Benang Merah Pidato Bung Karno
Orang boleh saja mengatakan, Bung Karno dilahirkan oleh zaman. Atau sah-saja anggapan yang mengatakan bahwa Bung Karno adalah manusia pilihan Tuhan untuk Indonesia merdeka. Bahkan, harus kita maklumi juga pendapat yang mengatakan, Bung Karno lahir karena kebetulan.
Lepas dari itu, saya hanya ingin menyampaikan catatan sejarah tentang pemimpin dan kepemimpinan Bung Karno, setidaknya yang tertuang dalam pidato-pidato kenegaraannya. Saya akan cuplikkan pidato-pidato Bung Karno per lima tahun. Tulisan pertama ini, adalah nukilan Pidato Bung Karno pada peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1945 – 1950.
1945 (17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia)
“Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib-tanah-air di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.”
1946 (Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!)
“Kita cinta damai, tetapi kita lebih lagi cinta kemerdekaan.”
1947 (Rawe-rawe Rantas, Malang-malang Putung)
“Kutegaskan: Kita tidak mau dimakan. Dus, kita melawan!…. Sesudah Belanda menggempur… mulailah ia dengan politiknya devide et impera, politiknya memecah-belah… maka kita bangsa Indonesia harus bersemboyan bersatu, berjuang, berkuasa!
1948 (Seluruh Nusantara Berjiwa Republik)
“Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangunkan soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-merdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal… Bersatulah. Bhinneka Tunggal Ika. kalau mau dipersatukan, tentulah bersatu pula!”
1949 (Tetaplah Bersemangat Elang-Rajawali!)
“Kita belum hidup di dalam sinar bulan yang purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang-rajawali!”
1950 (Dari Sabang Sampai Merauke)
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya si tiga warna. Selama masih ada ratap-tangis digubuk-gubuk, belumlah pekerjaan kita selesai!…. Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat.”
Tidak menggambarkan isi pidato secara keseluruhan, memang, tetapi saya rasa cocok untuk sumber inspirasi setelah membaca postingan ini. Merdeka!!! (roso daras – Bersambung)
Berikut nukilan pidato Bung Karno, sebagai kelanjutan dari posting judul yang sama sebelumnya. Sekali lagi, nukilan ini cukup penting, setidaknya guna menarik satu benang merah, tentang alur pikir, konsepsi, dan garis perjuangan Bung Karno, khususnya setelah dia berhasil memerdekakan bangsa Indonesia serta memimpin bangsa ini sebagai Presiden.
1951: Capailah Tata-Tentrem-Kerta-Raharja
“Adakanlah koordinasi, adakanlan simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan-sendiri dan kepentingan-umum, dan janganlah kepentingan-sendiri itu dimenangkan di atas kepentingan-umum!”.
1952: Harapan dan Kenyataan
“Kembali kepada jiwa proklamasi… kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa merdeka-nasional… kedua jiwa ikhlas… ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangun”.
1953: Jadilah Alat Sejarah!
“Bakat persatuan, bakat ‘gotong-royong’ yang memang telah bersulur-akar dalam jiwa Indonesia, ketambahan lagi daya-penyatu yang datang dari azas Pancasila”.
1954: Berirama dengan Kodrat
“Dengan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan Pancasila, kita prinsipil dan dengan perbuatan, berjuang terus melawan kolonialisme dan imperialisme di mana saja”.
1955: Tetap Terbanglah Rajawali
“Panca Dharma”: Persatuan bangsa harus kita gembleng… tiap-tiap tenaga pemecah persatuan harus kita berantas… pembangunan di segala lapangan harus kita teruskan… perjuangan mengembalikan Irian Barat pada khususnya, perjuangan menyapu bersih tiap-tiap sisa imperialisme-kolonialisme pada ummnya, harus kita lanjutkan… pemilihan umum harus kita selenggarakan”.
Nafas konsistensi jelas terbaca di sana. Perang dan spirit memberantas imperialisme-kolonialisme di satu sisi, serta membangun dignity di sisi yang lain, berjalan paralel menuju bangsa yang besar. (roso daras/Bersambung)
Ini bagian ke-3 dari empat bagian nukilan pidato-pidato kenegaraan Bung Karno.
1956: Berilah Isi Kepada Hidupmu
“Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner…. Jangan setengah-setengah, jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan… kita adalah satu ‘fighting nation’ yang tidak mengenal ‘journey’s end’.’”
1957: Satu Tahun Ketentuan
Revolusi Indonesia benar-benar revolusi rakyat…. Tujuan kita masyarakat adil dan makmur, masyarakat “rakyat untuk rakyat”. Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik Rakyat… demokrasi Rakyat, demokrasi ‘matleiderschap’, demokrasi terpimpin!”
1958: Tahun Tantangan
“Rakyat 1958 sekarang sudah lebih sadar… tidak lagi tak terang siapa kawan siapa lawan, tidak lagi tak terang siapa yang setia dan siapa pengkhianat… siapa pemimpin sejati, dan siapa pemimpin anteknya asing… siapa pemimpin pengabdi Rakyat dan siapa pemimpin gadungan. Dalam masa tantangan-tantangan seperti sekarang ini, lebih daripada di masa-masa yang lampau, kita harus menggembleng-kembali Persatuan….”
1959: Penemuan Kembali Revolusi Kita
(Pidato ini kemudian diperkuat oleh seluruh rakyat bangsa dan disahkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia — Manipol). “Kurumuskan tiga segi kerangka Revolusi kita dan ’5 persoalan-persoalan polok Revolusi Indonesia’ yaitu: Dasar/tujuan dari kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia, sifat Revolusi Indonesia, hari-depan Revolusi Indonesia, dan musuh-musuh Revolusi Indonesia.”
1960: Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit, Jalannya Revolusi Kita (Jarek)
“… perlunya, mungkinnya, dan dapatnya bersatu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, harus satunya kata dan perbuatan bagi kaum yang betul-betul revolusioner, mutlak perlunya dilaksanakan land-reform sebagai bagian mutlak Revolusi Indonesia, mutlak perlunya dibasmi segala phobi-phobian terutama sekali Komunisto-Phobi; perlunya dikonfrontasikan segenap kekuatan nasional terhadap kekuatan-kekuatan imperialis-kolonialis; dan keharusannya dijalankan revolusi dari aas dan dari bawah.”
Tampak pada periode lima tahun di atas, Bung Karno mulai mengksirtalkan pondasi berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara merdeka, masih belum lepas dari rongrongan asing yang menyokong setiap aksi separatis dengan berbagai dalihnya. Tetapi sejarah juga mencatat, bahwa di periode ini segala bentuk gerakan separatis berhasil ditumpas.
Sebagai bapak bangsa, bapak bagi semua elemen bangsa, Bung Karno juga merangkul para pengkhianat, para separatis untuk kembali ke pangkuan Tanah Air. Ke depan, Bung Karno terus menggelegarkan aroma permusuhan terhadap semua bentuk konolialisme dan imperialisme baru, termasuk menggugat masih bercokolnya Belanda di bumi Irian Barat. (roso daras/Bersambung)
Berikut bagian ke-4 dari empat bagian nukilan pidato Bung Karno. Periode ini mengutip pidato Bung Karno periode 1961 – 1966. Setelah itu Bung Karno tidak lagi tampil membahana di podium peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Pidato tahun 1966 adalah pidato kenegaraan terakhirnya.
1961: Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional (Resopim)
“…perlunya meresapkan adilnya Amanat Penderitaan Rakyat agar meresap pula tanggung jawab terhadapnya serta mustahilnya perjuangan besar kita berhasil tanpa Tritunggal Revolusi, ideologi nasional progresif dan pimpinan nasional.
1962: Tahun Kemenangan (Takem)
“kulancarkan gagasan untuk memperhebat pekerjaan Front Nasional, untuk menumpas perongrongan revolusi dari dalam, dan bahwa revolusi kita itu mengalami satu “selfpropelling growth” – satu, yaitu maju atas dasar kemajuan, mekar atas dasar kemekaran.
1963: Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri)
“Tiada revolusi kalau ia tidak menjalankan konfrontasi terus-menerus dan kalau ia tidak merupakan satu disiplin yang hidup, bahwa diperlukan puluhan ribu kader di segala lapangan. Bahwa Dekon harus dilaksanakan dan tidak boleh diselewengkan karena “Dekon adalah Manipolnya ekonomi”, bahwa abad kita ini “abad nefo” dan saya mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan Conefo dan akhirnya tahun yang lalu.”
1964: Tahun Vivere Pericoloso (Tavip)
“Kuformulasikan 6 hukum revolusi, yaitu bahwa revolusi harus mengambil sikap repat terhadap lawan dan kawan, harus dijalankan dari atas dan dari bawah, bahwa destruksi dan konstruksi harus dijalankan sekaligus, bahwa tahap pertama harus dirampungkan dulu kemudian tahap kedua, bahwa harus setia kepada Program Revolusi sendiri yaitu Manipol, dan bahwa harus punya sokoguru, punya pimpinan yang tepat dan kader-kader yang tepat, juga kuformulasikan Trisakti “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”.
1965: Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari)
“Lima Azimat”: Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964), dan Berdikari (1965)- sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga terakhir dari Revolusi Agustus. Kelima pokok instruksiku itu harus terus disebar-sebarkan, diresapkan, diamalkan, sebab dari terlaksana-tidaknya instrukti itu tergantung pula baik tidaknya Front Nasional di hari-hari yang akan datang, baik tidaknya persatuan bangsa di hari-hari yang akan datang”.
1966: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)
Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah : “Never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.
Begitulah. Tahun 1967 adalah tahun kemunduran. Tahun klimaks usaha pembunuhan terhadap Sukarno oleh anak bangsanya sendiri. Indonesia Raya diruntuhkan, di atasnya berdiri bangunan kapitalis bernama Orde Baru. Sejak itu, berubahlah Indonesia, dari sebuah bangsa berdikari menjadi bangsa yang kembali “terjajah” oleh asing. Hingga hari ini. (roso daras)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar