Overste Soeharto gagal pertahankan Yogya dari Belanda
Reporter : Ramadhian Fadillah
Rabu, 19 Desember 2012 07:40:00
Agresi militer II Belanda tanggal 19 Desember 1948 merebut Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia kala itu. Kurang dari 12 jam, pasukan Belanda berhasil menguasai Kota Yogya, menangkap Presiden Soekarno, Wapres Mohammad Hatta dan pejabat lain. Komandan Brigade X Wehrkreise III Overste Soeharto gagal mempertahankan Yogyakarta.
Kegagalan ini diakui Soeharto sendiri. Saat itu memang banyak tentara di Yogya, tetapi sesuai konsep perang gerilya, masing-masing satuan sudah memiliki tugas sendiri-sendiri. Pasukan dari Divisi Siliwangi misalnya, harus kembali ke Jawa Barat begitu Belanda melanggar perjanjian dan menyerang Yogya. Mereka harus kembali ke daerah asalnya untuk mengobarkan perang gerilya di sana.
Selain itu TNI telah menggeser pasukan untuk latihan perang di luar kota Yogyakarta. Ditambah lagi fokus TNI lebih menjaga sebagian garis demarkasi, daerah Republik Indonesia yang berbatasan dengan kekuasaan Belanda. Sesuai perjanjian Renville, kekuasaan Republik Indonesia hanya Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera.
Maka ketika Belanda menyerang lewat udara, dengan menerjunkan pasukan payung, TNI kaget. Mereka sama sekali tidak siap mengadakan perlawanan.
Dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour dan diterbitkan Kompas, Soeharto mengaku hanya mempunyai kekuatan 100 orang atau satu kompi untuk mempertahankan Yogya. Sisa pasukannya berada di Purworedjo dan Gombong.
Satu kompi ini tentu bukan tandingan 200 personel pasukan para komando baret merah Korps SpecialeTroepen (KST), ditambah 2.600 pasukan baret hijau Belanda serta pasukan pendukung lain yang dilengkapi dengan panser dan bantuan serangan udara.
Maka Overste Soeharto hanya berusaha menahan laju pasukan musuh agar pemerintah RI bisamembumi hanguskan Yogyakarta dan memusnahkan dokumen penting. Dia sadar satu kompi pasukan tak akan bisa lama menahan pasukan komando Belanda yang terlatih dan bersenjata lengkap.
"Pada saat saya melakukan penghambatan, hati saya sangat prihatin, karena seolah-olah Ibu Kota Perjuangan bisa direbut tentara Belanda begitu saja. Tetapi, apa boleh buat? Oleh karena saya tidak punya pasukan. Dengan demikian saya bisa ikut merasakan betapa kecewanya rakyat Djokjakarta waktu itu terhadap Brigade X, Brigade yang saya pimpin," aku Soeharto.
Sejarawan Petrik Matanasi juga mengaku heran mengapa Yogyakarta bisa dengan mudah direbut Belanda.Tapi memang saat itu kekuatan sangat tidak berimbang. Selain itu faktor serangan dadakan Operatie Kraai juga menjadi salah satu kunci sukses.
"Tapi jika disatukan pun seluruh kekuatan TNI yang ada tak akan mampu menghadapi gempuran dari tiga jurusan, utara, barat dan timur. Serangan ini tak diduga oleh Republik yang percaya dengan perjanjian Renville. Ini yang membuat republik seolah kurang waspada," kata Petrik.
Soeharto menyimpan dendam atas kekalahannya di 19 Desember 1948.
Kelak Soeharto juga yang akan memimpin serangan balasan TNI dalam Serangan Oemom 1 Maret 1949.Serangan mendadak itu berhasil membuka mata dunia kalau TNI masih ada dan terorganisir. Mendobrak propaganda Belanda yang menyatakan Indonesia sudah bubar. Overste Soeharto berhasil membalas dendam kekalahannya.
Kegagalan ini diakui Soeharto sendiri. Saat itu memang banyak tentara di Yogya, tetapi sesuai konsep perang gerilya, masing-masing satuan sudah memiliki tugas sendiri-sendiri. Pasukan dari Divisi Siliwangi misalnya, harus kembali ke Jawa Barat begitu Belanda melanggar perjanjian dan menyerang Yogya. Mereka harus kembali ke daerah asalnya untuk mengobarkan perang gerilya di sana.
Selain itu TNI telah menggeser pasukan untuk latihan perang di luar kota Yogyakarta. Ditambah lagi fokus TNI lebih menjaga sebagian garis demarkasi, daerah Republik Indonesia yang berbatasan dengan kekuasaan Belanda. Sesuai perjanjian Renville, kekuasaan Republik Indonesia hanya Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sumatera.
Maka ketika Belanda menyerang lewat udara, dengan menerjunkan pasukan payung, TNI kaget. Mereka sama sekali tidak siap mengadakan perlawanan.
Dalam buku Doorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour dan diterbitkan Kompas, Soeharto mengaku hanya mempunyai kekuatan 100 orang atau satu kompi untuk mempertahankan Yogya. Sisa pasukannya berada di Purworedjo dan Gombong.
Satu kompi ini tentu bukan tandingan 200 personel pasukan para komando baret merah Korps SpecialeTroepen (KST), ditambah 2.600 pasukan baret hijau Belanda serta pasukan pendukung lain yang dilengkapi dengan panser dan bantuan serangan udara.
Maka Overste Soeharto hanya berusaha menahan laju pasukan musuh agar pemerintah RI bisamembumi hanguskan Yogyakarta dan memusnahkan dokumen penting. Dia sadar satu kompi pasukan tak akan bisa lama menahan pasukan komando Belanda yang terlatih dan bersenjata lengkap.
"Pada saat saya melakukan penghambatan, hati saya sangat prihatin, karena seolah-olah Ibu Kota Perjuangan bisa direbut tentara Belanda begitu saja. Tetapi, apa boleh buat? Oleh karena saya tidak punya pasukan. Dengan demikian saya bisa ikut merasakan betapa kecewanya rakyat Djokjakarta waktu itu terhadap Brigade X, Brigade yang saya pimpin," aku Soeharto.
Sejarawan Petrik Matanasi juga mengaku heran mengapa Yogyakarta bisa dengan mudah direbut Belanda.Tapi memang saat itu kekuatan sangat tidak berimbang. Selain itu faktor serangan dadakan Operatie Kraai juga menjadi salah satu kunci sukses.
"Tapi jika disatukan pun seluruh kekuatan TNI yang ada tak akan mampu menghadapi gempuran dari tiga jurusan, utara, barat dan timur. Serangan ini tak diduga oleh Republik yang percaya dengan perjanjian Renville. Ini yang membuat republik seolah kurang waspada," kata Petrik.
Soeharto menyimpan dendam atas kekalahannya di 19 Desember 1948.
Kelak Soeharto juga yang akan memimpin serangan balasan TNI dalam Serangan Oemom 1 Maret 1949.Serangan mendadak itu berhasil membuka mata dunia kalau TNI masih ada dan terorganisir. Mendobrak propaganda Belanda yang menyatakan Indonesia sudah bubar. Overste Soeharto berhasil membalas dendam kekalahannya.
[ian]
KOMENTAR:Belanda menyerang Jogja setelah "Peristiwa Madiun" apakah ada konspirasi disini setelah politik memecah belah(devide et impera) kekuatan Pejuang Kemerdekaan dengan mudah menguasai Jogja
KOMENTAR:Belanda menyerang Jogja setelah "Peristiwa Madiun" apakah ada konspirasi disini setelah politik memecah belah(devide et impera) kekuatan Pejuang Kemerdekaan dengan mudah menguasai Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar