya tidak mau mengubah kontrak," kata Marwan ketika dihubungi merdeka.com lewat telepon seluler, Kamis pekan lalu.
Dia menjelaskan setelah Freeport McMoran menikmati keuntungan besar, mereka seperti emoh membagi keuntungan lebih banyak dengan pemerintah. Kontrak karya itu pertama kali ditandatangani pada 1967 berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pertambangan. Berikutnya pada 1991 kontrak karya kedua kembali diteken dan berlaku 30 tahun mendatang, dengan opsi perpanjangan dua kali, masing-masing 10 tahun.
Pemerintah meminta renegosiasi kontrak karya itu. Sebab beleid baru tentang pertambangan sudah lahir, yakni Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentan Minerba. Namun Freeport tidak mau mengubah kontrak sesuai akta itu. "Mereka mengancam bakal memperkarakan ke pengadilan arbitrase internasional. Jadi persoalannya lebih pada arogansi kekuasaan. Di sisi lain, pemimpin kita pengecut," Marwan menegaskan.
Padahal dampak penambangan terhadap lingkungan juga signifikan. Misal, rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan telah mengubah bentang alam seluas 166 kilometer persegi di daerah aliran sungai Ajkwa. Freeport telah membuang tailing dengan kategori limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) melalui sungai itu. Limbah ini telah mencapai pesisir laut Arafura.
Marwan pernah melaporkan kerusakan lingkungan ini semasa dia menjabat Ketua Komite Penyelamat Kekayaan Negara. Laporan itu dibukukan dan diberi judul Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Negara Berdaulat. Menurut dia, Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, didalamnya termasuk 50 persen cadangan emas di kepulauan Indonesia.
Namun, dari hasil eksploitasi itu, hanya sebagian kecil pendapatan masuk ke kas negara dibanding keuntungan diperoleh perusahaan. Kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan. Apalagi sejak 1967 hingga 1994 Freeport hanya melapor sebagai penambang tembaga. Baru pada 1995 mereka mengaku menambang emas di Papua.
Celakanya, volume emas ditambang selama 21 tahun itu tidak pernah diketahui publik, bahkan oleh orang Papua sendiri. Panitia kerja Freeport dan beberapa anggota DPR Komisi VII bidang Pertambangan sempat mencurigai telah terjadi manipulasi dana atas potensi produksi emas Freeport. Dewan curiga jumlah emas diperkirakan 2,16-2,5 miliar ton.
DPR juga tidak percaya data kandungan konsentrat diinformasikan sepihak oleh Freeport. Dewan berkesimpulan negara telah dirugikan lebih dari 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan serius. Lalu bagaimana sekarang? "Pemerintah didukung DPR mestinya punya sikap tegas, berani memberikan sanksi. Misalnya, kalau Freport tidak mau renegosiasi, sanksinya mohon maaf, anda (Freeport) silakan pergi dulu."
Dampak sanksi pengusiran terhadap Freeport pasti akan besar. Misalnya, akan ada ratusan bahkan ribuan orang kehilangan pekerjaan, kemudian pendapatan negara berkurang. Tetapi tidak apa-apa kalau memang negara mau berdaulat. Sebagai pilihan terakhir, sanksi tegas memang harus diberikan. Namun sebelum memberikan sanksi pemerintah harus membuat langkah antisipatif lebih dulu.
"Sebelum sanksi pengusiran, masih ada negosiasi intensif. Masalahnya sekarang yang didorong hanya dirjen, kenapa tidak menteri atau presiden. Soalnya Freeport ini Amerika, butuh presiden langsung bernegosiasi, kita butuh pemimpin tegas," kata Marwan, yang juga mantan Anggota DPR periode 2004-2009.
[fas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar