19 Desember 1948, serangan pengecut Belanda merebut Yogya
Reporter : Ramadhian Fadillah
Rabu, 19 Desember 2012 07:03:00
Dini hari 19 Desember 1948, kehidupan di Yogyakarta baru saja menggeliat. Tiba-tiba sekitar pukul 05.00 WIB,rakyat dikejutkan deru belasan pesawat tempur meraung-raung di atas Yogya. Lima menit kemudian, ledakan keras terdengar dari Lapangan Udara Maguwo. Pesawat pembom B-25 Mitchell, F-51 Mustang dan P-40L Kitty Hawks menghujani Maguwo dengan bom dan tembakan senapan mesin.
Setelah itu, dua kompi pasukan elite Korps Speciale Tropen (KST) diterjunkan dari belasan pesawatDakota. Pasukan baret merah andalan Belanda ini diterbangkan dari Lapangan Udara Andir Bandung. Pasukan baret merah ini dipimpin Kapten Eekhout. Tugas mereka sebagai pasukan pendobrak. Mengamankan wilayah Maguwo dan sekitarnya agar pesawat angkut Belanda bisa mendarat dengan aman.
Serangan di pagi hari tersebut merupakan pembuka Operatie Kraai atau operasi gagak. Dalam bukuDoorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour terbitan Kompas, dijelaskan secara detil soalserangan Belanda ke Yogya ini.
Adalah Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima Koninklijk Nederlands Indisch Leger, pemimpin dan otak seluruh serangan yang kelak dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda kedua ini. Belanda menyebut aksi ini sebagai aksi polisionil untuk mengamankan para perusuh di wilayah kekuasaannya.
Serangan Spoor ini melanggar perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang menyebutkan Belanda mengakui wilayah Indonesia yang meliputi Jawa Tengah, Yogya dan Sumatera.
Tapi bukan sekali ini saja Belanda melanggar perjanjian. Saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947, mereka juga melanggar Perjanjian Linggarjati. Agaknya melanggar hasil perjanjian memang sudah jadi kebiasaan Belanda. Belanda tak malu menjajah Indonesia yang sudah merdeka. Mereka lupa pahitnya dijajah Jerman saat Perang Dunia II.
Sama seperti Agresi militer Belanda I, pihak Republik pun tak siap menerima serangan Belanda. Indonesia terlalu mempercayai kesepakatan di atas kertas.
Indonesia sama sekali tidak menyangka akan ada serangan, apalagi ada perwakilan Komisi Tiga Negara(KTN) dari Australia dan Amerika Serikat yang mengawasi hasil perundingan Renville di Yogyakarta. Tapi ternyata Belanda nekat menyerang saat Indonesia tengah disorot dunia.
Belanda juga tidak mengumumkan perang. Mereka mengumumkan perang setelah pasukan komandonyamenyerbu Maguwo. Maka saat ada serangan di Maguwo, Indonesia baru sadar lagi-lagi Belanda mengkhianati perjanjian.
Pertempuran tidak seimbang terjadi antara KST dengan prajurit Angkatan Oedara Republik Indonesia di Maguwo. 150 Tentara Indonesia dengan persenjataan seadanya bukan tandingan KST baret merah yang punya kemampuan tempur tinggi. Apalagi persenjataan berat milik TNI sudah diangkut dari Maguwo sebelumnya untuk keperluan latihan perang.
40 Tentara republik gugur dalam waktu singkat. Di pihak lawan, tak ada seorang pun tewas. Belanda juga menghancurkan beberapa pesawat warisan Jepang yang diparkir di hanggar.
Setelah menerjunkan pasukan baret merah, pesawat Dakota Belanda terbang ke Lapangan Udara Kalibanteng,Semarang untuk menjemput pasukan baret hijau. Operasi militer Belanda ini bisa dibilang sempurna. Dalam waktu singkat pesawat C-47 Dakota secara terus menerus mendaratkan pasukan baret hijau Belanda di Maguwo. Total ada 126 sorti penerbangan untuk menghubungkan Kalibanteng dan Maguwo. Sekitar dua batalyon pasukan komando ini dipimpin Letnan Kolonel Van Beek. Komandan Brigade Tijger, Kolonel Van Langen juga ikut dalam penyerbuan yang melibatkan 2.600 pasukan ini.
Selain pasukan elite baret merah dan baret hijau, Belanda juga mengerahkan tank ringan, panser dankendaraan lapis baja lain. Dipandang dari segi militer, Jenderal Spoor boleh bangga akan keberhasilan pasukannya yang dalam waktu singkat merebut Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu.
"Setidaknya, Tentara Belanda punya sekitar 3 divisi KL, 23 Batalyon Infanteri KNIL yang didukungKaveleri, Artileri, Zeni, Pesawat Tempur dan lain-lain. Kita bisa perkirakan tentara Belanda punya persenjataan yang lengkap. Jauh lebih lengkap ketimbang TNI," kata sejarawan militer Petrik Matanasi kepada merdeka.com.
Selain itu, TNI belum terlatih untuk menghadapi serbuan pasukan para komando yang mengandalkan unsurpendadakan dan kecepatan. TNI mungkin menang jumlah, tapi sistem organisasi TNI belum serapi sekarang.
"Jumlah TNI jika digabungkan dengan laskar saya kira banyak. Namun, pasukan TNI yang minim peralatan tentu sulit digerakan secara mobil. Pasukan TNI menyebar di banyak daerah.
Maka tanpa perlawanan berarti, para penyerang langsung ngebut menuju Istana Presiden. Sebelum hari beranjak petang mereka menguasai Yogyakarta.
Jenderal Spoor mengacungkan jempol atas prestasi pasukannya. "Republik tinggal cerita," kata panglima perang andalan Belanda ini.
Tapi Spoor tidak tahu kalau kisah ini justru baru dimulai.
Serangan di pagi hari tersebut merupakan pembuka Operatie Kraai atau operasi gagak. Dalam bukuDoorstot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour terbitan Kompas, dijelaskan secara detil soalserangan Belanda ke Yogya ini.
Adalah Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima Koninklijk Nederlands Indisch Leger, pemimpin dan otak seluruh serangan yang kelak dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda kedua ini. Belanda menyebut aksi ini sebagai aksi polisionil untuk mengamankan para perusuh di wilayah kekuasaannya.
Serangan Spoor ini melanggar perjanjian Renville 17 Januari 1948 yang menyebutkan Belanda mengakui wilayah Indonesia yang meliputi Jawa Tengah, Yogya dan Sumatera.
Tapi bukan sekali ini saja Belanda melanggar perjanjian. Saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947, mereka juga melanggar Perjanjian Linggarjati. Agaknya melanggar hasil perjanjian memang sudah jadi kebiasaan Belanda. Belanda tak malu menjajah Indonesia yang sudah merdeka. Mereka lupa pahitnya dijajah Jerman saat Perang Dunia II.
Sama seperti Agresi militer Belanda I, pihak Republik pun tak siap menerima serangan Belanda. Indonesia terlalu mempercayai kesepakatan di atas kertas.
Indonesia sama sekali tidak menyangka akan ada serangan, apalagi ada perwakilan Komisi Tiga Negara(KTN) dari Australia dan Amerika Serikat yang mengawasi hasil perundingan Renville di Yogyakarta. Tapi ternyata Belanda nekat menyerang saat Indonesia tengah disorot dunia.
Belanda juga tidak mengumumkan perang. Mereka mengumumkan perang setelah pasukan komandonyamenyerbu Maguwo. Maka saat ada serangan di Maguwo, Indonesia baru sadar lagi-lagi Belanda mengkhianati perjanjian.
Pertempuran tidak seimbang terjadi antara KST dengan prajurit Angkatan Oedara Republik Indonesia di Maguwo. 150 Tentara Indonesia dengan persenjataan seadanya bukan tandingan KST baret merah yang punya kemampuan tempur tinggi. Apalagi persenjataan berat milik TNI sudah diangkut dari Maguwo sebelumnya untuk keperluan latihan perang.
40 Tentara republik gugur dalam waktu singkat. Di pihak lawan, tak ada seorang pun tewas. Belanda juga menghancurkan beberapa pesawat warisan Jepang yang diparkir di hanggar.
Setelah menerjunkan pasukan baret merah, pesawat Dakota Belanda terbang ke Lapangan Udara Kalibanteng,Semarang untuk menjemput pasukan baret hijau. Operasi militer Belanda ini bisa dibilang sempurna. Dalam waktu singkat pesawat C-47 Dakota secara terus menerus mendaratkan pasukan baret hijau Belanda di Maguwo. Total ada 126 sorti penerbangan untuk menghubungkan Kalibanteng dan Maguwo. Sekitar dua batalyon pasukan komando ini dipimpin Letnan Kolonel Van Beek. Komandan Brigade Tijger, Kolonel Van Langen juga ikut dalam penyerbuan yang melibatkan 2.600 pasukan ini.
Selain pasukan elite baret merah dan baret hijau, Belanda juga mengerahkan tank ringan, panser dankendaraan lapis baja lain. Dipandang dari segi militer, Jenderal Spoor boleh bangga akan keberhasilan pasukannya yang dalam waktu singkat merebut Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu.
"Setidaknya, Tentara Belanda punya sekitar 3 divisi KL, 23 Batalyon Infanteri KNIL yang didukungKaveleri, Artileri, Zeni, Pesawat Tempur dan lain-lain. Kita bisa perkirakan tentara Belanda punya persenjataan yang lengkap. Jauh lebih lengkap ketimbang TNI," kata sejarawan militer Petrik Matanasi kepada merdeka.com.
Selain itu, TNI belum terlatih untuk menghadapi serbuan pasukan para komando yang mengandalkan unsurpendadakan dan kecepatan. TNI mungkin menang jumlah, tapi sistem organisasi TNI belum serapi sekarang.
"Jumlah TNI jika digabungkan dengan laskar saya kira banyak. Namun, pasukan TNI yang minim peralatan tentu sulit digerakan secara mobil. Pasukan TNI menyebar di banyak daerah.
Maka tanpa perlawanan berarti, para penyerang langsung ngebut menuju Istana Presiden. Sebelum hari beranjak petang mereka menguasai Yogyakarta.
Jenderal Spoor mengacungkan jempol atas prestasi pasukannya. "Republik tinggal cerita," kata panglima perang andalan Belanda ini.
Tapi Spoor tidak tahu kalau kisah ini justru baru dimulai.
[ian]
KOMENTAR:Belanda menyerang Jogja setelah "Peristiwa Madiun" apakah ada konspirasi disini setelah politik memecah belah(devide et impera) kekuatan Pejuang Kemerdekaan dengan mudah menguasai Jogja
KOMENTAR:Belanda menyerang Jogja setelah "Peristiwa Madiun" apakah ada konspirasi disini setelah politik memecah belah(devide et impera) kekuatan Pejuang Kemerdekaan dengan mudah menguasai Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar